Cara Average Down & Average Up
Melanjutkan artikel
minggu kemarin berjudul ‘Kenapa Saham Murah Masih Turun?’ (ini link-nya, kalau belum baca sebaiknya
baca dulu), ada satu pertanyaan bagus: ‘Seperti yang sudah dijelaskan di
artikelnya, ketika kita membeli saham bagus pada harga murah, maka bukan
berarti saham tersebut akan langsung naik, melainkan bisa saja naiknya lama
kemudian, atau malah justru turun dulu. Pertanyaannya, kalau dia turun dan saya
hendak average down, maka bagaimana strateginya? Sebaliknya kalau
sahamnya langsung naik tak lama setelah saya membelinya, padahal saya baru beli
sedikit, maka bagaimana strateginya kalau saya mau average up?
Sebelum kita menjawab
pertanyaan diatas, pertama-tama kita sepakati dulu, apa itu yang dimaksud
dengan average down. Average down adalah jika kita membeli lagi saham yang sama
pada harga yang lebih rendah. Misalnya kita beli saham A pada harga 1,000
sebanyak 100 lot. Kemudian alih-alih naik, saham A justru turun 10% ke 900.
Tapi setelah kita pelajari/analisa sahamnya sekali lagi, kesimpulannya adalah
tidak ada peristiwa penting/perubahan fundamental apapun terkait perusahaan,
sehingga kita beli lagi saham A pada harga 900 tersebut, juga sebanyak 100 lot.
Jadi sekarang kita memegang 200 lot saham A pada harga rata-rata 950. Karena
harga rata-ratanya jadi lebih rendah dibanding sebelumnya (tadinya 1,000,
kemudian menjadi 950), maka keputusan untuk membeli lagi saham A pada harga
900, itu disebut averaging down.
Sementara average up
adalah sebaliknya: Kita beli saham A pada harga 1,000 sebanyak 100 lot, dan
saham A kemudian naik ke katakanlah 1,100, dimana setelah kita analisa sekali
lagi, kesimpulannya adalah bahwa saham A masih bisa naik lebih tinggi lagi.
Karena itulah kita kemudian beli lagi saham A pada harga 1,100, juga sebanyak
100 lot, sehingga kita sekarang harga rata-ratanya naik menjadi 1,050. Jadi
keputusan untuk membeli lagi saham A pada harga 1,100, itu disebut averaging
up.
Banyak orang salah
kaprah soal average down. Contohnya, ada yang mengatakan bahwa kalau ada saham
bagus harganya turun (sehingga kalau kita sudah memegangnya, maka posisinya
jadi nyangkut), maka gak apa-apa beli lagi aja. Padahal sebanyak apapun dana
cash yang kita miliki, tapi kalau kita terus menerus membeli saham yang sama,
maka dana tersebut akan habis juga, dan kita akan terjebak pada situasi dimana
sebagian besar portofolio ditempatkan hanya pada satu saham (udah gitu
posisinya nyangkut), sehingga kita gak punya dana lagi untuk membeli saham
lain. Selain itu, bisa jadi pula satu saham yang dibeli lagi secara terus
menerus tadi ternyata tidak juga naik setelah sekian lama, atau malah lanjut
turun terus, hingga si investor akan sampai pada satu titik dimana mau cut loss pun sudah nggak bisa, karena nilai
kerugiannya sudah kelewat besar (dan kalau seorang investor sudah sampai pada
titik ini, artinya game over sudah).
Investor's worst nightmare: Udah average down berkali-kali, tapi tetep aja sahamnya turun terus |
Demikian pula dengan
average up. Banyak orang yang ketika melihat sahamnya naik, maka dia langsung
beli lagi, dan beli lagi, karena berharap kenaikannya akan berlanjut.
Problemnya adalah, saham sebagus dan semurah apapun tentu saja tidak akan naik terus setiap hari, melainkan
pasti ada turunnya, dimana kalau
kita membeli saham tersebut secara asal-asalan sehingga average-nya menjadi kelewat tinggi,
maka posisi anda bisa saja malah jadi rugi/nyangkut bahkan meski sahamnya baru
turun sedikit/belum sampai balik lagi ke harga awal ketika kita membelinya
pertama kali. Contohnya? Well, masih ingat ketika Indika Energy (INDY) tiba-tiba saja naik
banyak hingga tembus 1,200-an, beberapa bulan lalu?
Strategi Average
Down/Up
Okay, jadi bagaimana
strateginya kalau kita mau beli lagi/tambah posisi di saham yang sama, entah
itu average down, di harga yang sama, atau average up? Okay, kita langsung
ambil contoh riil-nya saja yap. Tapi sebelum itu terdapat setidaknya tiga peraturan yang harus senantiasa anda ingat dan anda
terapkan. Pertama, setelah anda memutuskan saham apa yang akan dibeli, misalnya
saham A, maka tentukan berapa maksimal
dana yang akan anda alokasikan untuk saham A tersebut. Seperti yang sudah
penulis jelaskan di salah satu artikel di blog ini, idealnya kita menempatkan
10 – 15% dari total nilai portofolio pada satu saham tertentu, atau maksimal 20%. Jadi jika nilai porto
anda adalah Rp100 juta, maka anda harus putuskan, maksimalnya berapa dari
jumlah tersebut yang akan anda pakai untuk membeli saham A, apakah Rp10 juta,
15 juta, atau Rp20 juta. Ini untuk mencegah kita menempatkan terlalu banyak
dana hanya pada satu saham.
Kedua, karena kita
tidak bisa secara persis memprediksi bahwa sebuah saham bisa turun sampai
berapa, maka sangat penting untuk membeli saham yang sudah kita pilih secara bertahap alias menyicil. Kalau penulis sendiri,
biasanya saya membagi dana yang sudah dialokasikan menjadi dua atau tiga
bagian. Misalnya kita mau beli saham A senilai maksimal Rp10 juta, maka kita
bisa beli sebanyak Rp3 juta dulu, atau Rp5 juta. Jadi kalau sahamnya turun
lagi, maka kita masih punya ‘amunisi’ buat average down. Sangat jarang, kalau
tidak mau dikatakan tidak pernah, saya membeli satu saham secara sekaligus
dalam jumlah besar, tak peduli seyakin apapun penulis terhadap prospek saham
tersebut. Dan ketiga, setiap kali kita hendak membeli lagi saham A, maka lakukan analisa ulang, misalnya dengan
melihat lagi chartnya lalu dikaitkan dengan pergerakan IHSG, baca-baca info dan
berita terbaru terkait perusahaan (jika ada, karena seringkali suatu saham
turun sendiri meski tidak ada berita/sentimen negatif apapun), termasuk cek
lagi analisa saham A sejak awal, dimana kalau saham A turun terlalu dalam dari
harga belinya maka bisa jadi sejak awal kita salah memilih saham, atau pilihan
sahamnya sudah benar tapi salah di harga belinya. Intinya jangan langsung average
down hanya karena sahamnya sudah turun 5%, 10%, melainkan selalu
lakukan cek ulang sebelum kita beli lagi saham A tadi.
Nah, sekarang kita ke
contoh riil-nya. Misalnya setelah mengerjakan analisa yang hati-hati, pada Juli 2016 lalu anda menyimpulkan bahwa Medco Energi Internasional (MEDC) itu layak invest, dimana best buy-nya adalah 1,500 (ketika itu MEDC masih 1,700), dan kita menyiapkan dana sebesar katakanlah Rp15
juta. Analisis MEDC
coba baca dulu disini. Sebulan kemudian, yakni
pada Agustus 2016, MEDC ternyata beneran turun sampai 1,500, dan ketika itulah
kita masuk secara menyicil, katakanlah sebanyak Rp5 juta dulu.
Kemudian MEDC lanjut
turun sampai 1,400, dan pada titik inilah kita cek lagi: Apakah MEDC ini secara fundamental
dll masih oke seperti analisa sebelumnya? Jika
ternyata ada peristiwa penting tertentu,
misalnya akuisisi MEDC terhadap Newmont batal, maka jangan average
down, melainkan justru harus segera cut loss. Namun
karena ketika itu gak ada peristiwa apapun, maka kita kemudian beli lagi MEDC
di harga 1,400, juga sebanyak Rp5 juta.
Tapi ternyata MEDC
kembali lanjut turun sampai 1,300, atau sudah turun 13% dari 1,500. Nah, berdasarkan
pengalaman, meski memang kita tidak bisa memprediksi sebuah saham persisnya
bisa turun sampai harga berapa, tapi dengan catatan kita bisa mem-valuasi dengan akurat bahwa bahwa saham
A itu murahnya di harga sekian, maka kalaupun dia kemudian turun lebih
lanjut dari harga yang kita anggap sudah murah tadi, tapi penurunannya tidak
akan terlalu dalam/maksimalnya sekitar
20% (namun berbeda ketika kita menentukan bahwa saham A mahalnya di harga
sekian, dimana berdasarkan pengalaman, kadang-kadang saham A justru naik hingga
jauh diatas harga yang kita anggap mahal tersebut).
Jadi jika saham yang
kita beli turun hingga 20% atau lebih dibanding harga belinya, padahal IHSG-nya
masih baik-baik saja, maka terdapat tiga
kemungkinan: 1. Gak ada apa-apa, memang sahamnya lagi sepi/belum dapet
giliran untuk naik aja, 2. Terdapat perubahan fundamental, force majeure atau
semacamnya, 3. Sejak awal kita belinya
di harga yang salah/mahal. Nah, jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka
sahamnya hold saja, tapi jika kita sudah menggunakan maksimal dana yang
dialokasikan maka jangan average down lagi.
Tapi jika kemungkinan kedua dan ketiga yang terjadi, maka harus siap-siap cut
loss (tapi kerugiannya tidak akan terlalu besar karena kita baru memegang MEDC
dalam jumlah sedikit).
Namun untungnya pada kasus MEDC, tidak
ada perubahan fundamental apapun. Dan memang meski sahamnya sempat
turun terus, tapi penurunannya akhirnya mentok di 1,230 (minus 18% dari 1,500,
jadi gak sampai tembus batas 20% tadi), sebelum akhirnya naik
lagi. So let say kita sudah
beli MEDC sebanyak tiga kali pada harga 1,500, 1,400, dan 1,300, maka average-nya jadi 1,400. Sehingga ketika MEDC kemudian balik lagi ke 1,500 saja, posisinya udah
cuan. Dan
ketika akhirnya MEDC mulai melaju kencang pada awal tahun 2017, maka keuntungan
yang anda peroleh jadi lebih besar dari sebelumnya, karena rata-rata harga
belinya bukan lagi di 1,500, melainkan lebih rendah di 1,400.
Itu kalau average down.
Kalau average up bagaimana? Okay, misalnya kita beli MEDC, juga sebanyak Rp5
juta pada harga 1,500, tapi belinya pada awal tahun 2017 dimana sahamnya langsung
naik ke katakanlah 1,600, dimana setelah
anda cek lagi (entah itu anda mau average down/up, jangan lupa untuk cek
ulang dulu!), MEDC memang masih on track untuk naik lebih lanjut,
selain karena harga 1,600 tadi masih belum bisa disebut mahal. Maka anda boleh
beli lagi/average up pada harga 1,600 tersebut, dan anda boleh beli lagi hingga
MEDC naik maksimal 20% dari harga ketika
anda membelinya untuk pertama kali (dari 1,500 tadi).
Dengan kata lain, kalau
MEDC sudah naik sampai diatas 1,800, padahal anda baru membelinya dua kali
masing-masing senilai Rp5 juta (jadi totalnya Rp10 juta), sedangkan anda
menyiapkan dana Rp15 juta untuk membeli MEDC, maka kecuali dalam beberapa waktu
berikutnya MEDC turun lagi sampai dibawah 1,800 tadi, sisa dana yang Rp5 juta
tadi sebaiknya dipakai buat beli saham lain saja. Ini adalah untuk mencegah
kita melakukan average up pada harga
yang terlalu tinggi, yang bisa berakibat pada kerugian/nyangkut kalau MEDC
sewaktu-waktu kemudian turun lagi. Lalu kenapa 20%? Karena berdasarkan
pengalaman, kalau sebuah saham naiknya sudah diatas 20% maka akan rawan profit
taking, overbought, atau apapun itu namanya, yang bisa menyebabkan saham
tersebut untuk turun lagi bahkan meski valuasinya masih murah. Actually, beberapa saham kadang-kadang bisa naik hingga puluhan atau bahkan lebih
dari seratus persen dalam waktu singkat, sebelum kemudian baru turun lagi, jadi
batas 20% tadi mungkin tidaklah relevan. Tapi intinya kalau anda
melihat/menganggap bahwa saham yang anda beli naiknya terlalu tinggi dan dalam waktu yang terlalu singkat, maka kalaupun anda mau hold saja (istilahnya let
the profit run), maka jangan juga tambah posisi/average up, karena itu,
sekali lagi, bisa membuat posisi anda berbalik dari cuan besar menjadi rugi
besar.
(Hanya memang, kalau anda membeli saham tertentu untuk tujuan investasi jangka panjang hingga 3 - 5 tahun atau lebih lama lagi, dimana anda secara rutin membeli lagi/tambah posisi di saham tersebut setiap beberapa waktu sekali (misalnya karena anda menyetor dana lagi ke sekuritas), maka tidak apa-apa jika harga belinya jauh diatas harga ketika anda membeli saham tersebut pertama kali, selama valuasinya, berdasarkan kinerja fundamental terbaru perusahaan, masih murah. Penjelasannya baca lagi disini).
(Hanya memang, kalau anda membeli saham tertentu untuk tujuan investasi jangka panjang hingga 3 - 5 tahun atau lebih lama lagi, dimana anda secara rutin membeli lagi/tambah posisi di saham tersebut setiap beberapa waktu sekali (misalnya karena anda menyetor dana lagi ke sekuritas), maka tidak apa-apa jika harga belinya jauh diatas harga ketika anda membeli saham tersebut pertama kali, selama valuasinya, berdasarkan kinerja fundamental terbaru perusahaan, masih murah. Penjelasannya baca lagi disini).
Dengan demikian, entah
itu saham anda naik atau turun setelah anda membelinya, maka sekarang anda tahu
apa yang harus dilakukan. Yang juga perlu dicatat, dalam value investing,
target harga/harga yang dianggap mahal untuk suatu saham biasanya jauh diatas
harga belinya, katakanlah dengan kenaikan 50%, 75%, 100%, atau lebih tinggi lagi (misalnya MEDC
tadi, best buy-nya 1,500, best sell-nya sekitar 2,500, berarti potensi upside-nya 60 - 70%), meski juga jangan harap
sahamnya bakal naik setinggi itu dalam 2 – 3 hari (sabar!). Jadi, meski memang
seorang value investor selalu berusaha untuk membeli saham bagus pada harga
serendah mungkin, sehingga kita lebih suka average down ketimbang up, tapi kita
sewaktu-waktu boleh average up juga, selama saham yang kita beli masih belum
naik banyak/masih jauh dari perkiraan harga mahalnya.
Okay, ada pertanyaan?
Buat temen-temen yang udah baca blog ini sejak tahun 2010, 2011, dan 2012,
tolong bantu jawab yap :) Untuk minggu depan, kecuali kalau ada topik lain yang
lebih menarik, kita akan membahas analisa salah satu saham properti.
Info Investor: Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan Edisi
Kuartal II 2017 (‘Ebook Kuartalan’)
akan terbit hari Senin, 7 Agustus mendatang. Anda bisa
memesannya dengan cara preorder disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
1 APLN
2 LPCK
3 MDLN
Saya baca artikel ini April 2019. Usai Pilpres
Contoh, hari ini saya beli saham A harga Rp2.000 sebanyak 100 lot (total 200.000), kemudian besok harga turun Rp1.000 dan saya beli 50 lot (total 50.000), jadi avg down saya sebesar Rp1.500 kah? Trus bagaimana cara menghitung keuntungannya jika harga kembali jadi Rp2.000? Trims
Pemb k-2 saham A @rp 1000 x 50lot = Rp 5.000.000
Avg jd @ rp1500 =pny 150lot kali @ rp 2000 = rp 30.000.000 anda untung 5jt