Beli Saham Tidak Likuid: Jualnya Gimana?
Pada sesi kelas value
investing di Surabaya, 10 Juni kemarin, salah seorang peserta bertanya, ‘Pak
Teguh, kalau dari contoh-contoh saham yang dipilih menggunakan metode value
investing yang ditunjukkan, beberapa diantaranya merupakan saham kecil
yang tidak likuid. Pertanyaannya, kalau kita beli saham tidak likuid
tersebut, nanti jualnya gimana? Khawatirnya meskipun sahamnya kemudian memang
naik tinggi, tapi tetep aja gak ada yang pasang bid sehingga gak bisa
dijual, dan alhasil keuntungan yang diperoleh nggak bisa direalisasikan.’
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, biar penulis kasih analogi sederhana: Ketika anda bepergian
jauh keluar kota, misalnya waktu mudik kemarin, dan anda hendak makan siang di salah satu rumah makan yang anda temui di tepi
jalan, maka rumah makan yang mana yang anda pilih? Yang kelihatannya ramai
(tempat parkirnya penuh), atau yang kelihatannya sepi? Sudah tentu anda akan memilih
rumah makan yang ramai bukan? Karena asumsinya adalah, kalau ada banyak orang
yang makan disitu, maka pasti disitu makanannya enak! Penulis sendiri kalau
lagi jalan-jalan selalu
menggunakan ‘metode’ ini ketika nyari tempat makan, dan hasilnya memang tidak
mengecewakan.
Dan karena hampir semua
orang menggunakan metode diatas ketika memilih tempat makan, maka alhasil restoran yang ramai akan semakin ramai,
sementara restoran yang sepi akan tetap sepi terus. Namun demikian restoran yang sepi bisa saja lambat laun
menjadi ramai juga, yakni jika beberapa orang yang makan disitu kemudian
menemukan bahwa ternyata makanannya enak,
dan mereka kemudian kasih tau ke orang-orang. Sekitar dua atau tiga tahun lalu,
penulis bersama keluarga pernah mampir ke sebuah rumah makan yang kelihatannya
baru dibuka di Jalan Raya Cirebon – Kuningan, dan penulis terpaksa berhenti di
rumah makan tersebut meski kelihatannya disitu sepi, karena si kecil sudah
merengek lapar (actually, si kecil cuma nangis saja, ibunya yang
menterjemahkan). Kami kemudian memesan menu ala sunda termasuk sayur asem, dan ternyata
itu adalah sayur asem terenak yang pernah penulis cicipi. Dan sekarang, tiap
kali penulis lewat situ, itu parkirannya meluber sampe sejauh 100-an meter dari
rumah makannya sendiri.
Nah, di pasar saham
juga sama begitu: Mayoritas investor atau trader saham hanya tertarik pada
saham yang ramai ‘dikunjungi’ alias ramai diperdagangkan/volume transaksinya
besar, atau dengan kata lain sahamnya likuid, karena asumsinya jika ada saham
yang banyak dibeli orang, maka kemungkinan itu saham memang bagus. Inilah yang
menyebabkan saham yang likuid akan semakin likuid, sementara saham yang tidak
likuid kemungkinan akan tetap saja tidak likuid.
Namun demikian sebuah
saham yang sepi bisa saja menjadi ramai jika ada sejumlah orang yang membelinya
sehingga volume transaksinya menjadi
besar, yang menyebabkan orang-orang lain akan ikut masuk sehingga volumenya menjadi lebih besar lagi. Jika
saham tersebut kemudian naik hingga
ke level harga tertentu, maka likuiditas sahamnya dari sisi nilai transaksi juga akan naik seiring
dengan kenaikan harga sahamnya, dan itu
akan membuat sahamnya semakin ramai lagi. Contohnya saham A, harganya 200,
dan volume transaksinya hanya sekitar 5 – 10 juta lembar per hari, atau dengan
kata lain nilai transaksinya hanya Rp1 – 2 milyar per hari, sehingga tergolong
saham tidak likuid (nilai transaksi = harga saham x volume).
Tapi beberapa waktu
kemudian saham A ini tiba-tiba saja banyak yang beli, hingga volumenya melonjak
jadi 100 juta lembar, sehingga nilai transaksinya (pada harga 200) menjadi Rp20 milyar per hari, dan pada titik
inilah beberapa orang lainnya mungkin akan ikut masuk, karena nilai transaksi
Rp20 milyar tersebut terbilang cukup likuid. Ketika kemudian saham A naik
hingga ke 300, maka meski volumenya tetap 100 juta lembar saham per hari, tapi
nilai transaksinya sekarang menjadi Rp30
milyar, atau satu setengah kali
lebih besar meski volumenya sama, dan itu menyebabkan lebih banyak lagi orang
yang ikut masuk, sehingga volumenya akan ikut meningkat, misalnya menjadi 150
juta lembar saham per hari, sehingga nilai
transaksinya jadi lebih besar lagi! Dalam analisis teknikal sendiri, yang
merupakan tool paling umum yang digunakan para trader, biasanya juga
jelas disebutkan bahwa kalau sebuah saham naik
ke level harga tertentu pada volume
tertentu, maka barulah dia layak buy
(jadi kalau sahamnya naik banyak tapi nggak ada volume, atau sebaliknya
volumenya besar tapi harganya nggak naik, maka belum tentu dia layak buy). Faktor penggunaan analisis teknikal ini pula yang menyebabkan semakin tinggi harga suatu saham, semakin banyak pula trader yang membelinya, dan alhasil sahamnya akan semakin likuid.
Value Investor: Selalu
Curi Start di Harga Bawah!
Pertanyaannya, apa yang
membuat sejumlah kecil investor berani membeli sebuah saham di awal meski
kelihatannya saham tersebut masih sepi peminat/tidak likuid? Jawabannya ya karena
mereka sudah mengerjakan analisa yang mendalam hingga akhirnya diperoleh
kesimpulan bahwa saham tersebut fundamental bagus, prospeknya cerah, dan valuasinya
murah! Kalau dibuat kronologisnya kira-kira begini: Investor yang mengerjakan screening
dan analisa fundamental menemukan saham bagus, katakanlah saham A, dan dia mulai membelinya. Tapi karena karena saham A ini tidak likuid, maka
biasanya si investor hanya akan membelinya sedikit-sedikit/secara bertahap, dan
alhasil saham A tetap tampak tidak likuid/nilai transaksinya tetap kecil.
Beberapa waktu
kemudian, investor lainnya (yang juga mengerjakan analisa fundamental) juga
menemukan saham A tersebut dan ikut membelinya. Hingga akhirnya terjadi satu waktu
dimana ada banyak investor yang secara bersamaan hajar kanan di saham A hingga
harganya naik signifikan, misalnya 5% dalam satu hari, dengan volume yang juga besar
(jadi meski tiap-tiap investor membeli saham A secara sedikit-sedikit, tapi
kalo ada banyak investor yang membeli saham A secara bersamaan, maka tentu
volumenya akan jadi besar juga). Jika saham A ini sebelumnya sudah menjadi
incaran banyak orang (karena memang fundamentalnya bagus, dan valuasinya juga
masih murah) tapi mereka masih ragu untuk masuk karena sahamnya gak likuid,
maka ketika saham A mulai ‘gerak’ inilah, mereka akan ikut masuk sehingga
volumenya semakin besar lagi. Dan akhirnya, setelah saham A benar-benar naik
signifikan, katakanlah naik 20% hanya dalam 1 – 2 minggu, atau harganya naik
hingga ke level psikologis tertentu (misalnya harganya sebelumnya 350, lalu
naik sampe tembus 500), maka para trader yang gak melihat faktor fundamental
akan ikut masuk, entah itu pake analisis teknikal atau hanya karena penasaran
saja, termasuk para broker dan analis sekuritas juga akan mulai ramai merekomendasikan
saham A.
Dan akhirnya saham A,
yang sebelumnya sepi, tidak likuid, dan juga tidak pernah dibicarakan di
grup-grup atau direkomendasikan oleh para analis, tiba-tiba saja menjadi ramai
dan likuid, sekali lagi, justru setelah
dia berada di harga atas. Contoh riil dari kasus ini adalah saham KMI Wire &
Cable (KBLI). Ketika penulis pertama kali menemukan saham perusahaan
kabel ini pada Oktober 2016 lalu di harga 290-an (ini analisisnya), rata-rata nilai transaksi
KBLI kurang Rp10 milyar per hari
(harga 270 – 300 dikali volume 20 – 30 juta lembar), dan penulis sendiri harus
membeli secara bertahap selama beberapa waktu hingga barulah akhirnya kita
memegang KBLI dalam jumlah yang lumayan. Namun ketika dia akhirnya naik ke 400,
500, dan seterusnya, maka barulah nilai transaksinya melonjak hingga sempat menembus Rp50 milyar per hari, dan barulah
ketika itu analis ramai-ramai merekomendasikan KBLI. Jadi ketika akhirnya
penulis memutuskan untuk keluar dari KBLI ini, maka kita bisa langsung jualan
sekaligus dalam satu klik sell saja.
Nah, jadi balik lagi ke
pertanyaan diatas, kalau beli saham gak likuid, nanti jualnya gimana? Maka
jawabannya, anda gak perlu khawatir, karena asalkan anda memilih saham yang
tepat (fundamentalnya bagus, valuasinya murah), maka ketika nanti saham
tersebut akhirnya naik, akan ada banyak orang
yang bersedia menampung saham anda di harga atas. Selain KBLI, anda juga
boleh cek saham-saham tidak likuid lainnya: Rata-rata menjadi likuid setelah harganya naik banyak. Inilah yang
menyebabkan value investor terkenal seperti Lo Kheng Hong berani membeli saham yang
tidak likuid seperti Petrosea
(PTRO) hingga sebanyak sekitar seratus juta lembar, karena beliau
sepenuhnya menyadari bahwa ketika nanti tiba waktunya untuk menjual PTRO ini,
maka itu tidak akan sulit untuk dilakukan. Bonusnya adalah, ketika kita membeli
saham yang belum ramai pada harga bawah, alias curi start, maka tentu saja profitnya akan jauh
lebih besar dibanding investor/trader lain yang baru masuk belakangan ketika
saham tersebut sudah mulai naik. Berdasarkan pengalaman, cuan ‘jackpot’ sebesar
100% atau lebih yang diperoleh seorang investor, biasanya justru berasal dari saham-saham
yang tidak likuid ini.
Manajemen Risiko
Hanya memang risikonya, kalau saham yang anda beli tersebut ternyata gak naik-naik juga setelah sekian lama, atau lebih buruk lagi: Laporan keuangan berikutnya ternyata tidak lagi sebagus sebelumnya (sehingga fundamental perusahaan berubah), dimana itu bisa terjadi pada saham manapun, maka barulah anda akan kesulitan untuk jualan. Tapi untungnya risiko ini bisa ditekan dengan cara membeli secara bertahap. Jadi inilah yang penulis lakukan: Setiap kali kita menemukan saham yang berpotensi 'jackpot', maka faktor likuiditas tetap diperhatikan, dimana kalau sahamnya nggak likuid maka kami akan membeli saham tersebut dalam jumlah sedikit dulu, misalnya sepertiga atau setengah dari total nilai dana yang dialokasikan, kemudian baru nanti nambah lagi/average up kalau harganya mulai naik dan volumenya mulai ramai (mulai ramai, jadi bukan ketika sudah sangat ramai). Dengan cara inilah, kalau kemudian terjadi force majeure atau perubahan analisa dimana kita terpaksa harus jual sahamnya di harga yang sama atau lebih rendah, maka jualnya gak akan susah, dan nilai kerugiannya juga tidak akan terlalu besar. Sementara jika saham tersebut benar-benar naik, maka keuntungan yang diperoleh tetap optimal karena kita sudah mulai menyicil dari harga bawah.
Manajemen Risiko
Hanya memang risikonya, kalau saham yang anda beli tersebut ternyata gak naik-naik juga setelah sekian lama, atau lebih buruk lagi: Laporan keuangan berikutnya ternyata tidak lagi sebagus sebelumnya (sehingga fundamental perusahaan berubah), dimana itu bisa terjadi pada saham manapun, maka barulah anda akan kesulitan untuk jualan. Tapi untungnya risiko ini bisa ditekan dengan cara membeli secara bertahap. Jadi inilah yang penulis lakukan: Setiap kali kita menemukan saham yang berpotensi 'jackpot', maka faktor likuiditas tetap diperhatikan, dimana kalau sahamnya nggak likuid maka kami akan membeli saham tersebut dalam jumlah sedikit dulu, misalnya sepertiga atau setengah dari total nilai dana yang dialokasikan, kemudian baru nanti nambah lagi/average up kalau harganya mulai naik dan volumenya mulai ramai (mulai ramai, jadi bukan ketika sudah sangat ramai). Dengan cara inilah, kalau kemudian terjadi force majeure atau perubahan analisa dimana kita terpaksa harus jual sahamnya di harga yang sama atau lebih rendah, maka jualnya gak akan susah, dan nilai kerugiannya juga tidak akan terlalu besar. Sementara jika saham tersebut benar-benar naik, maka keuntungan yang diperoleh tetap optimal karena kita sudah mulai menyicil dari harga bawah.
Satu hal lagi yang perlu diingat, tidak semua
saham yang tidak likuid menjadi likuid hanya karena harganya naik, dimana
beberapa saham mungkin tetap saja tidak menjadi likuid meski sudah naik tinggi.
Karena itulah, ketika anda hendak membeli saham A, misalnya, maka anda juga
perlu cek berapa banyak jumlah saham A
tersebut yang dipegang oleh investor publik, dimana itu bisa dilihat di
laporan keuangan perusahaan, di bagian ‘modal saham’. Normalnya jika
kepemilikan publik di suatu perusahaan mencapai setidaknya 700 juta – 1 milyar lembar saham, maka meskipun sahamnya tampak
tidak likuid, tapi kalau nanti dia naik tinggi maka akan likuid juga. Tapi
kalau jumlah saham publiknya kurang dari itu, maka barulah sahamnya tetap saja
tidak akan menjadi likuid (dari sisi volume) bahkan meski sudah naik banyak,
kecuali kalau naiknya benar-benar sangat tinggi (misalnya dari hanya Rp200 –
300 hingga menjadi ribuan Rupiah, sehingga meski volume transaksinya tetap
kecil tapi nilai transaksinya menjadi besar. Tapi ini jarang terjadi). Dalam
contoh saham KBLI diatas, jumlah saham publiknya, berdasarkan laporan keuangan
Kuartal III 2016, adalah 1.6 milyar lembar.
Nah, jadi dengan
demikian anda gak perlu lagi menyingkirkan saham-saham bagus dan murah yang
sudah anda temukan melalui proses screening dan analisa yang susah payah, hanya
karena khawatir ‘nanti jualnya bagaimana?’ Jadi sekarang, bagi anda yang sudah
mengerjakan screening-nya, maka please share, saham apa saja yang bakal anda beli secara
sedikit demi sedikit, mulai tanggal 3 Juli nanti? Anda bisa menulisnya melalui
kolom komentar dibawah.
Untuk artikel minggu
depan kita akan membahas sedikit soal sektor properti.
Buletin Analisis
IHSG & Stockpick Edisi Juli 2017 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham langsung
dengan penulis untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
kemarin2 INKP,, tapi udah mulai keluar,, nyisain sedikit aja,, dari harga 900 ke 2500