Buana Listya Tama
Buana Listya Tama
(BULL) merupakan contoh bagaimana saham yang dulunya sempat mati
suri selama bertahun-tahun, biasanya karena perusahaannya memang bermasalah,
tapi karena selanjutnya pihak manajemen sedikit demi sedikit mampu menyelesaikan
masalahnya tersebut, maka akhirnya sahamnya juga mampu bangkit lagi. Nah,
ketika ketemu ‘saham zombie’ seperti ini, biasanya value investor punya
peluang. Sebab ketika sebuah perusahaan terkena masalah yang serius, entah itu
gagal bayar utang, perusahaannya berhenti beroperasi dst, maka sahamnya juga
praktis bakal terjun bebas hingga ke posisi yang amat sangat rendah (kadang
sampai di-suspend), sehingga valuasinya
menjadi amat sangat murah.
Dan memang benar:
Ketika suspend BULL dicabut pada akhir Desember 2016 lalu, sahamnya langsung
melompat dari 82 hingga (ketika artikel ini ditulis) ke posisi 127, atau sudah
naik 55%, tapi bahkan pada posisinya tersebut, PER dan PBV-nya masing-masing cuma 2.9 dan 0.2 kali (berdasarkan
laporan keuangan Kuartal III 2016, dan berdasarkan jumlah saham sebelum right
issue). Pertanyaannya sekarang, okay BULL mungkin memang murah, sangat
murah malah, tapi bagaimana dengan fundamentalnya? Apa yang menyebabkan
sahamnya jatuh dan mati di level kisaran gocapan? Gak mungkin sebuah saham bisa
sampai terpuruk seperti itu kalau perusahaannya nggak bermasalah bukan? Dan
terkait masalahnya tersebut, bagaimana update terbarunya sekarang ini?
Ketika kemarin suspensi sahamnya dicabut, maka apakah itu karena masalahnya sudah
beres semua atau gimana?
Untuk menjawab semua
pertanyaan diatas, maka kita perlu melihat lagi BULL ini sejak awal.
Okay, here we go:
Buana Listya Tama adalah
perusahaan jasa transportasi kapal spesialis pengangkutan minyak, gas, dan
bahan-bahan kimia. Per 30 September 2016, perusahaan memiliki dan
mengoperasikan 12 unit kapal tanker yang terdiri dari 7 tanker minyak, 1 FPSO
(floating production storage and offloading), 3 tanker gas, dan 1 tanker kimia.
Selain menyewakan kapal milik sendiri, BULL juga menyediakan jasa keagenan
kapal (shipping agency) bagi kapal asing yang mengunjungi
pelabuhan di Indonesia. Karena berdasarkan asas cabotage yang
diberlakukan Pemerintah sejak tahun 2005, perusahaan kapal asing yang
beroperasi di tanah air harus menunjuk perusahaan lokal untuk mengurus izin
pelabuhan dll.
Salah satu armada kapal milik perusahaan |
However, hingga Kuartal
III 2016, hampir seluruh pendapatan perusahaan hanya berasal dari jasa
penyewaan kapal saja, dan itupun sebagian besar hanya berasal dari satu klien,
yakni PT Pertamina. Sejak BULL listing di BEI pada Mei 2011
lalu, sampai sekarang perusahaan belum melakukan pengembangan usaha apapun,
entah itu menambah unit kapal atau mendapatkan klien baru, karena pihak
manajemen selama beberapa tahun ini lebih sibuk menghadapi ‘satu masalah’.
Sejarah Kepemilikan
BULL
Jadi ceritanya begini.
BULL dulunya merupakan anak usaha dari Berlian Laju Tanker (BLTA), perusahaan
kapal terbesar di Indonesia. BULL didirikan pada tahun 2005 untuk menyambut
peluang dari berlakunya asas cabotage yang sudah disebut diatas, dan
ketika itupun manajemen BLTA langsung membeli atau menyewa sejumlah kapal untuk
ditempatkan di BULL ini. Dua tahun kemudian, yakni tahun 2007, harga minyak
mulai melonjak dengan cepat hingga sempat menyentuh US$ 147 per barel pada
tahun 2008, yang otomatis memicu euforia di bisnis perkapalan (karena
BLTA, seperti juga mayoritas perusahaan kapal lainnya, sebagian besar
pendapatannya berasal dari jasa pengangkutan minyak dan gas). Dan
manajemen BLTA memanfaatkan momentum kenaikan harga minyak tersebut dengan
melakukan ekspansi penambahan armada kapal secara besar-besaran, tentunya
dengan menggunakan utang. Pada tahun 2007 atau 2008, BLTA memiliki utang sekitar
US$ 3 milyar, sementara ekuitasnya cuma US$ 1 milyaran.
Namun masih di tahun
2008, harga minyak tiba-tiba saja jatuh hingga ke level US$ 30-an per barel
pada awal 2009. Ditambah dengan terjadinya krisis global ketika itu dimana
bursa-bursa saham di seluruh dunia termasuk IHSG berjatuhan, maka BLTA, yang
tadinya berada dalam posisi ‘diatas angin’, tiba-tiba saja jatuh dan diuber-uber debt collector. Alhasil di tahun-tahun selanjutnya pihak
manajemen hanya fokus pada upaya gali lobang tutup lobang, karena disisi lain
harga minyak, meski memang naik lagi, tapi gak pernah balik lagi ke level US$
140-an seperti tahun 2007 lalu. Ketika BLTA meng-IPO-kan BULL pada tahun 2011,
tujuannya adalah juga untuk menggunakan dana hasil IPO-nya (ketika itu sebesar
Rp1 trilyun) untuk membayar utang, tapi bahkan itupun masih belum cukup.
Catatan: Kalau mau baca lagi cerita lengkap soal
BLTA, anda bisa membacanya lagi disini,
dan disini.
Hingga pada tahun 2014,
BLTA akhirnya harus melepas BULL sama sekali ke beberapa investor yakni PT
Delta Royal Sejahtera (DRS), Kidson Pte Ltd (unit usaha dari Deutsche Holdings
Asia Pacific, anak usaha dari Deutsche Bank), PT Southeast Capital Invesment
(SCI), PT Goldsachs Capital Invesment (GCI), dan PT Benakat Integra (BIPI).
Nah, kalau anda teliti, maka akan ketemu setidaknya dua fakta menarik: Pertama,
tidak ada satupun dari investor diatas yang berstatus sebagai pemegang saham
mayoritas/pengendali di BULL. Dan kedua, para investor diatas
bukanlah investor strategis yang akan mengelola BULL untuk seterusnya,
melainkan kurang lebih sama saja seperti investor ritel yang akan menjual lagi
sahamnya sewaktu-waktu. Perhatikan: DRS dan SCI dimiliki seseorang bernama Budy
Tjokro, dan penulis sudah cari info kesana kemari, tidak ada satupun yang
mengaitkan nama Budy Tjokro ini dengan industri perkapalan. DRS masuk sebagai
pemegang saham BULL dengan menyetor saham baru tanpa HMETD alias private
placement senilai Rp97 milyar, dimana duitnya dipake BULL untuk bayar utang ke
Merrill Lynch (DRS kemungkinan juga membeli saham BULL yang ada di pasar). Yup,
jadi istilahnya DRS ini cuma nalangin utangnya BULL aja gitu, dan sebagai
gantinya mereka menerima saham perusahaan.
Sementara Deutsche Bank
(DB), mereka memegang BULL karena pemilik BULL sebelumnya, yakni BLTA, gagal
membayar utang sehingga pihak DB menyita saham BULL sebagai salah satu collateral,
tapi tentu saham BULL ini nanti akan dijual lagi ke pihak lain, entah itu
melalui proses lelang atau lainnya. GCI dimiliki Janner Tandra, yang merupakan
pemilik dari PT Nusa Bhakti Jayaraya,
sebuah perusahaan kapal yang diakuisisi BULL pada tahun 2014 (jadi BULL
membayar akuisisi tersebut dalam bentuk saham). Dan BIPI, meski judulnya adalah
perusahaan minyak, namun alih-alih ngebor, BIPI ini dari dulu kerjaannya cuma
jual beli aset, dan mungkin mereka melihat peluang di saham BULL ini (mumpung
murah), sehingga mereka masuk.
Jadi posisi BULL
sekarang ini adalah ‘tidak dimiliki oleh siapa-siapa’, kecuali sekelompok
investor yang, kalau ada kesempatan, akan menjual lagi sahamnya ke investor
lain, kalau bisa pada harga yang lebih tinggi. Dan ini menjelaskan kenapa BULL
secara operasional sampai sekarang masih gitu-gitu aja dan gak ada
pengembangan usaha apapun, karena para ownernya tidak berniat untuk
memegang BULL untuk seterusnya. Sebab kalau kita perhatikan lagi beberapa aksi
korporasi BULL sejak perusahaan tidak lagi berada dalam kendali BLTA tahun 2014
lalu, maka perusahaan telah melakukan setidaknya tiga aksi korporasi penting
yang saling terkait. Yang pertama, pada Februari 2015, BULL melakukan reverse stock dengan rasio 8 : 1. Nah,
dalam kondisi ketika itu dimana industri harga minyak dan industri kapal sedang
terpuruk, sementara BULL sendiri baru saja membukukan kerugian besar dua tahun
berturut-turut di tahun 2013 dan 2014, maka aksi reverse stock itu tentu saja
membuat saham BULL, yang sebelumnya mati di gocap namun naik lagi jadi 400 (karena rasio reverse stock-nya 8 :
1), jatuh sekali lagi hingga hampir saja
balik lagi ke gocap (tepatnya 55) pada September 2015.
Yang harus diingat disini, posisi BULL di harga 55 pada September 2015 tersebut, adalah hampir delapan kali lebih murah (dari sisi PBV) dibanding posisi gocap sebelum reverse stock-nya. Pada titik inilah, para pemegang saham BULL diatas kemungkinan kembali menambah kepemilikannya dengan cara membeli saham BULL di market.
Yang harus diingat disini, posisi BULL di harga 55 pada September 2015 tersebut, adalah hampir delapan kali lebih murah (dari sisi PBV) dibanding posisi gocap sebelum reverse stock-nya. Pada titik inilah, para pemegang saham BULL diatas kemungkinan kembali menambah kepemilikannya dengan cara membeli saham BULL di market.
Kedua, pada Maret 2015,
atau hanya sebulan setelah reverse stocknya, BULL melakukan aksi tukar guling
saham dengan sebuah perusahaan kapal, PT
Nusa Bhakti Jayaraya, dimana BULL menjadi pemegang saham pengendali di PT
Nusa, sementara pemilik PT Nusa, yakni Janner Tandra, menjadi salah satu
pemegang saham di BULL. Berbeda dengan pemegang saham lainnya, Mr. Janner
mungkin memang merupakan ‘orang kapal’, sehingga keberadaannya di susunan
pemegang saham BULL akan menjaga perusahaan untuk tetap fokus mengoperasikan
kapal seperti biasanya. Dan mungkin karena keberadaan Mr. Janner pula, BULL
pada tahun 2015 berhasil membukukan laba bersih US$ 10 juta, setelah dua tahun
sebelumnya rugi melulu.
Dan ketiga, pada awal
tahun 2017 ini BULL menyelenggarakan right issue dengan harga pelaksanaan Rp100 per
saham dengan pembeli siaganya PT Danatama Makmur, sehingga BULL memperoleh
tambahan modal Rp243 milyar. Yang menarik adalah, tambahan modal sebesar Rp243
milyar itu relatif kecil/tidak seberapa dibanding ekuitas BULL sebelum right
issue yakni US$ 115 juta, atau setara Rp1.5 trilyun, namun jumlah saham BULL
pasca right issue meningkat dua kali lipat
menjadi 4.9 milyar lembar. Itu artinya orang yang membeli saham baru BULL di
harga Rp100 otomatis memperoleh keuntungan, karena book value BULL pasca
right issue adalah: (Rp1.5 + 0.2 trilyun) / (4.9 milyar lembar saham) = Rp357 per saham. Yup, jadi anda cuma
bayar Rp100 untuk memperoleh aset senilai Rp357, it’s a good deal, right?
Kemudian, karena
sekarang jumlah saham BULL menjadi 4.9 milyar lembar, maka praktis sahamnya
akan menjadi lebih likuid, dan itu akan menarik perhatian para trader.
Disinilah keberadaan PT Danatama Makmur
menjadi penting: Perusahaan investment banking ini sejak dulu sudah
dikenal sebagai spesialis pedagang ‘saham dari perusahaan yang biasa-biasa
saja, atau bahkan bermasalah, tapi bisa dijual pada harga tinggi’. Danatama
sebelumnya pernah sukses meraup dana besar dari IPO Berau
Coal Energy (BRAU), BIPI,
dan juga BULL itu sendiri. Danatama juga pernah sukses menggelar right issue
bagi BLTA di tahun 2010, Bakrie Sumatera Plantations (UNSP) di tahun 2009, dan
juga beberapa perusahaan Bakrie lainnya. Biasanya sih, kalau sebuah perusahaan
baru selesai menggelar IPO atau right issue dengan Danatama sebagai lead
underwriter-nya, maka sahamnya di market bakal bergerak liar. Anda bisa cek
sendiri saham-saham dari perusahaan yang disebut barusan: Hampir semuanya
gorengan. Nah, saham BULL juga kemungkinan bakal sama begitu, apalagi dirut
BULL itu sendiri, yakni Vicky Ganda Saputra, adalah juga merupakan direktur
eksekutif di Danatama.
Karena right issue BULL
diselenggarakan pada awal tahun 2017 ini, sementara suspensi saham BULL itu
sendiri baru dicabut sesaat sebelumnya (akhir Desember 2016), maka kecil
kemungkinan ada pemegang saham publik BULL yang mengeksekusi jatah right-nya
(mereka mungkin bahkan belum menyadari kalo suspensi BULL sudah dicabut). Sehingga saham
baru hasil right issue tersebut, diluar jatah milik PT Delta Royal dkk, hanya
akan diambil oleh pembeli siaganya saja, yakni Danatama.
Kinerja Fundamental
BULL
Lho pak Teguh, kalau
gitu BULL ini gak bagus dan justru cenderung berisiko dong? Karena sahamnya
kemungkinan bakal dibandarin? Ya memang. Dan itu pula kenapa transaksi BULL
beberapa bulan terakhir ini rame banget dengan fluktuasi yang cukup ekstrim,
mirip-mirip saham Bakrie lah. Tapi kan balik lagi ke cara berpikir ala value investor: Ini saham kalo di harga segini
(terakhir 127), itu masih murah! Murah banget malah. I mean, kalau BULL sudah
dikerek duluan seperti ketika Trada Maritime
(TRAM) kemarin terbang dari gocap hingga sempat tembus 400, maka ya sudah,
penulis juga nggak akan mengejarnya. Tapi BULL ini kan masih belum kemana-mana
toh? Dan memang valuasinya juga masih terdiskon. Plus, normalnya sahamnya juga
akan dijaga agar tidak sampai turun dibawah harga right issue-nya (Rp100),
karena kalau sampai itu terjadi maka Danatama bakal diprotes oleh para pemegang
saham lainnya di BULL, yang sudah keluar modal lagi buat nebus saham anyar BULL
di harga Rp100.
Sementara diluar cerita
tetek bengek sahamnya diatas, secara fundamental BULL ini tidak hanya sukses
kembali membukukan laba bersih dalam dua tahun terakhir (2015 dan 2016, meski
profitnya masih relatif kecil), tapi jumlah utang perusahaan juga terus berkurang.
Dari right issue-nya di awal tahun 2017 ini, sekitar 30% dananya juga akan
dipakai membayar sejumlah utang milik PT Nusa Bhakti sebagai anak usaha
perusahaan (mungkin juga sebagai imbalan bagi Mr. Janner yang sudah repot-repot
memegang operasional BULL), yang otomatis mengurangi utang BULL secara
keseluruhan. Turunnya jumlah utang praktis mengurangi beban keuangan BULL,
sehingga perusahaan berpeluang untuk terus membukukan profit di masa depan, dan
pendapatan BULL sendiri mulai naik lagi sejak tahun 2015 lalu. Kemudian kalau
kita bicara soal sentimen, maka harga minyak, yang ditahun-tahun lalu sempat
bergejolak dan bahkan anjlok
sampai dibawah US$ 30 per barel, namun sudah
setahunan ini mulai stabil lagi, dan itu tentu bagus bagi
perusahaan-perusahaan kapal spesialis pengangkut minyak seperti BULL ini, sehingg bukan tidak mungkin pada tahun 2017 ini BULL akan benar-benar menghasilkan
kinerja keuangan yang bagus. Kemungkinan, meski BULL sudah melakukan
reverse stock-nya pada tahun 2015 lalu (ketika BULL melakukan reverse stock,
tujuannya juga adalah agar perusahaan bisa melakukan right issue di masa yang
akan datang), namun BULL baru menyelenggarakan right issue-nya pada awal tahun
2017 ini, karena memang baru pada saat inilah Deutsche Bank dkk melihat adanya
sentimen positif dari stabilnya harga minyak terhadap saham BULL, sehingga
mereka juga gak keberatan untuk merogoh kocek sedikit lagi untuk nambah posisi
di BULL, kali ini di harga Rp100 per saham.
Okay, sekarang kita
coba jawab beberapa pertanyaan diatas: Bagaimana dengan fundamental serta
prospek dari BULL ini? Well, berdasarkan laporan keuangan terakhirnya, kinerja
BULL masih belum bisa dikatakan bagus karena hanya membukukan laba US$ 6 juta,
itupun berasal dari surplus revaluasi, namun overall perusahaan sudah
membukukan beberapa catatan positif, antara lain utangnya sudah jauh berkurang
dibanding tahun 2011 – 2012 lalu, dan pendapatannya mulai naik lagi sejak 2015.
Untuk tahun 2017 ini, seiring dengan stabilnya harga minyak, perusahaan
berpeluang untuk kembali membukukan profit.
Lalu apa yang
menyebabkan sahamnya jatuh dan mati di level kisaran gocapan, beberapa tahun
lalu? Apa masalahnya? Pertama, karena reverse stock, kedua, karena
perusahaan merugi dua tahun berturut-turut (2013 dan 2014), dan ketiga, karena
industri kapal ketika itu memang mati suri. Waktu rame cerita ‘tol laut’
di tahun 2014 pun, nyatanya tetep aja laba dari perusahaan kapal masih
segitu-gitu aja, dan alhasil saham-saham kapal yang sempat terbang di tahun
tersebut dengan cepat anjlok lagi. Terus bagaimana update terbaru bagi BULL? Ketika kemarin suspensi sahamnya dicabut, maka apakah itu
karena masalahnya sudah beres semua atau gimana? Nah, kalau dibilang kinerja
BULL sudah pulih, sebenarnya nggak juga, tapi minimal kondisinya sekarang sudah
jauh berbeda dibanding lima tahun lalu, dan BULL juga sudah nggak punya urusan
apa-apa lagi dengan BLTA (yang sepertinya sampai sekarang masih bermasalah
dengan utang-utangnya). Ketika suspensi-nya dicabut, maka itu terkait aksi
right issue yang dilakukan perusahaan, dan seperti yang sudah disebutkan
diatas, manajemen BULL menggelar right issue karena mungkin mereka melihat bahwa sekarang
ini timing-nya sudah tepat.
Dan terakhir, bagaimana
valuasi sahamnya pasca right issue? Here we go: Seperti yang sudah disebut
diatas, pasca right issue-nya maka book value BULL akan menjadi kurang
lebih Rp357 per saham. Karena harga
market BULL sekarang masih 127, artinya PBV-nya
0.4 kali. Well, masih murah!
Kesimpulannya, meski
penulis gak tahu BULL ini bakal naik sampai berapa, atau mungkin malah
disitu-situ aja, tapi asalkan tidak terjadi force majeure, then no way
dia bakal balik lagi ke gocapan. Kalau anda perhatikan, meski kemarin-kemarin
BULL ini sempet turun, tapi penurunannya selalu mentok di level yang sedikit
diatas Rp100 bukan? And make no mistake: Gak usahlah dia naik kaya TRAM
kemarin, tapi asalkan dia naik sampai 200
saja, maka profitnya sudah lebih dari 50%, not bad right??? Sementara skenario
terbaiknya, jika nanti laporan keuangan BULL pada tahun penuh 2016, atau
Kuartal I 2017 sukses menunjukkan kinerja yang lebih baik, misalnya labanya
naik, maka sahamnya juga bisa terbang
hingga ke posisi berapa saja, bahkan meski bandarnya gak ngapa-ngapain, jadi kenaikannya murni karena mekanisme pasar. So this is what I call ‘fair bet’, dimana meski keputusan
untuk masuk ke BULL ini beraroma spekulasi karena faktor bandarnya tadi, tapi
peluang profitnya tetap jauh lebih besar dibanding risikonya.
And as value investors,
a big value opportunity, a hidden pearl like this, that’s all we need!
Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere sedang
dalam posisi memegang BULL di harga Rp109. Posisi ini bisa berubah setiap saat
tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG & Stockpick Saham Pilihan edisi April 2017 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar