Prospek Batubara dibanding CPO, Minyak, Nikel dll
Beberapa waktu lalu seorang temen komplain, ‘Pak Teguh tanya dong, itu saham Elnusa (ELSA) kenapa
turun terus yak? Padahal saya denger katanya harga minyak naik, tapi kenapa kok
ELSA malah turun???’ Nah kalau dapet pertanyaan seperti itu maka biasanya penulis
jawabnya normatif saja, ‘Soal kenapa sahamnya turun, saya gak tau pak, tapi
sejak awal fundamental ELSA gak begitu bagus. Kenaikan harga minyak juga
mungkin gak begitu ngaruh, karena waktu harga minyak sedang tinggi-tingginya di
tahun 2011 sekalipun, ELSA waktu itu malah merugi.’
Nah, selama ini memang
ada satu rumus sederhana terkait saham-saham komoditas:
Kalau harga suatu komoditas naik, maka saham dari perusahaan komoditas yang
bersangkutan biasanya akan naik juga. Contoh paling gampang ya saham-saham
batubara, yang sudah naik banyak sejak tahun 2016 lalu setelah harga batubara
itu sendiri naik dari US$ 50-an hingga sekarang sudah sekitar US$ 87 – 90 per
ton.
Tapi kalau kita
perhatikan lagi, maka rumus diatas’ternyata tidak berlaku untuk semua jenis komoditas. Contohnya ya ELSA tadi, dimana
meski harga minyak sudah naik dari US$ 27 di awal tahun 2016 lalu hingga
sekarang sudah tembus US$ 53 per barel, namun sahamnya cenderung gak
kemana-mana, tapi itupun masih lebih baik dibanding saham Ratu Prabu Energi
(ARTI), yang malah jeblok dari 200-an hingga mati di gocap. Lalu ketika harga minyak
sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga naik dari RM2,000
hingga kemarin sempat tembus RM3,000 per ton, namun saham dari salah satu perusahaan
perkebunan kelapa sawit terbesar di BEI, Astra Agro Lestari (AALI), malah disitu-situ saja (14,000 – 15,000) dalam
setahun terakhir.
Lalu apa yang
membedakan saham batubara dengan saham komoditas lainnya? Well, sebenarnya
jawabannya cukup simpel: Ketika pada dekade 2000-an lalu terjadi booming
komoditas dimana harga-harga minyak, batubara, CPO dll naik semua, maka yang paling
menikmatinya (baca: laporan keuangannya mencatat laba bersih paling besar) adalah
perusahaan-perusahaan batubara, kemudian disusul perusahaan sawit, dan terakhir
mungkin baru perusahaan minyak, tapi itupun hanya perusahaan
minyak asing yang beroperasi disini seperti Chevron, Exxon, dst, sementara perusahaan
minyak lokal boleh dibilang gak dapet apa-apa. Diluar tiga komoditas diatas, Indonesia
juga masih punya beberapa komoditas lainnya seperti emas, perak, tembaga, timah,
lead (timah hitam), bijih besi, nikel, dan bauksit. Namun lagi-lagi,
kinerja dari perusahaan-perusahaan tambang emas dkk juga cenderung
angin-anginan, kadang untung tapi lebih sering rugi, tak peduli meski harga
emas dulu pernah sampai US$ 2,000 per oz sekalipun.
Jadi ketika harga
batubara mulai naik lagi setahunan ini, maka pelaku pasar sudah cukup hafal
bahwa hal itu akan berdampak positif pada kinerja keuangan dari
perusahaan-perusahaan batubara, dan itulah yang kemudian bikin sahamnya pada naik.
Tapi ketika harga minyak naik, maka belum tentu perusahaan-perusahaan
minyak akan menghasilkan profit yang besar.
Dan itu karena, jika
dibanding bisnis komoditas lainnya, maka bisnis batubara adalah yang paling
mudah untuk dikerjakan. You see, kalau anda sudah pegang KP (kuasa
pertambangan) untuk satu lahan tambang tertentu di Kalimantan atau Sumatera, maka
selanjutnya tinggal buka lahannya, gali tanahnya, ambil batubara yang ada
dibawah lapisan tanah tersebut, angkut batubaranya ke pelabuhan, lalu jual.
Kadang-kadang untuk satu lahan tertentu, anda bahkan tidak perlu lagi menggali
tanahnya (atau galinya hanya 10 – 20 meter kebawah saja), karena batubaranya
sudah langsung keliatan dari permukaan tanah. Begitu mudahnya bisnis batubara
ini, sampai-sampai seorang teman pernah mengatakan bahwa bisnis batubara ini adalah
seperti mengambil duit gratis dari dalam tanah. Memang, ketika harga batubara
sedang turun seperti beberapa waktu lalu, maka kita gak bisa menyebut batubara sebagai ‘duit’ lagi, karena bisa jadi ongkos menggalinya lebih mahal
dibanding harga jual batubara itu sendiri. Tapi ketika harga batubara sekarang
sudah naik lagi, maka artinya kita bisa langsung panen lagi!
(klik gambar untuk memperbesar) Foto Tambang Batubara Bengalon milik Kaltim Prima Coal, anak usaha dari Bumi Resources. Anda lihat permukaan tanah yang berwarna hitam?? Itu batubara semuanya! |
Tapi itu batubara..
Kalau sawit bagaimana? Nah, kalau anda menanam pohon sawit, maka pohon itu
baru bisa menghasilkan CPO sekitar tiga tahun kemudian. Masalahnya,
bagaimana kalau harga CPO sedang turun justru ketika pohonnya sudah siap
dipanen? I mean, kalau kita punya tambang batubara dan harga batubara sedang turun, maka ya sudah kita stop
dulu saja pekerjaan tambangnya sampai nanti harganya naik lagi, atau minimal volume produksinya dikurangi, toh batubaranya
juga bakal tetap ada di dalam tanah dan gak akan kemana-mana. Tapi ketika
pohon sawit sudah siap panen, maka anda tetap harus panen saat itu juga, tak
peduli meski harga CPO sedang turun. Sementara ketika nanti harga CPO sudah
naik lagi, maka perusahaan sawit mungkin tetap tidak meraup keuntungan
karena kebun sawit yang mereka miliki masih belum siap untuk panen lagi.
Demikian pula dengan
minyak dan gas. Berbeda dengan batubara, minyak hanya bisa diperoleh dengan
cara mengebor jauuuhh kedalam perut bumi, sekitar 4,000 – 6,000 meter atau lebih dalam lagi,
sehingga biayanya sangat mahal. Kalau lokasi tambangnya di lepas pantai, maka
biayanya lebih mahal lagi. Sejak dulu bisnis minyak sudah dikenal sebagai ‘bisnis
untung-untungan’, karena sebuah perusahaan bisa saja menghabiskan puluhan jutaan
Dollar untuk kegiatan eksplorasi di satu lokasi yang diperkirakan mengandung
cadangan minyak, tapi setelah mengebor sana sini selama beberapa tahun ternyata
tetap tidak ditemukan apa-apa. Tapi jika beruntung, maka bisa saja ditemukan
cadangan minyak yang amat sangat besar, dan itulah yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
minyak yang beroperasi di Timur Tengah (dua ladang minyak terbesar di dunia,
yakni Ghawar dan Safaniya Oil Field, keduanya berlokasi di Arab Saudi). Tapi
sayangnya hal yang sama tidak terjadi di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan
perusahaan-perusahaan yang memproduksi logam mulia emas? Ya sama saja
dengan minyak: Biaya eksplorasi dan produksi untuk menghasilkan emas terbilang
sangat mahal, belum termasuk kegiatan refinery-nya (pemurnian). Sebab berbeda
dengan batubara yang hanya perlu sedikit dibersihkan, diremukkan (crushing),
dan dikeringkan setelah digali, anda tidak akan menemukan emas yang sudah
berbentuk batangan dari dalam tanah, melainkan emas itu masih bercampur dengan tanah,
batuan, dan mineral-mineral lainnya, dan tanah itu sendiri harus digali sangat
dalam hingga akhirnya ketemu emasnya. Alhasil ketika sebuah perusahaan menemukan
satu lokasi tambang emas, maka prosesnya mulai dari eksplorasi hingga akhirnya dihasilkan logam emas murni seperti yang kita lihat di toko-toko perhiasan, itu
membutuhkan waktu yang sangat panjang, minimal beberapa tahun.
Untuk tambang mineral lainnya
seperti tembaga, timah, dan nikel, juga sama begitu. Malahan sekarang ini kalau
ada perusahaan yang memproduksi bijih nikel, maka berdasarkan peraturan
pemerintah, bijih nikel itu harus diolah dulu di smelter hingga menjadi produk
hilir, katakanlah nickel pig iron atau ferronickel, kemudian baru
bisa diekspor. Dan itu artinya perusahaan yang bersangkutan harus mengeluarkan
investasi besar untuk membangun smelter, sebelum kemudian baru bisa membukukan
pendapatan. Namun hal yang sama tidak berlaku untuk perusahaan batubara, dimana
meski mereka bisa saja membangun pembangkit listriknya sendiri (jadi yang
mereka jual adalah listrik, bukan batubara lagi), tapi kalau mau langsung
mengekspor batubara yang dihasilkan maka itu juga boleh-boleh saja, paling cuma
harus bayar royalti doang.
Karena itulah, kalau
anda baca-baca lagi artikel-artikel di teguhhidayat.com dalam setahun terakhir,
maka penulis hanya membahas sektor batubara saja, karena saya sendiri hanya berminat dengan sektor ini dan tidak/belum tertarik untuk masuk ke sektor komoditas yang lain. Termasuk ketika
harga-harga komoditas mencapai titik terendahnya pada pertengahan 2015 lalu, maka
yang penulis lirik ketika itu juga hanya saham batubara saja, bukan saham komoditas
yang lain (anda bisa baca lagi artikelnya
disini).
And indeed, hanya satu setengah tahun kemudian, ketika saham-saham komoditas mulai menggeliat lagi, namun saham batubara-lah yang naiknya paling tinggi. Tapi berhubung kenaikan mereka juga belum sampai setinggi tahun 2011 lalu, maka mungkin itu berarti peluangnya masih terbuka, apalagi valuasi saham-saham batubara sejauh ini juga masih belum bisa dikatakan mahal. Well, mari kita lihat nanti kedepannya bagaimana.
And indeed, hanya satu setengah tahun kemudian, ketika saham-saham komoditas mulai menggeliat lagi, namun saham batubara-lah yang naiknya paling tinggi. Tapi berhubung kenaikan mereka juga belum sampai setinggi tahun 2011 lalu, maka mungkin itu berarti peluangnya masih terbuka, apalagi valuasi saham-saham batubara sejauh ini juga masih belum bisa dikatakan mahal. Well, mari kita lihat nanti kedepannya bagaimana.
Buletin
Analisis IHSG & Stockpick saham pilihan edisi Maret 2017 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya
disini, gratis tanya jawab saham langsung dengan penulis untuk member.
Tertarik untuk belajar saham sambil sekaligus beramal? Baca keterangannya
disini.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar