‘News Framing’, dan Pengaruhnya Terhadap Harga Saham

Dalam bidang jurnalistik, yang dimaksud dengan ‘news framing’ atau secara harfiah bermakna ‘pembingkaian berita’, adalah cara media dalam menyampaikan/membingkai sebuah berita, informasi, atau fakta peristiwa tertentu agar menimbulkan persepsi atau kesan tertentu dari masyarakat yang membaca berita tersebut. Dengan kata lain, framing adalah metode penggiringan opini, dimana satu berita yang sama bisa menimbulkan persepsi berbeda dari para pembacanya, tergantung cara media/wartawan dalam menyampaikan berita tersebut.

Contoh sederhana dari framing adalah seperti cerita berikut, yang mungkin juga sudah pernah anda baca. Jadi ceritanya ada seorang wartawan yang mewawancarai seorang menteri:

Wartawan (W): Pak, lebih suka ayam goreng apa gulai kambing?
Menteri (M): Ayam goreng
W: Pakai tepung atau tidak?
M: Pakai tepung
W: Model ayam KFC gitu ya pak?
M: Ya kurang lebih begitulah.

Besoknya di koran muncul headline: ‘Menteri M lebih suka ayam goreng KFC model Amerika dan tidak suka gulai kambing tradisional Indonesia’.

Di sebuah media online, muncul berita dengan judul: ‘Terlalu! Gaya hidup Menteri M kebarat-baratan’.

Di media online lainnya, ‘Astaghfirullah! Menteri M benci daging kambing makanan kesukaan Rasulullah SAW’.

Seseorang menulis di status Facebook-nya, ‘Antek Asing! Menteri M lebih mendukung KFC ketimbang pedagang kecil’.

Tak lama kemudian muncul kelompok A yang berunjuk rasa di Jakarta dengan tema ‘Menolak Penyesatan Ahlak oleh Menteri M’, Kemudian muncul lagi kelompok B yang berunjuk rasa dengan tema ‘Tolak Antek Kapitalis! Dukung Usaha Kecil’.

News Framing di Dunia Pasar Saham

Setelah membaca contoh cerita diatas, anda mungkin bisa langsung menyimpulkan bahwa news framing biasanya terjadi pada pemberitaan politik, biasanya terkait pernyataan pejabat tertentu yang kemudian dipelintir sana-sini hingga timbul kesan bahwa si pejabat ngomong apa, padahal maksudnya bukan begitu. Actually, kalau anda amati, dewasa ini pemberitaan apapun yang terkait dunia politik tidak pernah lepas dari teknik framing ini, dan alhasil opini yang berkembang di masyarakat terkait isu politik tertentu selalu tergantung dari bagaimana cara media dalam mengemas suatu berita.

Tapi tahukah anda, bahwa belakangan ini pemberitaaan di dunia investasi saham juga mulai terkontaminasi virus framing ini?

Mari kita lihat contoh terbaru. Baru saja dua hari lalu, Menteri Koordinator Luhut Pandjaitan bersama beberapa menteri lainnya mengatakan kepada wartawan bahwa, agar proyek pembangunan light rail transit (LRT) bisa selesai tepat waktu, maka mekanisme pendanaan dari proyek tersebut akan dibuat lebih fleksibel, dimana jika sebelumnya proyek itu akan sepenuhnya menggunakan dana dari APBN, maka sekarang Pemerintah membuka opsi-opsi lain seperti public service obligation, penjaminan, kerja sama dengan pihak swasta maupun BUMN, dan seterusnya.

Tapi entah bagaimana, cerita yang muncul adalah ‘Proyek LRT yang dikerjakan oleh kontraktor Adhi Karya (ADHI), terancam mangkrak karena tidak lagi dibiayai APBN’.

Padahal kalau kita cermati pernyataan dari Pak Luhut, misalnya seperti yang bisa anda baca disini:


Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa proyek LRT tidak lagi dibiayai oleh APBN. Bahkan menyatakan bahwa APBN tidak sanggup menanggung seluruh biaya proyek pun tidak! (yang menulis kalimat itu cuma wartawannya aja). Yang Pak Luhut tekankan adalah, karena Pemerintah berkeinginan agar proyek LRT itu bisa selesai tepat waktu, maka kita jangan lagi terlalu kaku dengan hanya mengandalkan APBN semata, melainkan bisa mempertimbangkan banyak opsi lain termasuk menunjuk ADHI untuk juga sekaligus sebagai investor (jadi tidak hanya sebagai kontraktor, melainkan pemilik LRT tersebut), tentunya jika perusahaan sanggup menyediakan dananya (jadi kalau gak sanggup ya gpp, LRT-nya tetap jadi milik Pemerintah). Perhatikan bahwa Pak Luhut hanya mengatakan bahwa ‘ADHI bisa juga menjadi investor pemilik proyek, jadi tidak sekedar menjadi kontraktor', dan bukannya mengatakan ‘Kami telah menunjuk ADHI sebagai pemilik proyek, jadi mulai sekarang masalah pembiayaan LRT adalah sepenuhnya tanggung jawab perusahaan’. Perhatikan pula bahwa beliau sama sekali tidak mengatakan kata-kata seperti ‘LRT harus disetop’, ‘duitnya tidak cukup’, ‘proyeknya bakal mangkrak’, atau semacamnya. Malahan beliau menekankan bahwa ‘Kita tetap ingin proyek LRT selesai pada first quarter 2019, sepertinya tercapai’.

Tapi apapun itu, berita yang sudah tersebar luas adalah bahwa proyek LRT yang dikerjakan oleh ADHI terancam mangkrak. Dan hasilnya seperti yang bisa anda tebak: Dua hari ini saham ADHI nyungsep hingga tembus dibawah level psikologis Rp2,000 per saham, and of course, everybody went panic.

Tapi cerita ADHI ini bukanlah yang pertama. Beberapa bulan lalu, ketika saham Jasa Marga (JSMR) anjlok hingga tembus dibawah 4,000, muncul berita bahwa karena perusahaan dalam waktu dekat akan mengoperasikan banyak ruas tol baru, maka JSMR mungkin akan merugi karena ruas tol tersebut akan memakan banyak biaya operasional, sementara pendapatannya belum tentu meningkat (ini analisis yang totally ngawur, tapi tetep aja banyak orang yang percaya). Kemudian Desember 2016 lalu pernah juga ada berita bahwa terkait tax amnesty, maka bank-bank di tanah air akan kebanjiran dana repatriasi milik orang Indonesia dari luar negeri, dimana jika pihak bank tidak bisa menyalurkannya kembali maka akan menimbulkan kerugian (dan alhasil saham BBRI dkk ketika itu langsung turun). Pernah juga rame berita bahwa ‘Pemerintah akan menaikkan harga rokok jadi Rp100,000 per bungkus’, padahal itu cuma wacana sebuah LSM! Tapi efeknya lumayan dahsyat untuk menjatuhkan saham Gudang Garam (GGRM) dkk. Dan yang paling mudah diingat adalah ketika beberapa waktu lalu muncul boikot terhadap roti merk ‘Sari Roti’ milik Nippon Indosari Corpindo (ROTI), dimana entah dari mana asalnya muncul berita yang bercerita tentang pedagang Sari Roti yang menangis (‘menangis’, bukan ‘mengeluh’, biar dramatis aja gituuu) karena dagangannya gak laku-laku, sehingga timbul kesan bahwa ROTI bangkrut.

Merk roti favorit penulis, paling enak makannya sambil minum Equil (bukan minuman keras loh yaaa)

Padahal ketika penulis sorenya mampir ke warung depan rumah untuk beli cemilan, saya bertanya sama kasir, hari ini ada yang beli Sari Roti nggak? Dan dia jawab, ada kok pak, sama aja kaya hari-hari biasa.

Namun tidak semua news framing ini bikin saham jeblok, tapi juga sebaliknya bisa bikin saham gak jelas terbang. Ketika Bank Pundi, yang sekarang berubah nama menjadi Bank Banten (BEKS) menggelar right issue, maka muncul berita dimana-mana yang mengatakan bahwa kinerja BEKS akan jadi bagus seperti BJBR bla bla bla, dan alhasil sahamnya terbang. Lalu ketika kemarin Donald Trump memenangkan Pilpres Amerika Serikat versi real count, tiba-tiba saja ada media yang ‘mengingatkan’ masyarakat bahwa Trump pernah bekerja sama membangun sebuah resort dengan perusahaan properti milik Hary Tanoe, dan alhasil saham MNC Investama (BHIT), yang merupakan perusahaan investasi milik Mr. Hary, langsung terbang.

Tapi entah itu sahamnya terbang ataupun jeblok, namun seperti yang bisa anda perhatikan: Tak lama setelah beritanya dilupakan orang, maka saham tersebut akan kembali lagi ke posisi harganya semula. Jadi saham yang sebelumnya jeblok akan naik lagi, dan saham yang sebelumnya terbang akan turun lagi. Yup, jadi bahkan dalam contoh kasus ‘news framing’ yang efeknya berkepanjangan sekalipun, contohnya seperti ketika awal tahun 2016 lalu rame isu soal pembatasan NIM perbankan yang menyebabkan saham-saham bank jeblok, namun tetap saja, pada akhirnya saham yang menjadi ‘korban’ akan naik kembali.

Jadi dalam hal inilah, ketika kita menemukan saham bagus yang sedang ‘diserang’ oleh pemberitaan negatif tertentu, atau kebetulan saham yang diserang tersebut sudah kita pegang (sehingga posisinya jadi nyangkut), maka apakah situasi ini bisa menimbulkan profit atau malah kerugian, itu sepenuhnya tergantung dari cara kita dalam menyikapi ‘serangan’ tersebut: Jika anda meniru kebiasaan para ‘komentator politik’ di Facebook yang selalu membaca judul beritanya saja tanpa sekalipun membaca isi dari berita itu sendiri (padahal bisa jadi itu cuma hoax), maka ya sudah: Anda bakal langsung panik ketika saham anda under attack, lalu cut loss, lalu beberapa saat kemudian menyesal karena ternyata saham itu naik lagi.

Namun jika kita sejak awal hanya membeli saham-saham berfundamental bagus, dan meluangkan waktu untuk membaca pemberitaan yang beredar secara menyeluruh hingga memahami esensi dari berita tersebut (dimana seringkali esensi beritanya tidaklah seburuk judul headline-nya), maka penurunan saham artinya opportunity, dimana kita bisa average down, atau ya hold aja kalau memang sudah gak punya cash lagi, karena toh kita tahu bahwa nanti juga itu saham bakal naik lagi. Sebenarnya kalau anda sudah cukup pengalaman di market, maka anda akan mengerti bahwa faktor news framing terhadap pemberitaan ini merupakan salah satu risiko yang bisa menyerang saham manapun yang anda pegang, tak peduli sebagus apapun fundamental saham tersebut. Namun asalkan anda bisa menelaah kembali pemberitaan tersebut dengan seksama dan bukannya hanya mendengar ‘katanya katanya katanya’, dan kemudian menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada peristiwa tertentu yang secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja operasional perusahaan, maka ya sudah: Anda bisa kembali duduk santai dirumah dan ngopi-ngopi lagi, coz there is nothing to worry about!

Okay, I think that’s enough. Minggu depan kita akan membahas satu saham tambang, yang mungkin akan melaporkan kinerja keuangan yang bagus di Kuartal IV 2016.

Info Investor: Buku Kumpulan Analisis Saham-saham Pilihan edisi Kuartal IV 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini: Instagram

Komentar

Marta mengatakan…
Kesimpulannya tetap sama,
Buy the rumors, Sell the news!
Masprend mengatakan…
Jempol buat pak teguh
Unknown mengatakan…
Saya sangat setuju dengan artikel ini
sudah lama saya mengendus news framing di berita2 saham yg di support oleh bandar2 untuk take profit dari kebingungan para newbie
akhir nya saya berkesimpulan , bad news is good oppourtunity

Bravo Mas Teguh
Unknown mengatakan…
Absolutely agree
Unknown mengatakan…
Lk q3 memang nggak bagus sih
Kurniawan mengatakan…
buy ADHi donggg....
sy kmrin kena BWPT koreksi ditengah TA yg cakep, krna ckp dalam sy putuskan CL trnyata baru tahu ada bad news yg sbtlnya jg krg gt sh pahamin.. eee abis CL taunya hari ni malah terbang
Raihan mengatakan…
Saham tambang yg dimaksud apakah BUMI? Jeng jeng jeng~~~
Unknown mengatakan…
Mantap Pak teguh.. saya tunggu kunjungannya di lippo cikarang
Unknown mengatakan…
Menurut saya, artikel ini pun jg news framing untuk mendukung salah satu paslon (terlihat indikasinya dari tulisan2 anda yg lalu) dengan bumbu2 pakai ilustrasi mentri, pendemo, dsb..
sebaiknya selain "news framing", anda perlu jg dalami ttg "butterfly effect" (yg sebetulnya sdh pernah anda tulis mungkin), yg bisa jadi terjadi memang mentri dalam ilutrasi anda tidak sadar berucap kotor, sehingga terjadi butterfly effect berupa perang sodara dibelahan dunia yg lain...

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?