Investor Lokal + Investor Asing = IHSG??
Kalau anda membuka
website IDX hari ini, maka akan muncul berita bahwa per akhir tahun 2016
kemarin, kepemilikan investor domestik terhadap saham-saham di BEI tercatat
45.5%, berbanding asing sebesar 54.5%. Meski dari data ini bisa dilihat bahwa
ternyata Bursa Saham Indonesia masih didominasi investor asing, namun
kepemilikan investor domestik yang 45.5% tadi merupakan yang tertinggi dalam
sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, antara tahun 2007 hingga 2015, kepemilikan
domestik atas saham-saham di BEI hanya berkisar antara 33 – 41%, dimana kalau
kita lihat beberapa perusahaan terbesar di Bursa yang majority shareholder-nya
merupakan investor asing, katakanlah seperti HM Sampoerna yang dimiliki Philip
Morris (Amerika), Astra International yang dipegang Jardine Matheson (Hong
Kong), atau Unilever Indonesia yang dikuasai Unilever BV (Inggris – Belanda),
maka sepertinya memang cukup jelas bahwa kita masih belum menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
However, sejak tahun
2016 kemarin keberadaan investor domestik sedikit demi sedikit mulai menggeser
dominasi asing di bursa, dimana jika trend ini berlanjut maka bukan tidak
mungkin pada tahun 2017 ini kepemilikan investor domestik di BEI akan sudah
lebih besar dibanding asing. Nah, terkait hal ini ada beberapa poin yang
penulis perhatikan, tapi sebelum itu ada dua hal yang perlu anda ketahui
terkait ‘Asing vs Lokal’ ini:
Pertama, hingga saat
ini Indonesia masih belum sepenuhnya dikategorikan sebagai ‘negara layak
investasi’ atau investment grade. Hingga awal tahun 2017 ini, dari tiga
lembaga pemeringkat terbesar di dunia yakni Fitch Ratings, Moody’s, dan
S&P, hanya Fitch dan Moody’s yang sudah memberikan cap investment grade
bagi Indonesia, itupun baru diberikan pada tahun 2011 dan 2012 lalu. Di kawasan
Asia Tenggara saja, dalam hal status investment grade ini, Indonesia masih
dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan bahkan Filipina.
Kondisi diatas
menyebabkan Indonesia masih belum menjadi destinasi utama bagi para fund
manager global untuk menempatkan investasi mereka, dimana berinvestasi
disini dianggap sangat berisiko/lebih dekat ke spekulasi. Jadi kalau anda
mengelola dana US$ 1 milyar untuk ditempatkan di bursa-bursa saham di seluruh
dunia, misalnya, maka mungkin anda hanya akan menempatkan total US$ 1 juta saja
disini, itupun hanya dipake buat beli saham-saham yang mainstream seperti
Astra International (ASII), Bank BRI (BBRI), dst.
Jadi diluar perusahaan
asing yang berinvestasi di Indonesia dengan cara mengakuisisi perusahaan lokal,
maka perusahaan asset management cenderung ogah untuk invest/trading
saham di BEI, dan alhasil sampai sekarang posisi beli/jual asing di BEI tidak
pernah terlalu besar. Rekor net buy asing terbesar terjadi pada tahun
2014, yakni senilai Rp42.6 trilyun atau sekitar US$ 3 milyar, dan itu merupakan nilai total pembelian yang
dilakukan oleh seluruh investor
asing di BEI, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan individu dan ratusan
institusi.
Padahal menurut data
dari Investment & Pensions Europe, per akhir tahun 2016, 400
perusahaan asset management terbesar di dunia memiliki dana kelolaan senilai
total US$ 56.3 trilyun! Alias US$
56,300 milyar, tapi ternyata hanya sedikiiiit sekali dari dana tersebut yang
diputer di Indonesia, dimana dari 400 perusahaan asset management diatas,
sebagian besar diantaranya mungkin malah sama sekali tidak pernah membeli saham
disini.
Tapi menariknya,
keberadaan asing yang sejatinya sangat minim ini tetap berpengaruh terhadap
fluktuasi IHSG selama ini terutama dalam jangka
pendek, dimana kalau mereka belanja maka IHSG cenderung naik, sementara
kalau mereka jualan maka IHSG cenderung turun. Pada bulan Juni – Agustus 2016
lalu, ketika booming sentimen tax
amnesty, asing belanja besar-besaran hingga posisi net buy asing
meningkat dari hanya Rp4 trilyun pada bulan Mei menjadi Rp38 trilyun pada bulan
Agustus, dan IHSG melompat dari 4,700-an hingga mentok di 5,470. Tapi selepas
Agustus tersebut, asing kemudian terus jualan hingga sekarang, dan alhasil IHSG
juga seperti kehilangan tenaga untuk naik lebih tinggi lagi. Sebenarnya kalau
berdasarkan data historis yang ditampilkan di artikel ini, maka aksi jual atau
beli yang dilakukan asing tidaklah berpengaruh terhadap naik turunnya IHSG
dalam jangka panjang/tahunan (karena kalau dalam jangka panjang, yang paling
berpengaruh terhadap pergerakan IHSG tentunya fundamental ekonomi makro dan
kinerja para emiten). Namun kalau dalam jangka pendek, dalam hal ini bulanan
atau mingguan, maka keluar masuknya asing di bursa tetap berpengaruh signifikan
terhadap fluktuasi IHSG, padahal sekali lagi, jumlah asing yang wara wiri di
BEI sebenarnya sama sekali tidak besar.
Dalam hal ini penulis
jadi mikir: Seandainya besok-besok asing belanja saham besar-besaran di BEI,
katakanlah sampai US$ 5 milyar saja, maka kira-kira apa yang bakal terjadi
terhadap IHSG? Dan sebaliknya, jika mereka jualan besar-besaran, maka IHSG bisa
jeblok sampai berapa?
Itu yang pertama.
Kedua, selama ini penulis sering mendengar pendapat analis yang menyebutkan
bahwa kalau misalnya Fed
Rate naik, atau kemarin ada ramai cerita pelantikan Donald Trump sebagai
Presiden Amerika Serikat, maka asing akan ramai-ramai keluar dari sini untuk
balik lagi ke AS, dan itu akan bikin IHSG jatuh. Pendek kata, setiap kali ada
isu global tertentu maka dikatakan bahwa itu akan menyebabkan asing keluar dari Indonesia,
sementara isu-isu dalam negeri malah diabaikan.
Padahal kalau kita
lihat data historis dalam jangka panjang, yang terjadi justru sebaliknya:
Isu-isu yang terjadi diluar negeri tidaklah berpengaruh terhadap keluar
masuknya asing di BEI, karena yang berpengaruh
adalah isu-isu domestik. You see, dalam 20 tahun terakhir (antara tahun
1997 hingga 2016), asing hanya pernah tiga kali membukukan net sell, yakni
tahun 2005, 2013, dan 2015. Dan apa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut?
Here we go: Pada tahun 2005, Indonesia mengalami inflasi tinggi dan perekonomian
sempat terguncang, setelah Pemerintah ketika itu dengan cepat menaikkan harga
BBM bersubsidi (pada Maret 2005, harga premium naik dari Rp1,810 menjadi 2,400,
lalu pada Oktober di tahun yang sama naik lagi menjadi Rp4,500 per liter). Sementara pada
tahun 2013, Indonesia mulai mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi karena
penurunan harga komoditas (batubara dan CPO), dan puncak perlambatan tersebut
terjadi pada tahun 2015, yang ditandai dengan lesunya aktivitas ekonomi di
segala bidang dan merosotnya nilai tukar Rupiah (pada tahun 2014, perlambatan
ekonomi untuk sesaat tertutup oleh euforia Pemilu dan Pilpres).
Sementara pada tahun
2008, yakni ketika terjadi krisis global, asing tetap belanja saham cukup besar
di Indonesia. Pun ketika pada tahun 2011 terjadi Krisis Yunani, asing tetap
membukukan net buy. Yang paling baru tentu saja pada pertengahan tahun
2016 kemarin dimana asing belanja besar-besaran karena sentimen tax amnesty.
Tapi setelah sentimen tersebut meredup, plus adanya kekhawatiran terkait situasi
keamanan dalam negeri menjelang Pilkada DKI Jakarta, maka asing perlahan
tapi pasti terus jualan sampai sekarang.
Trend Meningkatnya
Jumlah Investor Domestik
Ketika asing mulai
keluar dari market sejak akhir Agustus 2016 lalu, maka normalnya IHSG akan
turun. Namun hingga ketika artikel ini ditulis IHSG ternyata masih disitu-situ
saja yakni 5,250-an, jadi gak sampe balik lagi ke 4,800-an seperti awal tahun
2016 lalu (yaitu ketika cerita tax amnesty belum ramai, dan asing belum masuk
ke pasar). Pertanyaannya, apa yang menahan penurunan IHSG?
Dan mungkin jawabannya
adalah, ketika beberapa bulan terakhir ini asing terus keluar, namun di waktu yang bersamaan investor lokal
terus masuk. Terdapat dua data yang menunjukkan hal tersebut. Yang pertama,
sepanjang tahun 2016 lalu, nilai transaksi jual beli saham (trading value)
yang dilakukan investor lokal tercatat menembus Rp1,164 trilyun atau 63% dari total trading value di BEI, dan itu meningkat
signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya yang stagnan di level Rp800-an
trilyun, atau hanya 57 – 59% dari total trading value. Yang kedua, ya seperti
yang sudah disebut diatas: Meningkatnya kepemilikan investor domestik terhadap
saham-saham di BEI, dari tadinya 33 – 41% menjadi 45.5%. Berhubung kita tahu
bahwa Philip Morris dkk masih belum menjual kepemilikan mereka di HM Sampoerna
dan lainnya, maka peningkatan kepemilikan investor domestik itu bukan
disebabkan karena keluarnya asing, melainkan karena meningkatnya jumlah investor
lokal yang masuk ke bursa.
Pada tahun 2016 lalu, investor domestik untuk pertama kalinya mendominasi hampir dua per tiga total nilai transaksi perdagangan di BEI. |
Lalu apa yang
menyebabkan bursa belakangan ini dibanjiri investor lokal? Well, sudah cukup
jelas bukan? Dalam 1 – 2 tahun terakhir, BEI sebagai penyelenggara Bursa Saham
di Indonesia banyak melakukan kegiatan yang pada intinya mengedukasi dan
menarik minat masyarakat awam untuk berinvestasi di saham, mulai dari
mendirikan kantor-kantor cabang hingga ke Papua, menyelenggarakan
seminar-seminar pasar modal di kampus-kampus dan kantor perusahaan (termasuk
penulis juga pernah beberapa kali diundang sebagai pembicara), meluncurkan
kampanye ‘Yuk Nabung Saham!’ termasuk mengiklankannya di televisi, hingga
mengundang tokoh pasar modal, komunitas, dan perusahaan-perusahaan sekuritas
untuk membuka bel perdagangan saham di Gedung BEI itu sendiri. Pendek kata,
jika dulu penulis gak tau orang-orang di BEI itu kerjanya ngapain aja, maka
sekarang ini tampak jelas bahwa mereka sangat bekerja keras, dan alhasil kalau
berdasarkan data dari BEI sendiri, jumlah investor ritel lokal meningkat dari
hanya 300 ribuan pada tahun 2013, menjadi 550 ribuan pada akhir tahun 2016, dan
terus meningkat sampai sekarang.
Namun ketika investor
domestik ramai-ramai masuk bursa, jumlah investor asing disini justru stagnan. Antara
tahun 2012 – 2016, asing totalnya hanya membukukan net buy Rp31.5 trilyun
dalam lima tahun terakhir (terutama karena posisi asing justru negatif/net
sell pada tahun 2013 dan 2015), dan angka tersebut sangat kecil dibandingkan
periode lima tahun sebelumnya (2007 – 2011), yang mencapai total Rp109.6
trilyun. Tapi kalau kita melihat lagi data makroekonomi nasional sejak tahun
2007, maka nilai belanja investor asing diatas menjadi bisa dijelaskan: Antara
tahun 2007 – 2011, Indonesia sedang dalam masa puncak pertumbuhan ekonomi
berkat booming komoditas (sempat ‘diinterupsi’ oleh krisis global 2008,
tapi fundamental ekonomi dalam negeri ketika itu tetap stabil). Namun memasuki
tahun 2012 sampai sekarang, seiring dengan penurunan harga komoditas maka berakhir
pula masa kejayaan ekonomi di tanah air, meski juga (untungnya) gak sampai
jatuh krisis.
However, kalau anda memperhatikan
data fundamental perekonomian, maka seperti yang sudah penulis bahas disini,
sebenarnya cukup jelas bahwa kondisi ekonomi sekarang, meski memang belum
sebagus tahun 2007 – 2011 lalu, tapi perlahan tapi pasti mulai pulih, dan terdapat
prospek bahwa angka pertumbuhan GDP nasional akan tumbuh kencang lagi dalam
beberapa tahun kedepan. Ini artinya, terlepas dari isu-isu jangka pendek
seperti Pilkada dll yang menyebabkan investor asing tahan posisi cash, namun
dalam jangka panjang mereka akan kembali memborong saham-saham di BEI.
Dan karena disisi lain
jumlah investor domestik juga terus meningkat, maka bagaimana kira-kira
dampaknya terhadap IHSG???
Kabar baiknya adalah,
meski belakangan ini jumlah investor domestik di bursa meningkat signifikan, namun
jumlah investor domestik ini masih belum ada 1% dibanding total populasi
Indonesia, alias masih keciiiil sekali, yang artinya potensi peningkatan jumlah
investor lokal ini masih sangat terbuka lebar asalkan BEI terus gencar mengkampanyekan investasi saham itu sendiri. Disisi lain, meski sampai
sekarang S&P masih belum memberikan cap investment grade bagi Indonesia,
namun penulis kira itu cuma soal waktu saja, karena toh pembangunan ekonomi di
tanah air sampai sekarang masih berjalan lancar, belum lagi belakangan ini
harga-harga batubara dan CPO, yang merupakan tulang punggung perekonomian
nasional, mulai naik lagi.
Dan ketika nanti
S&P akhirnya memberikan label investment grade, maka ya sudah: Indonesia resmi menjadi negara layak
investasi, karena dua lembaga pemeringkat lainnya yakni Fitch dan Moody’s
sudah lebih dulu memberikan label investment grade tersebut. Dan mulai sejak saat
itulah, Indonesia tidak akan lagi dipandang sebelah mata oleh para fund manager
besar, dimana mereka akan ramai-ramai belanja saham dimari. Kombinasi masuknya investor lokal plus asing ini, pada akhirnya akan membuat Bursa Saham Indonesia menjadi jauh lebih ramai dan lebih besar dibanding saat ini, dan itu akan terjadi cepat atau lambat dari sekarang.
Jadi seperti yang
sering penulis sampaikan ke orang-orang, ‘Pasar Saham di Indonesia itu adalah seperti
di Amerika namun 50 atau bahkan 100 tahun yang lalu, dan kita-kita ini adalah
seperti Warren Buffett di tahun 60-an dulu. Bisa saya katakan bahwa kita beruntung, karena kita merupakan generasi-generasi
awal di dunia investasi saham di Indonesia, namun keberuntungan tersebut
akan sia-sia kalau kita tidak segera berinvestasi dari sekarang!’ So, are you
join us or not???
Minggu depan kita akan mengulas salah satu anak usaha Grup Bakrie, just stay tune.
Minggu depan kita akan mengulas salah satu anak usaha Grup Bakrie, just stay tune.
Pada tanggal 30 Januari nanti penulis akan ke Jogja untuk berlibur barang satu minggu disana. Bagi temen-temen yang di Jogja yang berminat untuk ikut value investing private class dengan penulis, bisa kontak Pak Rifai di nomor Whatsapp 082139417688. Jumlah peserta sangat terbatas, maksimal hanya 5 orang saja,
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
untuk melihat data historys besarnya porposi investasi dari investor asing dan domestik, gimana caranya ?
terima kasih.