Bumi Resources Minerals
Pada Oktober 2016 lalu,
di blog ini kita sudah membahas tentang salah satu saham paling fenomenal dalam
sejarah Pasar Modal di Indonesia, Bumi Resources (BUMI), yang ketika itu
tiba-tiba saja melompat dari Rp82 ke Rp123 per saham, hanya dalam tiga hari
perdagangan. Namun setelah mempertimbangkan kenaikan harga batubara, plus
adanya rencana dari perusahaan untuk mengkonversi utangnya menjadi saham (yang
kemudian disetujui oleh kreditor), maka ketika itu kesimpulannya adalah bahwa BUMI sangat menarik karena masih berpeluang
untuk naik lebih tinggi lagi. Anda bisa baca lagi ulasannya
disini.
Waktu berlalu.. dan
sekarang tiba-tiba saja BUMI sudah berada di level psikologis Rp500 per saham!
Karena sepanjang Januari ini pasar juga sangat sepi dari sentimen, maka praktis
tidak ada saham yang lebih menarik perhatian para investor dan trader dibanding
BUMI ini, dimana orang-orang yang sebelumnya mengklaim bahwa mereka ‘Tidak akan
menyentuh BUMI!’, mau tidak mau jadi penasaran juga: Jangan-jangan BUMI ini
beneran bagus?
Tapi bahkan kalaupun
BUMI ini bagus, masalahnya dia sekarang sudah bukan 50 lagi, melainkan udah
nambah nolnya satu jadi 500.. Jadi bagaimana kalau kita ambil
‘saudara-saudaranya’ saja? Dan mungkin karena itulah, beberapa saham Bakrie
seperti Bumi Resources Minerals (BRMS), Darma Henwa (DEWA), Energi Mega Persada
(ENRG), Bakrie Sumatera Plantations (UNSP), hingga Bakrieland Development (ELTY),
belakangan ini semuanya bangkit dari kubur. Namun bagi investor yang
berpengalaman, maka cukup jelas bahwa kebangkitan saham-saham zombie diatas
hanya karena mengikuti kenaikan BUMI saja, jadi belum tentu karena faktor
fundamental dari perusahaan terkait.
Okay, tapi bagaimana
dengan BRMS? Berbeda dengan saham-saham Grup Bakrie lainnya yang baru ‘jalan’
pada Januari ini, BRMS sudah mulai menggeliat sejak Oktober tahun lalu, atau
hampir bersamaan dengan naiknya BUMI. Kemudian meski kenaikannya
belum setinggi BUMI, tapi kalau dibandingkan dengan saham-saham Bakrie lainnya
maka dia yang naiknya paling tinggi sejauh ini. Selain itu secara struktur perusahaan,
BRMS ini 87% sahamnya dipegang oleh BUMI, jadi kalau nanti BUMI ini kembali
mencatat kinerja bagus dan profit jumbo karena kenaikan harga batubara, maka
harusnya demikian pula dengan BRMS, karena BUMI dan BRMS ini sejatinya
merupakan perusahaan yang sama bukan? Well, mungkin nggak juga, dan berikut
penjelasannya.
Analisis BRMS
Sejarah BRMS dimulai
pada tahun 2009, ketika Grup Bakrie bersama dengan Pemprov Nusa Tenggara Barat
sukses mengakuisisi 24% saham Newmont
Nusa Tenggara (NNT), sebuah perusahaan tambang emas. Di tahun yang sama,
Grup Bakrie juga sukses mengakuisisi tiga perusahaan tambang lainnya, yakni PT
Gorontalo Minerals (emas dan tembaga), PT Citra Palu Minerals (emas), dan PT
Dairi Prima Mineral (zinc dan timah hitam). Keempat perusahaan ini kemudian
ditempatkan dibawah BUMI. Namun karena aset-aset BUMI yang lain hampir semuanya
bergerak di bidang tambang batubara, sementara empat perusahaan diatas, meski
juga merupakan perusahaan tambang namun bukan batubara, maka timbul ide untuk
mendirikan perusahaan holding dibawah BUMI yang khusus untuk menampung
NNT dan kawan-kawan. Maka kemudian lahirlah Bumi Resources Minerals. Hanya
setahun kemudian yakni tahun 2010, BRMS sukses melantai di bursa dengan harga
perdana Rp635 per saham. Peraturan BEI sebenarnya mensyaratkan sebuah
perusahaan untuk sudah berdiri dan beroperasi minimal selama tiga tahun sebelum
kemudian baru bisa IPO, tapi Grup Bakrie bisa mengakali peraturan tersebut
dengan cara mengakuisisi perusahaan kecil bernama PT Panorama Timur Abadi yang sudah
berdiri sejak tahun 2007 (akuisisinya dilakukan tahun 2009), kemudian mengubah
nama perusahaan menjadi Bumi Resources Minerals, dan langsung meng-IPO-kannya
setahun kemudian. Genius, isn’t it?
However, berbeda dengan
aset-aset batubara milik BUMI yang sebagian besar sudah beroperasi, dari
keempat aset yang ditempatkan dibawah BRMS, hanya NNT yang sudah beroperasi.
Ketika BRMS melakukan IPO di tahun 2010, maka rencana awalnya adalah bahwa
perusahaan akan melakukan kegiatan eksplorasi hingga ketiga anak perusahaan,
yakni Gorontalo Minerals, Citra Palu, dan Dairi Prima, kesemuanya akan sudah
beroperasi dan menghasilkan pendapatan pada tahun 2013.
Namun seperti yang kita
ketahui, memasuki tahun 2012 harga batubara mulai turun, kinerja BUMI sebagai induk
dari BRMS mulai tersendat-sendat, dan para direkturnya kemudian lebih sibuk
berurusan dengan utang-utang perusahaan yang segunung ketimbang mengerjakan
operasional tambang seperti biasanya. Dan alhasil kegiatan eksplorasi di tiga
tambang milik BRMS nyaris berhenti total, sehingga tidak ada kejelasan tentang
kapan Gorontalo Minerals dan lainnya akan bisa mulai beroperasi. Untuk beberapa
saat, kondisi ini tidak terlalu jadi soal, karena toh BRMS masih punya sumber income
dari bagian laba bersihnya di NNT.
Tapi pada tahun 2016
kemarin, setelah Grup Bakrie terus berjuang untuk melepaskan diri dari jeratan
hutang-hutangnya, pada akhirnya mau tidak mau mereka harus melepas NNT ke
Grup Medco, itupun pada harga murah sehingga di laporan laba rugi BRMS, tercantum
kerugian investasi yang cukup besar yakni US$ 660 juta karena BRMS melepas NNT
pada harga yang jauh lebih rendah dibanding yang seharusnya, istilahnya forced
sell lah. Namun problem terbesarnya mungkin bukan di kerugian itu,
melainkan: Setelah tidak lagi memegang NNT, maka mulai tahun 2017 ini dan
seterusnya, BRMS bisa dipastikan tidak
memiliki sumber pendapatan lagi.
Sebab dari tiga
perusahaan tambang yang masih dipegang BRMS, diperkirakan mereka baru akan
mulai beroperasi pada tahun.. 2019,
itupun tentunya dengan catatan kegiatan eksplorasinya lancar (jadi realisasinya
bisa lebih lama lagi). BRMS sebenarnya masih punya satu sumber pendapatan,
yakni dari jasa pemasaran produk-produk tambang, namun nilainya sangat kecil,
hanya US$ 2 – 3 juta per tahun. Karena disisi lain kegiatan eksplorasinya akan
memakan biaya besar hingga ratusan juta Dollar, maka BRMS hampir bisa
dipastikan akan kembali menderita kerugian di tahun 2017 ini, dan juga tahun
2018 nanti.
Jadi berbeda dengan
BUMI yang berpeluang untuk kembali mendulang profit di tahun 2017 ini berkat
naiknya harga jual batubara, plus ekuitasnya juga akan kembali positif karena
restrukturisasinya sukses, atau dengan kata lain kenaikan saham BUMI selama tiga bulan kemarin memiliki dasar
fundamental, maka untuk BRMS ini penulis terus terang gak punya gambaran
kedepannya bakal gimana. Sebenarnya ada dua kondisi yang bisa membuat BRMS
membukukan laba, yakni: 1. Perusahaan menjual salah satu dari tiga aset
tambangnya pada harga tinggi, atau 2. Grup Bakrie sukses mengakuisisi
perusahaan tambang yang sudah beroperasi, kemudian ditempatkan dibawah BRMS.
Dan mungkin karena itu pula, setelah saham BRMS terbang hingga sekarang berada
di level 130-an, kemudian nongol rumor bahwa perusahaan akan menjual Citra Palu
Minerals ke investor asal China.
Tapi kalo misalnya
besok-besok BRMS ini merosot lagi, maka tentu rumor-rumor seperti ini akan
menguap dengan sendirinya.
Okay Pak Teguh, lalu
bagaimana dengan DEWA? ENRG? UNSP? ELTY? Atau malah Bakrie & Brothers
(BNBR)?? Ya santai saja lahh, nanti kita bahas mereka
satu-satu. Sebenarnya sih kalo berani spekulasi, maka selama BUMI-nya naik,
adek-adeknya termasuk BRMS juga bakal tetap naik, tak peduli meski laporan
keuangan mereka masih amburadul. Tapi seperti halnya tiga bulan lalu kita
menganalisis BUMI berdasarkan pendekatan fundamental dan value investing dan hasilnya terbukti
sangat baik, maka tentu akan jauh lebih safe jika kita membeli (atau
tidak membeli) saham-saham Bakrie yang lain berdasarkan kaidah value investing
juga, dan bukannya malah ‘Kalo break harga segini maka buy! Kalo
turun sampe tembus harga segitu maka stop loss!’ (Lah jadi maksute kalo
udah naik baru beli? Kalo udah turun baru jual? Sampeyan ngajarin saya biar
dapet untung atau malah rugi sih???)
Tapi ngomong-ngomong,
selama Om ARB masih belum nongol lagi di daftar orang terkaya di Indonesia
versi Majalah Forbes, dan istilah ‘Saham Sejuta Umat’ belum kembali populer,
maka biasanya sih itu berarti peluangnya masih terbuka, entah itu di BUMI
ataupun saham-saham Grup Bakrie lainnya. Just stay tune!
Buletin Analisis IHSG & Stockpick bulanan edisi Februari 2017 sudah terbit! With special report: BAKRIE IS BACK! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi saham langsung dengan penulis untuk member.
Buletin Analisis IHSG & Stockpick bulanan edisi Februari 2017 sudah terbit! With special report: BAKRIE IS BACK! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi saham langsung dengan penulis untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Komentar
http://investasi.kontan.co.id/news/lo-kheng-hong-meraup-angpao-besar-dari-bumi