Saya Ketinggalan Kereta! Gimana Nih?
Pertengahan September
lalu, salah satu saham bluechip yang cukup populer di kalangan investor yakni
Jasa Marga (JSMR), tiba-tiba saja anjlok ke level 4,500-an, yang merupakan
posisi terendahnya dalam setahun terakhir, padahal fundamental perusahaannya
keliatannya tidak ada masalah sama sekali (pada Semester I 2016, laba JSMR
masih tumbuh 44%). Tapi kemudian diketahui bahwa JSMR bisa jeblok gitu cuma
karena right issue saja. Pertanyaannya kemudian, apakah ini merupakan value
opportunity alias peluang? Dan jika jawabannya adalah iya, maka pada harga
berapa kita boleh beli JSMR ini?
Nah, setelah
mengerjakan sedikit analisis, penulis kemudian menyimpulkan bahwa, yap,
terdapat peluang di JSMR ini, dan harga beli yang disarankan adalah 4,000 atau dibawahnya. Anda bisa baca
lagi analisisnya
disini, dimana analisisnya terbit pada tanggal 19 September lalu, yakni
ketika JSMR berada di posisi 4,550. Sejurus kemudian JSMR bukannya turun ke
harga 4,000 tadi tapi malah naik hingga hampir saja balik lagi ke 5,000-an,
sehingga pada titik ini wajar saja jika beberapa orang berujar sinis: Dibawah
4,000 apaan? Turun ke harga dibawah 4,500 aja susah!
Namun tak berapa lama
kemudian ternyata JSMR benar-benar turun sampai.. dibawah 4,000! Tepatnya mentok di 3,900
pada akhir November kemarin, sebelum baru kemudian naik lagi ke posisi sekarang yakni
4,360. Ketika JSMR berada di level 4,000 itulah, penulis kemudian masuk, dan
ketika artikel ini ditulis, kami masih hold JSMR.
Pertanyaannya,
ketika penulis mengatakan bahwa JSMR mungkin akan turun sampai 4,000 atau
dibawahnya, dan ternyata benar bahwa JSMR sempat turun sampai serendah itu,
maka apakah itu berarti penulis mampu melihat atau memprediksi masa depan?
Well, tentu saja tidak, dan sebenarnya sejak beberapa tahun terakhir ini penulis
sudah tidak pernah lagi berusaha memprediksi apakah suatu saham akan naik atau
turun.
Yang kami
lakukan hanyalah menilai berapa
kira-kira harga terbaik untuk membeli sebuah saham, kemudian menunggu. Jika saham yang diincar
benar-benar turun hingga ke level ‘harga terbaik’ tersebut, maka barulah
penulis akan masuk. Tapi jika tidak? Ya sudah, kalau ada pilihan saham lain
yang lebih baik, maka kita ambil saham lain itu saja dulu. Balik lagi ke contoh
JSMR diatas, kalau dia gak pernah turun sampai 4,000, melainkan katakanlah
mentok di 4,500, maka mungkin penulis gak mau ambil risiko masuk di harga
tinggi dan lebih memilih saham lain. Tapi karena kebetulan dia benar-benar turun sampai level 4,000 tersebut, maka
barulah kita masuk. Actually, selain JSMR, juga ada beberapa saham yang penulis
berharap bahwa harganya akan turun
sampai level tertentu yang merupakan buying
range-nya, contohnya seperti Adhi Karya (ADHI) yang boleh dibeli
di harga dibawah 2,000, atau Gajah Tunggal (GJTL) yang sangat atraktif di harga
1,000 pas (analisisnya bisa dibaca di ebook
kuartalan). And indeed, baik ADHI maupun GJTL kemarin sempat turun sampai
ke level harga terbaik mereka masing-masing, sebelum kemudian naik ke posisi
sekarang.
However,
tidak semua saham yang penulis incar ‘sukses’ turun hingga ke level yang kami
anggap ideal untuk dibeli. Contohnya Bank Jatim (BJTM), yang penulis udah
siap-siap ‘menghadangnya’ di harga 450 atau dibawahnya, karena berdasarkan
pengalaman, BJTM ini biasanya bakal naik banyak di awal tahun karena pembagian
dividennya yang sangat besar (yield-nya bisa mencapai 10%).
Logo BJTM, salah satu 'dividend stock' paling bagus di BEI |
Tapi
kemarin BJTM ini turunnya cuma sampe 480, sebelum kemudian naik ke posisi
sekarang (580). Tapi mungkin yang paling mengesalkan adalah ketika awal tahun
2016 lalu penulis sudah mengincar Bukit Asam (PTBA), yang ketika itu sudah
sangat rendah di level dibawah 4,500, tapi saya ngotot antri beli di harga
4,000 saja. Sayangnya posisi terendah yang pernah dicapai PTBA hanyalah 4,165,
sehingga kami gak pernah dapet barang.
Dan
kemudian.. berapa posisi PTBA sekarang???
Nah, jadi
apakah dalam hal ini analisis penulis atas JSMR, ADHI, dan GJTL terbilang
tepat, sementara di BJTM dan PTBA analisisnya keliru? Well, nggak juga, karena
toh sekali lagi, tak peduli sejago apapun anda dalam menganalisa, namun anda
tidak akan pernah bisa memprediksi secara persis naik turunnya sebuah saham.
Hati-hati kalau ada orang yang mengklaim bisa meramal harga saham di masa depan.
Namun
dengan menggunakan metode value investing, maka kita bisa menilai berapa harga
wajar, mahal/overvalue, dan murah/undervalue bagi sebuah saham, dimana best price bagi sebuah saham adalah ketika harganya sudah undervalue. Jadi ya sudah, inilah
yang kita lakukan: Ketika kita sudah punya kesimpulan bahwa sebuah saham
memiliki fundamental bagus dan layak untuk dibeli, maka selanjutnya tentukan
berapa kira-kira harga belinya. Dan jika harga pasarnya masih lebih tinggi dari harga beli yang sudah kita tentukan tadi, alias masih mahal/belum undervalue, maka kita tinggal
duduk dan tunggu.
Sebab,
saham apapun tidak akan selamanya dihargai mahal, melainkan akan selalu ada waktu-waktu dimana dia
dihargai wajar atau murah, entah itu karena IHSG turun, atau ada peristiwa
penting tertentu (contohnya seperti right issue JSMR tadi). However, karena
penilaian ‘mahal’, ‘wajar’, atau ‘murah’ adalah penilaian yang subjektif, dimana seorang investor bisa
jadi menganggap bahwa saham A di harga 1,000 masih mahal, tapi investor lainnya
menganggap harga segitu sudah murah, maka sering juga terjadi kondisi dimana
meski sudah ditunggu cukup lama, tapi saham yang kita incar tidak pernah turun
sampai ke harga yang kita anggap ideal.
Dan jika
kejadiannya seperti itu maka ya sudah, artinya peluang di saham yang kita incar tersebut sudah tertutup, tapi itu nggak jadi masalah,
karena kita bisa alihkan perhatian ke saham lain yang peluangnya masih terbuka. Yup! Jadi kalau JSMR gak pernah turun
sampe 4,000, sementara BJTM turun sampai dibawah 450, maka penulis tentu
ambilnya BJTM saja. Dan meski penulis ketinggalan kereta di PTBA, namun kita
menemukan ‘kereta yang belum berangkat’ di Harum Energy
(HRUM), ketika itu pada harga 1,050, dan HRUM inipun sukses memberikan
keuntungan lumayan.
Kabar
baiknya, asalkan anda cukup jeli dalam menyaring ‘mutiara terpendam’ di jagat
BEI, maka akan selalu ada peluang untuk memperoleh saham bagus di harga murah. Jadi
anda gak perlu menggerutu ketika saham yang anda incar sudah
keburu terbang sebelum anda sempat membelinya, karena toh anda masih bisa cari
dan beli saham lain yang ‘belum berangkat’. Sementara kalau anda berada dalam
kondisi dimana semua saham bagus dihargai mahal tanpa kecuali, maka itu artinya
IHSG sudah naik sangat tinggi hingga bubble, jadi kita tinggal tunggu
dia drop aja dulu, dan ketika itulah kita bisa panen saham-saham bagus di harga
obralan.
Hanya
memang, seringkali kesulitan terbesarnya adalah di bagian menunggu-nya ini. Meski diatas disebutkan bahwa selalu ada peluang
untuk memperoleh saham bagus di harga murah, tapi peluang itu tentu saja
tidak akan muncul setiap hari, melainkan hanya beberapa waktu sekali saja. Dan
ketika tidak ada peluang inilah, maka seorang investor dituntut untuk bersabar, tapi yaa gitu deh.. Setelah
wara wiri di market selama beberapa tahun ini, bisa penulis simpulkan bahwa mayoritas
trader saham di BEI itu lebih gak sabaran dibanding para pengendara sepeda
motor di lampu merah Kota Jakarta pada jam pulang kantor.
Tapi
ketika anda bisa bersabar inilah, ketika anda bisa duduk santai menunggu ‘jadwal
kereta selanjutnya’ dan bukannya malah ngejar-ngejar kereta yang udah jalan
duluan (tapi kebanyakan orang ya seperti itu: Saham murah gak dilirik hanya
karena ‘gak gerak-gerak’, sementara saham yang udah terbang malah dikejar),
then trust me, hasilnya tidak akan mengecewakan!
Okay,
untuk minggu depan, kecuali ada tema lain yang lebih menarik, kita akan
membahas sedikit soal sektor konstruksi. Dan, setelah membaca tulisan diatas,
anda mengerti kan kenapa yang kita bahas nanti adalah konstruksi dan bukannya
sektor lain?
Info Investor: Penulis membuat buku kumpulan
analisis saham-saham pilihan berdasarkan fundamental dan valuasi sahamnya. Dan
anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Diluar itu GJTL ini gak ada masalah, dia masih bagus dan karenanya masih bisa dilirik. Tapi karena faktor force majeure itulah maka 'best buy'-nya harus diturunkan, dimana kita keluar dlu untuk kemudian masuk lagi di harga bawah.
Actually, faktor force majeure/peristiwa tidak terduga ini pula yang bikin kita gak akan pernah bisa meramal harga saham, dan pada kasus tertentu kita mungkin harus cut loss dulu. Tapi asalkan kita bisa kembali menentukan best buy yang baru bagi saham yang kita pegang, maka dengan strategi 'keluar dulu kemudian masuk lagi', maka kerugian yang terjadi akan tertutup oleh profit yang lebih besar, yang akan diperoleh kemudian.