Antara Trump, Kondisi Politik dalam Negeri, dan Penurunan IHSG
Jumat kemarin IHSG drop hingga 4% dalam sehari, dimana itu adalah peristiwa
yang sangat jarang terjadi bahkan dalam kondisi market bearish seperti
tahun 2015 sekalipun. Sebenarnya karena posisi IHSG sendiri masih relatif
tinggi, yakni dikisaran 5,200-an, maka penurunan kemarin tidak sampai
menimbulkan kondisi panik. Karena jika anda sudah belanja saham-saham bagus sejak awal
tahun 2016 lalu, maka posisi anda pada saat ini seharusnya masih profit, hanya mungkin
nilai profitnya tidak lagi sebesar sebelumnya.
However, karena
penurunan kemarin berbarengan dengan terjadinya beberapa peristiwa penting baik
dari dalam maupun luar negeri, maka kemudian timbul spekulasi yang
mengkait-kaitkan kejatuhan IHSG dengan entah itu terpilihnya Donald Trump
sebagai Presiden AS, atau dengan ribut-ribut soal Ahok yang belum sepenuhnya clear.
Pada kondisi inilah, dalam rangka untuk menyusun kembali strategi investasi
kedepannya, seorang investor dituntut untuk mampu memilah-milah informasi yang beredar,
untuk membedakan mana informasi yang valid berdasarkan
fakta dan data, dan mana informasi yang hanya bersifat opini atau rumor, yang
sejatinya tidak berpengaruh apapun pergerakan IHSG maupun saham-saham tertentu (terkait
hal ini, anda bisa baca lagi tips-tipsnya
disini).
Kabar
baiknya, berhubung posisi
IHSG saat ini masih cukup tinggi, maka sama sekali masih belum terlambat jika
kita hendak cuci gudang, jika memang itu yang harus dilakukan. Lalu apa saja data dan
fakta yang harus kita perhatikan? Well then, here we go:
Pertama, dan ini adalah
poin yang paling mudah untuk dilihat, IHSG pada posisi 5,232, jika dihitung sejak awal
tahun maka sudah
naik 13.9%, dan itu adalah kenaikan yang sangat
tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks saham di negara-negara
besar seperti Amerika Serikat (6.8%), Inggris (8.8%), China (minus
9.7%), dan Jepang (minus 8.7%). Termasuk jika dibandingkan dengan beberapa
negara tetangga, maka kenaikan IHSG juga tetap tergolong tinggi dibanding
Malaysia (minus 3.4%), Singapura (minus 2.4%), Australia (1.9%), dan hanya
kalah dibanding Thailand (16.4%). Dengan mempertimbangkan fakta bahwa pasar
modal di seluruh dunia sebenarnya masih lesu di tahun 2016 ini, termasuk
masih banyak indeks saham yang bukannya naik tapi malah turun (Indeks Straits
Times Singapura malah sudah minus selama dua tahun berturut-turut) maka
kenaikan IHSG terbilang terlalu
cepat. Karena fakta lainnya adalah, kinerja para emiten besar di BEI pada
tahun ini masih belum sepenuhnya pulih dibanding tahun 2015 lalu, dimana laba
bersih mereka masih pada turun. I mean, jika ASII dkk kembali membukukan
kenaikan laba yang signifikan pada tahun ini, maka kenaikan 13.9% bagi IHSG
memiliki dasar fundamental yang kuat dan bisa berlanjut, sama
seperti tahun 2009 lalu dimana IHSG naik kenceng pasca market crash 2008,
karena pada tahun 2009 tersebut para emiten kembali (atau masih) membukukan
kinerja yang sangat baik.
Tapi
sayangnya bukan itu yang terjadi, sehingga suka atau tidak, IHSG cepat atau
lambat akan terkoreksi untuk kembali ke track-nya.
Kedua, sepanjang
paruh pertama 2016, tepatnya hingga awal Juni 2016, pasar sebenarnya masih
bergerak secara moderat sesuai dengan perkembangan fundamental ekonomi dalam
negeri, dimana IHSG, meski naik dari posisi awal tahun yakni 4,593, namun
kenaikannya berhenti di level 4,800-an.
Namun
masih di bulan Juni, terjadi satu peristiwa penting yang menyebabkan optimisme pasar meningkat signifikan: Kebijakan
pemerintah dengan judul Tax Amnesty (TA),
yang diharapkan akan: 1.
Meningkatkan penerimaan pajak negara untuk membiayai pembangunan
infrastruktur, 2. Menarik dana milik konglomerat yang selama ini ‘diparkir’
diluar negeri untuk balik lagi ke tanah air (repatriasi), dimana sebagian
diantaranya akan masuk ke pasar modal, dan 3. Proses pendirian perusahaan dan
investasi akan dipermudah untuk mengakomodir dana repatriasi, dan itu pada
akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Anda bisa baca lagi
cerita lengkapnya disini,
disini,
dan disini.
Dan berbeda dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya, cerita tentang TA ini sangat
populer dan ramai dibicarakan oleh banyak kalangan mulai dari konglomerat,
pemilik toko kelontong, PNS, karyawan swasta, termasuk tentunya oleh para
pelaku pasar saham. Booming TA kemudian menarik minat investor asing untuk
belanja saham besar-besaran. Pada pertengahan Agustus 2016, asing sudah membukukan net buy Rp38 trilyun,
atau dengan kata lain mereka belanja saham senilai Rp34 trilyun hanya dalam tempo dua bulan (karena pada pertengahan Juni, sebelum booming
TA, net buy asing cuma Rp4 trilyun). Dan alhasil IHSG lompat kodok dari
4,800-an hingga 5,450-an.
Namun, seperti juga
sentimen-sentimen positif lainnya yang ramai dibicarakan pada satu waktu tapi
tak berapa lama kemudian dilupakan, maka demikian pula dengan TA, yang pada
penghujung Agustus sudah tidak lagi ramai dibicarakan, dan pasar sempat berada
dalam kondisi ‘quiet’, dimana tidak ada sentimen positif maupun negatif apapun,
dan IHSG hanya muter-muter disitu-situ saja (baca lagi analisisnya disini). Nevertheless, beberapa saham terutama dari kelompok second liner yang sebelumnya
naik banyak pada Juni – Agustus, memasuki bulan September mereka mulai
turun kembali. Namun karena para big caps masih kokoh di posisi mereka masing-masing,
maka IHSG juga tetap bertahan di 5,400-an, meski juga sulit untuk naik. Pada
titik inilah kita bisa menyimpulkan bahwa kalau nanti pasar ‘rame’ lagi entah
itu karena sentimen positif atau negatif, maka IHSG bisa dengan mudah jatuh, jika sentimennya ternyata negatif.
Actually, pada awal September kemarin, yakni ketika sentimen TA sudah meredup
sama sekali, IHSG juga sempat drop sejenak ke posisi 5,146. Tapi kemudian keluar berita bahwa perolehan dana tebusan TA, yang sempat jalan
ditempat pada awal-awal pelaksanaannya, ternyata sukses naik hingga hampir
tembus Rp100 trilyun pada batas akhir TA Tahap I di tanggal 30 September.
Alhasil IHSG langsung naik lagi, tapi kembali kenaikannya tertahan di
resisten 5,450-an.
Jadi ketika sekarang IHSG
drop, maka sebenarnya itu cuma mengulang penurunan yang terjadi pada awal
September lalu, dimana seperti halnya pada awal September, pada saat inipun nobody talk about tax amnesty.
Ketiga, terkait cerita soal
Donald Trump, sekarang ini semua orang punya pendapat dan analisisnya masing-masing
tentang bagaimana pengaruh terpilihnya Trump sebagai Presiden AS terhadap perekonomian global
termasuk Indonesia, dimana sebagian orang menganggap bahwa pengaruhnya bakal
bagus, sebagian lagi menganggap bakal jelek, dan selebihnya malah bingung sama
sekali. Kemudian terkait demo Ahok, setelah demo besar tanggal 4 November lalu,
juga ada rumor bahwa akan terjadi demo susulan pada tanggal 25 November nanti,
dan ketidak pastian situasi politik di dalam negeri terkait Ahok ini mungkin
akan terus berlanjut sampai Pilkada DKI itu sendiri digelar pada Februari 2017
nanti.
Nah, kalau pasar saham sudah
diselimuti oleh ‘ketidak pastian’ seperti itu, dimana semua orang kebingungan
tentang bagaimana kalau Trump begini, bagaimana kalau Ahok begitu, maka menurut
anda apa yang akan terjadi terhadap IHSG? Ya turun lebih lanjut, tentu saja,
dan itu bukan karena pertumbuhan ekonomi kita drop atau apa, tetapi karena investor akan memilih untuk minggir dulu
sampai semuanya clear. Termasuk kurs Rupiah juga bisa anjlok
begitu hanya karena para trader forex memilih untuk keluar dulu, jadi bukan karena Fed Rate bakal naik bla bla bla. Ditambah lagi, sekarang sudah akhir tahun, dimana orang-orang (termasuk
penulis) lebih sibuk mikirin mau berlibur tahun baruan kemana ketimbang
ngurusin saham terus setiap hari. I mean, come on man! We need to rest our eyes
and fingers!
The Bright Side
Sampai pada poin ketiga
diatas, semuanya menunjukkan bahwa IHSG mungkin akan turun lebih lanjut, dan
bahwa penurunan 4% kemarin mungkin baru permulaan. Namun demikian tunggu
sampai anda membaca poin keempat, kelima, dan keenam. Okay, kita langsung saja.
Keempat, selepas
booming TA, sebenarnya pasar kembali ketiban booming yang lain, yakni kenaikan
harga-harga komoditas, terutama batubara,
dimana saham-saham batubara naik kenceng dan mulai menarik perhatian
investor sejak Oktober lalu. Sebenarnya ketika IHSG mulai dilanda euforia tax
amnesty pada Juni, ketika itu saham-saham batubara juga sudah mulai naik, tapi
kenaikannya belum banyak diperhatikan investor. Tapi setelah investor mulai
banyak menaruh perhatian ke sektor ini sejak Oktober kemarin, dan sebagian diantaranya juga sudah
mulai meraup profit besar, maka artinya optimisme
pasar akan tetap terjaga, dan itu akan mencegah IHSG agar tidak turun
terlalu dalam (karena IHSG hanya akan benar-benar jeblok jika semua orang berteriak panik dan putus
asa, remember that).
Kabar baiknya, dampak dari kenaikan harga batubara yang sudah terjadi sejak pertengahan tahun lalu
harusnya baru akan kelihatan di laporan keuangan mereka pada akhir tahun ini,
dan awal tahun 2017 nanti. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan tahun 2011
lalu, dimana meski rally kenaikan harga batubara sudah terjadi sejak tahun
2009, namun saham-saham batubara baru benar-benar rame dan mendominasi pasar saham pada tahun 2011 tersebut
(yang saya ingat betul adalah KKGI, yang meroket dari 1,700 ke 8,000). Intinya,
terlepas dari kemungkinan fluktuasi jangka pendek (karena gak mungkin juga
suatu saham, entah itu saham batubara atau lainnya, bakal naik terus tiap hari,
melainkan pasti ada turunnya), namun yang jelas kita sudah tahu saham apa yang
layak diburu pada awal tahun 2017 nanti, dimana itu, sekali lagi, akan menjaga optimisme
para pelaku pasar.
Kelima, kita tahu bahwa
sejak tahun 2015 lalu sampai sekarang, Pemerintah sebagai ‘grup konglomerasi’ terbesar di BEI banyak
melakukan aksi korporasi mulai dari IPO BUMN, IPO anak usaha BUMN, right
issue BUMN, dan yang terbaru wacana sekuritisasi aset-aset BUMN, dalam rangka membiayai pembangunan infrastruktur. Nah, agar berbagai aksi korporasi
tersebut sukses, maka apa syarat yang mutlak diperlukan? Kondisi pasar yang stabil, tentu saja! Contohnya, kalau pada satu
waktu Pemerintah hendak meng-IPO-kan sebuah BUMN, tapi di waktu yang bersamaan IHSG
jeblok sampai 4,500, misalnya, maka kira-kira IPO-nya bakal laku nggak? You
know the answer. Jadi agar kondisi pasar tetap stabil dan
optimisme investor tetap terjaga, maka pemerintah punya kepentingan untuk
menjaga agar IHSG, kalaupun nanti turun maka penurunannya tidak akan sampai
bikin orang-orang desperate, dan actually gampang saja bagi mereka untuk
melakukan itu. Maksud penulis, anda pikir gimana caranya PPRO, SMBR, INAF,
hingga TLKM bisa naik sampai setinggi itu, dan dalam waktu yang gak nyampe satu
tahun?
So, believe me, kalau
nanti IHSG drop hingga ke level dimana Pemerintah menganggap bahwa level
tersebut sudah terlalu dalam, maka mereka akan langsung take action, entah itu melalui BEI, OJK, atau lainnya, dan seketika
itu pula pasar akan dengan cepat pulih.
Masih ingat ketika IHSG dilanda panic selling di bulan Agustus 2015 lalu?
Ketika itu Menteri Rini juga langsung instruksi ke BBRI dkk untuk melakukan buy
back saham, dan tak lama kemudian di bulan November-nya IHSG naik tajam, dan
alhasil IHSG secara keseluruhan tidak turun terlalu dalam sepanjang tahun 2015.
Dan terakhir, keenam,
setelah hampir saja jatuh ke lembah krisis pada tahun 2015 lalu, pada tahun
2016 ini fundamental makroekonomi Indonesia perlahan tapi pasti mulai pulih, thanks
to gencarnya pembangunan infra oleh pemerintah, belum termasuk banyaknya paket
kebijakan ekonomi untuk menstimulus sektor swasta (sejauh ini sudah ada 14 paket
kebijakan), dan mulai berkembangnya industri e-commerce. Pada tahun 2015 lalu pertumbuhan ekonomi
sempat tercatat hanya 4.67%, Rupiah anjlok sampai hampir tembus Rp15,000, inflasi
8% (waktu itu karena kenaikan harga BBM, setelah subsidi BBM dicabut sama
sekali), pengangguran 6.2%, dan neraca ekspor impor juga sempat defisit (meski
kemudian surplus lagi pada akhir tahun).
Sementara sekarang?
Well, pertumbuhan ekonomi terakhir 5.02%, Rupiah stabil di Rp13,000, inflasi
sangat bagus di level 3.3%, pengangguran 5.6%, dan neraca ekspor kembali
surplus secara konsisten sejak awal tahun. Sementara faktanya di lapangan, anda
mungkin bisa merasakan sendiri kalau jualan apapun pada tahun ini sudah lebih
laku dibanding tahun 2015 lalu (sekedar mengingat lagi gimana sepinya iklim
usaha pada tahun 2015 lalu, anda bisa baca lagi artikel
ini). Kalaupun ada perkembangan yang tampak kurang bagus, maka itu adalah meningkatnya rasio utang Pemerintah terhadap PDB, dari 25% menjadi 27%, karena Pemerintah memang banyak mengambil utang untuk keperluan infrastruktur, namun tentu juga harus diingat bahwa rasio 27% tersebut masih sangat aman. Sebagai perbandingan, pada tahun 2004 - 2007 lalu rasio utang kita mencapai 35 - 52%, tapi toh perekonomian ketika itu baik-baik saja, dan IHSG malah naik kenceng.
And you know what?
Semua perkembangan positif diatas dicapai ketika harga-harga komoditas terutama
batubara dan CPO, yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia selama
ini, sejatinya masih belum sepenuhnya pulih! Actually, ketika perekonomian di
tanah air mulai terasa lesu selepas tahun 2011 lalu, yang jadi penyebabnya
ya penurunan harga batubara dan CPO, yang notabene merupakan andalan utama
ekspor Indonesia. Nah, berhubung kita tahu bahwa sekarang ini harga-harga
komoditas mulai naik lagi, maka menurut anda bagaimana kira-kira outlook
makroekonomi Indonesia untuk tahun 2017 mendatang???
Biji sawit dan batubara, dua komoditas utama Indonesia |
Kesimpulan
Kesimpulannya IHSG mungkin
akan lanjut turun, dan itu sangat normal, tapi penurunannya tidak akan terlalu
dalam, apalagi sampai ke posisi panic selling seperti tahun 2015 lalu, dan
penulis termasuk yang optimis bahwa IHSG akan menutup tahun 2016 pada posisi
naik (dibanding posisinya awal tahun lalu, yakni 4,593). Kemudian, terlepas
dari berapapun posisi IHSG pada akhir tahun nanti, maka kecuali terjadi
peristiwa penting yang benar-benar berdampak serius terhadap iklim
investasi di pasar modal, kita akan memulai tahun 2017 dengan optimisme tinggi,
dimana jika para emiten kembali membukukan kenaikan laba setelah ‘puasa’ selama
tiga tahun terakhir, maka pada tahun 2017 tersebut kita akan kembali
menyaksikan IHSG break new high. We’ll see.
Okay, lalu bagaimana
strateginya? Apa yang harus saya lakukan sekarang? Well, it’s obvious, isn’t
it? Kalau posisi anda masih full di saham, maka jual sebagian pegangan untuk
memperoleh sejumlah cash, minimal 30% dari total nilai porto, tapi gak perlu
sampai full cash juga karena toh ini cuma sementara,
dimana asalkan anda memegang saham bagus pada harga murah, pada akhirnya saham-saham
anda akan naik lagi. Just remember: Mau IHSG naik atau turun, yang penting fundamental ekonomi kita baik-baik saja. Pada
tahun penghujung tahun 2015 lalu, ketika hampir semua orang terkapar KO di
pojok ring setelah IHSG drop total 12.1% sepanjang tahun, penulis menjadi satu
dari sedikit investor yang tetap optimis bahwa di tahun 2016 nanti kita akan
mendulang profit besar (And indeed we did it, hehehee). Anda bisa baca lagi ulasan
akhir tahun 2015 disini.
Balik lagi ke soal
strategi. Namun kalau anda mau belanja full power, maka anda baru boleh
melakukannya pada sekitar akhir Desember nanti, yakni ketika semua keributan
soal Trump, Ahok dll ini mereda. Just remember: Seperti halnya kehebohan soal
Tax Amnesty akhirnya meredup seiring dengan berjalannya waktu, maka
semua kebingungan soal ‘Trump Effect’ ini juga akan dilupakan orang, dan
pasar akan pulih dengan sendirinya ketika orang-orang menyadari bahwa mereka
sudah bisa membeli BBRI dkk pada harga yang, well, reasonable.
Buku kumpulan analisis saham-saham pilihan
berdasarkan kinerja perusahaan di Kuartal III 2016 sudah terbit! Anda bisa
langsung memperolehnya
disini.
Komentar
Coba bandingkan dengan Singapore, Malaysia. Market mereka secara gross masih lebih murah.
GDP Indonesia pun kalau ukurannya US Dollar (bukan rupiah) tidak se fantastis yg pemerintah katakan pertumbuhannya (Malah drop GDP nya).
Jadi.. You know the conclusion.
PB BBCA 4.0 sementara Wells Fargo (NYSE:WFC) hanya 1.48., Kemudian American Express (NYSE: AXP)nih perusahaan bagus banget Moat nya jelas lebih kuat dibanding BBCA/BBRI dan kawan2nya. PB ny hanya 3.1, nggak sampe 4.