Bumi Resources, and The Rising Coal Price
Dalam satu sesi seminar
beberapa waktu lalu, seorang peserta bertanya, ‘Pak Teguh, gimana pendapatnya
soal Bumi Resources (BUMI)? Waktu itu saya baca tulisan Anda soal
restrukturisasi utangnya. Jika restrukturisasi itu sukses, harusnya sahamnya
bakal naik banyak dong?’ Dan penulis menjawab, ‘Soal apakah restrukturisasi
utangnya bakal sukses atau tidak, soal apakah kinerja BUMI kedepannya akan
improve lagi, itu kita tidak ada yang tau. Tapi yang jelas, keputusan untuk
membeli BUMI pada harga gocap jelas menawarkan risk and potential gain yang
sangat berbeda dibanding membeli BUMI pada harga 1,000. Saya tidak tertarik
ketika BUMI ini masih di level 1,000-an, tapi bagaimana kalau di harga 50? Bukankah
itu hampir sama seperti kalau kita memperoleh BUMI ini secara gratis???’
BUMI baru saja
melaporkan kinerjanya untuk Semester I 2016 pada awal Oktober kemarin, dimana
secara umum belum ada improvement berarti: Pendapatannya turun dari US$ 21
menjadi 12 juta, dan labanya masih minus alias rugi US$ 11.8 juta. Ekuitas
perusahaan juga masih minus alias defisiensi modal sebesar US$ 2.8 milyar, dan
BUMI punya utang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam setahun kedepan
sebesar US$ 3.6 milyar, dimana jika manajemen tidak berhasil melunasinya,
mengajukan penundaan pembayaran, atau mengkonversinya menjadi saham, maka BUMI
bisa dipastikan bakal pailit. Dilihat dari sini maka BUMI masih merupakan
perusahaan dengan kinerja worst of the worst di jagat BEI. Actually, the
company is dying.
Namun dari sisi
operasional, maka perusahaan mungkin baru saja melewati masa-masa tersulitnya
di tahun 2015 lalu, karena sepanjang Januari – Juni 2016 kemarin, situasinya
sedikit banyak mulai ada perbaikan. Okay, mari kita lihat. Pada tahun 2015,
BUMI menjual 79.3 juta ton batubara, turun 6.4% dibanding 2014, sementara harga
jual batubaranya juga hanya US$ 45 per ton, anjlok dibanding US$ 53 per ton
pada 2014. Namun demikian BUMI, seperti juga kebanyakan perusahaan batubara
lainnya, sepanjang tahun 2015 terbilang sukses menekan biaya operasional untuk
produksi batubaranya (diluar biaya finansial seperti beban bunga utang), dimana
cash cost turun menjadi US$ 30 untuk setiap ton batubara yang ditambang,
dari sebelumnya US$ 35.
Sementara pada Semester
I 2016, volume penjualan batubara BUMI tercatat 41.9 juta ton, atau kembali
meningkat 5.1% dibanding periode yang sama tahun 2015, dan cash cost-nya
kembali turun jadi US$ 27 per ton. Dan meski harga jual batubara milik BUMI
masih kembali turun jadi US$ 40 per ton, namun itu karena harga patokan
batubara di Newcastle Australia ketika itu memang lagi rendah-rendahnya, dimana
sepanjang Januari – Juni 2016, harga batubara Newcastle tercatat hanya US$ 53 –
57 per ton, dibanding periode yang sama tahun 2015 yang masih US$ 63 – 67 per
ton.
Kabar baiknya,
belakangan ini harga batubara Newcastle mulai naik lagi.. dimana terakhir sudah
tembus US$ 78 per ton! Jadi BUMI, seperti juga perusahaan-perusahaan batubara
lainnya, bisa dipastikan akan menikmati kenaikan harga jual batubara sepanjang
Semester II 2016 ini, dan laba operasionalnya juga bisa dipastikan akan lebih
besar dibanding tahun 2014 dan 2015, mengingat biaya produksi batubara sekarang
ini jauh lebih murah dibanding tahun-tahun yang lalu.
Harga batubara dalam 6 bulan terakhir, so far sudah naik hampir 40% |
However, mau sebagus
apapun perkembangan kinerja BUMI dari sisi operasional, tapi jika perusahaan
masih belum bisa membereskan masalah utangnya yang segunung maka laporan
keuangannya bisa dipastikan bakal tetap berantakan. Jadi yang penting untuk
diperhatikan adalah terkait perkembangan restrukturisasi utang-utang perusahaan.
Diatas sudah disebutkan bahwa jika manajemen BUMI tidak berhasil melunasi
utang-utangnya, mengajukan penundaan pembayaran, atau mengkonversinya menjadi
saham, maka perusahaan bisa dipastikan bakal pailit. Dan karena opsi melunasi
terbilang mustahil, maka yang bisa diupayakan adalah penundaan pembayaran atau
konversi utang menjadi saham alias restrukturisasi,
dimana sudah sejak setahun lalu manajemen mengajukan proposal ke para
kreditornya, yang pada intinya adalah mengkonversi utang-utang senilai total
US$ 2.8 milyar menjadi saham BUMI dan saham di anak-anak usaha milik BUMI,
sementara sisa utang yang US$ 1.2 milyar (BUMI totalnya punya utang senilai
sekitar US$ 4 milyar), jangka waktu pelunasannya diperpanjang hingga lima tahun
kedepan, dengan imbalan peningkatan nilai collateral. Anda bisa baca
lagi analisis detailnya disini.
BUMI akan mengkonversi
utangnya dalam waktu dekat?
Nah, setelah lewat satu
tahun, sekarang bagaimana perkembangannya? Here we go. Pada tanggal 27 Oktober
nanti manajemen BUMI akan mengikuti sidang PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang) terkait utangnya yang terancam default senilai Rp28.5 trilyun,
dimana hanya ada dua kemungkinan: 1. BUMI akan dipailitkan, atau 2. Utang tersebut
dikonversi menjadi saham, minimal sebagian diantaranya. Jika BUMI pailit, maka
artinya the end, restrukturisasinya gagal dan Bakrie harus get out dari BUMI,
which is unlikely mengingat reputasi Grup Bakrie yang selama ini selalu lolos
dari lubang jarum, dan harga batubara belakangan ini (akhirnya) mulai naik.
Sementara jika utang
tersebut jadi dikonversi menjadi saham, maka BUMI akan menerbitkan saham baru (right
issue) yang akan diambil oleh para kreditornya, dan harga pelaksanaan right
issue-nya adalah berdasarkan harga
rata-rata di pasar selama 25 hari perdagangan terakhir sebelum tanggal
efektif right issue-nya nanti. Nah, disinilah menariknya: Kita tahu bahwa harga
rata-rata BUMI selama sebulan terakhir adalah sekitar Rp70 – 80. Jika harga
right issue-nya nanti adalah di level 70 – 80 tersebut, maka BUMI harus
menerbitkan saham baru dalam jumlah yang amat sangat banyaaaak, yakni hingga
ratusan milyar lembar mengingat nilai right issue-nya juga sangat besar, yakni maksimalnya
hingga Rp28.5 trilyun. Dan jika BUMI memang harus menerbitkan saham hingga
sebanyak itu, maka kepemilikan Bakrie di BUMI akan sangat terdilusi hingga
mereka sendiri malah akan jadi pemegang saham minoritas dan kehilangan kendali
atas perusahaan, dan Om ARB jelas tidak mau itu terjadi.
Jadi solusinya? Ya
saham BUMI di market harus dikerek hingga ke level tertentu, sehingga harga
right issue-nya nanti tidak ditetapkan di level 70 – 80 melainkan lebih tinggi
dari itu, sehingga jumlah saham baru yang diterbitkan nanti tidak akan terlalu
banyak, dan Bakrie akan tetap menjadi pemegang saham mayoritas di BUMI! Jadi kemungkinan
itulah yang menyebabkan saham BUMI naik lagi dua hari terakhir ini. Tapi
berbeda dengan kenaikan-kenaikan sebelumnya, kenaikan BUMI kali ini memiliki dasar analisis yang kuat, dan seharusnya akan berlanjut jika manajemen BUMI
nanti benar-benar sukses memperoleh persetujuan untuk mengkonversi utang perusahaan
menjadi saham.
Wah, jadi kalau gitu BUMI
sekarang boleh dibeli dong? Well, I told you one year ago that BUMI is indeed
interesting at the price of gocap! But sadly almost nobody listening (anda bisa
baca-baca lagi komentarnya di
artikel ini). Tapi sekali lagi, tetap harus diingat bahwa kinerja
perusahaan masih berantakan, dan bahkan kalaupun manajemen BUMI sukses
mengkonversi utangnya, maka itu tidak menjadi jaminan bahwa BUMI akan kembali
profit kedepannya, sehingga keputusan
untuk masuk ke BUMI saat ini masih lebih dekat ke spekulasi ketimbang investasi.
Jika anda mau main aman, maka sebaiknya tunggu beberapa hal berikut: 1. BUMI dipastikan memperoleh
persetujuan untuk mengkonversi utangnya, setelah sidangnya tanggal 27 Oktober nanti, 2. BUMI kembali mencatat posisi ekuitas
yang positif, alias tidak lagi defisiensi modal, karena memperoleh tambahan
modal dari right issue-nya plus berkurangnya nilai utang, dan 3. Perusahaan
kembali membukukan laba bersih, mungkin mulai tahun depan atau tahun depannya
lagi (2017, atau 2018) dengan asumsi kenaikan harga batubara terus berlanjut, atau
minimal gak turun lagi ke US$ 50-an per ton.
Hanya saja, ketika tiga
poin diatas akhirnya benar-benar terjadi maka hampir pasti saham BUMI bakal sudah
naik duluan, mungkin malah jauh lebih tinggi dari posisinya saat ini (Rp123). Jadi
kalau anda berani ambil risiko, well, here you go your ‘saham sejuta umat’, just
take it now or never!
Buletin Analisis
IHSG & Stockpick Edisi November 2016 sudah terbit! Dan Anda bisa langsung memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab
saham langsung dengan penulis untuk member.
Ebook Analisis Kuartal III 2016 juga sudah terbit. Dan anda bisa memperolehnya disini.
Ebook Analisis Kuartal III 2016 juga sudah terbit. Dan anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
http://nextshark.com/the-entrepreneur-who-bought-airasia-for-26-cents-and-turned-it-into-a-multi-billion-dollar-airline/
Now or never
Dan kreditur harusnya menuntut BUMI untuk default, menjual/melelang aset dan membayarkannya ke kreditur tsb (walaupun nilainya pasti sudah jauh ter depreciate) dibandingkan dengan nilai piutang mereka terhadap BUMI dulu. Pertanyaannya apakah debt securities BUMI ini diperjualbelikan di bursa Indonesia juga? jika ya, daripada mengkoleksi sahamnya, lebih baik ambil Debt nya.
Untuk memainkan saham BUMI di market saat ini, menurut saya kalau tujuannya mereka ingin tetap jadi mayoritas saat setelah saham yg baru diterbitkan, mereka perlu dana yg tidak sedikit, minimal harus bisa mengerek BUMI sampai ke Rp. 1000,- di market.
Sperti blom ada gerakan yg signifikan...trimakasih