Analisis IPO Waskita Beton Precast
IPO Waskita Beton
Precast mungkin merupakan IPO yang paling ramai dibicarakan di market di tahun 2016
ini, karena beberapa faktor. Pertama, dia BUMN, dimana kalau melihat IPO-IPO BUMN
sebelumnya yang terbilang sukses dari sisi kenaikan harga sahamnya, seperti
Wijaya Karya Beton (WTON) atau PP Properti (PPRO), maka IPO Waskita Beton ini
juga diprediksi akan sukses. Kedua, ketika IHSG naik banyak dalam tiga bulan
terakhir ini, maka saham-saham BUMN lapis dua (yang harga sahamnya di nominal
ratusan Rupiah) naiknya lebih banyak lagi, dan harga perdana Waskita Beton ini
kebetulan juga akan berada di level Rp400 – 500 per saham. Dan ketiga, Waskita
Beton bergerak di bidang yang berhubungan langsung dengan pembangunan
infrastruktur, yakni pembuatan beton precast dan ready mix untuk
konstruksi jalan raya, jembatan, dll, dimana sejak setahunan lalu, boleh
dibilang tidak ada cerita lain yang lebih hot dan konsisten di market
kecuali soal pembangunan infrastruktur ini.
Namun terkait
perusahaannya sendiri, apakah anda mengerti apa itu beton precast dan
ready mix? Lalu bagaimana prospek, risiko usaha, serta track record kinerja
perusahaan baik secara historis maupun yang terbaru? Okay, kita akan
membahasnya disini.
Waskita Beton adalah
anak usaha dari Waskita Karya (WSKT), dimana sebagai perusahaan konstruksi,
WSKT tentunya memiliki unit usaha di bidang pembuatan beton precast, yakni beton semen untuk konstruksi jalan layang,
tiang listrik, gorong-gorong, bantalan rel kereta api dll, yang dicetak di pabrik
lalu dikirim satu per satu ke lokasi konstruksi, untuk
kemudian dipasang. Berikut adalah gambar beberapa jenis beton precast yang
diproduksi perusahaan (klik gambar untuk memperbesar):
Hingga Juni 2016, Waskita
Beton memiliki delapan pabrik beton precast yang berlokasi tak jauh dari
proyek-proyek konstruksi milik WSKT (umumnya konstruksi jalan tol), yakni di
Cibitung (Cikarang), Sadang (Subang), Kalijati (Subang), Purwadadi (Subang),
Karawang, Serang, Sidoarjo, dan Palembang. Sekitar 87% pendapatan Waskita Beton
berasal dari penjualan beton precast, umumnya ke sesama anak usaha WSKT,
dan selebihnya berasal dari penjualan ready mix, yakni beton cor yang
dicetak langsung di lokasi konstruksi (pake truk molen yang gede itu lho).
Waskita Beton membukukan laba bersih Rp230 milyar per Kuartal II 2016, yang mencerminkan
annualized ROE 24.7% berdasarkan nilai ekuitas Rp1.9 trilyun, atau cukup
baik. Pada tahun 2014 dan 2015, ROE Waskita Beton juga stabil diatas 20% per
tahun.
Nah, ketika Pemerintahan
baru dibawah Presiden Jokowi resmi dilantik pada bulan Oktober 2014, PT Waskita
Beton Precast juga langsung didirikan pada bulan Oktober tersebut, ketika itu dengan
target untuk IPO tiga tahun kemudian (berdasarkan peraturan BEI, sebuah
perusahaan/PT baru bisa IPO setelah berdiri dan beroperasi minimal tiga tahun
sebelumnya). Jadi ketika pemerintah dengan cepat mengucurkan dana ke BUMN-BUMN termasuk WSKT untuk membangun infrastruktur melalui mekanisme penyertaan
modal negara (atau right issue, jika BUMN tersebut berstatus sebagai perusahaan
Tbk), dimana WSKT sudah melakukan right issue-nya pada tahun 2015 kemarin, maka
juga terdapat opsi untuk meraup dana tambahan dari investor di pasar modal melalui
mekanisme IPO.
Tapi kalau WSKT sejak
awal sudah listing di BEI, lalu perusahaan apa yang akan di-IPO-kan? Ya bisa
IPO anak usahanya. Kalau WSKT gak punya anak usaha gimana? Ya tinggal ke
notaris, bikin PT dimana WSKT menjadi pemegang sahamnya (jadi PT baru ini
berstatus sebagai anak usaha WSKT), kemudian letakkan sebagian lini usaha WSKT dibawah PT yang baru ini, lalu tunggu 3 tahun. Maka kemudian lahirlah
PT Waskita Beton Precast ini. Dalam kasus IPO Waskita Beton ini memang
Pemerintah tidak perlu nunggu sampai 3 tahun sejak pendirian perusahaan
(Waskita Beton akan listing tanggal 20 September nanti, atau gak sampai 2 tahun
sejak pendirian perusahaan), tapi sepertinya dalam hal ini BEI melakukan
pengecualian, karena ini urusannya sama bos besar (baca: Pemerintha).
Jadi kalau anda ikut
IPO Waskita Beton ini, maka secara tidak langsung anda turut berpartisipasi
dalam pembangunan infrastruktur yang digalang oleh pemerintah. Dari IPO-nya,
Waskita Beton akan memperoleh tambahan modal sekitar Rp4 trilyun, yang akan
sepenuhnya digunakan untuk modal kerja (pembelian bahan baku, gaji karyawan,
dll), investasi pembangunan pabrik beton baru, dan meningkatkan kapasitas
produksi dari pabrik-pabrik yang sudah ada. Berhubung WSKT sebagai induk
perusahaan sudah memperoleh banyak sekali kontrak konstruksi hingga beberapa
tahun kedepan, terutama pembangunan jalan tol dan jaringan transmisi
listrik di Jawa dan Sumatera (dan WSKT sendiri tahun kemarin sudah memperoleh
tambahan dana Rp5 trilyun dari right issue untuk mengerjakan proyek-proyek
tersebut), maka Waskita Beton sepertinya tidak perlu khawatir kekurangan pembeli untuk
produk-produk beton yang akan dihasilkan nanti, karena sejak awal pembelinya
sudah ada. Total nilai kontrak yang diperoleh WSKT sendiri sampai Juni 2016
tercatat Rp45.7 trilyun, atau kembali meningkat signifikan dibanding tahun 2014
dan 2015, dan ini belum termasuk tambahan kontrak yang bisa diperoleh
perusahaan di masa yang akan datang. So, kalau bicara prospek maka cukup jelas
bahwa Waskita Beton ini menawarkan prospek investasi jangka panjang yang
menguntungkan.
Lalu bagaimana dengan
sahamnya?
Melalui IPO-nya,
Waskita Beton akan melepas 10.5 milyar lembar saham baru yang mencerminkan 40%
jumlah saham beredar perusahaan. Let say kita ambil harga terendah, yakni Rp400
per saham, maka Waskita Beton akan memperoleh dana Rp4.2 trilyun, sehingga
nilai ekuitas perusahaan pasca IPO adalah Rp6.1
trilyun. Karena jumlah saham Waskita Beton setelah IPO adalah 26.4 milyar lembar, maka nilai bukunya
adalah Rp231 per saham, sehingga PBV-nya 400 / 231 = 1.7 kali.
Dan berhubung saat ini
PBV dari saham-saham konstruksi di BEI rata-rata mencapai 2 atau bahkan 3 kali,
maka PBV segitu sekilas tampak murah. Namun perhatikan pula: Valuasi saham-saham
konstruksi belakangan ini memang lagi tinggi-tingginya seiring dengan bullish
IHSG, atau dengan kata lain valuasi saham konstruksi pada saat ini tidak mencerminkan rata-rata valuasi mereka
dalam jangka panjang, karena kita tahu bahwa IHSG juga tidak selalu tinggi seperti sekarang, melainkan
diwaktu-waktu yang lain pernah turun juga,
dan akan turun lagi suatu waktu nanti, karena itu merupakan siklus pasar yang normal.
Contohnya, ketika IHSG
berada di posisi bottom pada Agustus 2015 lalu, maka saham-saham
konstruksi/properti ketika itu juga turun cukup dalam, hingga PBV Adhi Karya
(ADHI) (ini salah satu saham favorit penulis di sektor konstruksi) sempat hanya
1.4 kali. Demikian pula dengan PP Properti (PPRO),
yang jeblok sampai Rp130 per saham dimana PBV-nya pada harga segitu cuma 0.9
kali. Contoh lainnya, pada tahun 2013, IHSG sempat melaju kencang dari 4,300-an
hingga tembus 5,250 pada pertengahan tahun (naik hampir 1,000 poin hanya dalam
waktu enam bulan), dan ketika itu ADHI dkk juga naik gila-gilaan hingga PBV
mereka mencapai 4 kali atau bahkan lebih. Tapi di semester dua-nya, IHSG mulai
turun dan terus turun, hingga balik lagi ke 4,200-an. Sementara ADHI? Well,
dari sebelumnya dia naik dari 2,500 sampai sempat menyentuh 4,000, tapi
selanjutnya dia turun ke posisi yang bahkan lebih rendah dari sebelum dia naik,
yakni 1,400-an. Dan pada harga bottom-nya tersebut, PBV-nya hanya 1.4 kali.
Intinya sih, kalau kita
pakai rata-rata valuasi saham konstruksi dalam jangka panjaaaang, katakanlah
dalam 5 tahun dimana selama itu tentunya IHSG akan mengalami periode bullish
dan bearish-nya secara bergantian, maka PBV saham-saham konstruksi sebenarnya bukan 2 –
3 kali, melainkan lebih rendah dari itu, kurang lebih sama saja seperti
rata-rata PBV saham lain pada umumnya. Malah justru, karena saat ini PBV
saham-saham konstruksi berada di level 2 – 3 kali, maka artinya posisi IHSG sekarang ini sudah cukup tinggi, dimana meski
dalam jangka pendek bukan tidak mungkin IHSG naik lebih tinggi lagi (karena
dimasa lalu, PBV WSKT dkk bahkan bisa mencapai 3.5 – 4 kali), tapi dalam jangka
panjang pada akhirnya IHSG akan turun untuk menyesuaikan diri. Dan itu, sekali
lagi, merupakan siklus pasar yang sangat normal.
Antara Siklus Pasar dan
Timing
Kemudian kalau
berdasarkan pengalaman, ketika sebuah emiten IPO maka sahamnya akan mengalami
semacam masa transisi, dimana
keputusan investor untuk membeli atau menjual sahamnya akan lebih dipengaruhi
oleh hal-hal yang tidak terkait langsung dengan fundamental perusahaan, yakni (seperti
yang sudah disebut diatas): 1. Sejarah IPO-IPO sebelumnya, 2. Harga
nominal saham, dimana saham dengan nilai nominal ratusan Rupiah biasanya naiknya lebih
tinggi dibanding saham dengan nilai nominal ribuan, dan 3. Sentimen
positif/negatif yang beredar.
Dan yang paling penting
dari semuanya adalah: Kondisi pasar. Anda
tahu kenapa IPO Waskita Beton ini ramai dibicarakan di publik dan diprediksi
bakal sukses? Well, itu bukan karena perusahaannya bagus, sahamnya murah, atau
semacamnya, karena tidak semua orang bisa menganalisis hal-hal tersebut. Yang
benar adalah karena parena pasarnya lagi bagus, dimana IHSG lagi naik dan hampir semua
orang sedang dalam posisi cuan sehingga punya cukup duit untuk beli saham baru
(baca: saham IPO), apalagi jika saham baru tersebut terkait dengan sentimen
positif yang sedang beredar, dalam hal ini pembangunan infrastruktur.
Tapi jika besok-besok
IHSG turun, maka ya cerita IPO-nya bakal sepi lagi, dan sahamnya boro-boro melompat
seperti yang diprediksi sebelumnya, melainkan bisa saja malah langsung nyungsep.
Jadi dalam hal ini faktor timing sangat
mempengaruhi kesuksesan IPO. IPO Wijaya Karya Beton (WTON) pada April 2014 lalu
terbilang sukses karena IHSG ketika itu lagi naik, dan di bulan-bulan
selanjutnya terus saja naik. Namun cerita berbeda dialami PP Properti (PPRO),
yang meski sahamnya juga sempat melompat dari 185 ke 250 dalam hitungan hari
setelah listing perdana di bulan Mei 2015, tapi karena IHSG-nya ketika itu
mulai longsor maka sahamnya pun turut longsor hingga mentok di 130 pada Agustus
2015. Cerita yang lebih tragis lagi dialami Garuda Indonesia (GIAA), yang juga
melakukan IPO besar-besaran pada Februari 2011, tapi pas banget ketika itu
IHSG-nya lagi turun. Alhasil saham IPO-nya bahkan tidak laku dijual, dan
setelah listing tanpa ampun sahamnya langsung jeblok dari harga perdana 750,
hingga akhirnya mentok di 200-an.
Jadi selama ‘masa
transisi’ inilah, pergerakan saham-saham IPO akan lebih dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal seperti fluktuasi IHSG, cerita yang beredar, dll.
Kemudian setelah beberapa bulan atau maksimal satu tahun, maka barulah
orang-orang akan balik lagi ke faktor fundamental dan prospek usaha jangka
panjang. PPRO bisa naik lagi ke posisi sekarang karena memang kinerjanya bagus.
Sementara GIAA, meski belakangan ini juga lagi naik seiring dengan euforia
saham-saham BUMN, namun hingga 2015 lalu dia hanya mondar-mandir saja di harga
bawah, karena memang kinerjanya jelek.
Kesimpulannya, untuk Waskita Beton ini juga sama: Kinerjanya bagus, prospeknya bagus, dan valuasinya cukup wajar. Tapi selama masa transisi-nya nanti, maka orang-orang tidak akan memperhatikan hal tersebut, melainkan lebih melihat kondisi IHSG dan lain-lain. Sehingga sekarang pilihannya ada dua: Jika anda berpendapat bahwa bullish IHSG masih akan berlanjut dalam jangka pendek, setidaknya sampai tanggal 20 September nanti (karena Waskita Beton akan listing perdana pada tanggal tersebut), then go ahead, anda bisa langsung join IPO-nya dari sekarang. Don’t worry, Waskita Beton ini barang bagus kok.
Tapi jika anda
berpendapat bahwa posisi IHSG pada saat ini sudah berisiko dan bisa balik arah
sewaktu-waktu, maka anda bisa masuk belakangan dengan cara membeli sahamnya nanti di market, kalau bisa tunggu selama beberapa bulan hingga ‘masa transisi’ saham
Waskita Beton ini berakhir, sambil terus melihat perkembangan kinerja terbaru
perusahaan dari kuartal ke kuartal. Intinya sekali lagi, Waskita Beton ini bagus
indeed, tapi ini cuma soal timing saja.
PT Waskita Beton Precast, Tbk
Rating kinerja pada
Kuartal II 2016: A
Rating Saham pada 400:
A
Info Investor: Buku kumpulan
analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal II 2016 sudah
terbit! Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
BV sebelum ipo adalah Rp. 118
PBV yg tepat sebagai dasar analisis adalah= Rp.400 : Rp. 118 = 3.4 kali
Cara lain, Bila ekuitas sebelumnya yg Rp. 1.9 Trilyun itu adalah nilai buku yg mewakili 60% kepemilikan setelah IPO,
Artinya nilai buku 40% kepemilikan adalah = 40/60 x Rp. 1.9 trilyun = Rp. 1.25 Trilun.
Bila waskita beton menjual 40% kepemilikan sebesar Rp. 4,2 Trilyun, maka Premium (atau PBV) yg diminta adalah = Rp. 4,2 Trilyun : Rp. 1,25 Trilyun = 3.4 kali..