Pergerakan Saham-Saham BUMN: What Happen?

Pada jaman dahulu kala, pada masa-masa kegelapan ketika IHSG bisa terbang atau sebaliknya nyungsep hingga 5 – 7% dalam sehari, dan hampir semua orang lebih suka tik tok saham gorengan ketimbang beli saham bagus kemudian disimpan, Grup Bakrie menguasai pasar dengan Bakrie Seven Brothers-nya (B7), dimana pergerakan Bumi Resources (BUMI) bahkan lebih diperhatikan pelaku pasar ketimbang IHSG itu sendiri. Begitu berkuasanya Grup Bakrie ketika itu, sampai-sampai ketika Sri Mulyani menolak men-suspend saham BUMI yang terus meluncur ke dasar jurang pada market crash tahun 2008, maka posisi beliau sebagai Menteri Keuangan langsung digoyang melalui kasus Bank Century. Nobody mess up with us! Kata orang-orang Grup Bakrie ketika itu.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, dan seiring dengan ketidak mampuan anak-anak usaha Grup Bakrie dalam mencatatkan kinerja keuangan yang positif plus meningkatnya kesadaran investor akan pentingnya analisis fundamental, maka power B7 dengan sendirinya meredup. Sudah sejak sekitar dua tahun lalu, tujuh anggota B7 yakni Bakrie Telecom (BTEL), Bakrie & Brothers (BNBR), BUMI, Bakrieland Development (ELTY), Energi Mega Persada (ENRG), Bakrie Sumatera Plantations (UNSP), dan Darma Henwa (DEWA), semuanya sepakat untuk tiarap di level gocapan. Jika dulu hampir semua analis dan wartawan sudah seperti kecanduan dalam membahas aksi-aksi korporasi ajaib yang dilakukan BUMI dkk setiap hari (plus pergerakan sahamnya yang tidak kalah ajaibnya), dan Mr. Dileep (direktur humas BUMI) sudah seperti artis infotainment, maka sekarang sudah tidak ada yang peduli lagi mereka mau ngapain. Bandar terbesar sepanjang sejarah BEI itu akhirnya pergi dan tak bisa kembali lagi, dan penduduk pasar modal bisa kembali berinvestasi dengan tenang dan damai, atau setidaknya begitulah kelihatannya. Selepas runtuhnya Dinasti Bakrie, belum ada lagi grup konglomerasi yang mampu membuat heboh pasar modal, seiring dengan IHSG-nya yang juga belum kemana-mana lagi sejak 2013 lalu. Grup MNC sebenarnya sudah mencoba melakukan hal itu dengan sesekali menggoreng saham-saham seperti BHIT, MNCN, BMTR, KPIG, hingga BABP, tapi sepertinya mereka belum berhasil menarik perhatian pasar.

Logo sebuah perusahaan yang pada masanya dulu pernah jadi perusahaan nomor enam terbesar di BEI dari sisi market cap

However, jika dikatakan bahwa pasar modal sekarang sudah aman tentrem kertorahardjo, maka mungkin itu tidak sepenuhnya tepat.

Dalam dua tahunan terakhir, istilah ‘saham gorengan’ atau ‘saham sejuta umat’ sudah tidak lagi populer setelah BUMI sebagai rajanya saham gorengan terkapar di gocap. Namun itu bukan berarti tidak ada lagi saham lain yang dipermainkan bandar, dan kali ini saham-saham gorengan tersebut tidak lagi punya hubungan dengan Grup Bakrie ataupun grup-grup konglomerasi lainnya, melainkan.. Pemerintah.

Yup, entah anda memperhatikan atau tidak, belakangan ini saham-saham BUMN seringkali bergerak liar dengan fluktuasi yang tidak kalah ekstrim-nya dibanding BUMI dkk dulu. Dan pemberitaan, analisis, serta komentar tokoh-tokoh penting tentang perusahaan-perusahaan terkait, entah itu bersifat positif atau negatif, juga tidak kalah massive-nya dalam menghiasi media, sehingga menanamkan perspektif jangka pendek dalam benak para investor. Jadi jika ada berita jelek tentang perusahaan tertentu, maka sahamnya akan turun, dan orang akan panik dan cut loss. Sebaliknya, jika beritanya bagus maka sahamnya akan terbang, dan orang akan ramai-ramai masuk di harga atas. Seringkali sebuah saham BUMN dijatuhkan sedemikian rupa, atau turun sendiri seiring dengan penurunan IHSG, namun kemudian langsung naik lagi setelah pejabat mengeluarkan statement positif tertentu terkait perusahaan.

Dan kasus pertama yang penulis ingat adalah, pada awal tahun 2014 lalu, Menteri BUMN ketika itu, Dahlan Iskan, mengatakan bahwa Bank BTN (BBTN) akan diakuisisi oleh Bank Mandiri (BMRI). Alhasil, BBTN yang sebelumnya berada di level rendah 900-an (karena pada awal 2014 tersebut, posisi IHSG masih rendah karena koreksi pasar sejak bulan Juni tahun sebelumnya), dengan cepat naik hingga menyentuh 1,400 pada bulan April, atau menghasilkan profit 50%. Tapi setelah kenaikan yang luar biasa itulah, tiba-tiba saja dikatakan lagi bahwa akuisisinya batal! Dan alhasil BBTN balik ke 1,000 hanya dalam sebulan kemudian, menyisakan investor yang kebingungan karena nyangkut di harga atas.

Lalu persis setahun kemudian yakni pada awal 2015, BBTN kembali under attack setelah keluar berita bahwa Pemerintah akan menurunkan bunga kredit KPR, dimana itu ditengarai akan merugikan BBTN, dan BBTN yang sempat stabil di 1,200 tanpa ampun balik lagi ke level dibawah 1,000, padahal IHSG-nya justru lagi naik! Siapapun bandar yang mempermainkan BBTN ini, namun jelas mereka memanfaatkan ketidak pahaman investor tentang apa itu bunga KPR bersubsidi, dan mampu membuat kesan bahwa BBTN memang akan merugi. Sehingga ketika BBTN turun lagi sampai 900-an, semua orang justru menghindari sahamnya.

Tapi tak lama kemudian, BBTN sudah di level 1,200-an lagi! Dan.. seperti yang bisa anda lihat sendiri, berapa posisi BBTN sekarang???

Setelah kasus BBTN tersebut, kesininya trend pergerakan ekstrim saham-saham BUMN justru semakin menjadi-jadi, dimana saham-saham trio bank besar (BBRI, BBNI, BMRI) dibikin jeblok pake cerita pembatasan NIM, ADHI sempat naik dan turun setelah direkturnya sendiri ngomong ngelantur tentang harga right issue-nya, dan PGAS dihantam habis-habisan pake cerita penurunan harga gas dan isu diakuisisi oleh Pertamina. Para pejabat yang ngomong aneh-aneh di media, dimana itu mempengaruhi pergerakan saham BUMN terkait, juga tambah banyak, mulai dari petinggi perusahaan, petinggi OJK, hingga pejabat di Kementerian BUMN itu sendiri. Jika itu belum cukup, maka saham-saham BUMN yang tergolong second liner seperti ANTM, SMBR, GIAA, PPRO, hingga KRAS, entah bagaimana ceritanya bisa terbang sampai ke langit! Padahal sebagian besar dari saham-saham kecil tersebut memiliki fundamental yang buruk.

Pendek kata, ketika penulis dulu pernah mengatakan bahwa selepas jamannya saham-saham Bakrie, nanti akan ada saham-saham lain yang menggantikan posisi mereka (sebagai ‘saham gorengan’), maka terawangan tersebut sepertinya benar adanya, karena sebagai pasar modal yang relatif masih muda dan nilai total market cap-nya masih kecil, maka relatif mudah bagi pemain besar untuk membandari saham-saham tertentu. Namun demikian, saya sendiri gak pernah mengira bahwa yang sekarang menjadi saham gorengan adalah saham-saham BUMN, termasuk yang berstatus blue chip.

Contoh terakhir, baru saja dua atau tiga minggu lalu PGAS digebuk dari 2,700 sampai 2,200, tapi ketika artikel ini ditulis sudah di level 2,500-an lagi. Jadi bukan tidak mungkin sebagian investor yang memegang PGAS ini kemarin cut loss karena panik dan bingung (karena seminggu lalu, pemberitaan tentang PGAS sangat simpang siur, mulai dari buyback saham, diakuisi Pertamina, direkturnya dicekal, perusahaan menyiapkan capex US$ 500 juta, dst), dan sahamnya kemudian dibeli entah oleh siapa pada harga murah, yang sekarang meraup keuntungan setelah cerita-cerita jelek tentang PGAS menghilang begitu saja, sehingga PGAS kemudian naik dengan sendirinya.

Jadi bagaimana nih?

Okay, lalu sebagai investor, apa yang harus kita lakukan? Well, berbeda dengan saham-saham Grup Bakrie yang sejak awal memiliki fundamental buruk, saham-saham BUMN sejatinya rata-rata memiliki fundamental bagus, dan hanya sebagian kecil diantaranya yang jelek. Jadi kalau kita menghindari sama sekali saham-saham BUMN termasuk  yang fundamentalnya bagus hanya karena permainan bandar seperti ini, maka sepertinya itu bukan strategi yang tepat.

Karena beberapa saham BUMN, terlepas dari fluktuasinya dalam jangka pendek, namun pada akhirnya dia tetap akan naik signifikan selama perusahaannya no problemo. Contoh paling gampang ya BBTN tadi, dimana meski dia butuh waktu setahun lebih dan mungkin sempat bikin pemegang sahamnya jantungan, tapi sekarang dia sudah di 1,700-an, atau mencetak gain sekitar 70% (dan dulu kita pernah membeli BBTN di harga bottom, baca lagi artikelnya disini).

Jadi inilah yang bisa anda lakukan: Jika anda menemukan berita jelek tentang perusahaan BUMN tertentu hingga bikin sahamnya jeblok ke posisi dimana orang-orang mulai panik, dan setelah dipelajari lebih lanjut ternyata perusahaannya baik-baik saja, sementara isu jelek yang dikhawatirkan ternyata tidaklah seburuk kelihatannya/tidak ada dampak negatif apapun ke perusahaan, maka disitulah kita punya opportunity.

However, untuk bisa mengikuti ‘permainan bandar’ seperti itu maka dibutuhkan pengalaman, untuk bisa tetap tenang ketika memutuskan untuk beli saham di harga bottom, dan kemampuan untuk mempelajari isu-isu yang beredar, agar bisa menilai apakah isu-isu tersebut beneran berdampak positif/negatif terhadap perusahaan atau tidak. Sebenarnya karena itu juga, di website ini penulis beberapa kali membahas tentang isu-isu terkait saham BUMN seperti penurunan harga semen, penurunan harga gas, hingga perubahan BI Rate menjadi BI 7-day Repo. Kalau anda perhatikan, modusnya semuanya sama: Sahamnya bagus sehingga harganya gak turun-turun, tapi setelah keluar berita jelek maka barulah sahamnya turun, dan naik lagi tak lama kemudian setelah berita jelek tadi menguap dengan sendirinya. Modus ini sangat mirip dengan cara main saham-saham Bakrie dulu, meski dengan arah kebalikannya: Saham jelek sehingga harganya gak naik-naik, tapi setelah keluar berita bagus maka barulah sahamnya naik. Dan setelah para penggemar saham terbang masuk, itulah saatnya distribusi barang.

Namun sayangnya, sebagian besar investor biasanya tidak punya cukup waktu untuk mempelajari isu-isu yang beredar, dan seringkali mereka bahkan hanya membaca judul beritanya saja, lalu langsung panik. Well, jika anda juga demikian, maka untuk sementara ini sebaiknya hindari saja dulu saham-saham BUMN. Namun jika anda bisa fokus pada fundamental perusahaan dan melihat jauh kedepan, maka anda tetap bisa masuk sedikit-sedikit ke BBRI, PGAS, ADHI, SMGR dan sebangsanya (jadi jangan sekaligus). Pokoknya tiap mereka turun banyak maka ketika itulah anda nambah posisi, udah gitu aja!

Karena, kebalikannya dengan saham-saham Bakrie yang cepat atau lambat bakal ke gocap (dan memang itu sudah terjadi, tapi waktu saya ngomong begini di tahun 2012 lalu, gak ada seorangpun yang percaya), maka saham-saham BUMN yang berfundamental bagus cepat atau lambat akan pulih dan break new high lagi. Seperti kaya pepatah: Time cure everything, termasuk jika anda nyangkut, asalkan nyangkutnya di saham bagus, tentu saja. So, semangat!


Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Juni 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member.

Follow Teguh Hidayat on Twitter & Instagram, @teguhidx.

Komentar

srianto mengatakan…
Mas Teguh, di artikel 29 Feb 16 mengatakan PPRO punya prospek bagus
http://www.teguhhidayat.com/2016/02/pp-properti.html#more
tapi di artikel ini mengapa mengatakan kurang bagus
Teguh Hidayat mengatakan…
@Slamet Irianto: Oh iya, diatas saya mengatakan bahwa 'sebagian besar dari saham-saham kecil tersebut memiliki fundamental yang buruk.' Sebagian besar itu artinya bukan semuanya. Jadi dari enam saham yakni ANTM, SMBR, GIAA, PPRO, dan KRAS, rata-rata memang jelek, namun PPRO pengecualian.

Tapi memang kenaikan PPRO, terlepas dari fundamentalnya yang bagus, juga mulai tidak wajar.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Slamet Irianto: Sorry maksudnya lima saham.
ekohernadi mengatakan…
@Teguh Hidayat:bagaimana dengan INAF pak teguh? Dari Desember 2015 masih ada di Rp 150,- tetapi sekarang sudah lewat dari Rp 1000,- . Apa kena goreng bandar juga ya? Dulu mau masuk kesini, tpi lihat-lihat lagi jadi kurang PEDE. eh sekarang terbang dia... :)
EP Swing Trader mengatakan…
Memang aneh..... Saham ANTM, KRAS, GIAA yang rugi berat, bisa terbang tinggi... luar biasa...
Tks Mas Teguh untuk tulisan dan analisanya... Sangat bermanfaat....
Unknown mengatakan…
Pak Teguh, di artikel sebelumnya http://www.teguhhidayat.com/2013/06/semen-baturaja.html dikatakan
" Baturaja tetap saja terbilang murah jika harga perdananya benar-benar ditetapkan pada level 560".
Namun di artikel ini dikatakan bahwa SMBR "entah bagaimana ceritanya bisa terbang sampai ke langit!".
Padahal harga saat saya posting komentar ini, masih dibawah harga IPO 560..
Apakah ada temuan/analisa yang memang haarga SMBR sekarang mahal?

Untuk PPRO saya sependapat..dan menurut analisa pribadi memang terlalu mahal..

#mohon diposting ya pak..

Salam,
-pram-
Erwww mengatakan…
Sealamat malam
Maaf sedikit pemikiran saya
Itulah kesulitan strategi yang dinamakan Value Investing
Berikut beberapa kelemahan Value Investing :
1. Periode untuk analisa dan melakukan evaluasi saham relative terlalu lama (per quartal jika berdasarkan LK), dan akan lagging (terlambat) karena LK adalah kondisi ekonomi perusahaan di masa lampau, sedangkan pergerakan saham sekarang adalah karena ekspektasi pasar ke kondisi perusahaan ke depannya. Sekarang bisa jadi secara fundamental bagus, tapi 4 bulan ke depan atau setahun kedepan siapa yang tau? Kita hanya meramal disini. Ketika kita tau pada saatnya bisa jadi semua sudah terlambat.
Contoh : saham SSIA pernah dibahas di http://www.teguhhidayat.com/2015/09/cpin-ptba-pgas-dan-ssia.html per hari ini sudah turun -9% dari tanggal tulisan 2 Sept 2015, hampir 10 bulan tanpa hasil. what a waste of time!, Ketika dilakukan evaluasi (yang terlambat pastinya), ujung2 nya adalah melepas saham (jika enggan menggunakan istilah cut-loss)karena LK annual 2015 yang buruk
Jika dibandingkan dengan menggunakan trader way untuk cut-loss (misal cut-loss ala William O'Neil) di 8%, kita sudah akan melepas saham pada tanggal 25 September hanya dalam tempo 23 hari ( dengan asumsi pembelian dilakukan tanggal 2 Sept setelah posting mengenai SSIA di web ini)
Value Investor bilang tidak mau meramal pergerakan harga saham yang random dalam periode pendek, namun mereka meramal kondisi perusahaan di masa depan, jelas sesuatu yang lebih sulit dan lebih tidak transparan apalagi jika hanya mengandalkan LK. Membandingkan kita dengan Warren Buffet dengan kita adalah konyol, ketika ia bilang belilah perusahaan bukan sekedar sahamnya, well ia secara literally memang membeli perusahaan, jelas beda dengan kita yang beli cuma ratusan atau ribuan lot.Warren Buffet atau Peter Lynch mungkin dengan mudahnya bisa berinteraksi dengan management perusahaan untuk benar-benar mengetahui kondisi dan visi perusahaan tersebut, sedangkan kita???
2. Mencari kambing hitam atas pergerakan saham yang tidak wajar. Bandar? Market Mover? Apalah-apalah.. toh itu adalah realitanya. Seharusnya kita sebagai pemain kecil berkawan dengan trend, tidak lah esensial untuk mengetahui alasan mengapa saham bergerak tapi justru memanfaatkannya. Kenyataannya adalah seperti itu,harga naik turun dibanting dilempar diguyur terbang nyungsep apa daya kita, suka atau tidak suka bahkan seperti dibahas diatas saham BUMN atau saham berkapitalisasi besar pun bisa bergerak bak gorengan
Well.. Value Investing mungkin akan berhasil hanya pada orang yang memiliki kesabaran super duper extra (jelas bukan untuk semua orang). Memang saham dengan fundamental baik (mungkin) pada akhirnya akan naik jika LK nya (diharapkan)terus bagus dan (terus) growing. Pertanyaannya "kapan" harganya akan naik? Hanya Tuhan (dan mungkin bandar) yang tahu. Tapi daripada mungkin-mungkin-mungkin.. mending kita cari yang pasti-pasti saja kan
Terimakasih :-)
Unknown mengatakan…
cara melihat fundamental PPRO dimana mas Teguh,Maaf newby

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?