Antara 'Brexit' dan IHSG
Salah satu hot news
yang beredar di market sekarang ini adalah terkait ‘Brexit’, yang merupakan
kependekan dari ‘British Exit’, dan itu merujuk pada referendum di Inggris
pada tanggal 23 Juni nanti (dua hari lagi), dimana rakyat Britania Raya alias
United Kingdom (UK) akan memilih, apakah mereka tetap akan masuk keanggotaan
Uni Eropa, atau keluar. Problemnya, salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Uni
Eropa itu justru UK. Sehingga jika Inggris keluar dari Uni Eropa maka itu
adalah seperti Lionel Messi keluar dari FC Barcelona: Itu nyaris tidak mungkin
terjadi, tapi jika itu sampai terjadi maka bakal gawat jadinya.
Pertanyaannya mungkin,
yang dimaksud ‘gawat’ itu seperti apa? Nah, disini kita akan membahasnya dari
awal. Okay, langsung saja.
Ketika Uni Eropa atau
European Union (EU) dibentuk pada tahun 1957, ketika itu dengan nama European Economic
Community (EEC), tujuannya adalah untuk membuat suatu perekonomian yang
terintegrasi, a single market, dimana setiap negara anggota EEC akan bekerja sama, saling melengkapi, dan saling memperkuat
ekonominya satu sama lain, hingga pada akhirnya meningkatkan pembangunan ekonomi
di kawasan Eropa secara keseluruhan. Jadi tujuannya sama seperti ketika
Indonesia bersama-sama dengan negara-negara Asia Tenggara membentuk Association
of Southeast Asian Nations (ASEAN),
yang kemudian dilanjut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2016
(baca lagi selengkapnya disini). Ketika EEC berdiri,
anggotanya hanya ada enam negara, yakni Belgia, Perancis,
Italia, Luxembourg, dan Jerman Barat, sementara UK baru bergabung tahun 1973. Pada tahun 1993,
EEC berganti nama menjadi European Community, dan tahun 2007 berubah lagi
menjadi European Union.
Nah,
seperti yang sudah disebut diatas, ketika EU ini dibentuk maka tujuannya adalah
agar setiap negara saling memperkuat perekonomiannya satu sama lain. Namun pada
perkembangannya, partai-partai politik di negara tertentu, termasuk di UK, justru
melihat bahwa keberadaan EU ini justru merugikan, terutama dari sisi kedaulatan politik dimana
dikatakan bahwa ‘Uni Eropa memiliki kendali yang terlalu besar terhadap
kehidupan sehari-hari rakyat Inggris’. Sebenarnya Perdana Menteri UK, David Cameron, tidak
pernah mempermasalahkan keanggotaan UK di EU. Namun ketika ia terpilih kembali
sebagai PM pada Pemilu 2015 lalu, ia sudah berjanji untuk menggelar referendum
untuk ‘bertanya’ kepada rakyat Inggris, apakah mereka ingin tetap masuk EU atau
keluar. Harapannya adalah, ketika hasil referendum-nya ternyata mendukung UK
untuk tetap di EU, maka pihak partai oposisi yang selama ini menginginkan UK
untuk keluar dari EU akan bungkam dengan sendirinya. Disisi lain, dengan
menggelar referendum ini, maka UK akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap
EU, dimana Mr. Cameron bisa mengatakan kepada Jean-Claude Juncker (Presiden European
Commission) bahwa, ‘Jangan paksa rakyat Inggris untuk menerima imigran asing,
dan biarkan kami mengurus urusan dalam negeri kami sendiri. Jika tidak, maka
kami akan keluar dari EU’.
Namun demikian, jika hasil
referendumnya justru bahwa UK harus keluar dari EU, maka akan terdapat beberapa
konsekuensi ekonomi, diantaranya: 1. Inggris akan melepas mata uang Euro untuk kembali
sepenuhnya menggunakan mata uang Pound-Sterling. Ini artinya arus ekspor impor
dari Inggris ke Eropa akan menjadi terhambat karena perbedaan penggunaan mata
uang, 2. Turunnya nilai ekspor impor akan berdampak langsung terhadap penurunan
lapangan pekerjaan, 3. Tenaga kerja di UK tidak bisa pindah kerja begitu saja ke
negara lain di Eropa, demikian sebaliknya, 4. Arus keluar masuknya investasi dari
dan ke Inggris akan turun tajam, dan 5. EU akan kehilangan salah satu pilar
ekonomi terbesarnya. Termasuk London Stock Exchange (LSE), yang notabene
merupakan bursa saham terbesar ketiga di dunia (setelah NYSE dan Nasdaq) dan bahkan
lebih besar dari Euronext (bursa saham European Union), akan ‘putus hubungan’
dengan bursa-bursa saham lainnya di Eropa.
Intinya sih, jika
referendum tanggal 23 Juni nanti menghasilkan keputusan bahwa UK harus keluar
dari EU, maka bursa saham Eropa hampir bisa dipastikan akan berjatuhan, dan mau
tidak mau IHSG juga akan ikut turun, kemungkinan bisa cukup dalam mengingat
IHSG sama sekali belum turun banyak dalam beberapa bulan terakhir.
Jadi pertanyaannya
sekarang, apakah hasil referendumnya nanti adalah bahwa UK tetap menjadi
anggota EU, atau justru keluar? Well, kalau berdasarkan beberapa polling yang
sudah digelar, salah satunya oleh koran The Mail, 45% rakyat Inggris memilih ‘stay’,
yakni bahwa UK tetap menjadi anggota EU, dan hanya 42% yang memilih ‘exit’.
Beberapa bandar judi, seperti Betfair dan Ladbrokes, juga lebih menjagokan stay
dengan peluang 73%, ketimbang exit dengan peluang 27%. Jika melihat bahwa David
Cameron dengan Partai Konservatif-nya, yang berstatus sebagai partai pemerintah,
juga mendukung vote stay, maka kemungkinan hasil referendumnya adalah stay. Dan
itu artinya, kemungkinan bahwa bursa-bursa Eropa akan jeblok karena UK
benar-benar keluar dari EU, terbilang kecil. Seperti yang sudah disebut diatas,
Mr. Cameron sendiri juga sudah paham tentang kekhawatiran partai oposisi terkait
keanggotaan UK di EU, seperti masalah imigran asing dan lainnya, dan dia sudah
mengusahakan agar EU tidak lagi terlalu ikut campur masalah dalam negeri di
Inggris. Intinya, UK akan tetap menjadi anggota EU, sehingga konsekuensi
ekonomi yang dikhawatirkan tidak akan terjadi, namun disisi lain kedaulatan
politik Inggris tetap akan terjaga.
Namun memang, untuk
lebih pastinya maka sebaiknya kita tunggu sampai tanggal 23 Juni mendatang. However,
jika ada pertanyaan, jika UK benar-benar keluar dari EU, apakah ekonomi Indonesia
akan terkena dampak signifikan? Penulis bisa katakan, tidak. Berdasarkan data
ekspor impor, mitra dagang terbesar Indonesia dikawasan Uni Eropa adalah
Jerman, disusul Belanda, dan Italia, sementara nilai ekspor impor Indonesia dari
dan ke EU juga tidak sampai 10% dari total nilai ekspor impor Indonesia secara
keseluruhan. Inggris juga sama sekali bukan investor terbesar di Indonesia,
karena investasi asing disini masih sangat didominasi oleh China, Amerika
Serikat, Jepang, dan Singapura. Dan jika UK keluar dari EU, maka seharusnya
kita akan tetap bisa menonton Liga Inggris seperti biasa, jadi gak ada masalah
toh?
Dengan demikian, jika hasil
referendumnya adalah bahwa Inggris harus keluar dari Uni Eropa, maka IHSG
memang kemungkinan akan turun cukup dalam, tapi setelah itu semuanya akan balik
lagi ke fundamental ekonomi dalam negeri, dan juga isu-isu lainnya yang
berkembang setelah Brexit ini. So, jika anda sedang berencana untuk membeli
saham tertentu, maka tetap yang paling pertama harus diperhatikan adalah
fundamental perusahaan yang bersangkutan, plus kondisi ekonomi nasional, dan
setelah itu baru soal Brexit ini atau lainnya. Anyway, keputusan tetap ada di
tangan anda.
Info Investor: Buku kumpulan analisis
saham-saham pilihan edisi Kuartal I 2016 sudah terbit! Dan
anda bisa langsung memesannya disini.
Komentar
Tapi dengan demikian, maka jika UK keluar dari EU, maka dampak ekonominya tidak akan terlalu besar, karena sejak awal UK sudah berbeda dengan negara-negara anggota EU lainnya dalam hal currency.
1. seperti yang disebut dikometar sebelumnya, secara mata uang tidak pengaruh karena uk memakai poundsterlong
2. eu sendiri secara bisnis, memudahkan proses pajak dan arus pemeriksaan barang. barang yang sudah dikenakan disatu negara eu, tidak perlu dikenakan pajak di negara eu yg lain.
3. banyak perusahaan di uk selama ini diuntungkan tenaga kerja kompeten yang lebih murah dari negara2 eu. jika uk keluar dari eu, akan membuat flexibilitas mendapatkan tenaga kerja yang efficien lebih sulit. tapi ini adalah konsern yang beberapa orang uk inginkan karena sulitnya mendapatkan kerja karena harus bersaing dengan tenaga kerja eu yang lain
4. di eu, sudah jadi rahasia umum untuk perusahaan menempatkan salah satu kantornya antara uk, belanda, luxemburg dan swiss, sehingga bisa mengefisienkan (mengurangi) pajak, dan bermain dalam aturan bisnis di negara itu yang lebih fleksibel. hilangnya uk pastinya berpengaruh di model bisnis beberapa perusahaan yang ada
Mungkin mreka capek angkat beban. Kita lihat dampaknya ke ihsg minggu depan.
1. Pound dan Euro melemah sehingga investor pada memasukan uang nya ke safe haven seperti US$ dan Yen. Alhasil US$ & Yen menguat terhadap Rupiah sehingga menghambat ekonomi Indonesia yg masih trade menggunakan US$ dan Yen dan juga utang2 korporasi dan negara.
2. Dengan menguatnya US$ dan Yen, otomatis produk2 impor dari negara tersebut semakin mahal sehingga penjualan di Indonesia dengan merek Amerika dan Jepang semakin sulit. Bukan hanya consumer good tetapi juga capital goods.
3. Di sisi lain, export dari Indonesia ke negara tersebut semakin murah. Mudah2an bisa membangkitkan exportnya.
4. Positiv nya, barang2 dari Euro dan Britain yg masing2 menggunakan Euro dan Pound makin murah. sehingga penjualan di Indonesia consumer goods dan capital goods dari negara tersebut bisa meningkat.
5. Export ke negara tersebut berkurang karena mahalnya produk dari Indonesia.