Agung Podomoro Land, dan Kasus Reklamasi
Pada tanggal 1 April
lalu, Direktur Utama Agung Podomoro Land (APLN), Ariesman Widjaja, ditetapkan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus
reklamasi Teluk Jakarta. Selanjutnya mudah ditebak: Pada hari Senin-nya,
tanggal 4 April, saham APLN langsung AR kiri dari posisi 300 ke 270, dan lanjut
turun hingga mentok di 232 pada pertengahan Mei lalu. Namun belakangan APLN
perlahan tapi pasti mulai pulih kembali, dan ketika artikel ini ditulis dia
sudah berada di posisi 248, dimana secara teknikal tampak bahwa dia akan lanjut
naik, sementara disisi lain PBV-nya di harga sekarang cuma 0.7 kali. An
opportunity?
Hingga Kuartal I 2016,
APLN mencatat pendapatan Rp1.18 trilyun, atau tumbuh dari sebelumnya Rp995,
demikian pula labanya naik tipis menjadi Rp110 milyar. Berhubung mayoritas beberapa
perusahaan properti lainnya mencatat penurunan pendapatan serta laba pada
periode yang sama, atau kalau labanya naik maka kenaikannya berasal dari
pendapatan non operasional (misalnya keuntungan kurs), maka catatan kinerja
APLN ini terbilang cukup baik. Secara historis pun, perolehan laba APLN selalu
naik sejak tahun 2013, dimana EPS-nya konsisten di angka Rp41 – 42 per saham
(sehingga PER-nya pada harga saham 250 tercatat hanya 6 kali), dan ekuitas
perusahaan sudah mendekati Rp7 trilyun. Mengingat industri properti justru
mulai slowdown sejak 2013 tersebut, maka pencapaian tersebut, sekali lagi,
terbilang cukup bagus.
Dan kalau kita amati
neracanya maka akan terdapat fakta menarik: Dari total kewajiban APLN sebesar
Rp16.0 trilyun, Rp7.4 trilyun diantaranya merupakan uang muka pelanggan yang
akan diakui sebagai pendapatan, yakni ketika nanti propertinya sudah selesai
dibangun dan diserah terimakan, dan sekitar separuh dari jumlah tersebut akan
direalisasikan (sebagai pendapatan) dalam waktu setahun kedepan. Di materi
public expose-nya sendiri, APLN secara gamblang memaparkan proyek-proyek
terbarunya yang sedang dalam tahap pembangunan, plus progress penjualan
unit-unit properti di tiap proyek-proyek tersebut (per November 2015), dimana
datanya cukup meyakinkan. Berikut data selengkapnya:
No.
|
Proyek
|
Lokasi
|
Progress Penjualan
|
1
|
SOHO @Podomoro City
|
Jakarta
|
Apartment sold out,
Office 77%
|
2
|
Madison Park
|
Jakarta
|
Apartment & Ruko sold out, Kiosk 95%
|
3
|
Grand Madison
|
Jakarta
|
Apartment 35%
|
4
|
SOHO @Pancoran
|
Jakarta
|
Apartment 45%
|
5
|
The Pakubuwono
Spring
|
Jakarta
|
Apartment 51%
|
6
|
Metro Park
Residences
|
Jakarta
|
Apartment sold out
|
7
|
Harco Glodok
|
Jakarta
|
Kiosk 38%
|
8
|
Plaza Kenari Mas
|
Jakarta
|
Kiosk 49%
|
9
|
Pluit City
|
Jakarta
|
-
|
10
|
Podomoro Golf View
|
Depok
|
-
|
11
|
Grand Taruma
|
Karawang
|
Rumah 83%, Ruko 91%
|
12
|
Podomoro Industrial
Park
|
Karawang
|
-
|
13
|
Vimala Hills
|
Bogor
|
Villa 85%
|
14
|
Parahyangan
Residences
|
Bandung
|
Apartment sold out
|
15
|
Bandung
International
|
Bandung
|
-
|
16
|
Indigo Hotel
Seminyak
|
Bali
|
-
|
17
|
Borneo Bay
Residences
|
Balikpapan
|
Apartment 51%
|
18
|
Orchard Park
|
Batam
|
Rumah 59%, Ruko
78%, Apartment 0%
|
19
|
Podomoro City Deli
|
Medan
|
Apartment 61%,
Condo 41%, Office 8%
|
Nah, dilihat dari sini
maka pendapatan APLN untuk tahun 2016 ini kemungkinan besar akan kembali
meningkat, dan memang di Kuartal I kemarin pendapatan perusahaan naik 18.9%.
Seperti halnya mayoritas perusahaan properti lainnya, APLN juga punya utang
obligasi, namun obligasinya tersebut dalam mata uang Rupiah, dan kuponnya pun
terbilang murah di angka 9.75%. Alhasil perolehan laba perusahaan tidak
terganggu oleh fluktuasi kurs Rupiah ataupun beban bunga utang, dimana kalau
pendapatannya naik maka labanya juga ikut naik.
Jadi meski ROE APLN
relatif rendah yakni 12 – 13%, dan itu menyebabkan sahamnya kurang ideal untuk
investasi serius (baca: long term), namun disisi lain ROE tersebut terbilang
konsisten dari tahun ke tahun, dan yang jelas nilai aset bersih perusahaan juga
terus naik. Jadi kalau kita bisa dapet sahamnya di harga murah, contohnya
seperti sekarang dimana PBV 0.7 kali terbilang murah kalau mempertimbangkan
aspek fundamental, likuiditas saham, serta reputasi perusahaan sebagai salah
satu developer properti paling terkemuka di tanah air, maka itu artinya?
Peluang, tentu saja.
Kasus Reklamasi Pluit
City?
Akan tetapi kalau
bicara soal ‘reputasi’, maka bukankah kemarin baru saja reputasi APLN ini
tercoreng karena direkturnya melakukan suap? Yup, namun pihak perusahaan langsung gerak
cepat dimana Mr. Ariesman sudah mengundurkan diri sebagai dirut APLN pada 25
Mei lalu. Berhubung Mr. Ariesman sejatinya bukanlah orang nomor satu di Grup
Agung Podomoro (orang nomor satunya ya Pak Trihatma), maka kegiatan usaha APLN
tetap berjalan seperti biasa. Dalam hal ini penulis jadi ingat kasus Sentul
City (BKSL), dimana dirut sekaligus owner perusahaan, Cahyadi Kumala, juga
ditangkap KPK pada tahun 2014. Dan sejak itu kinerja BKSL langsung drop, karena
perusahaan kehilangan nakhoda-nya sama sekali.
Sementara ketika anak
usaha APLN yakni PT Muara Wisesa Samudera (MWS) menghentikan kegiatan reklamasi
di Pulau G, yang merupakan bagian dari proyek Pluit City (lihat lagi tabel diatas), maka itu tidak ada
hubungannya dengan kasus suap M. Sanusi, melainkan karena proyek reklamasi
tersebut masih belum memperoleh ‘sertifikat layak bangun’ dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Sebelumnya MWS sudah mengantongi
izin reklamasi dari Pemprov DKI pada November 2015, sehingga pekerjaan
reklamasi tersebut sudah bisa dimulai, namun ternyata Pemerintah pusat, dalam
hal ini Kemen LHK, menyatakan bahwa proyek reklamasi tersebut masih belum
layak. Tapi sekarang ini Kemen LHK sedang mempelajari kembali dampak-dampak
yang akan timbul jika proyek reklamasinya dilanjutkan, dimana jika hasilnya
positif, maka pekerjaan reklamasinya akan dilanjutkan.
Tapi untuk kelanjutan proyek reklamasinya, sekali lagi, gak ada masalah apapun kecuali belum memperoleh izin dari Kemen LHK (atau bisa disebut juga: Karena kurangnya koordinasi antara Pemprov DKI dan Pemerintah pusat), dan bahkan Pak Ahok masih mendukung agar reklamasi tersebut dilanjutkan, meski tentunya dengan catatan APLN memenuhi kewajibannya yang 15% tadi.
Tapi mari kita ambil skenario terburuk: Bagaimana jika proyek reklamasinya berhenti sama sekali? Well, coba anda lihat lagi tabel diatas: APLN masih punya delapan belas proyek lainnya diluar Pluit City. Jadi permasalahan reklamasi ini sejatinya tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, kecuali sebatas mengganggu reputasi perusahaan dalam jangka pendek. Penulis katakan jangka pendek, karena APLN sejak awal sudah dikenal sebagai salah satu developer paling kredibel se-Indonesia dengan produk-produk propertinya yang berkualitas premium, sehingga ketika cerita soal reklamasi ini belakangan mulai dilupakan, maka reputasi APLN pulih lagi dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan BKSL, misalnya, yang jauh sebelum owner-nya ditangkap KPK, perusahaan sudah punya banyak cerita jelek, termasuk pernah berurusan hukum dengan pelanggannya sendiri.
Sementara ketika Mr.
Ariesman ditangkap KPK karena menyuap M. Sanusi, maka suap tersebut bukan untuk meng-gol-kan izin reklamasi-nya (karena sejak awal proyek
reklamasi tersebut sudah memperoleh izin dari Pemprov DKI), melainkan untuk ‘menitip
pesan’ kepada M. Sanusi sebagai anggota DPRD DKI, agar DPRD menerbitkan
peraturan daerah yang pada intinya menurunkan kewajiban APLN sebagai pengembang
dari sebelumnya menyediakan 15% kawasan reklamasi sebagai milik Pemprov,
menjadi 5% saja. Sebelumnya Pemprov DKI, dalam hal ini Gubernur Ahok, sudah
mensyaratkan jatah 15% tersebut sebelum menerbitkan izin reklamasinya, dimana
kawasan milik Pemprov tersebut akan digunakan untuk membangun taman, rusun dll,
untuk warga Jakarta yang bekerja sebagai pembantu, supir dll di Pluit City.
Tapi untuk kelanjutan proyek reklamasinya, sekali lagi, gak ada masalah apapun kecuali belum memperoleh izin dari Kemen LHK (atau bisa disebut juga: Karena kurangnya koordinasi antara Pemprov DKI dan Pemerintah pusat), dan bahkan Pak Ahok masih mendukung agar reklamasi tersebut dilanjutkan, meski tentunya dengan catatan APLN memenuhi kewajibannya yang 15% tadi.
Tapi mari kita ambil skenario terburuk: Bagaimana jika proyek reklamasinya berhenti sama sekali? Well, coba anda lihat lagi tabel diatas: APLN masih punya delapan belas proyek lainnya diluar Pluit City. Jadi permasalahan reklamasi ini sejatinya tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, kecuali sebatas mengganggu reputasi perusahaan dalam jangka pendek. Penulis katakan jangka pendek, karena APLN sejak awal sudah dikenal sebagai salah satu developer paling kredibel se-Indonesia dengan produk-produk propertinya yang berkualitas premium, sehingga ketika cerita soal reklamasi ini belakangan mulai dilupakan, maka reputasi APLN pulih lagi dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan BKSL, misalnya, yang jauh sebelum owner-nya ditangkap KPK, perusahaan sudah punya banyak cerita jelek, termasuk pernah berurusan hukum dengan pelanggannya sendiri.
Okay lalu bagaimana
dengan sahamnya? Well, pada Mei 2013 lalu, seiring dengan jebloknya IHSG ketika
itu, APLN juga turun dari 500-an hingga mentok di 270-an pada September di
tahun yang sama. Namun APLN baru benar-benar menarik perhatian penulis setelah
pada Januari 2014, dia entah kenapa lanjut turun lagi sampai 207, dimana PBV-nya tercatat 0.7 kali, padahal kinerja perusahaan
masih baik-baik saja. And indeed, ketika IHSG mulai naik banyak di tahun 2014
tersebut, APLN juga terus naik hingga tembus 470 pada Februari 2015, atau
mencetak gain lebih dari dua kali lipat hanya dalam waktu setahunan. Nah,
berhubung APLN sekarang balik lagi ke posisi dimana PBV-nya 0.7 kali, dan
fundamentalnya secara umum masih oke, then what do you think?
PT Agung Podomoro Land, Tbk
Rating Kinerja Pada Kuartal
I 2016: A
Rating Saham pada 248:
AA
Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere sedang
dalam posisi memegang APLN di average 248. Posisi ini dapat berubah setiap saat
tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Info Investor: Buku kumpulan analisis
saham-saham pilihan edisi Kuartal I 2016 sudah terbit! Dan
anda bisa langsung memesannya disini.
Komentar
Semua itu akan hangus kalau projek ini keok.
Secara konservatif, harusnya Accountant/Auditor nya sudah menentukan provision/writeoff di laporan tahun ini.
Resiko berikutnya adalah chain effects yakni:
1. Pluit city yang sudah terjual, apakah akan digugat? ganti rugi opportunity cost?
2. Kredibilitas APLN sendiri sebagai pengembang, terutama bagi pembeli Pluit City.
3. Bukan pilihan Joint venture bagi potensial Partner.
Banyak projek APLN yang JV, seperti, Poci Medan, Balikpapan Bay city etc.
Secara PB banyak developer lain yang lbh rendah.
Wildcard untuk APLN adalah REIT, yang notabene bakal bagus untuk meningkatkan kinerja Malls nya (yang margin mengecewakan dibanding Ciputra & the recurring king Pakuwon).