Central Omega Resources - Update
Pada April 2012, penulis menemukan ‘mutiara
terpendam’ di saham Central Omega Resources (DKFT), yang ketika itu berada pada
posisi 1,670 (sebelum stocksplit. Setelah DKFT melakukan stocksplit pada bulan
Agustus dengan rasio 1:5, 1,670 itu menjadi setara dengan 334), dan analisisnya sederhana: DKFT ini membukukan laba Rp177
milyar di tahun 2011, yang sepenuhnya berasal dari ekspor bijih nikel dari dua
tambangnya di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara), dimana
dua tambang tersebut masih dalam tahap eksplorasi awal. Jadi jika nanti
dilakukan eksplorasi lebih lanjut, maka DKFT akan memproduksi lebih banyak
bijih nikel, dan otomatis pendapatan perusahaan akan meningkat signifikan.
Pihak manajemen sendiri mentargetkan laba bersih Rp475 milyar di tahun 2012,
dan Rp792 milyar di tahun 2013, dan itu tentu saja target yang sangat atraktif.
Kita pernah membahasnya di artikel
ini.
However, pada artikel itu pula, penulis sudah
menyampaikan satu risiko investasi di DKFT ini, yaitu: Pemerintah ketika itu
sudah mengharuskan perusahaan-perusahaan tambang, termasuk DKFT, untuk membuat
smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi produk hilir dengan nilai tambah,
selambat-lambatnya tahun 2014. Jika pada tahun 2014 perusahaan belum juga
menyelesaikan smelter tersebut, maka perusahaan mau tidak mau harus berhenti
beroperasi, karena pemerintah akan melarang ekspor bijih nikel sama sekali.
Masalahnya, perusahaan harus mengumpulkan dana sebesar Rp4.5 trilyun untuk
membangun smelter tersebut, dan tentu saja bukan perkara mudah untuk
mengumpulkan dana sebesar itu, dan dalam waktu sesingkat itu (hanya 2 tahun,
dari tahun 2012 ke 2014).
Jadi jika sampai tahun 2014 DKFT masih belum bisa
menyelesaikan pembangunan smelter-nya, maka pendapatannya akan menjadi nol. Dan
sayangnya memang itulah yang terjadi: Hingga tahun 2014, jangankan
menyelesaikan pembangunan smelter-nya, DKFT bahkan masih belum memulai pembangunan
smelter tersebut. Tapi sayangnya Pemerintah sama sekali tidak memberi
toleransi: Terserah ente mau alasan apa, pokoknya you mulai tahun 2014 ini gak
boleh ekspor bijih nikel lagi! Alhasil DKFT membukukan pendapatan Rp0 di tahun
2014. Sahamnya sendiri, yang pada tahun 2013 sempat naik hingga 600-an
(sehingga tetap menghasilkan profit signifikan bagi investor yang membelinya
pada tahun 2012, belum termasuk dividen), seketika langsung jeblok di awal
tahun 2014, dan untuk mencegah penurunan lebih lanjut, BEI kemudian men-suspend
saham DKFT.
Namun pada Maret 2016 kemarin, suspensi DKFT
dibuka. Dan berhubung DKFT masih membukukan pendapatan Rp0 hingga Kuartal I
2016, maka tentu saja sahamnya langsung jeblok hingga ke posisi sekarang yakni
200-an. Namun jika anda jeli, maka anda tentu bertanya, apa alasan suspensi
DKFT dibuka? Sebab jika pendapatan DKFT masih akan tercatat Rp0 untuk
seterusnya, maka jangankan di-suspen, kenapa DKFT ini gak di-delisting aja
sekalian? Sebab gak mungkin investor mau masuk ke DKFT ini kalau memang
perusahaan gak menghasilkan pendapatan serta laba bersih sama sekali.
Dan jawabannya adalah, benar sekali, DKFT tidak
akan membukukan pendapatan Rp0 untuk selamanya, karena sekarang perusahaan
sudah on track untuk menyelesaikan
pembangunan smelter-nya. Yup, meski terlambat beberapa tahun, namun DKFT pada
akhirnya tetap akan memiliki smelter tersebut, dan akan mengekspor bijih nikel
yang sudah diolah menjadi produk dengan nilai tambah.
Jadi begini ceritanya. Sejak tahun 2012, manajemen
sudah berusaha untuk memulai pembangunan smelter, dimana pada tahun 2012
tersebut, DKFT memperoleh komitmen dari E-United Group asal Taiwan, untuk mendirikan
perusahaan patungan untuk membangun smelter di Indonesia. Namun sayangnya
setelah beberapa waktu, pihak E-United mundur daari perjanjian, dan smelter itu
gak jadi dibangun. Jika saja pada tahun 2012 tersebut DKFT bersama E-United
jadi membangun smelter, maka pada tahun 2014 seharusnya DKFT sudah bisa
mengekspor produk hilir nikel, namun itu tidak terjadi.
Manajemen DKFT butuh waktu cukup lama untuk
memperoleh mitra strategis lainnya, namun mitra strategis tersebut akhirnya
diperoleh. Pada tahun 2015, DKFT bekerja sama dengan Macrolink Group asal China, untuk mendirikan perusahaan patungan PT
Macrolink Omega Adiperkasa (MOA), dimana MOA ini akan membangun smelter di
Morowali yang akan mengolah bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI), dimana NPI ini akan diekspor ke China. NPI
adalah mirip seperti ferronickel yang diproduksi oleh Antam dan INCO, dan
sama-sama digunakan untuk bahan baku pembuatan stainless steel, namun harga jualnya jauh lebih murah. Untuk tahun 2017, harga NPI diperkirakan US$
880 per ton.
Dan per akhir tahun 2015, pembangunan smelter
tersebut akhirnya sudah dimulai, dimana setelah resmi bekerja sama dengan
Macrolink Group, manajemen DKFT sudah melakukan: 1. Menunjuk kontraktor
engineering, procurement, and construction (EPC), 2. Menunjuk kontraktor piling
dan civil engineering, 3. Ground breaking smelter, 4. Membangun pondasi
bangunan smelter, 5. Membangun fasilitas pendukung seperti mess pekerja, dll,
dan 6. Mengimpor mesin-mesin dan suku cadang smelter dari China (impornya bebas
bea masuk dan pajak, thanks Government!). Seluruh pekerjaan diharapkan akan
tuntas pada Kuartal III 2016, dan smelternya akan sudah beroperasi secara
komersial pada awal tahun 2017. Jadi, yap, jika semuanya lancar, maka DKFT akan
kembali membukukan pendapatan mulai tahun 2017 mendatang. Perusahaan
sendiri akan mulai menggali bijih nikel lagi pada pertengahan tahun 2016 ini,
untuk mensuplai kebutuhan bijih nikel ke smelternya nanti.
Pemandangan konstruksi pembangunan smelter milik DKFT di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Klik gambar untuk memperbesar |
Pertanyaannya sekarang, berapa kira-kira
pendapatan yang akan diperoleh DKFT setelah nanti smelter-nya beroperasi? Well,
di materi public expose-nya, manajemen DKFT jelas sekali menyampaikan proyeksi kinerja
keuangan perusahaan untuk tahun 2017, dimana jika perusahaan bisa mengekspor
72,500 ton NPI (kapasitas produksi smelternya sendiri 100,000 ton per tahun),
maka pendapatannya akan mencapai US$ 63.8 juta, dengan laba bersih US$ 11.2
juta, atau setara Rp149 milyar, sehingga
ROE DKFT untuk tahun 2017 akan tercatat sekitar 15%.
Yang perlu dicatat disini adalah, untuk smelter
yang beroperasi tahun 2017, itu baru smelter tahap I. Secara keseluruhan hingga
tahun 2019, perusahaan akan membangun tiga smelter dengan total kapasitas
produksi 300,000 ton NPI. Jadi pada
tahun 2019, dengan asumsi harga jual NPI tetap, kurs Rupiah tetap, dan DKFT
sukses mengekspor 250 – 300 ribu NPI, maka laba DKFT akan mencapai.. Rp500 - 600 milyar, atau lebih besar lagi! Poin lainnya
yang menarik adalah, harga nikel sekarang ini sedang rendah-rendahnya yakni
hanya US$ 8,500 per ton, turun drastis dibanding tahun 2012 yakni US$ 16,000
per ton, namun untuk tahun 2017 nanti diperkirakan harga nikel akan naik
menjadi US$ 10,000 per ton. Dan jika harga nikel naik, maka praktis harga NPI
juga akan ikut naik, sehingga laba bersih yang dihasilkan DKFT bisa lebih besar
dari proyeksi diatas. Another point, DKFT akan menjadi satu dari sedikit
perusahaan tambang bijih nikel di Sulawesi yang memiliki smelternya sendiri,
sehingga perusahaan mungkin bisa membeli bijih nikel dari perusahaan tambang lain
pada harga diskon (dan bagi perusahaan tambang lain tersebut, itu masih mending
lah, daripada gak dapet duit sama sekali), dan itu akan menurunkan biaya pokok
produksi NPI-nya.
Dan jika DKFT benar-benar sukses mencetak laba
jumbo pada tahun 2017 – 2019 nanti, maka bagaimana dengan sahamnya? You know
the answer.
Meski demikian, masih ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan. Pertama, smelter milik DKFT masih dalam proses
pembangunan/konstruksi, dan tidak ada jaminan bahwa konstruksinya akan selesai
tepat waktu. Kedua, kalaupun nanti smelternya beroperasi tepat waktu pada awal
tahun 2017, maka biasanya volume produksinya tidak akan langsung mencapai
100,000 ton ataupun 72,500 ton seperti proyeksi diatas, melainkan akan tumbuh
secara bertahap hingga seluruh kapasitas produksi yang 100,000 ton tersebut
terutilisasi seluruhnya (untuk awal-awal, volume produksinya mungkin cuma 20 –
30 ribu ton dulu). Dan ketiga, harga jual nikel, seperti halnya komoditas
lainnya, bisa turun tajam belakangan ini seiring dengan melambatnya pertumbuhan
ekonomi di China, sementara China masih menjadi satu-satunya tujuan ekspor
NPI-nya nanti. Jadi meski diatas terdapat proyeksi bahwa harga nikel akan naik
(dan demikian pula dengan harga NPI), namun bukan tidak mungkin kedepannya
harga jual NPI justru akan turun hingga keuntungan yang diperoleh DKFT menjadi
tidak sebesar yang diharapkan.
Intinya sih, meski DKFT ini memang sangat menarik
jika nanti smelter-nya sudah beroperasi, namun untuk sekarang ini sebaiknya
kita wait and see saja dulu, apalagi untuk tahun 2016 ini bisa dipastikan
pendapatan perusahaan masih Rp0, sehingga bisa saja sahamnya turun lebih
lanjut. Tapi dalam setahun kedepan, maka jangan lupa untuk melihat lagi DKFT
ini.
PT. Central
Omega Resources, Tbk (DKFT)
Rating Kinerja pada Kuartal I 2016: B
Rating saham pada 208: B
Buku kumpulan analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal
I 2016 sudah terbit! Dan anda bisa langsung memesannya disini.
Komentar