Cara Mendidik Anak untuk Investasi Saham
Di buku ‘The Calm Investor’,
penulis mengatakan bahwa seorang anak sudah bisa diajari untuk investasi di
saham sejak usia 6 tahun. Dan seorang teman kemudian bertanya, bagaimana
caranya? Orang dewasa aja kalau belajar saham kadang susahnya setengah mati,
apalagi anak kecil? Well, tapi bagaimana kalau penulis katakan bahwa justru
anak kecil bisa belajar saham lebih cepat dari orang dewasa, dan berpeluang
lebih besar untuk menghasilkan profit?
Pertama, menganalisa saham itu sebenarnya tidak
rumit, karena hanya menggunakan matematika sederhana seperti tambah, kurang,
kali, bagi, dan persen. Dan bagi anak-anak, mereka justru sangat mahir
matematika sederhana seperti itu. Sebagai contoh, penulis punya keponakan usia
9 tahun, yang kalau saya bertanya, berapa 8 kali 9? Dia bisa dengan cepat
menjawab, 72!
Sementara orang dewasa? Coba deh anda bertanya
kepada diri anda sendiri, berapa 7 kali 8? Bisakah anda menjawabnya dengan
cepat tanpa bantuan kalkulator? Belum tentu. Penulis sering ketemu dengan calon
investor yang, meski sudah dijelaskan, tapi tetap saja bingung soal bagaimana
menghitung price to earning ratio (PER),
padahal rumusnya sangat sederhana, yakni harga saham dibagi earning per share (EPS), sementara EPS
itu sendiri adalah laba bersih dalam satu tahun, dibagi jumlah saham yang
beredar.
Tapi kalau penulis menjelaskan soal rumus PER itu ke
mahasiswa, maka biasanya mereka bisa dengan mudah memahaminya.
Kedua, orang dewasa itu gampang panik. Kalau dia
beli saham senilai Rp100 juta, lalu saham tersebut turun 5%, atau dengan kata
lain dia rugi Rp5 juta (meski baru rugi diatas kertas, alias belum
direalisasikan), maka dia akan langsung panik, seolah-olah Rp5 juta itu jumlah
yang luar biasa besarnya (padahal investor ini punya duit 100 juta, jadi
harusnya 5 juta itu jumlah yang kecil toh?). Demikian pula kalau saham tersebut
naik 5%, maka biasanya dia akan buru-buru menjualnya untuk merealisasikan
keuntungan, karena takut sahamnya
akan turun lagi. Dan seterusnya.
Dan perilaku seperti itu sangat bisa dimaklumi.
Seorang investor, siapapun dia, ketika ia menyetor sejumlah uang ke sekuritas,
maka uang tersebut adalah hasil jerih payahnya, hasil bekerja dan menabung
selama berbulan-bulan atau bahkan mungkin bertahun-tahun. Jadi bagaimana kalau
uang tersebut kemudian berkurang begitu saja gara-gara saham? Rasanya nyesek
banget bukan?
Bagi orang dewasa, tidak ada yang lebih menakutkan ketimbang harus kehilangan uang,
dan ketakutan inilah yang seringkali menyebabkan mereka bertindak secara irasional (misalnya membeli saham
gorengan, jual saham hanya karena ada rumor jelek, dll). Penulis masih ingat,
dulu di Jakarta pernah ada razia dimana polisi menghentikan sepeda motor yang
masuk jalur busway, dan menyuruh mereka membayar denda Rp500,000. Dan saking
gak mau bayar denda tersebut, puluhan pengendara motor yang masuk jalur busway
sampai bela-belain mengangkat motor mereka keluar jalur begitu mereka melihat
ada polisi yang menunggu di depan, tak peduli meski tindakan itu membahayakan
keselamatan mereka sendiri.
Tapi itu orang dewasa. Sementara anak kecil? Well,
mereka lebih takut cicak atau tokek ketimbang kehilangan duit. Karena, apa yang
harus ditakutkan dari kehilangan sejumlah uang? Toh mereka masih bisa minta
jajan lagi ke orang tuanya. Ini artinya ketika mereka diarahkan untuk
berinvestasi di saham, maka mereka akan tidak mudah panik ketika IHSG atau saham
yang ia pegang bergerak fluktuatif, melainkan cuek saja. Dan alhasil mereka
akan melakukan jual beli saham secara rasional berdasarkan analisis logis yang
sudah dibuat sebelumnya, dimana itu pada akhirnya akan menghasilkan profit yang
konsisten.
Pendek kata, jika si anak memiliki mentor yang
kompeten untuk membimbing dia dalam berinvestasi, maka ia berpeluang jauh lebih
besar untuk menjadi investor besar suatu hari nanti, ketimbang orang dewasa
yang kalau mau bisa menganalisis saham maka harus balik lagi ke bangku SD kelas
5 untuk belajar perkalian. Di buku The Calm Investor, penulis mengatakan bahwa
seorang anak bisa diajari investasi saham mulai usia 6 tahun, karena pada usia
itulah seorang anak biasanya sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Hanya
memang, pada prakteknya beberapa anak mungkin baru bisa diajari pada usia 9,
10, atau 12 tahun, but it’s okay, karena pada usia tersebut mereka masih bisa
disebut sebagai anak-anak.
Okay, lalu bagaimana cara mendidik anak untuk
berinvestasi sejak dini? Here we go!
Pertama, untuk awal-awal ajarkan mereka untuk
membeli dan memiliki barang yang berguna
untuk waktu yang lama, bukan sekedar membeli barang yang sekali habis,
katakanlah makanan. Ini adalah konsep
dasar dari investasi. Contoh sederhana dari hal ini saja, biasanya ibu-ibu
suka membeli baju yang agak besar untuk anak mereka yang masih balita, dengan
harapan baju tersebut masih akan cukup hingga anak mereka tumbuh besar 2 – 3
tahun lagi. Nah, dalam hal ini penulis sering praktek dimana kalau saya pergi
jalan-jalan berdua dengan si kecil yang cewek (usia 4 tahun), misalnya ke mall,
maka sudah pasti dia minta dibeliin ini itu, dan penulis kemudian menawarkan:
Mau pilih mana? Permen lolipop yang habis kalau dimakan dan mungkin bisa bikin
gigi kamu sakit, naik kereta-keretaan tapi cuma sekali, beli balon warna warni
yang lama-lama bakal kempes atau meletus, atau boneka Elsa yang bisa kamu
mainin tiap hari dirumah? Fortunately, she always chose the latter.
Sebuah taman bermain anak di daerah Ciumbuleuit, Bandung. Setiap satu atau dua pekan sekali, penulis rutin mengajak anak-anak main ke tempat seperti ini. We call this quality time investment. |
Kedua, setelah anak-anak anda sudah paham pentingnya
‘memiliki’ barang (baca: aset) yang
bermanfaat untuk jangka panjang, maka selanjutnya ajari mereka tentang nilai barang tersebut, kemudian arahkan
mereka untuk membelinya pada harga yang
sesuai nilainya, atau lebih rendah lagi. Dan ini adalah konsep dasar dari value investing.
Ketika Carlos Slim Helu masih berusia 9 tahun, ayahnya mulai memberinya
sejumlah uang secara rutin setiap akhir pekan, lalu di pekan selanjutnya ia
akan ditanya, uang itu dipakai untuk beli apa saja. Jika Carlos membeli sesuatu
yang ternyata nilainya lebih rendah dari harga yang dibayarkan, misalnya beli
sebotol minuman pada harga sekian peso dari sebuah toko padahal di toko lain
harganya lebih murah, maka ayahnya akan menegurnya. Dua tahun kemudian, pada
usia 11, Carlos melakukan investasi pertamanya dengan membeli obligasi
pemerintah Meksiko, dimana obligasi tersebut nilainya naik terus dari tahun ke
tahun (karena memperoleh bunga), sehingga dengan demikian ia memenuhi tugas
dari ayahnya: Membeli barang yang nilainya lebih tinggi dari harga yang
dibayarkan.
Nah, ketika anak anda sudah paham sejak awal
tentang konsep ‘harga vs nilai’ ini, maka ia akan mampu menguasai kaidah-kaidah
value investing dengan mudah, dan akan mampu menemukan saham-saham bagus yang
dijual pada harga diskon. Pada usia 12 tahun, Carlos Slim membeli saham
pertamanya, yakni saham sebuah bank besar di Meksiko, setelah melihat fakta
bahwa ekuitas bank tersebut naik terus secara konsisten dari tahun ke tahun,
sehingga ia mampu melihat bahwa nilai investasinya akan naik signifikan dalam
beberapa tahun kedepan. Carlos terus membeli saham bank tersebut setiap
beberapa waktu sekali, dan 3 tahun kemudian, pada usia 15, ia sudah menjadi
salah satu pemegang saham minoritas terbesar di bank tersebut.
Okay, lalu mengapa mendidik anak untuk berinvestasi
ini penting? Well, tentunya ada sejuta alasan untuk itu, tapi penulis hanya
akan menyebutkan salah satu diantaranya saja: Berinvestasi di saham adalah
sebuah karier seumur hidup tanpa pensiun, atau bahkan bisa lebih lama lagi jika
anda mampu mendelegasikan tugas berinvestasi tersebut kepada seorang penerus,
dalam hal ini putra-putri anda. Seperti halnya Carlos Slim, sebenarnya yang
memulai pekerjaan investasinya adalah ayahnya Julian Slim, namun Carlos
Slim-lah yang ‘menuntaskan’ pekerjaan investasi tersebut hingga menjadi salah
satu orang terkaya di dunia.
Namun sudah tentu, beberapa anak mungkin memiliki
passion-nya sendiri, termasuk penulis juga akan pasrah jika anak-anak ternyata
lebih suka menjadi pelukis, misalnya. Termasuk Warren Buffett sendiri sudah
memutuskan bahwa kelak ia tidak akan menyerahkan posisi CIO Berkshire Hathaway
ke putranya Howard, melainkan ke salah satu protege-nya,
Todd Combs. Meski demikian beberapa kemampuan dasar diatas yakni 1. Memiliki
aset, dan 2. Membeli aset tersebut pada harga yang setara nilainya atau lebih
rendah, pada akhirnya tetap akan membuat putra putri anda hidup berkecukupan, apapun profesi yang mereka pilih. Karena
seperti yang dikatakan Buffett, ‘Tidak penting berapa besar pendapatanmu, yang
penting adalah seberapa besar dari pendapatan tersebut yang tidak cuma sekedar
lewat di rekening bank, melainkan menjadi aset yang bermanfaat untuk jangka
panjang’.
Nah, jadi sekarang, sudah siapkah anda untuk
berinvestasi pada aset anda yang paliiing berharga, yakni putra putri anda
sendiri?
Komentar