Prospek Saham Komoditas

Hingga Selasa, 26 April kemarin, IHSG ditutup di posisi 4,814, atau secara keseluruhan naik 4.8% sejak awal tahun, namun indeks sektor tambang, termasuk tambang batubara, tercatat naik lebih tinggi yakni 20.5%. Penyebab kenaikan saham-saham batubara sebenarnya cukup jelas: Rebound-nya harga minyak, yang dua bulan lalu sempat nyungsep hingga US$ 27 per barel, tapi sekarang sudah naik menjadi US$ 42. Namun disisi lain, barusan salah perusahaan batubara yakni United Tractors (UNTR), sudah merilis laporan keuangannya untuk periode Kuartal I 2016, dan labanya masih anjlok 55.3%. Sementara perusahaan batubara lainnya, Resource Alam Indonesia (KKGI), labanya sukses naik namun hanya karena adanya keuntungan kurs, sementara pendapatannya masih turun.

Selain sektor mining, sektor yang juga mencatat kinerja lebih baik dari IHSG adalah sektor perkebunan kelapa sawit, dimana indeks sektor perkebunan tercatat sudah naik 6.1%. Namun berbeda dengan perusahaan batubara, perusahaan perkebunan sekilas tampak menyajikan fundamental yang lebih baik, dimana Astra Agro Lestari (AALI) mencatat kenaikan laba 167.5% (meski perlu dicatat pula bahwa pendapatannya masih turun). Nah, kita tahu bahwa dua sektor ini, yakni sektor tambang dan perkebunan, di masa lalu sempat menjadi sektor primadona para investor di bursa efek ketika harga batubara crude palm oil (CPO) sedang tinggi-tingginya, sebelum trend penurunan harga komoditas sejak tahun 2012 turut menyeret saham-saham batubara dan CPO ke dasar jurang.

Namun setelah hampir empat tahun turun terus, barulah belakangan ini saham-saham komoditas, terutama batubara, tampak kembali menjanjikan dimana beberapa saham batubara bahkan sudah naik ratusan persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan tersebut selaras dengan fundamental perusahaan?

Sayangnya, jawabannya mungkin tidak. Seperti yang sudah disebut diatas, saham-saham batubara bisa naik tinggi karena harga minyak rebound, karena adanya anggapan bahwa kalau harga minyak naik, maka harga batubara juga biasanya akan ikut naik. Namun berdasarkan data dari IndexMundi.com, harga batubara jenis Australian Thermal Coal untuk pengiriman Maret 2016 tercatat US$ 55.9 per ton, atau masih lebih rendah dibanding bulan yang sama di tahun sebelumnya yakni US$ 64.4 per ton. Sementara berdasarkan data operasional milik UNTR, disebutkan bahwa volume penjualan batubara perusahaan pada Kuartal I 2016 naik 2% dibanding tahun lalu, namun pendapatannya tetap turun 11% karena penurunan harga jual.

Perkembangan harga batubara setahun terakhir. Source: www.indexmundi.com

However, jika dikatakan bahwa harga batubara sudah mencapai titik terendahnya, maka itu mungkin ada benarnya. Pada Januari kemarin, harga batubara tercatat US$ 53.4 per ton, sebelum kemudian naik tipis ke posisi sekarang (US$ 55.9 per ton). Sementara kalau kita mengambil pendapat dari manajemen UNTR, mereka mengatakan bahwa harga batubara akan berada di kisaran US$ 52 – 72 per ton dalam lima tahun kedepan terhitung mulai tahun 2016 ini. Intinya, meski harga batubara mungkin gak akan sampai balik lagi ke level US$ 120 per ton seperti pada tahun 2011 lalu, namun dia juga tidak akan turun lebih rendah lagi. Pada akhirnya, batubara tetap dibutuhkan untuk pembangkit listrik di seluruh dunia, dan penurunan harganya selama beberapa tahun terakhir ini lebih karena ketidak sinkronan antara supply and demand, entah itu karena perlambatan ekonomi di China atau lainnya. Tapi kalau nanti supply dan demand itu akhirnya ketemu, dan kemungkinan ketemunya memang di level harga US$ 50-an, maka ketika itulah harga batubara akan berhenti turun, lalu selanjutnya perlahan tapi pasti dia akan naik kembali.

Namun berhubung harga batubara belum benar-benar naik (lebih tepat jika dikatakan baru berhenti turun saja), dan kinerja sebagian emiten batubara untuk awal tahun 2016 ini juga masih belum kinclong kembali, maka suka atau tidak, saham-saham batubara masih belum layak untuk invest, setidaknya untuk sekarang ini. Tapi mari kita berharap bahwa beberapa emiten lain, seperti Indo Tambangraya (ITMG), Adaro Energy (ADRO), Harum Energy (HRUM), hingga Bukit Asam (PTBA), mereka semua mencatatkan kinerja yang lebih baik. Karena kalau melihat valuasinya sih, saham-saham tersebut masih murah-murah semuanya, bahkan meski kemarin mereka sudah naik banyak.

Lalu bagaimana dengan saham CPO?

Berbeda dengan harga batubara yang masih belum benar-benar naik, harga CPO di Bursa Malaysia terakhir tercatat RM2,662 per ton, naik cukup signifikan dibanding setahunan lalu di level RM1,900 – 2,000 per ton. Namun soal bagaimana dampak kenaikan harga ini terhadap kinerja emiten perkebunan di Kuartal I 2016, maka kita mungkin masih perlu beberapa hari lagi (deadline dirilisnya laporan keuangan adalah tanggal 30 April). Tapi kalau melihat contoh AALI, maka sepertinya kenaikan harga CPO belum berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan, setidaknya untuk tiga bulan pertama di tahun 2016. Tapi jika harga CPO minimal bisa bertahan di posisinya saat ini, maka untuk tahun 2016 ini secara keseluruhan, para perusahaan perkebunan seharusnya akan sukses membukukan kenaikan profit kembali.

Kesimpulannya, terkait saham-saham komoditas ini maka penulis bisa katakan bahwa, kalau berdasarkan kaidah value investing, maka kita sebaiknya amati saja dulu tapi jangan buru-buru masuk. Dari sisi valuasi, saham-saham di sektor ini sudah gila-gilaan murahnya, tapi kita masih perlu tunggu konfirmasi kinerja dari tiap-tiap perusahaan, just to make sure. Jika nanti para emiten batubara dan CPO kembali sukses membukukan ROE katakanlah 20%, maka sahamnya akan dengan mudah terbang, bahkan meski mereka sudah naik banyak sebelumnya. Jika anda pikir bahwa kenaikan hingga 100 – 200% yang dialami saham-saham batubara dalam beberapa minggu terakhir tampak luar biasa, maka jangan lupa bahwa di tahun 2011, saham Garda Tujuh Buana (GTBO) pernah naik dari 100 perak hingga sempat menembus 6,000, atau naik 60 kali lipat, hanya dalam waktu satu setengah tahun!

Jika anda punya pendapat sendiri tentang bagaimana prospek saham-saham batubara dan CPO kedepannya, entah itu dalam jangka panjang maupun pendek, anda bisa menulisnya di kolom komentar dibawah.

Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Mei 2016 sudah terbit! Disitu juga akan dibahas soal isu ‘sell in may and go away’, apakah benar itu akan terjadi, atau cuma mitos. Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member, langsung dengan penulis.

Komentar

Anonim mengatakan…
"tahun 2011, saham Garda Tujuh Buana (GTBO) pernah naik dari 100 perak hingga sempat menembus 6,000, atau naik 60 kali lipat, hanya dalam waktu satu setengah tahun!"

Mas Teguh Apakah mungkin GTBo Versi di tahun 2016 ini adalah INDY mengingat dia juga mulai dari 100 rupiah an dan sekarang dah nangkring di 500 ?
Anonim mengatakan…
bagaimana di bidang konstruksi sudah naik berapa persen?

mohon ulasannya
Anonim mengatakan…
laba kkgi disebabkan efisiensi pak..walaupun ada keuntungan kurs jg....managementnya efisien...bisa di baca ulang laporan keuangannya
Lingga @ Sekolah Saham mengatakan…
Menurut saya, tidak ada salahnya sabar sedikit untuk menunggu kinerja keungan mengatakan bahwa sudah baik-baik saja. Sebelum itu, ya spekulasi saja jatuhnya.
Anonim mengatakan…
analisa makro nya mantap sekali.. kaya dosen ekonomi mas Teguh ini.. :)
Unknown mengatakan…
mas teguh. saya sedang bimbang sekarang saya beli saham dsfi di harga 150 dan sampe saat ini blm kembali ke harga tersebut walau tetap stabil di harga 124 sd 126. secara fudamental bagus. berita2 juga mendukung. bagaimana sebaiknya? apakah ditunggu sampai agust 2016 atau lepas rugi?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?