Penguatan Rupiah: Peluang!
Sepanjang tahun 2015 lalu, pasar saham Indonesia
hampir selalu dihantui oleh berbagai cerita buruk tentang perlambatan ekonomi,
salah satunya terkait kurs Rupiah yang terus saja melemah dari Rp12,500 pada
awal tahun, hingga hampir saja menembus Rp15,000 pada bulan September. Dan IHSG
sendiri terus saja drop dari 5,500-an hingga posisi 4,120 pada September tersebut, dan
kondisi psikologis market ketika itu sedemikian buruknya sampai-sampai hampir semua orang berpikir bahwa Indonesia bisa saja jatuh krisis seperti tahun 1998 (namun penulis sendiri ketika itu sudah mengatakan
bahwa tidak akan terjadi krisis, anda
bisa baca lagi artikelnya disini).
Beruntung, setelah September keadaan perlahan tapi
pasti mulai membaik, dimana beberapa indikator makro seperti pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, hingga trading
balance, semuanya menunjukkan improvement.
Orang-orang sudah tidak ada lagi yang berbicara soal krisis, dan IHSG
sendiri sekarang sudah berada di level 4,700-an (kemarin malah hampir saja
tembus 4,900). Termasuk Rupiah, mungkin tidak banyak yang memperhatikan, tapi
sekarang dia sudah berada di level Rp13,300-an per USD, atau menguat cukup
signifikan dibanding September 2015 lalu, dan trend-nya juga tampak bagus dimana ia kelihatannya akan menguat
lebih lanjut. Anda bisa cek gambar dibawah, dimana jelas tampak bahwa trend penguatan
Rupiah sudah terjadi sejak Oktober 2015 lalu.
Kurs Rupiah sejak awal tahun 2015 hingga 29 Maret 2016. Klik gambar untuk memperbesar. |
Nah, perlu anda ketahui bahwa ketika Rupiah mulai
mengalami trend pelemahan dari Rp9,000-an per USD pada 2013 lalu (tepatnya
mulai bulan Agustus) hingga akhirnya hampir saja menembus Rp15,000 pada
September 2015, maka itu bukannya tanpa kesengajaan
dari pihak Bank Indonesia (BI)
sebagai regulator (selain karena hampir seluruh mata uang dunia ketika itu
memang melemah terhadap USD). Jadi BI sejak awal sengaja membiarkan kurs Rupiah
melemah hingga sampai pada level tertentu, dalam hal ini sekitar Rp13,700,
dimana menurut salah satu pejabat BI, secara fundamental memang seharusnya
Rupiah berada di kurs 13,700 tersebut. Tujuannya? Untuk memperkuat neraca ekspor impor (trading balance), dimana dengan
melemahnya Rupiah hingga ke posisi sekian, maka harga barang-barang impor akan
naik dan otomatis nilai impor itu sendiri akan turun. Dan jika disisi lain
nilai ekspornya stagnan atau tetap turun, namun penurunannya tidak sedalam
penurunan impor, maka hasilnya neraca ekspor impor Indonesia akan surplus, dan itu akan berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mengingat bahwa harga komoditas batubara dan CPO terus saja turun sejak
penghujung 2011, dan itu pada akhirnya menyebabkan anjloknya nilai ekspor
Indonesia, maka tidak ada cara lain untuk menjaga agar neraca ekspor impor
tetap surplus, kecuali dengan menurunkan nilai impornya, yakni dengan cara
melemahkan nilai tukar Rupiah.
Okay, lalu bagaimana hasilnya? Apakah pelemahan
Rupiah tadi efektif? Well, kita lihat saja datanya. Sepanjang tahun 2015, nilai
ekspor Indonesia tercatat US$ 150.3 milyar, sementara nilai impornya US$ 142.7
milyar, sehingga dihasilkan surplus US$
7.5 milyar, dan ini adalah untuk
pertama kalinya sejak tahun 2011 dimana neraca ekspor impor Indonesia
kembali mencatat surplus. Selengkapnya bisa lihat tabel berikut, angka dalam
milyaran USD.
Tahun
|
2015
|
2014
|
2013
|
2012
|
2011
|
Impor
|
142.7
|
178.2
|
186.6
|
191.7
|
177.3
|
Ekspor
|
150.3
|
176.0
|
182.6
|
190.0
|
203.6
|
Surplus (Defisit)
|
7.5
|
(2.2)
|
(4.1)
|
(1.7)
|
26.3
|
Karena neraca perdagangan sudah surplus, dan
hingga Februari 2016 kemarin juga masih surplus, maka artinya Rupiah tidak
perlu melemah lagi. Jadi kecuali jika nanti ada isu global tertentu
yang menyebabkan nilai tukar mata uang dunia, termasuk Rupiah, kembali melemah
terhadap US Dollar, maka trend penguatan Rupiah selama beberapa bulan terakhir
ini berpeluang besar untuk berlanjut.
Pertanyaannya sekarang, ketika Rupiah menguat maka
perusahaan/emiten apa saja yang akan diuntungkan? Secara umum, ketika Rupiah
menguat maka semua emiten akan
diuntungkan, karena dengan menguatnya Rupiah maka itu mencerminkan membaiknya
fundamental ekonomi. Dan kalau ekonomi membaik, maka kinerja perusahaan secara
umum juga akan membaik.
Tapi kalau secara spesifik, maka yang paling
diuntungkan adalah: 1. Perusahaan yang punya utang dalam mata uang USD,
biasanya dalam bentuk obligasi yang diterbitkan di Singapura, dan 2. Perusahaan
berbasis impor, entah itu dia mengimpor barang jadi atau bahan baku pembuatan
produk. Kabar baiknya, saat ini beberapa saham dari perusahaan diatas
(perusahaannya punya utang Dollar, atau perusahaannya berbasis impor) dihargai pasar
pada valuasi yang sangat rendah. Jadi
ketika kemarin Rupiah terus saja melemah selama kurang lebih dua tahun (antara
Agustus 2013 hingga September 2015), maka selama itu pula perusahaan yang punya
utang USD dan perusahaan berbasis impor mencatat kinerja yang sangat buruk,
dimana pendapatan mereka turun drastis, atau pendapatan mereka masih naik tapi
labanya turun atau bahkan menjadi minus alias rugi, karena membengkaknya nilai
utang (yang dicatat sebagai kerugian). Alhasil saham dari perusahaan-perusahaan
tersebut juga ikut turun sangat tajam, hingga beberapa diantaranya hanya
mencatat PBV 0.5 kali atau bahkan kurang dari itu.
Namun dengan menguatnya Rupiah, maka maka kinerja
perusahaan-perusahaan diatas tentunya berpeluang untuk kembali positif pada tahun
2016 ini. Sementara sahamnya? Ya otomatis bakal ikut naik, bisa jadi dengan
kenaikan yang sangat signifikan hingga triple digit (karena sebelumnya mereka
juga turun gila-gilaan). Beberapa saham yang penulis perhatikan adalah Gajah Tunggal (GJTL), dan Erajaya Swasembada (ERAA). Pada Februari
2013, GJTL menerbitkan utang obligasi di Singapura senilai US$ 500 juta, dan
nilai obligasi tersebut dalam mata uang Rupiah terus membengkak dari hanya
Rp5.9 trilyun pada akhir tahun 2013, menjadi Rp7.3 trilyun pada September 2015.
Kenaikan nilai obligasi tersebut menyebabkan GJTL mencatat rugi bersih hingga
Rp750 milyar hingga Kuartal III 2015. Sementara sahamnya? Jeblok dari puncaknya
di 3,000-an hingga kemarin sempat menyentuh level 400-an, sebelum sekarang
mulai naik lagi ke level 700, dimana pada harga tersebut PBV-nya hanya 0.5 kali, valuasi yang kelewat rendah
untuk ukuran perusahaan ban dengan merk ban lokal paling terkenal di Indonesia.
Sementara ERAA, dia adalah importir ponsel, dan
dengan melemahnya nilai tukar Rupiah plus turunnya daya beli masyarakat itu
sendiri, maka praktis pendapatannya turun dan demikian pula dengan laba
bersihnya (meski gak sampai rugi), namun sahamnya ternyata turun lebih drastis
lagi. Tahun 2013 lalu, ERAA masih kokoh di level 3,400-an. Tapi sekarang? Cuma
650 perak! Dimana harga tersebut mencerminkan PBV 0.6 kali. Padahal seperti halnya
GJTL, ERAA juga merupakan pemimpin sekaligus perusahaan terbesar di industrinya,
dalam hal ini industri ponsel.
Nah, dengan menguatnya Rupiah, maka praktis nilai
utang obligasi GJTL akan turun, dan perusahaan berpeluang besar untuk kembali mencatat
laba bersih di tahun 2016 ini. Untuk ERAA, dengan menguatnya Rupiah maka itu
akan menurunkan biaya impor ponsel, sehingga pendapatan perusahaan berpeluang
untuk kembali naik di tahun 2016 ini, demikian pula dengan laba bersihnya.
Sementara sahamnya? Ya gak usah ditanya lagi lah, 99% pasti ikut naik secara signifikan, minimal
hingga ke level harga yang tidak bisa dikatakan murah lagi.
Selain dua perusahaan diatas, anda mungkin bisa
cari peluang di saham-saham lainnya lagi. Another good news: Baru saja sore
tadi, Pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi jilid XI, dimana salah
satu poin kebijakannya adalah penyediaan kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga
murah (9% per tahun), khusus untuk usaha
yang berbasis ekspor. Tujuannya jelas: Untuk kembali meningkatkan nilai
ekspor Indonesia, yang sudah sejak tahun 2011 lalu turun terus, dan itu tentunya
akan kembali memperbesar nilai surplus neraca perdagagangan yang kembali
dicatat pada tahun 2015 kemarin (surplus yang dicatat pada tahun 2015 lalu
lebih karena turunnya nilai impor secara drastis, sementara nilai ekspornya
masih belum naik kembali). Nah, jika tujuan itu tercapai, maka sudah tentu
Rupiah akan kembali menguat lebih lanjut, mudah-mudahan!
Disclosure: Ketika artikel
ini ditulis, Avere sedang dalam posisi memegang ERAA di average 655. Posisi ini dapat
berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi April 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini,
gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member, langsung dengan penulis.
Komentar
http://investasi.kontan.co.id/news/bergerak-tak-wajar-saham-eraa-masuk-kategori-uma