'Mumpung Murah' Opportunity - Bank Bukopin
Selasa kemarin para
supir taksi, terutama dari dua perusahaan yakni Blue Bird (BIRD) dan Express
Transindo Utama (TAXI), melakukan aksi unjuk rasa di pusat kota Jakarta yang hampir
saja berujung pada ‘civil war’, antara mereka dengan pengemudi Gojek
(lah, apa hubungannya ama Gojek coba? Bukannya yang didemo itu Uber dan Grab?).
Tak lama kemudian media sosial segera dipenuhi oleh opini para pengamat dadakan
soal taksi konvensional vs taksi online ini. Sementara di pasar saham, saham BIRD
dan TAXI juga menjadi pusat perhatian, dimana TAXI yang sebelumnya terjun bebas
dari 1,200-an hingga dibawah 100, tiba-tiba saja sudah diatas 200 lagi.
Demikian pula dengan BIRD, yang pada Januari lalu jeblok ke 5,400, tapi
terakhir sudah naik ke 6,800.
Fakta menariknya adalah, ketika saham BIRD mulai
melantai di bursa sejak November 2014 lalu, atau ketika TAXI terus saja turun
dalam setahunan terakhir, maka dua saham ini tidak pernah benar-benar menjadi perhatian
investor atau trader (kecuali mungkin spekulan yang melihat bahwa posisi TAXI
sudah terlalu rendah ketika kemarin harganya menyentuh 80 perak, dan memang
benar dia kemudian naik lagi). Dan kalau bukan karena demo kemarin, maka
mungkin juga tidak akan ada orang yang membongkar-bongkar laporan keuangan
BIRD, dan kemudian menemukan bahwa perusahaan yang hampir memonopoli industri taksi di masa lalu ini ternyata masih membukukan profit ratusan milyar
Rupiah, sebuah angka yang tentu saja terdengar fantastis, dan itu kemudian
dijadikan justifikasi oleh para pendukung Uber dan Grab dengan mengatakan
bahwa BIRD selama ini sudah meraih profit terlalu besar dari praktek monopoli taksi
yang mereka lakukan.
However, jika nanti cerita soal demo taksi Selasa
kemarin mulai dilupakan orang (kecuali jika besok-besok para supir berdemo
lagi, tapi susah lah, gak mungkin mereka demo tiap hari, anak bini dikasih
makan apa cuy?), maka demikian pula saham BIRD dan TAXI akan dilupakan juga,
karena sejak awal dua saham tersebut tidak menawarkan fundamental yang cukup
baik bagi investor.
Okay, lalu apa hubungannya cerita soal TAXI ini
dengan Bank Bukopin (BBKP), yang menjadi topik pembahasan kita kali ini?
Seperti halnya BIRD dan TAXI, BBKP bukanlah saham
yang cukup populer di kalangan investor (dan juga trader). Namun di masa lalu,
saham BBKP sempat beberapa kali menjadi pusat perhatian ketika dia naik
signifikan, terakhir pada awal tahun 2013 dimana dia terbang dari 600-an hingga
tembus 1,000, setelah keluar berita bahwa Grup Bosowa mengakuisisi 30% saham
BBKP pada harga Rp1,050 per saham. Namun setelah itu BBKP kembali menjadi saham
yang ‘biasa-biasa saja’, dan belum menjadi perhatian publik lagi sampai
sekarang.
Sementara bagi para bargain hunter seperti penulis, BBKP menarik perhatian bukan ketika
dia naik, tapi justru ketika dia turun.
Dalam lima tahun terakhir, cukup jelas bahwa titik terendah bagi BBKP ini
adalah di level 520 – 530, dan secara valuasi BBKP memang tidak bisa turun
lebih rendah lagi dari itu, karena PBV-nya pada harga 525 hanya 0.5 kali, atau
jauh dibawah rata-rata PBV saham-saham perbankan pada umumnya, padahal BBKP
tentu saja bukan bank kecil abal-abal yang gak jelas, melainkan bank yang cukup
punya nama di masyarakat, dan kinerja fundamentalnya juga terbilang konsisten
dalam jangka panjang. Per akhir tahun 2015, BBKP membukukan ekuitas Rp7.5
trilyun, naik cukup signifikan dibanding lima tahun sebelumnya (tahun 2010)
sebesar Rp2.9 trilyun.
Catatan: Berdasarkan riset penulis selama ini,
bank-bank yang terdapat di Indonesia bisa dikelompokkan menjadi empat tier. Tier 1 adalah bank-bank besar
dengan aset Rp500 trilyun atau lebih, dan merupakan bank yang sangat terkenal
dan sangat berpengaruh terhadap masyarakat umum, seperti Bank Mandiri, Bank
BCA, dan Bank BRI. Tier 2 adalah bank-bank yang juga cukup besar dengan aset
Rp100 trilyun atau lebih, namun biasanya hanya merupakan pilihan kedua bagi masyarakat
(untuk menabung) diluar tiga bank besar diatas. Bank-bank di tier 2 ini
contohnya Bank BNI, Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, hingga Bank BII. Tier 3
adalah bank-bank menengah dengan aset Rp20 – 100 trilyun, nama bank-nya cukup
terkenal namun kurang terkenal jika dibanding bank-bank di tier 1 dan 2, dan
BBKP termasuk tier 3 ini. Terakhir, tier 4 adalah bank-bank kecil yang tidak
terkenal sama sekali, dan kalau mereka listing di BEI maka sahamnya juga
biasanya tidak likuid. Contohnya Bank Victoria (BVIC), Bank QNB (BKSW), Bank
Mestika Dharma (BBMD), dan seterusnya.
Secara fundamental, bank-bank di tier 1 dan 2 umumnya
memiliki kinerja yang sangat bagus dan juga konsisten dalam jangka panjang, karena
mereka boleh dibilang mendominasi industri perbankan di Indonesia. Untuk
bank-bank di tier 3, termasuk Bukopin, kinerja mereka tidak sebagus bank-bank
besar, tapi juga tidak bisa dikatakan jelek dan dalam jangka panjang nilai aset
bersih mereka masih bertumbuh. Sementara bank-bank di tier 4, kinerja mereka
terbilang buruk, dan manajemennya seringkali harus struggle untuk sekedar tidak menderita kerugian, yang terburuk
mungkin bisa bangkrut sama sekali, seperti Bank Century, yang sekarang berubah
nama menjadi Bank JTrust Indonesia (BCIC).
Balik lagi ke BBKP. Seperti disebut diatas, BBKP
termasuk bank tier 3 dengan fundamental yang biasa-biasa saja, dan karena itu
pula valuasi sahamnya tidak bisa disamakan dengan BMRI, BBRI, atau BBCA, dimana
jika tiga saham seringkali dihargai pada PBV 2, 3 atau bahkan 4 kali, maka PBV BBKP
biasanya hanya 1 koma sekian kali saja.
Tapi ketika sekarang PBV BBKP hanya 0.6 kali (pada harga 590), maka
itu artinya dia? Undervalue, tentu saja, sama seperti ketika pada September
lalu BBRI turun sampai harga 8,000, yang mencerminkan PBV 1.7 kali, padahal
normalnya BBRI ini dihargai pada PBV 2 – 3 kali. Dan setelah jangka waktu
menengah (beberapa bulan), seperti yang bisa anda lihat sendiri, berapa BBRI
sekarang? Poinnya disini adalah, ketika itu BBRI turun bukan karena
perusahaannya lagi ada problem atau apa, tapi memang IHSG-nya sendiri yang lagi
kumat, sehingga kalau nanti IHSG membaik maka sahamnya juga praktis akan naik
hingga balik lagi ke posisi yang seharusnya.
Sementara BBKP? Kasusnya juga sama begitu, dimana
dia sebenarnya gak ada masalah sama sekali, namun sejak awal tahun kemarin sahamnya
rontok dari 700-an hingga mentok di 525, yang mungkin karena IHSG juga pada
awal tahun sempat turun 3% karena cerita anjloknya
Bursa China, tapi kesininya dia seperti lupa untuk naik lagi. Well, actually
pada pertengahan Februari lalu dia sempat rebound mengikuti kenaikan IHSG, tapi
langsung dihantam oleh isu pembatasan
NIM perbankan dan turun ke 525 lagi. Seiring dengan menguapnya cerita soal
NIM tersebut, BBKP mulai merangkak naik hingga terakhir sudah di posisi 590.
Namun kalau melihat bahwa normalnya ia dihargai
pada PBV 0.9 – 1 kali, maka seharusnya dia masih bisa naik lebih lanjut hingga
level 750 – 800. Let say, dia naik dari harga sekarang sampai 750 saja, maka
itu artinya profit 27% bukan? Profit 27% ini mungkin tampak rendah, apalagi
kalau dibandingkan dengan TAXI yang kemarin naik sampai 100% lebih dalam waktu
sangat singkat. Namun jika mempertimbangkan risikonya, maka kecuali ada force majeure atau IHSG panic selling
lagi, maka BBKP ini no way akan balik lagi ke level 525. Sementara TAXI? Well,
berhubung kinerjanya juga amburadul, maka siapa yang tahu besok-besok dia akan naik
atau turun keposisi berapa?
Dan terkait dengan menjadi ‘pusat perhatian’
seperti TAXI dan BIRD kemarin, maka meski BBKP sekarang ini bukan merupakan
saham yang diperhatikan banyak orang, tapi seperti yang sudah disebut diatas,
di masa lalu dia sempat menjadi pusat perhatian beberapa kali, dan sempat beberapa
kali pula terbang (tahun 2010, BBKP sempat terbang setelah keluar cerita bahwa
dia akan diakuisisi oleh Jamsostek). Jika kita asumsikan bahwa bisa saja
besok-besok ada isu tertentu yang membuat BBKP ini menjadi pusat perhatian
lagi, maka potensi gainnya tentu saja lebih besar dari 27% tadi, dengan risiko
yang masih sama rendahnya. Tapi jika tidak cerita apapun? Well, 27% juga tentunya
sudah lumayan, terutama karena kita bisa pake dana yang tidak sedikit untuk buy
BBKP ini (sehingga nominal profitnya akan cukup besar), mengingat risikonya
yang rendah.
PT Bank
Bukopin, Tbk
Rating Kinerja pada 2015: A
Rating saham pada 590: AA
Disclosure: Ketika artikel ini ditulis, Avere
sedang dalam posisi memegang BBKP di average 565. Posisi ini dapat berubah
setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG &
Rekomendasi Saham Bulanan edisi April 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini,
gratis konsultasi saham untuk member.
Komentar
to competitive appropriation, just as good product or
business acquisition ideas are. Therefore, we normally
will not talk about our investment ideas"
Mending bahas kelanjutan BUMI Pak Teguh, saya bingung kenapa
perusahaan itu tidak bangkrut2, sementara perusahaan batubara
besar di USA (Arch Coal, Walter Energy, Patriot Coal) dan
sekarang ini Peabody Energy juga akan bangkrut. jangan2
di BUMI beneran ada hidden value nya.. hahaha