Indonesia, Sepuluh Tahun Mendatang
Berkshire Hathaway sudah merilis annual letter-nya
untuk tahun 2015 pada 27 Februari lalu (beruntung bagi kita, di usianya yang
ke-85 tahun, Opa Buffett masih sehat walafiat dan juga masih rutin menulis),
dan ada beberapa poin dalam annual letter tersebut yang cukup menarik. Salah
satunya, yang akan kita bahas disini, adalah tentang sudut pandang Buffett
tentang perekonomian Amerika yang, menurut penulis, juga bisa kita jadikan
acuan untuk memandang bagaimana perekonomian di Indonesia di masa yang akan
datang. Okay, kita langsung saja.
Tahun
2016 adalah tahun pemilihan Presiden di Amerika, dan para capres selalu
berbicara tentang berbagai problem yang melanda negeri ini, seolah-olah Amerika
sedang dalam kondisi yang benar-benar buruk. Karena itulah, sekarang ini ada
banyak warga negara Amerika yang berpikir bahwa anak-anak mereka mungkin akan
memiliki kehidupan (di masa depan) yang lebih buruk dibanding yang mereka
miliki pada saat ini.
Namun itu
sepenuhnya keliru. Para bayi yang terlahir hari ini di Amerika merupakan
generasi yang paling beruntung dalam sejarah.
PDB
Amerika saat ini adalah sekitar US$ 56,000 per kapita, atau enam kali lebih besar dibanding tahun
1930 (sudah termasuk memperhitungkan inflasi), yakni tahun dimana saya lahir,
dan itu adalah suatu lompatan yang bahkan sangat jauh melampaui impian paling
gila dari orang tua saya dan orang-orang lainnya di zaman itu. Warga negara
Amerika pada hari ini tidak lebih cerdas ataupun bekerja lebih keras dibanding
mereka yang hidup di tahun 1930-an, namun mereka bekerja lebih efisien, dan karenanya memproduksi
lebih banyak barang dan jasa. Contoh riil: Para partner kami di Kraft-Heinz
telah sukses dalam menekan inefisiensi, yang pada akhirnya meningkatkan volume
produksi per jam kerja.
Contoh
lainnya, pada tahun 1900, jumlah tenaga kerja di Amerika tercatat 28 juta jiwa,
dimana 11 juta atau 40% diantaranya bekerja di sektor pertanian. Komoditas
utama pertanian ketika itu, seperti halnya sekarang, adalah jagung. Terdapat
lahan seluas 90 juta acre yang mampu memproduksi 2.7 milyar gantang jagung (satu
gantang setara 35 – 36 liter), atau dengan kata lain, ketika itu satu acre
lahan hanya mampu menghasilkan 30 gantang jagung per tahun.
Kemudian
diciptakanlah mesin traktor, teknik penanaman, panen, irigasi, pemupukan,
hingga kualitas benih yang lebih baik, dan berbagai inovasi tersebut mampu
meningkatkan produktivitas lahan perkebunan
jagung secara sangat signifikan. Hari ini terdapat 85 juta acre lahan
perkebunan jagung di seluruh Amerika, namun satu acre lahan mampu menghasilkan
150 gantang jagung per tahun. Para petani juga telah menghasilkan peningkatan
produktivitas yang kurang lebih sama untuk produk-produk pertanian lainnya.
Namun peningkatan
produktivitas lahan itu baru separuh cerita. Dalam lebih dari 100 tahun
terakhir, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian telah turun drastis dari 11 juta jiwa menjadi hanya 3 juta pada hari ini, atau hanya 2% dari tenaga kerja
Amerika secara keseluruhan (dibanding 40% pada tahun 1900). Teknologi pertanian
yang lebih maju (dan juga lebih efisien) telah memungkinkan puluhan juta tenaga
kerja untuk menggunakan waktu dan keahlian mereka di bidang usaha yang lain, dan
realokasi tenaga kerja tersebut memungkinkan warga Amerika untuk menikmati
produk-produk dan jasa non-pertanian dalam jumlah yang jauh lebih besar
dibanding tahun 1900.
Dan
memang, saat ini sebagian besar anak-anak di Amerika memiliki kehidupan yang
sangat layak. Seluruh keluarga di lingkungan menengah keatas di daerah tempat
saya tinggal memiliki ‘living standard’ yang lebih baik dibanding living
standard-nya John D. Rockefeller pada
tahun 1930. Nyatanya, sebagai orang terkaya di Amerika sepanjang sejarah, namun
tetap saja Rockefeller tidak pernah mampu membeli atau memiliki barang dan jasa
yang bisa kita miliki pada saat ini, seperti kendaraan untuk transportasi,
barang-barang elektronik untuk hiburan, alat komunikasi, hingga layanan
kesehatan, karena ketika itu berbagai barang dan jasa tersebut belum ada.
Dan dalam
beberapa waktu kedepan, berbagai jenis produk dan jasa tersebut akan meningkat
lebih banyak lagi. Hanya memang, meski ‘kue’ yang akan diperoleh oleh
generasi-generasi mendatang akan lebih besar dibanding hari ini, namun potongan
kue tersebut tidak akan tersebar secara merata. Akan terdapat kompetisi antara
orang-orang yang dalam usia produktifnya dan para pensiunan, para ahli waris
dan orang-orang yang harus memulai segalanya dari nol, para pemilik modal dan
kaum pekerja, dan, yang paling penting, kompetisi antara orang-orang yang punya
keahlian (untuk bekerja) di bidang tertentu, dan yang tidak. Berbagai kompetisi
tersebut akan terus ada untuk selamanya, dan akan selalu ada pihak-pihak yang
kalah dan tersingkirkan.
Kabar
baiknya adalah bahwa para pihak yang kalah ini tetap akan menikmati
produk-produk barang dan jasa yang lebih baik di masa depan. Tidak ada yang
mampu menyamai sistem ekonomi dalam hal memproduksi barang dan jasa yang
diinginkan orang banyak, ataupun dalam hal memproduksi sesuatu yang orang-orang
belum mengetahui bahwa mereka menginginkannya. Orang tua saya, ketika mereka
masih muda, tidak pernah berpikir bahwa mereka membutuhkan televisi, sama
seperti halnya saya tidak pernah berpikir untuk membeli komputer, ketika saya
dulu masih berusia 50 tahunan. Namun televisi dan komputer, setelah orang-orang
mengetahui apa yang bisa dilakukan kedua barang tersebut, akan dengan cepat
mengubah cara hidup masyarakat secara keseluruhan. Saya sekarang menghabiskan
sepuluh jam per minggu untuk bermain kartu bridge secara online dan, ketika
saya menulis annual letter ini, saya baru menyadari tentang betapa
bermanfaatnya fitur ‘search’ di internet.
Bagaimana dengan Indonesia?
Melalui tulisannya diatas, Buffett secara tidak
langsung menyampaikan bahwa meski Amerika pada hari ini merupakan salah satu
negara paling makmur di dunia, namun pada tahun 1900 – 1930, Amerika sama
sekali belum menjadi negara yang maju. Dan berbagai kemajuan yang dicapai oleh
para Americans selama kurang lebih
100 tahun terakhir bukanlah karena mereka bekerja lebih keras, tapi karena
mereka bekerja lebih efisien dan
karenanya lebih produktif dalam
menghasilkan barang dan jasa, dan itu pada akhirnya meningkatkan living standard masyarakat Amerika
secara keseluruhan.
Dan meski terdapat kompetisi dimana akan selalu
ada pihak-pihak yang tersingkirkan, namun para pihak-pihak yang kalah ini tetap
akan mengalami peningkatan gaya hidup. Contohnya televisi dan komputer, dimana
meski dua barang itu terhitung barang mewah di masa lalu, namun saat ini hampir
seluruh warga negara Amerika bisa memilikinya, termasuk kalangan menengah
kebawah sekalipun. Dan meski Opa Buffett sendiri agak ketinggalan dalam hal
memanfaatkan internet, namun toh sekarang ini dia mulai terbiasa dalam
menggunakan Mbah Google.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Well, anda bisa
melihatnya sendiri: Bagaimana living
standard warga negara Indonesia pada saat ini dibandingkan dengan tahun
1990-an dulu, atau lebih lama lagi, tahun 1970-an dulu? Penulis kasih ilustrasi
mudah. Pada tahun 1970-an, sepeda motor masih merupakan barang mewah yang
harganya, setelah memperhitungkan faktor inflasi, sekitar Rp100 juta per unit. Jadi
pada jaman itu cuma orang kaya yang bisa punya motor. Tapi sekarang? Semua
orang bisa punya motor, atau bahkan lebih ekstrim lagi: Sekarang ini motor
sudah seperti simbol bagi kelas menengah kebawah, karena kelas menengah
keatasnya sudah pake mobil semua (melihat fakta ini penulis jadi penasaran: Apakah
suatu hari nanti mobil juga akan bernasib seperti motor, yakni menjadi simbol bagi
kalangan menengah kebawah?). Contoh lain, pada tahun 1990-an, cuma orang-orang
tertentu yang bisa punya ponsel (yang modelnya kayak batu bata itu). Sementara
sekarang? Well, ada nggak orang yang anda kenal yang gak punya ponsel?
Keberadaang barang-barang seperti sepeda
motor/mobil dan ponsel, pada akhirnya meningkatkan living standard warga Indonesia. Dan peningkatan living standard tersebut adalah karena
adanya peningkatan teknologi dan kualitas tenaga kerja yang pada akhirnya
mendorong efisiensi, yang menyebabkan produsen bisa memproduksi lebih banyak
sepeda motor/ponsel pada biaya produksi yang lebih murah (kalau sebelumnya
harus impor secara penuh, maka sekarang bisa dirakit disini), dan alhasil harga
jualnya juga turun sehingga lebih terjangkau oleh orang banyak.
Menariknya, hingga saat ini sekitar 40% tenaga
kerja Indonesia masih terkonsentrasi di sektor pertanian, atau sama seperti
Amerika di tahun 1900. Dan kualitas SDM Indonesia juga masih rendah dimana kita
belum bisa membuat produk hilir dari produk-produk tambang dan hasil
perkebunan, atau membuat mobil/otomotif serta barang elektronik (baru bisa
merakit). Sementara pasar modalnya? Sami mawon, dimana jumlah ‘tokoh sukses’ di
bidang ini masih bisa dihitung dengan jari. Dan kondisi tersebut, sekali lagi,
sama dengan Amerika pada 100 tahun yang lalu. Sebelum Ben Graham mulai mengajar
value investing di Columbia Business School pada tahun 1928, hingga akhirnya menerbitkan
buku ‘The Intelligent Investor’ pada tahun 1949, bursa Wall Street di Amerika sama
sekali belum memiliki tokoh investor yang benar-benar sukses, padahal Wall
Street itu sendiri sudah ada sejak tahun 1792. In fact, Warren Buffett sendiri
baru dikenal diseluruh dunia sebagai investor besar sejak tahun 1990-an.
Balik lagi ke Indonesia. Namun jika pada 10 atau
20 tahun lalu kita masih belum bisa melihat Indonesia ini ‘akan kemana’, maka
belakangan ini arah perkembangan ekonomi kita mulai kelihatan. Dulu para tenaga
kerja Indonesia boleh dibilang sama sekali tidak mengerti soal teknologi, tapi
sekarang mulai banyak developer aplikasi lokal, salah satunya aplikasi Gojek
yang terkenal itu. Dulu developer properti tidak pernah fokus pada pembangunan
kawasan perumahan yang modern (yang penting asal layak huni saja), tapi
sekarang, anda bisa lihat sendiri, ada banyak kawasan hunian yang tidak hanya
nyaman untuk tempat tinggal, tapi lengkap terintegrasi dengan berbagai
fasilitas umum, dan berbagai bangunan seperti menara apartemen, perkantoran,
hingga mall-mall sekarang ini sudah menjadi jenis bangunan yang biasa (minimal
di kota-kota besar). Dan jika dulu orang-orang hanya nyimpen duit dibawah
bantal, maka sekarang mereka yang tinggal di kampung sekalipun sudah terbiasa menabung ke bank, dan juga terbiasa
menggunakan mesin ATM.
Kantor Bank BRI di Naringgul, Cianjur, sekitar 5 jam perjalanan arah selatan Kota Bandung (Ciwidey kesana lagi) |
Sebagian besar pelaku pasar saham mungkin tidak
memperhatikan perubahan-perubahan diatas, padahal itu semua adalah perubahan fundamental yang akan mengarah pada peningkatan living standard yang lebih lanjut. You see, dengan
mampu membuat aplikasi, maka artinya orang Indonesia mulai melek teknologi, dan
kedepannya akan tercipta produk-produk teknologi lainnya, dan keberadaan
berbagai produk teknologi tersebut akan semakin meningkatkan standar living
masyarakat Indonesia. Jika sekarang ini hunian dan fasilitas umum yang modern (seperti
mall) mulai banyak di kota-kota besar, maka kedepannya kota-kota yang lebih kecil
juga akan memiliki kawasan perumahan yang sama. Dan jika sekarang orang-orang
mulai terbiasa ke bank, maka kedepannya mereka juga akan lebih mengenal dan
memanfaatkan asuransi, investasi (termasuk di saham), dan produk-produk keuangan
lainnya.
Pendek kata, Indonesia sekarang ini sedang dalam
fase tinggal landas untuk menjadi negara maju di masa depan, sama seperti Amerika
yang perekonomiannya mulai maju pesat sejak tahun 1950-an (pasca perang dunia
kedua). PDB Indonesia sendiri terakhir tercatat US$ 1,866 per kapita, atau naik
lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 1990, dan selama 20 tahun terakhir
ini trend-nya naik terus (hanya turun sekali pada krisis 1997 – 1998, tapi di
tahun-tahun lainnya termasuk 2008, cenderung naik terus). Namun sudah tentu,
PDB US$ 1,866 per kapita itu masih sangat rendah dibanding banyak negara-negara
maju, sehingga ruang untuk bertumbuhnya masih sangat terbuka lebar.
Kesimpulan
Ketika artikel ini ditulis, IHSG was in a good
mood, dan mulai banyak orang-orang yang bilang bahwa dia akan ke 5,000. Namun
seperti yang sudah kita bahas di artikel berjudul ‘smart
money’, investor yang cerdas akan fokus pada faktor-faktor fundamental
ketimbang naik turunnya IHSG, dan juga lebih berpandangan jauh kedepan ketika
kebanyakan orang hanya fokus pada fluktuasi jangka pendek. Dan diatas kita
sudah membahas sedikit dari faktor fundamental tersebut, dimana kesimpulannya
adalah bahwa negara kita sedang berada di track yang benar untuk menjadi negara
maju, suatu hari nanti.
Sementara soal ‘pandangan yang jauh ke depan’,
biar penulis kasih ilustrasi: Jika IHSG dalam 10 tahun kedepan bergerak sebesar
rata-rata kenaikannya selama ini, yakni naik 12 – 13% per tahun (belum termasuk
dividen), dan dengan mempertimbangkan faktor ‘tinggal landas’ diatas maka
peluang kenaikan sebesar itu sangat terbuka lebar, maka IHSG akan berada di
posisi 14,000 pada tahun 2026.
Sehingga jika seorang investor mampu untuk paling tidak mencatat kinerja
investasi yang sama dengan rata-rata pasar, maka nilai investasinya akan
meningkat sekitar 3 kali lipat dalam sepuluh tahun, belum termasuk dividen. Namun
berhubung ada banyak saham-saham yang selama sepuluh tahun terakhir mencatat
kinerja yang lebih baik dibanding IHSG, maka jika anda mampu untuk fokus di
saham-saham ‘wonderful’ tersebut, nilai porto anda akan meningkat lebih besar
dari sekedar 3 kali lipat dalam sepuluh tahun kedepan, mungkin 5 – 6 kali lipat
atau lebih besar lagi, dimana kinerja sebaik itu bisa dicapai tanpa perlu capek-capek
trading atau ngamatin harga saham tiap hari, melainkan cukup buy sekali ketika
pasar dilandar panic
selling, dan jualnya mungkin nanti ketika pasar sudah benar-benar euforia.
Okay, I think that’s enough. Melalui kolom
komentar dibawah, penulis juga mengajak anda untuk sharing pendapat anda
tentang bagaimana kira-kira Indonesia dalam 10 tahun kedepan, berdasarkan
perkembangan yang sudah terjadi selama 10 – 20 tahun terakhir. Catatan: penulis
masih utang pembahasan saham bagus dan murah, tapi artikel diatas adalah juga
untuk mengingatkan anda untuk membaca annual letter terbarunya Berkshire
Hathaway. Trust me, membaca annual letter tersebut adalah seperti belajar
langsung dari Opa Buffett sendiri, dan itu jauh lebih bermanfaat ketimbang
membaca berita bahwa Ahmad Dhani akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta
atau semacemnya.
The Calm Investor, buku tentang kontrol emosi &
psikologis dalam berinvestasi di pasar modal, sudah terbit! Anda bisa
membelinya disini,
harganya hanya Rp55,000.
Penulis membuat buku yang berisi kumpulan analisis saham-saham pilihan di BEI, dan anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
(US$ 1,866), apakah sudah memperhitungan kenaikan barang konsumsi dasar? (papan sandang pangan). Apakah upah riil masyarakat meningkat?
Saya skeptis. Kesempatan untuk menjadi kaya lebih besar pada jaman dulu menurut saya, mohon dikoreksi jika ada kesalahan pemikiran.
Ps:Ini hanya pendapat pribadi
Kalo menurut saya apabila tokoh seperti jokowi yang memimpin Indonesia 10 tahun kedepan saya optimis IHSG bisa 10.000 minor 7.000.....
Merdeka....