PP Properti
Seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi
sepanjang tahun 2015 lalu, mayoritas perusahaan di BEI mengalami penurunan
kinerja, atau bahkan menderita kerugian. However, beberapa dari mereka, seperti
PT PP Properti Tbk (PPRO), masih berada dalam momentum pertumbuhan. Hingga September
2015, PPRO mencatat laba bersih Rp206 milyar, naik empat kali lipat dibanding
periode yang sama tahun 2014.
PPRO adalah anak usaha dari PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk (PTPP), salah satu perusahaan konstruksi terintegrasi terbesar
di Indonesia. Pada tahun 1991, PTPP, yang sebelumnya hanya bergerak di usaha
konstruksi dan sektor pendukungnya, mulai mengerjakan proyek real estate-nya
sendiri dengan membangun Perumahan Otorita di Purwakarta, Jawa Barat, dan
berlanjut dengan proyek-proyek lainnya. Pada 2013, PPRO resmi didirikan untuk
menjadi wadah bagi bisnis developer properti milik PTPP.
Antara 1991 hingga 2013, PPRO telah membangun
setidaknya 24 proyek perumahan, apartemen, toko ritel, hotel, mall, dan gedung
perkantoran di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Namun barulah sejak tahun
2014 lalu perusahaan meluncurkan banyak proyek properti sekaligus, dan yang
terbesar adalah superblok Grand Kamala Lagoon di Bekasi, dan Grand Sungkono di
Surabaya.
Sekarang, masalah umum yang dihadapi perusahaan
properti adalah bahwa perolehan pendapatan serta laba mereka cenderung tidak
stabil dari tahun ke tahun. Sebuah developer mungkin sukses menghasilkan laba yang
besar pada tahun tertentu, tapi langsung anjlok di tahun berikutnya setelah
perusahaan kehabisan unit-unit properti untuk dijual, sementara proyek properti
selanjutnya masih belum siap jual, karena masih dalam tahap konstruksi atau
perencanaan. Dan kalau laba bersih sebuah perusahaan properti turun, maka
sahamnya juga akan turun.
Untuk mengatasi masalah diatas, beberapa
developer, termasuk PPRO, berupaya untuk memiliki sumber pendapatan yang
berulang (recurring income), misalnya
dari sewa hotel, mall, dan kantor, namun nilai recurring income ini biasanya sangat
kecil dibanding pendapatan dari penjualan unit-unit real estate. Termasuk PPRO,
dimana recurring income-nya hanya sekitar 5% dari total pendapatan perusahaan
(PPRO punya rencana untuk meningkatkannya menjadi 10% dalam dua atau tiga tahun
kedepan, tapi itu tetap saja kecil).
Namun demikian, pendapatan PPRO dari penjualan
unit-unit properti kemungkinan akan terus tumbuh pada tahun-tahun yang akan
datang. Untuk dua superblok-nya yang di Bekasi dan Surabaya, perusahaan
berencana untuk menyelesaikan konstruksi menara apartemen satu, menara
apartemen dua, dan seterusnya, secara bertahap setiap tahun mulai dari 2014
hingga 2022 (Bekasi), dan 2035 (Surabaya). Untuk proyek-proyek lainnya juga
sama: Akan dikembangkan secara bertahap hingga 2019. Jika semuanya lancar, maka
perusahaan akan terus menghasilkan laba yang besar dan meningkat setiap
tahunnya, minimal hingga 2019.
Pertanyaannya, bisakah PPRO menjalankan rencana
jangka panjangnya diatas secara tepat waktu dan tanpa gangguan yang berarti? Bukankah
ekonomi sekarang sedang tidak terlalu bagus, sehingga industri properti mau
tidak mau akan ikut terpengaruh? Well, mungkin nggak juga karena, pertama,
tidak seperti kebanyakan developer lainnya yang mentargetkan pembeli kelas
menengah keatas, PPRO menjual sebagian besar produknya untuk kalangan menengah
pada harga yang lebih terjangkau, sehingga perusahaan lebih kebal terhadap
risiko perlambatan ekonomi. Kedua, seluruh proyek properti milik perusahaan
berlokasi di kota besar dan didukung oleh infrastruktur yang lengkap, seperti
akses jalan tol. Ketiga, meski ekonomi melambat, namun Pemerintah banyak
menerapkan kebijakan ekonomi untuk kembali membuatnya melaju kencang, dan salah
satu sektor yang menerima banyak perhatian adalah sektor properti. Dan sektor
properti itu sendiri masih tumbuh seiring dengan pembangunan infrastruktur oleh
Pemerintah.
Keempat, PPRO tidak memiliki utang yang besar
seperti beberapa developer lainnya, sehingga laba bersihnya terbilang aman dari
risiko perubahan suku bunga ataupun nilai tukar Rupiah. Dan kelima, PPRO
didukung oleh perusahaan induknya, PTPP, yang merupakan perusahaan konstruksi BUMN
yang mapan yang tentunya akan menerima banyak proyek infra dari Pemerintah,
dimana keberadaan infrastruktur tersebut akan meningkatkan value dari unit-unit properti milik perusahaan.
Jadi, kita kesampingkan dulu perusahaan-perusahaan
properti yang lain, penulis kira PPRO berpeluang untuk mempertahankan momentum
pertumbuhannya yang sudah dicapai sejak 2014 lalu hingga beberapa tahun kedepan.
Lalu bagaimana dengan sahamnya? Meski PPRO menjadi
satu dari sedikit perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan signifikan di tahun
2015, namun sahamnya tetap terseret oleh penurunan IHSG. PPRO pertama kali diperdagangkan
pada 19 Mei 2015 ketika IHSG berada di level 5,300-an, dan sahamnya melompat
dari harga perdana 185 hingga sempat menyentuh 250. Namun seiring dengan penurunan
IHSG yang mencapai titik terendahnya yakni 4,100-an pada Agustus – September lalu,
PPRO juga sempat turun hingga 127, atau jauh dibawah harga IPO-nya.
Namun meski sahamnya turun, perusahaannya sama
sekali tidak ada masalah, sehingga penurunan sahamnya jelas sekali merupakan
peluang bagi para value seekers. Pada
harga 127, PBV PPRO hanya 0.9 kali, atau dengan kata lain, anda hanya perlu
membayar Rp90 untuk memperoleh aset senilai Rp100, dan aset tersebut berpeluang
besar untuk tumbuh signifikan di tahun-tahun mendatang. Jadi dengan
mempertimbangkan nama besar perusahaan, likuiditas sahamnya, kinerjanya yang
cemerlang, dan outlook-nya yang cerah, maka harga 127 tersebut tidak masuk akal. Jika IHSG mulai rebound, dan
PPRO juga sukses melanjutkan kinerja positifnya, maka sahamnya juga akan naik
dengan mudah.
And indeed, ketika artikel ini ditulis, IHSG mulai
rebound meski masih belum kembali ke 5,300-an, namun PPRO naik cukup signifikan
dan sudah berada di level 190-an kembali. Untuk kedepannya PPRO mungkin akan naik lebih lanjut atau bisa juga turun lagi, namun dengan asumsi bahwa perusahaan masih mencatatkan kinerja yang bagus dan IHSG juga
minimal bertahan di kisaran posisinya saat ini, maka tidak ada alasan bagi PPRO
untuk kembali ke level terendahnya bukan?
Disclosure: Artikel ini ditulis pertama kali pada
Oktober 2015 untuk Majalah Forbes Indonesia edisi November 2015, dan disajikan
kembali disini dengan beberapa perubahan. Pada Oktober 2015 dan pada tanggal penyajian
artikel (29 Februari 2016), Avere sedang dalam posisi memegang PPRO di harga rata-rata
173. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Maret 2016 sudah terbit! Anda bisa
memperolehnya disini,
gratis konsultasi portofolio untuk member.
Komentar
Saya memulai investasi saham sejak Desember 2015, sejak awal saya sangat tertarik pada SMBR, mengingat perusahaan itu adalah satu2nya perusahaan semen di Pulau Sumatera. Dengan program Nawacita Presiden Jokowi, saya yakin pembangunan infrastruktur di Sumatra akan digenjot habis-habisan seperti bandara, pelabuhan, Jalan Tol Lintas Sumatra, terlebih ada Asian Games 2018 di Palembang maka saya yakin program percepatan pembangunan di sana akan terus dikebut. Mengingat Sumatera adalah pulau terbesar kedua di Indonesia dari sisi ekonomi dan perdagangan, tidak heran Pak Jokowi sampai bolak balik memantau perkembangan dan kemajuan proyek pembangunan di Sumatera seperti kemarin dari Aceh, Danau Toba, Medan, Palembang, Bandar Lampung. SMBR dalam pandangan saya memiliki peranan yang sangat penting untuk pembangunan di pulau Sumatra, karena akan dibutuhkan jutaan ton semen untuk aneka proyek tersebut, yang dari sisi lokasi pabrik dan biaya transport tentu saja hanya SMBR yang paling memenuhi syarat memasok kebutuhan semen tersebut dibanding misalnya SMCB, SMGR karena lokasi pabrik mereka yang di luar pulau Sumatra. Atas dasar keyakinan dan ilmu value investing dari Pak Teguh itulah saya memutuskan fokus hanya membeli SMBR (waktu itu di harga Rp 290-300) dalam jumlah besar dan saya hold. Syukurlah sampai hari ini, perkiraan saya tepat karena SMBR 'terbang' ke Rp 350-360 dalam rentang waktu 3 bulan. Sejak awal saya kurang tertarik pada saham-saham blue chip karena harganya yang sudah kemahalan per lembarnya, tetapi memiliki minat yang sangat kuat pada saham-saham 'good and cheap value' yakni perusahaan berharga murah ( rentang harga yang saya patok Rp 200 - Rp 800 per lembar ) namun berkinerja bagus dan tidak kalah dengan saham2 berharga mahal ( diatas RP 1000 per lembar) sehingga dengan nominal uang yang sama saya bisa mendapatkan jumlah saham yang jauh lebih banyak. terima kasih