Posisi Bursa Saham Indonesia di Regional Asia Tenggara
Kemarin ada berita bahwa Bank
Central Asia (BBCA) telah mengambil alih posisi Development Bank of Singapore
(DBS) sebagai bank terbesar di Asia Tenggara, dari sisi market cap. Dan
berdasarkan pengalaman, ketika sebuah perusahaan sudah memperoleh titel
‘terbesar’ entah itu dari sisi market cap, nilai aset, atau nilai ekuitas, it
must mean something. Apalagi sebelumnya jarang terdengar ada perusahaan
Indonesia yang mampu ‘mengalahkan’ perusahaan Singapura, dimana dalam hal
perkembangan pasar modal, diakui atau tidak, kita masih
kalah jauh dibanding tetangga kecil nan menjengkelkan tersebut. Dan mungkin pertanyaannya, sebenarnya bagaimana sih posisi saham-saham Indonesia di
regional Asia Tenggara?
Dari sisi market cap atau kapitalisasi pasar, pada
penutupan pasar tanggal 12 Februari kemarin, BBCA memiliki market cap
USD 24.1 milyar, atau lebih besar dari DBS yang hanya USD 23.3 milyar. Mengingat bahwa
market cap bisa berubah setiap saat tergantung naik turunnya saham, maka
data diatas mungkin tidak berarti apa-apa, dimana jika besok-besok saham DBS kembali naik, maka BBCA akan kembali ke posisinya sebagai bank terbesar kedua di
Asia Tenggara. Namun fakta lainnya yang menarik adalah, dalam lima tahun
terakhir, saham BBCA sudah naik 115.9%, sementara DBS justru turun 10.8%. I
mean, dalam jangka pendek, pergerakan harga suatu saham dan juga perubahan
market cap mungkin tidak berarti apapun. Tapi jika suatu saham naik signifikan
setelah lima tahun, sementara saham lainnya justru turun pada periode waktu
yang sama, maka pasti terdapat perbedaan fundamental yang signifikan dari dua
perusahaaan yang bersangkutan.
Dan ternyata memang benar: Antara akhir 31
Desember 2010 hingga 30 September 2015, ekuitas BBCA meningkat dari Rp34.1 menjadi
86.0 trilyun, atau naik 152%. Sementara DBS? Pada periode waktu yang sama,
ekuitasnya naik dari SGD 26.6 menjadi 39.4 milyar, atau hanya naik 48%. Okay,
dari sisi aset serta ekuitas, DBS masih jauh lebih besar dibanding BBCA, dan
faktanya BBCA sendiri bukanlah bank terbesar di Indonesia kalau dari sisi nilai
aset (yang terbesar itu Bank Mandiri, disusul Bank BRI, kemudian baru BCA).
Tapi dari sisi pertumbuhan, well, dalam beberapa
tahun terakhir ini kita menang jauh, dimana tidak hanya BBCA, tapi bank-bank
besar lainnya di tanah air juga rata-rata mencatat pertumbuhan sekitar 150%
dalam lima tahun. Sementara pertumbuhan DBS yang terbilang moderat memang
mencerminkan pertumbuhan industri perbankan di Singapura secara keseluruhan,
dimana dua bank besar lainnya di Singapura yakni Oversea-Chinese Banking Corp
(OCBC) dan United Overseas Bank (UOB), pada periode yang sama, ekuitas mereka
masing-masing hanya tumbuh 79.6 dan 40.7%.
Tapi btw, balik lagi ke pertanyaan diatas:
Sebenarnya bagaimana posisi saham-saham Indonesia di regional Asia Tenggara?
Well, berikut ini adalah data 10 saham terbesar dari sisi market cap, yang
terdaftar di bursa-bursa saham Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand:
Companies
|
Closing Price
|
Market Cap
|
Singapore (SGX)
|
||
SingTel
|
3.56
|
40.8
|
Jardine Matheson
|
53.23
|
37.9
|
Jardine Strategic
|
27.92
|
30.8
|
DBS Group
|
13.02
|
23.3
|
OCBC
|
7.46
|
22.0
|
UOB
|
17.56
|
20.2
|
Hongkong Land
|
5.62
|
13.2
|
Wilmar
International
|
2.91
|
13.2
|
IHH Healthcare
|
2.11
|
12.4
|
Thai Beverage
|
0.68
|
12.1
|
Indonesia (IDX)
|
||
HM Sampoerna
|
105,700
|
36.5
|
Telkom Indonesia
|
3,285
|
24.6
|
BCA
|
13,275
|
24.1
|
Unilever Indonesia
|
41,100
|
23.3
|
BRI
|
11,800
|
21.4
|
Astra International
|
6,825
|
20.5
|
Bank Mandiri
|
9,725
|
16.7
|
Gudang Garam
|
60,700
|
8.7
|
BNI
|
5,275
|
7.2
|
Indofood CBP
|
14,725
|
6.4
|
Malaysia (BursaMalaysia)
|
||
Maybank
|
8.51
|
20.0
|
Public Bank
|
18.50
|
17.2
|
Petronas Chemicals
|
6.90
|
13.3
|
IHH Healthcare
|
6.49
|
12.9
|
Axiata Group
|
5.60
|
11.9
|
Maxis
|
6.06
|
11.0
|
Petronas Gas
|
22.24
|
10.6
|
DiGi.com
|
4.85
|
9.1
|
CIMB Group
|
4.20
|
8.6
|
IOI Corporation
|
4.67
|
7.1
|
Thailand (SET)
|
||
PTT
|
230
|
18.4
|
Siam Cement
|
426
|
14.4
|
Advanced Info
Service
|
166.5
|
13.9
|
Siam Commercial
Bank
|
130
|
12.4
|
Kasikornbank
|
161
|
10.8
|
CP ALL
|
40.3
|
10.2
|
Bangkok Bank
|
148
|
7.9
|
Krung Thai Bank
|
17.2
|
6.7
|
PTT Global Chemical
|
51.5
|
6.5
|
Bank of Ayudhya
|
30.3
|
6.2
|
Catatan:
- Closing price/harga penutupan adalah per 12 Februari 2016
- Market cap dalam milyar US Dollar.
- Closing price dalam mata uang di negara masing-masing, kecuali Jardine Matheson, Jardine Strategic, dan Hongkong Land dalam mata uang US Dollar
- IHH Healthcare bermarkas di Malaysia, namun sahamnya terdaftar di Bursa Malaysia dan Singapura sekaligus (dual listing)
- Thai Beverage bermarkas di Thailand, namun sahamnya terdaftar di Bursa Singapura
- Kurs yang digunakan untuk perhitungan market cap (per US Dollar): Singaporean Dollar 1.40, Rupiah 13,471, Malaysian Ringgit 4.15, dan Thailand Baht 35.62.
- Saham dengan market cap terbesar di Singapura adalah Prudential Plc., kemudian baru disusul SingTel. Namun Prudential Plc, yang juga listing di Bursa London, sahamnya yang di Singapura sama sekali tidak likuid, sehingga jarang dianggap sebagai salah satu big caps di SGX.
Dan jika dari daftar diatas diambil lima belas
saham terbesar dari sisi market cap, maka berikut hasilnya (market cap dalam
milyar US Dollar):
Companies
|
Country
|
Market Cap
|
SingTel
|
Singapore
|
40.84
|
Jardine Matheson
|
Singapore
|
37.89
|
HM Sampoerna
|
Indonesia
|
36.52
|
Jardine Strategic
|
Singapore
|
30.79
|
Telkom Indonesia
|
Indonesia
|
24.57
|
BCA
|
Indonesia
|
24.05
|
Unilever Indonesia
|
Indonesia
|
23.31
|
DBS Group
|
Singapore
|
23.29
|
OCBC
|
Singapore
|
21.96
|
BRI
|
Indonesia
|
21.38
|
Astra International
|
Indonesia
|
20.49
|
UOB
|
Singapore
|
20.20
|
Maybank
|
Malaysia
|
20.02
|
PTT
|
Thailand
|
18.44
|
Public Bank Bhd
|
Malaysia
|
17.21
|
Catatan: Perusahaan-perusahaan diatas bisa disebut
sebagai lima belas perusahaan terbesar di Asia Tenggara (jadi gak cuma
Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand), dari sisi market cap. Hal ini
karena tiga perusahaan terbesar di Vietnam, yakni Vinamilk, Vietcom Bank, dan
Petro Vietnam, ketiganya hanya memiliki market cap masing-masing sekitar US$ 5
milyar atau kurang dari itu. Sementara bursa-bursa saham di negara-negara
lainnya di Asia Tenggara, semuanya relatif masih belum berkembang.
IDX versus SGX
Dari data diatas, maka cukup jelas bahwa posisi
pasar modal kita relatif lebih baik dibanding Malaysia dan Thailand, setidaknya
dari sisi market cap, namun masih kalah dari Singapura. Dan disinilah
menariknya: Dengan GDP sebesar USD 889 milyar, maka Indonesia adalah negara
dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, jauh lebih besar dibanding
Singapura yang cuma punya GDP USD 308 milyar. Namun dari sisi nilai
saham-sahamnya di pasar modal, per tanggal 12 Februari, seluruh saham-saham
yang terdaftar di IDX memiliki market cap total Rp5,005 trilyun, atau setara USD 371 milyar. Sementara SGX? Per
akhir Januari 2016, market cap-nya tercatat SGD 855 milyar, atau setara USD 612 milyar.
Tapi bagaimana mungkin nilai saham-saham di Bursa
Singapura bahkan lebih besar dibanding nilai GDP negaranya sendiri? Well, jawabannya
ada dua. Pertama, Singapura sejak dulu sudah dikenal sebagai tempat yang sangat
uenak untuk berinvestasi, dimana Pemerintahnya sangat ramah terhadap pemilik
modal baik dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 1961, empat tahun sebelum merdeka
dari Malaysia, Pemerintah Singapura bahkan sudah mendirikan badan khusus dibawah
Kementerian Perdagangan dan Industri, yang dinamakan Economic Development Board (EDB), yang bertugas untuk memberikan
solusi dan menciptakan value bagi
investor dan perusahaan-perusahaan di Singapura. Mungkin founding father Singapura, Lee Kuan Yew, sejak awal sadar bahwa
dengan luas negara yang sama sekali tidak seberapa, maka Singapura tidak
mungkin bisa mengembangkan perekonomiannya sendiri tanpa bantuan modal asing,
dan karena itulah para investor dimanjakan habis-habisan dengan kebijakan tax haven dll, termasuk Bursa Singapura
dikembangkan sedemikian rupa sehingga ada banyak perusahaan kelas dunia yang tertarik
untuk listing disana. Beberapa perusahaan besar yang listing di SGX, seperti
Jardine Matheson, IHH Healthcare, dan Thai Beverage, mereka sebenarnya tidak
berkantor pusat di Singapura. Tapi alih-alih listing di negara asalnya, ketiga
perusahaan tersebut lebih memilih untuk listing di SGX (atau dual listing
seperti IHH Healthcare, yang juga terdaftar di Bursa Malaysia). Termasuk, ada
banyak juga perusahaan asal Indonesia yang sahamnya tidak terdaftar di IDX
namun terdaftar di SGX.
Dan kedua, didukung oleh modal yang boleh dibilang
tidak terbatas (karena investasi dari seluruh dunia masuk terus),
perusahaan-perusahaan asal Singapura kemudian bisa mengembangkan usaha/investasinya
tidak cuma di Singapura, tapi justru lebih banyak di negara-negara lain, paling
tidak di Asia Tenggara. Misalnya DBS, OCBC, dan UOB, yang ketiganya punya
operasional di Indonesia, atau SingTel yang menjadi salah satu pemegang utama
di Telkomsel, perusahaan seluler terbesar di tanah air, dan Jardine Matheson
juga merupakan pemegang saham mayoritas di Astra International (ASII). Boleh
dibilang bahwa Singapura ini adalah seperti pengelola dana bagi investor-investor
besar di seluruh dunia (termasuk dari Indonesia sendiri) yang hendak
menempatkan aset/investasinya di Asia Tenggara atau bahkan di seluruh Asia.
Jadi jika ada investor besar asal Amerika yang
tertarik untuk berinvestasi di Asia Tenggara, maka nama Singapura selalu muncul
lebih awal, kemudian mungkin baru Jakarta. Dan meski hal ini terkesan tidak
adil bagi Indonesia, namun di kawasan manapun di seluruh dunia memang selalu
terdapat kota-kota (atau negara kecil) yang menjadi financial center seperti itu,
seperti London di Britania Raya, Zurich di Eropa, New York di Amerika
Utara, dan Hong Kong di Asia. Di Swiss, market cap bursa sahamnya tercatat USD
1,516 milyar pada tahun lalu, padahal GDP negaranya cuma USD 701 milyar.
Namun mau sekencang apapun pertumbuhan bursa saham
di suatu negara, pada akhirnya pertumbuhan investasi di negara tersebut akan
terhambat entah itu oleh ‘mentoknya’ pertumbuhan GDP maupun terbatasnya sumber
daya manusia. Contoh paling gampang adalah Bursa Hang Seng di Hongkong, yang
begitu digdaya di masa lalu, namun posisinya sebagai bursa saham terbesar di
Asia (setelah Nikkei), sekarang ini sudah digantikan oleh Bursa Shanghai, yang tumbuh jauh lebih signifikan dalam dua dekade
terakhir. Tidak ada perlakuan khusus dari Pemerintah China terhadap bursa
sahamnya, melainkan bursa tersebut tumbuh seiring dengan kenaikan GDP China itu
sendiri.
Sementara Bursa Singapura, dalam hal ini Indeks
STI, meski market cap-nya hingga saat ini masih jauh diatas IHSG, namun dalam lima
tahun terakhir IHSG naik 34.6%, sementra STI malah turun 17.7%. Pada akhir
tahun 2009, IDX mencatat total market cap Rp801 trilyun, atau setara USD 215
milyar berdasarkan kurs ketika itu. Sementara SGX, pada waktu yang sama
mencatat market cap SGD 669 milyar, atau setara USD 476 milyar. Ini artinya
dalam lima tahun terakhir nilai saham-saham di BEI naik 72.9%, sementara nilai
saham-saham di Singapura hanya naik 28.3%, sudah termasuk disesuaikan dengan
nilai Rupiah (yang memang cenderung lebih gampang melemah dibanding SGD). Jika
masa waktunya diperpanjang hingga satu atau dua dekade ke belakang, maka
kesimpulannya juga tetap sama: Bursa saham di Indonesia berkembang lebih cepat
dibanding Singapura.
Dan jika trend-nya begini terus, maka cuma soal
waktu sebelum IDX akan mengambil alih posisi SGX sebagai bursa saham terbesar
di Asia Tenggara, dan peluang tersebut memang terbuka lebar. I mean, ketika perusahaan-perusahaan
Singapura berinvestasi/membuka kantor cabang di luar negaranya, maka aktivitas operasional
mereka tentu saja dibatasi oleh peraturan-peraturan tertentu yang tidak berlaku
bagi perusahaan setempat, dan karena itulah DBS dll tidak akan pernah menjadi
bank terbesar di Indonesia atau di negara-negara lainnya dimana mereka
beroperasi. Sementara Bank BCA? Well, dia tidak perlu buka kantor cabang di
luar negeri (meski BCA sekarang punya kantor cabang di Singapura dan Hongkong),
karena di Indonesia sendiri masih ada banyak wilayah yang belum tersentuh layanan
perbankan, dan perluasan layanan perbankan ini selama beberapa waktu terakhir
ini memang signifikan. Di kampung halaman penulis di pinggir kota Cirebon, sepuluh
tahun lalu, sangat sulit untuk menemukan mesin ATM, tapi sekarang mesin ATM itu
dapat ditemukan dimana-mana.
Jadi perusahaan-perusahaan di Indonesia masih
punya banyak sekali ruang untuk berkembang di negaranya sendiri sebelum
kemudian baru mereka perlu ekspansi keluar negeri, sehingga praktis IDX akan lebih
mudah tumbuh untuk menjadi lebih besar lagi. Jika Pemerintah atau Bursa Efek
Indonesia (BEI) itu sendiri bisa copy
paste beberapa kebijakan SGX dalam mengembangkan pasar modal di Singapura,
seperti:
- Mendorong perusahaan-perusahaan asing untuk listing di BEI, atau dual listing (di Indonesia dan di negaranya), dengan menawarkan kemudahan-kemudahan tertentu. Jika ini sulit dilakukan, maka minimal perusahaan-perusahaan Indonesia yang listing di Singapura bisa diarahkan untuk juga listing di BEI
- Membuka keran masuknya investasi asing dimana mereka bisa membeli saham-saham dari perusahaan asing tersebut (jadi asing ketemu asing).
- Menciptakan dan mengembangkan produk-produk investasi/trading diluar saham dan obligasi, seperti indeks futures (yang memang sudah dibikin), exchange traded funds (ETF, ini juga sudah ada, tapi belum populer), real estate investment trust (REIT), business trust, structured warrants, dll.
..Maka pasar modal di Indonesia akan tumbuh lebih
kencang lagi di masa depan. Kebijakan diatas mungkin terdengar liberal, termasuk
mungkin bisa menimbulkan efek samping persaingan bagi investor/perusahaan lokal
dan kemungkinan berkembangnya spekulasi, namun nyatanya itulah yang dilakukan
oleh beberapa negara financial center seperti
Singapura, Hongkong, dan Swiss, dan alhasil tidak hanya pasar modalnya, namun
ekonomi mereka maju pesat secara keseluruhan. Kalau hanya mengharapkan investor
dan perusahaan domestik untuk ‘meramaikan’ pasar modal, maka untuk proses
edukasinya saja mungkin perlu waktu beberapa dekade. Kalau anda perhatikan pergerakan
Bursa Shanghai yang sangat ekstrim, dimana dia bisa terbang dan jeblok
gila-gilaan dalam waktu singkat, kemungkinan itu karena market participant terbesarnya ya investor di dalam negerinya
sendiri, yang mindsetnya masih ke gambling ketimbang investasi.
Tapi, okay, katakanlah pasar modal di Indonesia
berkembang dengan sendirinya tanpa perlakukan khusus apapun dari Pemerintah
maupun otoritas terkait, maka bagaimana peluangnya di masa yang akan datang?
Well, seperti yang sudah disebut diatas, bahkan tanpa Pemerintah memberikan
stimulus apapun, namun cuma soal waktu sebelum IDX akan menyalip SGX sebagai
bursa saham terbesar di Asia Tenggara, dan sinyal pertama akan hal itu adalah
ketika market cap BBCA sudah lebih besar dari DBS.
Dan bagi fund-fund besar asal Amerika dll, ketika
mereka berinvestasi di Asia Tenggara, maka sudah tentu mereka akan memilih ‘yang
terbesar’ terlebih dahulu, sementara disisi lain cukup jelas bahwa Bursa
Singapura sama sekali tidak menawarkan profit yang layak dalam lima tahun
terakhir. Jadi dalam hal inilah, penulis kira dalam waktu dekat kita akan
melihat dana asing akan ramai-ramai masuk ke saham-saham di BEI. Hingga tanggal
12 Februari, asing baru mencatatkan net buy Rp1.5 trilyun, atau masih sangat
kecil dan sama sekali belum menutup net sell sebesar Rp22.6 trilyun sepanjang
tahun 2015 lalu. Jika kedepannya asing belanja hingga menutup net sell yang
Rp22.6 trilyun ini saja, maka IHSG tentu akan naik signifikan (actually, di
website ini kita sudah mengatakan bahwa IHSG akan naik bahkan ketika dia masih
terpuruk, awal Januari lalu. Anda bisa baca lagi artikelnya disini).
We’ll see.
Ebook Analisis Kuartal IV 2015 sudah terbit! Anda bisa
memperolehnya disini.
Jadwal Seminar: Tema Value Investing: Buy at Lowest Price, Sell at Highest.
Hotel NEO Tendean, Jakarta Selatan, Sabtu 20 Februari 2016. Untuk mendaftar klik
disini. Hingga Senin, 15 Februari, masih tersedia kursi untuk 9 peserta
lagi.
Komentar
Terimakasih dan salam sukses
Sebagai gambaran saya saat ini bekerja sebagai credit analyst di institutsi finansial di Singapura, dan banyak rekan Singapur saya juga sudah mulai bergeser appetitenya untuk berinvestasi di bursa Indonesia, sebagai portofolio lainnya. Jadi saya sangat percaya, bursa kita dengan sangat terbuka dapat melampaui SGX dalam tempo 5-7 tahun ke depan.
Salam cuan pak Teguh
Rian A.G.