Penjelasan Penurunan NIM Perbankan
Kamis kemarin, tanggal 18 Februari, komisioner otoritas
jasa keuangan (OJK), Muliaman Hadad, mengatakan bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Thailand tercatat 3 – 4%,
sementara NIM di Indonesia lebih tinggi. Agar lebih comparable dengan negara-negara lain dikawasan ASEAN, maka NIM
bank-bank di Indonesia akan diarahkan hingga menjadi 3 – 4% juga, dimana OJK
akan meminta bank untuk menurunkan bunga kreditnya. Sehari kemudian Menteri
BUMN, Rini Soemarno, juga menghimbau kepada bank-bank BUMN untuk menurunkan
NIM-nya menjadi sekitar 4% dengan cara melakukan konsolidasi seperrti berbagi
sistem IT dan mesin ATM, sehingga menurunkan biaya operasional, dan alhasil
kinerja bank-bank tersebut menjadi lebih efisien.
Terlepas dari detail pernyataan dari kedua tokoh
diatas, namun judul pemberitaannya adalah bahwa ‘NIM Perbankan akan Dibatasi’,
dimana oleh orang awam maka itu terdengar seperti ‘keuntungan bank akan dibatasi’. Alhasil saham-saham perbankan
langsung jeblok dan itu menyebabkan IHSG turun 1.7%, Jumat lalu.
Lalu apa sih yang dimaksud dengan NIM? Bisakah NIM
dibatasi? Bagaimana caranya? Kenapa dan apa
tujuannya sehingga NIM bank-bank di Indonesia harus dibatasi? Dan jika NIM
sebuah memang bisa diturunkan sampai dibawah 4%, maka bagaimana dampaknya
terhadap kinerja bank yang bersangkutan?
Pengertian NIM
Net interest margin, atau margin bunga bersih,
adalah perbandingan antara pendapatan
bunga bersih/net interest income
(pendapatan bunga/interest income dikurangi beban pokok/cost of credit),
dengan nilai aset produktif. Pendapatan bunga berasal dari kredit yang
disalurkan, simpanan pada obligasi pemerintah, sertifikat Bank Indonesia, dll.
Sementara beban pokok merupakan biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar
bunga deposito, bunga pinjaman, dll.
Dan yang dimaksud dengan
aset produktif adalah aset yang dikelola
hingga menghasilkan bunga tadi, istilahnya net bearing assets. Misalnya, sebuah
bank asetnya Rp100 milyar. Dari total aset tersebut, Rp80 milyar diantaranya disalurkan kesana kemari
dalam bentuk kredit, surat berharga, obligasi, dll, sehingga menghasilkan
pendapatan bagi bank berupa bunga. Nah, Rp80 milyar inilah yang disebut dengan aset
produktif.
Jika bank tersebut mencatat pendapatan bunga Rp5 milyar dalam
setahun, kemudian setelah dikurangi beban pokok
hasilnya adalah Rp4 milyar, maka NIM-nya adalah 4 / 80 = 0.05 = 5%. Data terakhir dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa rata-rata NIM
perbankan di Indonesia adalah 4.23%.
Nah, dari sini kita bisa melihat faktor-faktor
yang menentukan NIM, yakni: 1. Nilai pendapatan bunga, 2. Nilai beban pokok,
dan 3. Nilai aset produktif. Seperti halnya perusahaan manapun di seluruh
dunia, bank-bank di Indonesia tentunya selalu fokus pada upaya untuk
meningkatkan pendapatan hingga sebesar-besarnya, dan menekan beban pokok hingga
serendah-rendahnya (sementara nilai aset seiring waktu akan meningkat dengan
sendirinya). Intinya adalah menaikkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran. Dan
bank yang berhasil dalam upaya tersebut akan mencatat NIM yang lebih tinggi
dibanding bank lain yang kurang berhasil, dimana semakin tinggi NIM sebuah
bank, maka artinya semakin efisien bank
tersebut dalam beroperasi. Di Indonesia, bank dengan NIM terbesar adalah Bank BTPN dengan NIM 9.9% pada Kuartal III 2015.
Jadi kalau NIM mau diturunkan, maka caranya dibalik:
Pendapatan bank ditekan hingga serendah-rendahnya, atau nilai beban pokok-nya
yang dinaikkan. Tapi mungkinkah bank melakukan itu? Menaikkan pengeluarannya sendiri?
Menteri Rini sendiri menghimbau kepada bank-bank BUMN untuk melakukan
konsolidasi untuk menurunkan biaya operasional sehingga kinerja perusahaan
menjadi lebih efisien. Tapi kalau caranya begitu, maka NIM-nya justru akan naik, sehingga dalam hal ini pernyataan
Menteri Rini menjadi absurd (tapi rasanya gak mungkin kalau Menteri Rini gak
ngerti apa itu NIM, jadi mungkin ini cuma karena wartawannya salah kutip).
Sementara pernyataan Muliaman Hadad bahwa OJK akan
meminta bank untuk menurunkan bunga kreditnya sehingga NIM-nya akan turun, itu
baru lebih masuk akal, karena jika bunga kredit turun sementara omzetnya tetap,
maka pendapatan bunga bank akan turun. Dan jika beban pokoknya tetap, maka
NIM-nya akan turun. Namun tetap saja: Bukan seperti
itu cara untuk menurunkan NIM perbankan. Lebih lanjut akan dijelaskan
dibawah.
Kenapa NIM bank harus turun? Apa tujuannya?
Dalam perekonomian suatu negara, perbankan
memiliki peran sebagai ‘jembatan’ yang menghubungkan antara pemilik dana dengan
orang/perusahaan yang membutuhkan dana tersebut untuk mengembangkan usaha. Dalam
perannya tersebut, bank memungut bunga dari penyaluran kredit/pinjaman, dan
membayar bunga ke pemilik dana, katakanlah dalam bentuk bunga deposito. Selisih
antara bunga kredit yang tentu saja lebih besar dari bunga deposito, itulah
yang kemudian menjadi pendapatan bank. Semakin besar selisihnya, maka semakin
besar pula pendapatan bank tersebut.
Nah, terkait dengan penyaluran kredit dan pinjaman
ke sektor-sektor usaha, jika bank memungut bunga terlalu besar maka itu akan
membebani sektor usaha itu sendiri, dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan
ekonomi. Jadi jika tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
maka suku bunga bank bisa diturunkan. Caranya? Dengan menurunkan BI
Rate, dimana itu merupakan domain dari BI (hanya BI yang bisa menurunkan BI
Rate). Dengan turunnya BI Rate, maka tidak hanya bunga kredit, tapi bunga
deposito juga bisa diturunkan, atau dengan kata lain, meski pendapatan bunga
bank akan turun, tapi beban pokoknya juga akan turun, dan alhasil NIM-nya tetap.
Hanya memang, kalau BI Rate terus diturunkan
hingga ke level yang sangat rendah, misalnya dibawah 5% (terakhir masih 7%),
maka NIM perbankan akan ikut turun.
Ilustrasinya sebagai berikut: Ketika BI Rate 7%, maka sebuah bank menetapkan
bunga pinjaman 12%, dan bunga deposito 6%, sehingga margin-nya (NIM-nya) akan
tercatat 12 – 6 = 6%. Setelah BI
Rate turun menjadi 4%, maka bunga pinjaman mungkin turun menjadi 9% (dari 12 ke
9, berarti turun 25%), dan bunga
deposito ikut turun tapi hanya menjadi 4.5% (dari 6 ke 4.5, berarti turun 25%
juga. Ngerti nggak?), sehingga NIM-nya menjadi 9 – 4.5 = 4.5%, atau lebih rendah dari dibanding NIM 6% tadi.
Namun catat: BI Rate hanya bisa diturunkan hingga
ke posisi yang serendah-rendahnya kalau perekonomian
sudah sangat efisien, yang ditandai dengan rendahnya inflasi. Ini artinya jika BI Rate turun tajam dan itu
menyebabkan NIM bank juga turun, maka penurunan
NIM tersebut sama sekali tidak berdampak buruk bagi bank yang bersangkutan,
karena disisi lain tingkat inflasi juga turun drastis. Sebab, inflasi adalah
juga seperti cost dalam operasional
bank, dimana jika sebuah bank mencatatkan margin bunga 6% pada tahun tertentu
namun tingkat inflasi di tahun tersebut tercatat 7%, maka sejatinya bank
tersebut merugi.
Jadi kenapa NIM di Thailand lebih rendah dibanding
Indonesia? Karena inflasi disana cuma 0 – 1%, terakhir bahkan minus 0.5%, atau jauh lebih rendah dibanding
Indonesia yakni 4.1%. Dan suku bunga
bank sentral disana juga cuma 1.5%, dibanding BI Rate yakni 7%. Jadi meski NIM perbankan di Thailand lebih rendah dibanding di Indonesia, namun itu bukan berarti bahwa bank-bank disini lebih profitable dibanding di Thailand. Tapi rendahnya NIM perbankan di Thailand juga bukan berarti
bahwa perbankan disana lebih baik dibanding disini, tapi bahwa perekonomian
disana secara keseluruhan lebih efisien dibanding
di Indonesia.
Okay, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, kenapa
NIM bank harus turun? Apa tujuannya? Jawabannya bukan NIM bank-nya yang langsung diturunkan begitu saja, katakanlah dengan memaksa bank menurunkan pendapatan dan menaikkan beban pengeluaran, tapi
bank-bank di Indonesia akan diberi insentif tertentu (oleh OJK) sehingga mereka
bisa menurunkan bunga kredit sesuai dengan penurunan BI Rate (BI Rate juga
mulai turun dalam beberapa bulan terakhir). Dan itu diharapkan akan menstimulus
sektor-sektor usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika disisi
lain tingkat inflasi juga bisa ditekan minimal di level saat ini (data inflasi
terakhir, yakni 4%, itu terbilang bagus mengingat rata-rata inflasi di
Indonesia tercatat 6 – 7% per tahun), maka BI Rate bisa terus turun, dan lambat
laun otomatis NIM perbankan akan turun
dengan sendirinya, tentunya tanpa
mengganggu kinerja perbankan itu sendiri karena disisi lain tingkat inflasi
memang sudah sangat rendah.
Itu sebabnya dikatakan bahwa proses 'penurunan NIM' ini mungkin akan makan waktu 2 - 3 tahun, karena pekerjaan utamanya adalah untuk menurunkan inflasi namun disisi lain tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, sehingga NIM perbankan kemudian akan turun dengan sendirinya, dan itu tentu saja perlu waktu yang tidak sebentar. Lain ceritanya jika NIM sebuah bank langsung diturunkan dengan cara memaksa mereka menurunkan bunga kredit secara drastis dan menaikkan bunga deposito, misalnya, padahal inflasi masih tinggi. Kalau begitu caranya maka barulah penurunan NIM itu merupakan hal yang buruk, tapi sekali lagi, bukan begitu caranya. Sama seperti ketika Pemerintah mentargetkan penurunan harga jual gas untuk menstimulus ekonomi, maka caranya bukan dengan memaksa Perusahaan Gas Negara (PGAS) untuk langsung begitu saja menurunkan harga jual, melainkan memberikan insentif, kemudahan, dan infrastruktur agar PGAS bisa memotong jalur distribusinya, sehingga operasional PGAS menjadi lebih efisien, dan harga jual gas-nya bisa diturunkan dengan sendirinya tanpa mengurangi laba dari PGAS itu sendiri.
Kesimpulan
Itu sebabnya dikatakan bahwa proses 'penurunan NIM' ini mungkin akan makan waktu 2 - 3 tahun, karena pekerjaan utamanya adalah untuk menurunkan inflasi namun disisi lain tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, sehingga NIM perbankan kemudian akan turun dengan sendirinya, dan itu tentu saja perlu waktu yang tidak sebentar. Lain ceritanya jika NIM sebuah bank langsung diturunkan dengan cara memaksa mereka menurunkan bunga kredit secara drastis dan menaikkan bunga deposito, misalnya, padahal inflasi masih tinggi. Kalau begitu caranya maka barulah penurunan NIM itu merupakan hal yang buruk, tapi sekali lagi, bukan begitu caranya. Sama seperti ketika Pemerintah mentargetkan penurunan harga jual gas untuk menstimulus ekonomi, maka caranya bukan dengan memaksa Perusahaan Gas Negara (PGAS) untuk langsung begitu saja menurunkan harga jual, melainkan memberikan insentif, kemudahan, dan infrastruktur agar PGAS bisa memotong jalur distribusinya, sehingga operasional PGAS menjadi lebih efisien, dan harga jual gas-nya bisa diturunkan dengan sendirinya tanpa mengurangi laba dari PGAS itu sendiri.
Kesimpulan
Turunnya rata-rata NIM perbankan adalah salah satu indikator, diluar indikator-indikator lain seperti
meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya inflasi, bahwa ekonomi Indonesia
membaik. OJK atau bahkan BI sekalipun tidak
bisa langsung menetapkan bahwa rata-rata NIM perbankan di Indonesia adalah
maksimal sekian persen, sama seperti mereka tidak bisa menetapkan berapa persen
tingkat pertumbuhan inflasi dan inflasi (hanya bisa mentargetkan), karena NIM tersebut akan secara otomatis mengikuti
perkembangan fundamental ekonomi di dalam negeri, dimana kalau perkembangannya
bagus maka NIM-nya akan turun, tapi kalau nggak ya nggak.
Pertanyaan terakhir, jika nanti NIM sebuah bank
turun sampai dibawah 4%, maka bagaimana dampaknya terhadap kinerja bank yang
bersangkutan? Well, perhatikan kata kuncinya diatas: rata-rata NIM di Indonesia
akan turun kalau perekonomian sudah
lebih baik/lebih efisien dibanding sebelumnya, jadi penurunan NIM tersebut tidak
berdampak negatif apapun. Ibaratnya seperti gaji anda turun dari Rp10 juta
menjadi Rp9 juta, tapi harga-harga beras (dan kebutuhan sehari-hari lainnya) juga
turun dari Rp10,000 menjadi Rp7,000 per kilo. Nah, dengan demikian maka gaji Rp9
juta tadi sejatinya justru lebih besar bukan?
Lalu kenapa saham-saham perbankan malah turun
ketika keluar statement dari OJK dan Menteri BUMN bahwa ‘NIM perbankan akan
diturunkan hingga 3 – 4%’ ini? Ya sama saja ketika ada berita bahwa harga gas turun, harga semen turun, bunga KPR turun, yang langsung bikin saham PGAS, SMGR dan BBTN jeblok, karena masalahnya sebagian besar orang kalau baca berita hanya baca judulnya saja, bukan benar-benar memahami isi beritanya, dan analisa mendalam tentang berita tersebut biasanya baru akan muncul beberapa waktu kemudian. Sama seperti ketika beberapa waktu lalu heboh soal 'Ironman' asal Bali dimana orang-orang langsung percaya bahwa ada tukang las yang bisa bikin tangan robot hanya dengan bermodalkan barang elektronik bekas, tapi beberapa waktu kemudian barulah diketahui kalau itu cuma hoax.
Tapi yah, penulis sudah cukup hafal dengan
fenomena ‘saham jeblok karena berita jelek’ seperti ini, dimana kalau yang jadi
‘korban’ adalah saham bagus, maka biasanya itu opportunity. Sejak 2009 sampai sekarang, entah sudah berapa kali saham-saham
sektor perbankan dihantam sentimen miring, belum termasuk koreksi IHSG itu
sendiri yang rutin menghantam hampir setiap tahunnya, tapi toh saham-saham bank yang bagus seperti BBCA,
BMRI, BBRI, BBNI dst, mereka semua naik
terus, dengan total kenaikan yang juga lebih tinggi dibanding IHSG. Dan
apakah trend kenaikan dalam jangka panjaaaang tersebut akan terhenti hanya
karena orang-orang belum paham soal NIM ini? I don’t think so!
Disclosure: Ketika
artikel ini ditulis, Avere Investama sedang dalam posisi memegang BBNI, BJBR,
dan BBKP. Posisi ini dapat berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG
& Rekomendasi Saham Bulanan edisi Maret 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini,
gratis konsultasi portofolio untuk member.
Ebook Analisis Kuartal IV 2015 sudah terbit! Anda bisa
memperolehnya disini.
Komentar
Tulisan yang bagus untuk meluruskan miskonsepsi pelaku pasar bahwa himbauan moral dari pemerintah seakan-akan seperti "pemaksaan" namun lebih ke arah cara komunikasi public bahwa seharusnya BOPO (beban operasional terhadap pendapatan operasional) yang harus ditekan / dibuat lebih efisien, diikuti harapan perekonomian yang membaik (inflasi yang terkendali, dan pertumbuhan ekonomi yang sehat), namun perlu diketahui bahwa target segmen dari masing-masing bank mempunyai profil risiko yang berbeda-beda , missal BRI & BTPN yang focus pada kredit mikro mengenakan interest income yang jauh lebih tinggi dibanding Mandiri.
Menurut hemat saya, kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan baru sebatas efisiensi penggabungan sistem perbankan (branchless banking, penggabungan kantor operasi atau ATM system), namun untuk konsolidasi saya rasa masih jauh dari angan-angan (karena antara tiap bank punya pridenya sendiri-sendiri). Jadi mungkin isu "pembatasan" NIM mungkin hanya bumbu-bumbu di pasar yang memungkinkan untuk value investor untuk bargain hunting saham Bank di harga lebih wajar.
Rian A.G
Kmd kalo NIM dibatasi apa bisa diblg bahwa cara bank utk pertahankan laba adalah dgn cara naikan asset yg produktif yg berarti kredit yg bisa berimbas ke kredit macet kalo tdk terkontrol? NIM tinggi juga utk cover resiko kredit macet
Kaitan kebijakan NIM dlm memilih investasi saham bank mana bagaimana? Agak aneh kok malah yg NIM nya besar alias untung kok malah turun byk ? BBRI tmsk NIM tinggi krn dia segmennya mikro ibaratanya customer retail malah turun abis. Harga BBRI skrg PBV di kisaran 2.3 dan PER 12 tmsk murah? Apa laba bersih BBRi 2016 akan turun gara gara NIM?
Halo bu lenny. Ekonomi thailand efisien, dan itu bisa dilihat dari inflasinya yg rendah. Tp ekonomi yg efisien tidak selalu berarti bagus karena pertumbuhan ekonominya biasanya rendah juga. Contoh ekonomi yg bagus itu filipina dan china, dimana inflasinya rendah tapi pertumbuhan ekonominya tetap tinggi.
NIM tidak bisa dibatasi, tapi NIM akan turun dengan sendirinya ketika inflasi sudah sangat rendah (jadi inflasinya yg turun dulu, lalu baru NIMnya). Jadi ketika NIM itu turun, maka laba bank tidak akan terganggu karena cost bank dari sisi inflasi juga turun. Coba baca lg artikelnya.
NIM tidak ada hubungannya dgn kredit macet, kredit macet dicover dengan CKPN.
NIM besar tidak selalu berarti laba besar. Bank Pundi (BEKS), itu NIMnya 7% tapi labanya jeblok. NIM itu sama dengan margin laba kotor untuk bank, yakni pendapatan dikurangi beban pokok tapi belum dikurangi beban operasional, beban keuangan, dan pajak. Jadi sekali lagi, NIM besar tidak selalu berarti laba bersih besar. Laba BBRI tidak akan turun karena NIMnya jg tidak akan turun begitu saja. Pergerakan saham2 bank selama satu dua minggu kedepan akan tergantung seberapa sering cerita soal NIM ini nongol di media, tak peduli meski fundamental bank2 sebenarnya masih baik-baik saja. Dan berdasarkan pengalaman, kalau ada saham turun karena cerita jelek seperti ini maka perlu waktu paling cepat 1 - 2 minggu untuk pulih kembali.
Jadi, kalau pemerintah ingin menurunkan NIM bank BUMN secara 'pukul rata' akan buruk dampaknya, terutama ke BRI yang memang segmentasinya punya NIM tinggi utk meng-cover resiko yang lebih besar.
Mungkin itu sebabnya harga saham BRI turun drastis di 22-23Feb2016.
pak tolong sesekali bahas mengenai analisa portofolio optimal, karena masih kurang jelas aja pak teguh dalam diversifikasi pake metode apa
Misal, dengan bunga 12%, nilai nominal pendapatan bunga 120 jt, dan deposito 6% yang berarti beban bank 60 jt, artinya profit nya (di luar operational) adalah 60 jt.
Sedang dengan bunga 9%, maka pendapatan bunga menjadi 90 jt, dan beban deposito menjadi 45 jt, maka profit nya hanya 45 jt.
Jadi kalau nim turun, supaya profit tetap, maka bank harus menurunkan biaya operational mereka atau inflasi turun seperti yang Pak Teguh bilang.
untuk pak Teguh, pak saya mau nanya jadi NIM yang baik itu NIM yang seperti apa? apakah NIM yang baik adalah yang besar atau sebaliknya? atau bahkan ada argumen lain? terimakasih sebelumnya.