Prospek IPO Kino Indonesia
Sebagai salah satu
perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) yang cukup terkemuka di
Indonesia, IPO Kino Indonesia (KINO) mungkin menarik perhatian investor, karena
kita tahu bahwa industri FMCG biasanya menawarkan kinerja jangka panjang yang
stabil. Dan KINO sendiri selama ini memiliki reputasi yang bagus sebagai
perusahaan inovatif yang mampu meng-create produk-produk baru,
sementara pendirinya, Harry Sanusi, juga
sudah sangat dikenal sebagai pengusaha inspiratif yang sukses mendirikan dan
membesarkan KINO dari nol. Anyway, kita langsung saja.
Sejarah KINO dimulai
pada tahun 1991, ketika Mr. Harry, yang baru saja lulus kuliah, memperoleh
kepercayaan untuk mendistribusikan produk Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga milik
PT Sinde Budi Sentosa. Mr. Harry kemudian segera menerapkan berbagai strategi marketing
seperti memasang iklan, menawarkan produk dari toko ke toko, membuka cabang
distribusi dll, dan hasilnya produk Larutan Penyegar milik PT Sinde menjadi
populer di masyarakat. Lima tahun kemudian, yakni pada 1996, Mr. Harry mulai
berpikir untuk juga menjadi distributor bagi produk lain, namun PT Sinde menginginkan
agar Mr. Harry tetap fokus untuk mendistribusikan Larutan Penyegar. Ketidak
cocokan ini pada akhirnya justru menyebabkan Mr. Harry putus kontrak dengan PT
Sinde.
Setelah sempat
menganggur hampir setahun, pada 1997 Mr. Harry memutuskan untuk tidak lagi
hanya menjadi distributor, melainkan juga membuat produknya sendiri. Dan
setelah melakukan riset selama berbulan-bulan, diputuskan untuk membuat produk
permen jenis soft candy dengan rasa kopi, karena 1. Permen harga jualnya
murah, sehingga pasarnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, 2. Berbeda
dengan produk consumer lainnya seperti rokok, mie instan dll dimana loyalitas
konsumen terhadap merk yang sudah ada sangat besar (sehingga akan sulit bagi
pemain baru untuk memperkenalkan merk rokok atau mie instan yang baru), di
segmen permen tidak ada loyalitas merk seperti itu, dan 3. Di Indonesia belum
ada permen jenis soft candy rasa kopi, sehingga praktis tidak ada
kompetitor.
Dan berbekal jaringan
distribusinya yang sudah dibangun sejak 1991, produk permen yang diberi merk
‘Kino’ tersebut kemudian sukses besar. Masih di tahun 1997, Mr. Harry juga
meluncurkan produk minuman bubuk dengan merk ‘Segar Sari’, dan makanan ringan
‘Snack It’. Karena ketiga produk tersebut memiliki harga jual yang murah dan
terjangkau oleh kelompok menengah kebawah sekalipun, maka bisnis perusahaan
justru melejit ketika Indonesia dilanda krisis moneter setahun kemudian. Pada
tahun 1999, masih dengan semangat inovasi untuk menciptakan produk baru, Mr.
Harry masuk ke bisnis toiletries dengan meluncurkan merk ‘Ovale’, sebuah
produk pembersih wajah sekaligus pelembab dalam satu kemasan (sebelumnya,
produk pembersih wajah dan pelembab biasanya dibuat terpisah). Ovale juga
sukses besar, sehingga di tahun-tahun berikutnya diluncurkan juga merk-merk
lain yang memiliki segmen pasarnya masing-masing, seperti Eskulin (parfum),
Master (parfum pria), Eskulin Disney & Master Kids (parfum anak-anak),
Sleek (pembersih bayi), Resik V (pembersih daerah kewanitaan), dan Ellips
(perawatan rambut). Pada tahun 1999 ini pula, Mr. Harry mendirikan PT Kinocare
Era Kosmetindo (sekarang PT Kino Indonesia), yang kemudian
menjadi induk dari anak-anak usaha Grup Kino.
But the innovation
never stops. Pada tahun 2004, Grup Kino masuk ke bisnis beverages dengan
meluncurkan produk minuman penyegar ‘Cap Kaki Tiga’ (merk Cap Kaki Tiga sudah
diakuisisi dari PT Sinde, sekarang PT Sinde memproduksi larutan penyegar cap
badak), minuman energi ‘Panther’, minuman herbal ‘Panda’, dan jus ‘Tampico’.
Terakhir, pada tahun 2012 lalu, Grup Kino juga masuk industri farmasi dengan
meluncurkan obat batuk herbal dan balsem, keduanya dengan merk ‘Cap Kaki Tiga’.
Jadi selama KINO terus
berinovasi dalam menciptakan produk-produk baru, ditambah skill Mr.
Harry secara pribadi di dunia pemasaran dan pengembangan merk, maka selama itu
pula kita akan melihat KINO terus berekspansi. Dalam hal ini penulis jadi ingat
dengan raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Apple Inc., yang menjadi salah
satu perusahaan terbesar di dunia karena inovasi perusahaan dalam menciptakan
produk-produk yang unik dan eksklusif, plus mereka juga sangat jago di bidang
marketing. Dibanding raksasa consumer tanah air seperti Unilever, Indofood,
atau Kalbe Farma, maka dengan aset Rp2.2 trilyun pada 30 Juni 2015, KINO
terbilang masih relatif kecil, sehingga peluangnya untuk tumbuh lebih lanjut
masih terbuka lebar. Dan kalau melihat track record kinerja perusahaan dalam
lima tahun terakhir, dimana pendapatan serta labanya naik terus secara
konsisten (just as expected), maka sahamnya bisa dipertimbangkan untuk
investasi jangka panjang.
Lalu bagaimana dengan
sahamnya?
Pada IPO-nya,
KINO melepas 229 juta lembar saham ke publik pada harga Rp3,800 per saham, sehingga
akan diperoleh dana Rp869 milyar. Nilai ekuitas KINO sebelum IPO adalah Rp823 milyar
(per Kuartal II 2015), sehingga setelah IPO, ekuitas perusahaan akan menjadi kurang lebih Rp1.7 trilyun. Karena jumlah saham KINO setelah IPO adalah
1,429 juta lembar, maka market cap-nya pada harga saham Rp3,800 adalah Rp5.4 trilyun. Dengan demikian PBV-nya
= 5.4 / 1.7 = 3.2 kali. Sementara dari sisi PER,
hingga Kuartal II 2015, KINO membukukan laba Rp141 milyar, yang setelah dibagi
dengan jumlah sahamnya setelah IPO, diperoleh annualized EPS Rp198 per saham.
Maka PER-nya 3,800 / 198 = 19.2 kali.
Nah, dengan PBV dan PER yang jelas sekali diatas rata-rata pasar (dalam kondisi pasar yang normal, sebuah saham berfundamental baik biasanya dihargai pada PBV kurang lebih 2 kali dan PER 10 kali), maka IPO KINO ini sekilas tampak mahal. However, mengingat
beberapa saham consumer juga dihargai pada PBV 5 kali atau PER 20 kali, sementara fundamental KINO sendiri memang sangat bagus, dan kalau kita ambil contoh IPO perusahaan consumer top lainnya yaitu Sido Muncul (SIDO), dimana sahamnya sempat naik dari harga perdana 580 hingga hampir saja tembus 1,000 bahkan meskipun valuasinya juga mahal sejak awal, maka mungkin harga 3,800 masih terbilang wajar bagi KINO.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan: Penetapan harga nominal saham yang cukup tinggi (3,800) serta sedikitnya jumlah saham yang dilepas ke publik (hanya 229 juta lembar), kemungkinan akan menyebabkan saham KINO menjadi tidak likuid, sehingga praktis tidak akan begitu disukai oleh investor/trader. Jadi berbeda dengan IPO SIDO yang sahamnya sukses naik (meski toh pada akhirnya turun lagi), KINO mungkin tidak akan mengalami hal yang sama karena, dari sisi volume, jumlah saham KINO yang akan wara wiri di market tidak sampai seperlima saham SIDO.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan: Penetapan harga nominal saham yang cukup tinggi (3,800) serta sedikitnya jumlah saham yang dilepas ke publik (hanya 229 juta lembar), kemungkinan akan menyebabkan saham KINO menjadi tidak likuid, sehingga praktis tidak akan begitu disukai oleh investor/trader. Jadi berbeda dengan IPO SIDO yang sahamnya sukses naik (meski toh pada akhirnya turun lagi), KINO mungkin tidak akan mengalami hal yang sama karena, dari sisi volume, jumlah saham KINO yang akan wara wiri di market tidak sampai seperlima saham SIDO.
Dan kalau bicara
kekuatan merk, anda mungkin memperhatikan bahwa produk-produk KINO belakangan
ini sering nongol di televisi, dan mungkin itu salah satu strategi agar IPO-nya
laku, karena seingat penulis dulu SIDO juga sama begitu: Iklan Jamu Tolak Angin
mendadak rame di tivi menjelang IPO. Nevertheless, meski perusahaan sangat kompeten
dalam hal branding, namun pada akhirnya KINO masih merupakan
pemain yang relatif baru di industri consumer di Indonesia, sehingga merk-merk milik KINO
belum ada yang sepopuler ‘Tolak Angin’ milik Sido Muncul, ‘Lifebuoy’ milik
Unilever, atau Indomie-nya Indofood. Dalam hal ini KINO mungkin lebih cocok
dibandingkan dengan Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), yang juga merupakan perusahaan consumer kelas menengah, namun PBV AISA,
ketika artikel ini ditulis, cuma 1.5 kali.
Kesimpulannya, meski mungkin KINO ini cocok untuk investasi jangka panjang, namun penulis lebih suka membeli sahamnya nanti di market, tentunya jika dikasih harga yang lebih affordable, sama seperti SIDO yang ketika artikel ini ditulis, harganya sudah dibawah harga IPO-nya. Sementara untuk saat ini, seiring dengan masih rendahnya posisi IHSG, maka pasar masih menawarkan banyak pilihan saham lain yang valuasinya jauh lebih terdiskon.
All you have to do is to choose carefully, karena fundamental dari sebagian
besar saham-saham tersebut memang lagi tidak terlalu baik, tapi yah, yang
bagus-bagus ada aja kok :)
PT Kino Indonesia, Tbk
Rating Kinerja pada
Kuartal II 2015: AA
Rating Saham pada
3,800: BBB
Belakangan ini lagi rame lagi cerita soal Yuan, mata uang negeri China, yang katanya akan ditetapkan sebagai 'world currency' oleh IMF, tapi kita sudah membahasnya Agustus lalu, anda bisa membacanya lagi disini.
Belakangan ini lagi rame lagi cerita soal Yuan, mata uang negeri China, yang katanya akan ditetapkan sebagai 'world currency' oleh IMF, tapi kita sudah membahasnya Agustus lalu, anda bisa membacanya lagi disini.
Buletin Analisis IHSG & Stock-Pick bulanan
edisi Desember 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini,
gratis konsultasi portofolio bagi member.
Komentar
Pak Teguh minta dibahas dong CLPI nya,kayanya selama ini belum pernah dibahas, terus satu lagi PT BPS yg mau IPO,yg dirutnya Sukarto Bujung,gimana kira2 prospeknya....thx
Thank you for the auspicious writeup. It in fact was a amusement account it. Look advanced to more added agreeable from you! By the way, how can we communicate? paypal login my account