Kalbe Farma

Sebagian besar orang menganggap bahwa industri farmasi, seperti industri consumer goods pada umumnya, merupakan industri yang kebal terhadap risiko perlambatan ekonomi, sehingga perusahaan-perusahaan di bidang ini seharusnya memiliki kinerja yang konsisten dari tahun ke tahun, dan saham-saham farmasi juga ideal untuk investasi jangka panjang. Karena logikanya kalau anda sakit, maka mau tidak mau anda harus minum/mengkonsumsi obat tertentu bukan? Tak peduli meski mungkin harganya mahal.

Padahal bisnis farmasi sejatinya sangat berbeda dengan bisnis consumer goods lainnya, katakanlah consumer goods jenis kebutuhan sehari-hari (sabun mandi, shampoo, pasta gigi, dll). Contoh simpel saja: Setiap orang, tanpa terkecuali, harus mandi dan menggunakan sabun mandi setiap hari, tapi tidak setiap orang harus meminum obat batuk/pilek/demam dst, apalagi sampai harus masuk rumah sakit. Dan bagi mereka yang mengkonsumsi obat inipun, kalau nanti mereka sudah sembuh maka mereka tidak perlu lagi membeli obat yang sama, kecuali kalo nanti sakitnya kambuh lagi.

Disisi lain, biaya produksi obat-obatan tidaklah murah. Biaya terbesar dari industri farmasi meliputi biaya tenaga kerja (karena biasanya padat karya), biaya bahan baku (karena mayoritas masih harus impor), biaya penelitian dan teknologi, dan biaya untuk pihak ketiga seperti profit sharing dengan apotek, rumah sakit, dan dokter. Dan kalau anda pikir bahwa perusahaan farmasi semestinya untung besar karena menjual obat resep seharga ratusan ribu Rupiah hanya untuk beberapa strip obat saja, maka jangan lupa kalau mereka juga memproduksi obat-obatan generik yang harganya ada yang cuma Rp1,000 per strip isi 12 tablet!

Dan alhasil, dari sisi profitabilitas, maka kinerja Kalbe Farma (KLBF) dkk jauh lebih rendah dibanding Unilever Indonesia (UNVR) dkk, dimana ROE KLBF rata-rata hanya 20 – 25% per tahun (atau kurang dari itu), berbanding UNVR yang bisa mencapai 100%.

Nevertheless, ROE 20 – 25% itu tentunya sudah cukup baik, apalagi jika itu bisa dicapai setiap tahun, dan beberapa perusahaan farmasi yang besar-besar seperti Kalbe Farma (KLBF), Sido Muncul (SIDO), hingga Kimia Farma (KAEF), perolehan laba bersihnya juga naik terus dari tahun ke tahun. Berikut ini adalah data laba bersih dari sembilan perusahaan farmasi di BEI antara 2010 hingga 2014, angka dalam milyaran Rupiah, data diurutkan berdasarkan likuiditas saham dari perusahaan yang bersangkutan.

Company 2010 2011 2012 2013 2014
Kalbe Farma (KLBF) 1,286 1,482 1,734 1,920 2,065
Tempo Scan Pacific (TSPC) 489 566 628 635 579
Sido Muncul (SIDO) 237 340 388 406 415
Kimia Farma (KAEF) 139 172 205 215 235
Indofarma (INAF) 13 37 42 (54) 1
Pyridam Farma (PYFA) 4 5 5 6 3
Merck (MERK) 119 231 108 175 181
Taisho Pharmaceutical (SQBB) 93 120 135 150 165
Darya-Varia (DVLA) 111 121 149 126 81

Namun disinilah problemnya: Mungkin karena mayoritas investor menganggap bahwa bisnis farmasi memiliki risiko yang rendah sehingga kinerja KLBF dkk semestinya akan naik terus dalam jangka panjang, dan bahwa profitabilitas mereka sama baiknya dengan UNVR (padahal tidak), maka valuasi saham-saham di sektor farmasi menjadi sangat mahal, termasuk PBV KLBF pernah sampai diatas 8 kali, dan PER-nya diatas 40 kali. Dan actually, dulu juga penulis mikirnya sama begitu: Saham-saham farmasi layak dihargai premium karena mereka merupakan wonderful company yang prospeknya selalu cerah untuk jangka panjang.

Tapi setelah melihat bahwa perusahaan farmasi terbesar kedua setelah KLBF, yakni TSPC, mengalami penurunan laba sejak tahun 2014 lalu (dan hingga tahun 2015 ini laba mereka masih turun), maka barulah penulis sadar bahwa risiko bisnis farmasi lebih besar dibanding risiko bisnis consumer goods lainnya, entah itu terkait kenaikan upah buruh, pelemahan nilai tukar Rupiah yang praktis menaikkan harga bahan baku impor, hingga risiko karena ketatnya persaingan (coba anda sebut merk-merk obat sakit kepala, demam, dan batuk, banyak banget kan?). Saham TSPC sendiri, setelah sebelumnya sempat dihargai pada PBV 7 – 8 kali pada harga 5,000-an, dua tahun lalu, selanjutnya dia turun terus hingga sekarang PBV-nya sudah kurang dari 2 kali, alias sudah sama dengan valuasi saham-saham lain pada umumnya.

Valuasi KLBF saat ini = Mahal

KLBF merupakan salah satu jagoan penulis di masa lalu, tepatnya tahun 2010 dimana saya membelinya pada harga 2,200 (atau 440 kalau sesudah stocksplit), dan dia kemudian sukses naik. Saham ini rutin direkomendasikan di ebook kuartalan pada periode 2010 – 2012, hingga akhirnya penulis sudah keluar beberapa bulan sebelum ia mencapai harga 7,500-an (1,500 kalau sesudah stocksplit) pada tahun 2013. Namun, pada harga 1,500 tersebut penulis sudah tidak mau masuk lagi bahkan meski KLBF terus menanjak hingga tembus 1,900 pada awal tahun 2015 kemarin. Dan itu karena, saya masih ingat, pada harga 440 di tahun 2010, PBV KLBF masih 4 koma sekian, atau relatif wajar/murah jika mempertimbangkan nama besar perusahaan, likuiditas sahamnya, track record kinerjanya, ROE-nya yang ketika itu diatas 25%, dan juga rata-rata PBV saham consumer yang diatas 5 kali. Penulis pernah membahas KLBF ini di tahun 2010 (ini artikelnya), dan ketika itu kesimpulannya adalah bahwa dia cocok untuk jangka panjang.


Sementara pada tahun 2013, ketika KLBF sudah berada di level 1,500-an, PBV-nya sudah mencapai 6 – 7 kali, padahal ROE-nya justru turun ke level 20%-an. Let say, anda masih menganggap bahwa KLBF masih murah pada harga segitu, dan memang faktanya KLBF masih mampu naik hingga tembus 1,900-an dan PBV-nya tercatat diatas 8 kali, dua tahun kemudian. Namun tetap saja: Dengan valuasi setinggi itu, nyaris mustahil bagi KLBF untuk kembali mencetak gain hingga 3 kali lipat seperti yang pernah terjadi antara tahun 2010 – 2013, tak peduli meski anda menunggu selama bertahun-tahun sekalipun.

Sementara risikonya, kalau nanti KLBF mengalami penurunan laba seperti yang sudah dialami TSPC, maka bukan tidak mungkin sahamnya akan turun hingga valuasinya menjadi sama dengan saham kebanyakan, yakni PBV 2 – 3 kali.

Karena itulah, meski KLBF beberapa bulan terakhir ini terus turun dari 1,900 hingga sekarang tinggal 1,300-an, namun berhubung PBV-nya masih 6.5 kali, maka penulis belum menganggap bahwa dia sudah cukup murah untuk dibeli. Hanya memang, dalam value investing itu yang perlu dilihat pertama kali adalah kinerja perusahaan, kemudian baru valuasi sahamnya. Pada koreksi besar IHSG di tahun 2013, KLBF juga sempat turun dari 1,540 hingga menyentuh 1,180 pada bulan Desember, dan pada harga 1,180 tersebut PBV-nya masih 6 – 7 kali. Tapi kemungkinan karena kinerja KLBF pada tahun 2013 tersebut masih bagus dimana labanya masih tumbuh signifikan dibanding 2012 (lihat lagi tabel diatas), maka ketika pada tahun 2014 IHSG kembali merangkak naik, KLBF juga ikut naik hingga tembus 1,900 pada Mei 2015, atau menghasilkan profit lebih dari 50% dalam waktu satu setengah tahun.

Lalu bagaimana untuk tahun 2015 ini? Well, pada Kuartal III kemarin laba KLBF masih naik tapi tipis sekali, yakni hanya 0.8%, jadi kondisinya untuk sekarang agak berbeda dengan 2013 lalu. Jika pada tahun 2016 nanti IHSG kembali naik seperti tahun 2014 lalu, maka KLBF mungkin akan ikut naik, tapi mungkin tidak akan sampai 50% seperti setahun lalu. Disisi lain kalau kinerjanya pada Kuartal IV nanti ternyata tidak sesuai harapan, misalnya labanya ternyata turun, maka ya sudah, sahamnya bisa saja bernasib seperti TSPC.

Kesimpulannya, meski KLBF mungkin menawarkan peluang profit dalam jangka menengah, tapi risikonya terbilang tinggi terutama terkait valuasinya yang (ternyata) belum cukup murah. Jadi kalau buat penulis sendiri, kecuali kalo nanti dikasih harga yang lebih rendah lagi, maka di pasar masih ada banyak pilihan saham lain yang lebih menarik. Beberapa orang mengatakan bahwa, berhubung KLBF ini belakangan ini mulai invest ke segmen FMCG (fast moving consumer goods) dengan memproduksi minuman, makanan bernutrisi, dan kebutuhan sehari-hari lainnya, maka dia sudah mirip-mirip dengan UNVR, sehingga wajar lah kalau valuasinya agak mahal, dan Grup Kalbe-nya sendiri sudah mulai ekspansi kesana kemari termasuk bikin rumah sakit (Mitra Keluarga/MIKA). However, kalau bagi penulis tetap saja: Selama kinerja KLBF masih belum terlalu istimewa seperti sekarang, maka mau dia ikut bikin sabun mandi atau indomie sekalipun, saya tetap tidak akan menghargai sahamnya terlalu tinggi.

PT. Kalbe Farma, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal III 2015: A
Rating Saham pada 1,355: BBB

Pengumuman: Buku Kumpulan Analisis Saham edisi Kuartal III 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

hady mengatakan…
Bagaimana dengan Kimia Farma pak?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?