Analisa Pertumbuhan Ekonomi: Not As Bad as It Looks
Pada tanggal 5 November lalu, Badan Pusat
Statistik (BPS), merilis angka pertumbuhan ekonomi/PDB untuk Kuartal III 2015
sebesar 4.73% secara year on year. Angka
4.73% tersebut, meski masih dibawah ekspektasi Menteri Keuangan dan Bank
Indonesia yakni sebesar 4.8 – 4.9%, namun sudah lebih baik dibanding Kuartal II
lalu, yang hanya 4.67%. Dan jika kita mempelajari komponen dari pertumbuhan
ekonomi tersebut maka akan diperoleh beberapa fakta menarik.
Yang pertama, seperti yang anda ketahui, rumus PDB
(produk domestik bruto) adalah Konsumsi + Investasi + Belanja Pemerintah + Ekspor – Impor. Dan di Indonesia, konsumsi rumah tangga masih menjadi komponen terbesar
dari PDB, namun persentasenya sedikit turun dari 55.3% di Kuartal III 2014,
menjadi 55.0% pada Kuartal III 2015. Sementara itu komponen investasi naik
dari 31.8 menjadi 32.8%, demikian pula dengan komponen belanja pemerintah naik
dari 9.5 menjadi 9.8%. Seiring dengan masih rendahnya harga dua komoditas
andalan ekspor Indonesia, yakni batubara dan crude palm oil (CPO), komponen ekspor masih turun dari
22.5 menjadi 20.7%. Namun entah karena pelemahan Rupiah atau lainnya, komponen
impor turun lebih dalam dari 23.2 menjadi 19.9%, dan hal ini turut membantu laju
pertumbuhan ekonomi untuk kembali meningkat (karena dalam rumus perhitungan
PDB, impor merupakan komponen yang berpengaruh negatif).
Jadi tampak bahwa komposisi ekonomi kita
dalam setahunan ini sedikit bergeser dari konsumsi rumah tangga ke investasi
dan belanja pemerintah, dan cukup jelas bahwa ini merupakan dampak dari
pengalihan subsidi yang dilakukan pemerintah. Disisi lain, sejatinya tingkat
konsumsi di Indonesia masih tumbuh 4.96%, atau lebih tinggi dibanding total
pertumbuhan ekonomi sebesar 4.73%, namun tingkat belanja pemerintah mengalami
pertumbuhan yang lebih besar, yakni 6.56%. Dari sini kelihatan bahwa pencabutan
subsidi/kenaikan pajak yang dilakukan pemerintah sebenarnya tidak sampai
menekan tingkat konsumsi masyarakat (harga-harga memang naik tapi masih
terkendali, sehingga orang-orang masih bisa berbelanja), sementara rencana belanja infrastruktur sudah mulai dieksekusi,
sehingga tingkat belanja pemerintah tumbuh signifikan. However, pertumbuhan
investasi yang hanya 4.62%, atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi,
menunjukkan bahwa pihak swasta masih menahan diri untuk ekspansi/berinvestasi
karena menganggap bahwa ekonomi masih lesu. Tapi kalau kedepannya mereka bisa
melihat bahwa tingkat konsumsi dalam negeri ternyata masih tetap tumbuh
signifikan dalam kondisi ekonomi yang katanya ‘lesu’, maka seharusnya mereka
akan agresif kembali. At the end, melambatnya laju perekonomian sejak beberapa
tahun terakhir ini, tepatnya sejak 2011, sebenarnya lebih karena penurunan
harga komoditas yang menyebabkan anjloknya nilai ekspor, dan bukan karena ada
masalah tertentu di dalam negeri.
Yang juga menarik, meski laju pertumbuhan ekspor masih
negatif (turun 0.69%), namun impor mengalami penurunan yang jauh lebih dalam yakni
6.11%, sehingga laju pertumbuhan ekonomi tidak sampai terganggu. Dalam hal ini
penulis jadi mengerti kenapa Bank Indonesia (BI) adem ayem saja
meski Rupiah terus saja melemah, dan baru turun tangan setelah kurs Rupiah
sempat hampir saja menembus level psikologis Rp15,000 per USD, beberapa waktu
lalu. Karena untuk menyeimbangkan neraca ekspor impor ini maka nilai tukar
Rupiah memang harus berada di level tertentu (tidak harus menguat). BI sendiri sempat
menyatakan bahwa secara fundamental, kurs Rupiah seharusnya berada di level
Rp13,700 per USD. Dan ketika artikel ini ditulis, kurs Rupiah memang berada di
level Rp13,700-an.
Kedua, berdasarkan sektor usaha, maka dalam
setahun terakhir sektor tambang masih mengalami pertumbuhan negatif, tepatnya minus
5.64%. However, sektor tambang menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh negatif.
Sementara beberapa sektor yang tumbuh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi
sebesar 4.73%, adalah sektor informasi dan telekomunikasi (IT) 10.83%, jasa
keuangan dan asuransi 10.35%, jasa pendidikan 8.25%, jasa perusahaan 7.61%, jasa konstruksi 6.82%, dan jasa
kesehatan 6.49%. Dari sini tampak bahwa perlambatan atau penurunan dari sektor
sumber daya alam/komoditas diimbangi oleh pertumbuhan dari sektor jasa/service, namun sektor
industri/manufaktur masih belum bertumbuh (hanya tumbuh 3%). Jika kedepannya sektor tambang
mencapai satu titik dimana ia minimal tidak turun lebih rendah lagi, sementara
sektor jasa tetap bertumbuh, dan sektor manufaktur pada akhirnya juga ikut
bertumbuh karena sudah di-support oleh infrastruktur, then, well, ketika itu
kita mungkin akan menyaksikan pertumbuhan ekonomi nasional sukses mencetak
rekor diatas 7% secara year on year.
Dan yang ketiga, sejak Indonesia merdeka tahun
1945, salah satu problem terbesar dalam perekonomian nasional adalah bahwa ekonomi
masih sangat terpusat di Pulau Jawa, dan sampai sekarang kondisinya juga masih
sama, dimana dari PDB senilai nyaris Rp3,000 trilyun pada Kuartal III 2015,
58.3% diantaranya berasal dari Pulau Jawa. Sebenarnya sejak tahun 2000-an, perekonomian
diluar Jawa, terutama Sumatera dan Kalimantan, juga turut berkembang pesat karena
booming batubara dan CPO. Namun sejak
2011, seiring dengan turunnya harga dua komoditas tersebut, pertumbuhan ekonomi
di dua Pulau ini melambat lagi. Untuk Kalimantan, angka pertumbuhan ekonominya
bahkan tercatat minus 0.41% pada Kuartal III 2015.
Peta penyebaran/distribusi perekonmian di Indonesia, angka dalam persen. Sumber: BPS |
However, dalam setahun terakhir, Pemerintah banyak
membangun infrastruktur (pembangkit listrik, pelabuhan, rumah sakit, bendungan),
baik itu yang pada saat ini sudah beroperasi maupun masih dalam tahap
konstruksi, di Bali dan Nusa Tenggara,
dan itu turut mendorong perekonomian di kawasan tersebut untuk tumbuh
signifikan yakni 11.75%. Demikian pula dengan Sulawesi, dimana disana dibangun
jalur rel kereta api, smelter nikel, kilang minyak, hingga jaringan kabel
optik, dan hasilnya ekonomi Sulawesi tumbuh 8.2%. Actually, pemerintah tidak
hanya membangun ini dan itu di Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi saja, melainkan
di seluruh Indonesia termasuk di Pulau Jawa, dan faktanya ekonomi Pulau Jawa
masih tumbuh 5.39% (jadi yang paling terkena dampak ‘krisis’ setahunan ini
adalah Kalimantan, yang ekonominya tumbuh negatif). Tapi intinya jika trend
pemerataan pembangunan ini terus berlanjut, maka dalam jangka panjang seluruh
wilayah di Indonesia akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Karena
pembangunan infrastruktur di satu wilayah tidak hanya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut ketika infrastrukturnya dibangun, tapi
juga setelah infra tersebut jadi dan beroperasi. Jadi ini berbeda dengan pertumbuhan
ekonomi yang didorong oleh booming komoditas
seperti beberapa tahun lalu, dimana ketika periode booming-nya sudah selesai, maka
ekonomi akan langsung terasa lesu kembali.
Kesimpulannya, I don’t know with you guys, namun
penulis melihat bahwa perkembangan ekonomi kita setahunan ini sama sekali tidak
seburuk kelihatannya, melainkan hanya sedikit melambat untuk ancang-ancang agar
kedepannya bisa melaju kencang lagi, atau bahkan lebih kencang. Malah kalau
boleh jujur, it’s amazing bahwa ekonomi Indonesia, yang notabene merupakan yang
terbesar di Asia Tenggara, masih bisa tumbuh 4.73% alias lebih tinggi dibanding
beberapa tetangganya seperti Malaysia 4.70%, Thailand 2.90%, hingga Singapura
1.40%, dan hanya kalah dibanding Filipina 5.60%, tapi ingat bahwa PDB Filipina
juga hanya sepertiga PDB Indonesia (sehingga perekonomian negaranya Manny
Pacquiao ini lebih mudah untuk tumbuh lebih lanjut ketimbang Indonesia), padahal
sampai sekarang nilai ekspor Indonesia masih anjlok! Yakni gara-gara penurunan
harga batubara dan CPO, yang entah sampai kapan akan berakhir.
Nah, dalam hal inilah penulis jadi paham ketika beberapa
waktu lalu penulis mengatakan kepada seorang teman pengusaha bahwa saya suatu
hari nanti pengen pindah ke Singapura, karena sebagai negara yang
(kelihatannya) lebih maju, maka sepertinya peluang investasi disana lebih
menarik ketimbang disini di Jakarta. Tapi teman penulis ini bilang, ‘Kata siapa
invest di Singapura lebih enak? Coba ente beli saham SingTel atau DBS, bisa
profit 25% dalam lima tahun juga udah bagus bener. Bandingin sama kalo ente disini
beli Telkom atau Bank BRI, lebih cuan mana coba?’ Well, bener juga ya :)
Komentar
Saya kira benar komentar anonim diatas. Ada risk premium disana. Inflasi rendah, misal inflasi 1% maka pertumbuhan 2% pertahun sudah dua kali lipat.
Di indonesia inflasi 7%, maka butuh tumbuh 15% untuk gain 2 kali lipat dari inflasi. Itu kenapa rupiah selalu melemah jika ditukar dollar. Wajar.