Revaluasi Aset, dan Pengaruhnya pada Fundamental Perusahaan

Ketika Pemerintah kemarin meluncurkan Paket Kebijakan Jilid V, salah satu poin kebijakan tersebut adalah insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset, dimana jika sebelumnya perusahaan dikenakan pajak PPh 10% untuk kenaikan nilai aset karena revaluasi (selisih antara nilai aset sebelum dan sesudah revaluasi dianggap sebagai income perusahaan), maka sekarang pajak tersebut dipangkas menjadi hanya 3 – 6% saja. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk menghitung kembali nilai aset-asetnya seperti tanah, bangunan dll (revaluasi), dimana nilai aset-aset tersebut biasanya akan naik setelah revaluasi, hingga pada akhirnya menaikkan nilai aset bersih/ekuitas perusahaan itu sendiri secara keseluruhan.

Dan kalau nilai aset bersih sebuah perusahaan naik, maka otomatis valuasi sahamnya dari sisi PBV akan turun alias menjadi lebih murah, sehingga sahamnya secara fundamental punya alasan untuk naik. Kenaikan nilai aset bersih juga menyebabkan rasio debt to equity perusahaan akan turun, sehingga perusahaan bisa mengajukan pinjaman yang lebih besar ke bank untuk keperluan ekspansi, dan bagi bank itu sendiri itu berarti penyaluran kredit-nya akan tumbuh, demikian pula dengan pendapatan dan laba bersihnya. Semua senang, semua menang!

Tapi, itu teori optimisnya, dan sejatinya teori tersebut diyakini oleh banyak orang hanya karena IHSG juga dalam kondisi yang sangat optimis setelah rally lebih dari 10% sepanjang Oktober ini. Maksud penulis, andaikata IHSG pada saat ini masih nyungsep seperti penghujung September lalu, maka kebijakan pemerintah soal revaluasi aset ini juga tidak akan terlalu diperhatikan investor (jadi ada faktor psikologis disini). Karena kalau anda perhatikan lagi, insentif yang diberikan sebenarnya tidak terlalu istimewa, karena hanya berupa pemotongan pajak PPh dari 10% hingga maksimal menjadi 3% (diskon 7%), itupun dengan catatan perusahaan sudah mengajukan revaluasi aset sebelum tanggal 31 Desember 2015. Sementara jika revaluasi aset tersebut diajukan sebelum tanggal 31 Desember 2016, maka PPh-nya jadi 6%, atau dengan kata lain diskonnya hanya 4%. Jika saya adalah pemilik perusahaan Tbk, maka terus terang insentif ini tidak terlalu menarik karena disisi lain proses revaluasi itu sendiri juga tidak murah (untuk membayar jasa penilai, dll). Seandainya PPh itu dihapus sama sekali, dan ada tambahan insentif berupa diskon tertentu untuk proses revaluasi-nya, maka itu baru menarik. Tapi kalau insentifnya cuma gitu doang, maka itu seperti anda dapet voucher Rp50ribu buat belanja di Carrefour tapi voucher itu hanya berlaku jika anda belanja minimal Rp1 juta, anda harus belanja antara pukul 21.00 sampai maksimal pukul 24.00 tengah malam, dan anda harus belanja malam ini juga! Males banget kan?

Tapi ngomong-ngomong, apa sih yang dimaksud dengan revaluasi aset?

Secara akuntansi, ketika perusahaan membeli/mengakuisisi sebuah aset, misalnya sebidang tanah, maka nilai tanah tersebut di laporan keuangan akan dicatat sesuai harga pembeliannya. Jadi kalau Ciputra Development (CTRA) beli tanah seluas 100 hektar di Kota Surabaya seharga Rp100 milyar pada tahun 2005, dan sampai sekarang tanah itu belum diapa-apakan, maka ya sudah, di laporan keuangan perusahaan nilai tanah tersebut tetap akan ditulis Rp100 milyar (kurang lebih), meski nilai jual tanah tersebut pada tahun 2015 ini kemungkinan sudah melonjak beberapa kali lipat. Nah, jika manajemen CTRA melakukan revaluasi aset, maka nilai wajar atau nilai pasar tanah tersebut akan dihitung kembali hingga diperoleh kesimpulan bahwa nilainya naik menjadi katakanlah Rp300 milyar, dan nilai aset yang baru pasca revaluasi ini kemudian dimasukkan ke laporan keuangan, sehingga dengan sendirinya ekuitas CTRA akan meningkat Rp200 milyar (belum dipotong PPh, biaya penilai, dll).

Pertanyaannya, kalau memang revaluasi bisa segampang itu menaikkan nilai aset bersih/ekuitas perusahaan, lalu ketimbang capek-capek beroperasi dan ngumpulin laba bersih agar nilai ekuitasnya bertumbuh, kenapa perusahaan tidak merevaluasi asetnya saja setiap tahun? Well, itu karena ada banyak hal. Pertama, proses revaluasi itu ribet (syarat dan ketentuannya banyak) dan lama, sehingga kecuali benar-benar diperlukan maka manajemen tidak akan melakukannya.

Kedua, umumnya perusahaan hanya akan merevaluasi aset-asetnya jika, A. Perusahaan akan dimerger atau diakuisisi oleh perusahaan lain, B. Perusahaan terlilit utang hingga harus melepas salah satu asetnya, dan untuk tujuan negosiasi dengan calon pembeli, maka aset tersebut sebelum dijual dihitung dulu nilai wajarnya pada saat ini berapa, dan C. Perusahaan akan menjaminkan asetnya untuk memperoleh pinjaman dari bank.

Singkatnya, jika pemilik perusahaan tidak pernah berniat untuk menjual atau me-merger perusahaannya, entah sebagian atau seluruhnya dengan perusahaan lain, tidak sedang bermasalah dengan utang, dan juga tidak sedang mencoba mengajukan pinjaman ke bank, maka tidak ada alasan untuk melakukan revaluasi. Logikanya, jika perusahaan merevaluasi salah satu asetnya, katakanlah sebidang tanah hingga nilainya naik dari Rp100 milyar menjadi Rp200 milyar, namun selama tanah tersebut tidak benar-benar dijual pada harga Rp200 milyar tadi, maka perusahaan juga tidak benar-benar memperoleh keuntungan/kenaikan nilai aset yang riil, tapi disisi lain perusahaan tetap harus keluar duit untuk bayar pajak dll. Jadi dalam hal ini perusahaan justru akan rugi.

Dan ketiga, terdapat risiko adanya kesalahan pada proses revaluasi itu sendiri, dimana jika nilai aset sudah terlanjur dicatat naik tapi kedepannya ternyata ditemukan kesalahan dan nilai aset harus diturunkan lagi, maka reputasi perusahaan akan dipertaruhkan.

Tapi, okelah, katakanlah sebuah perusahaan melakukan revaluasi aset sehingga nilai asetnya naik, maka praktis valuasi sahamnya jadi lebih murah, dan seharusnya dia akan naik dong? Well, belum tentu. Ketika nilai ekuitas perusahaan naik pasca revaluasi sementara nilai labanya tetap, maka otomatis ROE-nya akan turun, dan ini akan tampak buruk di mata investor. At the end, yang penting bagi investor adalah jika perusahaan mampu menghasilkan laba bersih yang besar dan bertumbuh. Adalah aneh jika nilai aset perusahaan tiba-tiba saja melonjak naik karena revaluasi padahal laba perusahaan tersebut biasa-biasa saja. Contohnya paling gampang Indospring (INDS), yang melakukan revaluasi aset di tahun 2012 dan alhasil nilai ekuitasnya melompat tajam, tapi sahamnya malah nyungsep karena kinerja laba ruginya sangat buruk, hingga orang tidak peduli lagi meski dari sisi PBV, INDS sudah sangat murah.

Logo PT. Indospring, Tbk. Pada harga 400-an, PBV-nya cuma 0.1 kali lho

Kesimpulannya, meski mungkin ini berlawanan dengan pendapat mayoritas investor yang menyambut kebijakan pemerintah terkait revaluasi aset ini dengan suka cita dan karenanya optimis bahwa IHSG akan segera tembus 5,000 lagi dalam waktu dekat, namun penulis tidak menganggap bahwa kebijakan pemerintah yang satu ini bakal berpengaruh banyak terhadap stock market secara keseluruhan, dan akan segera dilupakan orang jika besok-besok IHSG turun lagi. IHSG kedepannya bisa naik atau turun ke posisi berapa saja, tapi untuk bisa naik tinggi dalam waktu dekat maka diperlukan sentimen/faktor fundamental yang lebih riil dibanding sekedar cerita soal revaluasi aset ini.

Actually, bukan kali ini saja kebijakan/tindakan Pemerintah ditanggai secara berlebihan oleh investor. Ketika kemarin-kemarin Pemerintah merilis kebijakan tentang penurunan harga semen, harga gas, penurunan bunga KPR bersubsidi dan seterusnya, maka saham-saham dari perusahaan yang terkait dengan cepat turun, padahal kebijakan tersebut belum tentu berdampak negatif. Pun ketika beredar isu bahwa Pemerintah melalui Aneka Tambang (ANTM) bakal mengakuisisi saham divestasi Freeport, saham ANTM segera terbang meski kemudian jeblos lagi ke bawah. But well, dalam hal ini investor yang jeli mungkin akan memperoleh keuntungan ketika ia membeli saham yang jatuh karena kebijakan pemerintah yang ditengarai berdampak negatif (penulis sendiri lumayan sering melakukan ini, misalnya pada saham Bank BTN), atau sebaliknya, menjual saham yang ia pegang pada harga tinggi karena adanya kebijakan yang ditengarai berdampak positif. Dan untuk bisa melakukan itu maka caranya simpel saja kok: Jangan terburu-buru, pelajari dulu setiap kebijakan pemerintah secara detail dan hati-hati, sebelum kemudian baru ambil kesimpulan/keputusan. Terdengar ribet? Ah, nggak juga kok :)

Komentar

Sanda Wibowo mengatakan…
pak, apakah pencatatan aset yang "outdated" dari nilai yang sebenarnya ini juga terjadi pada BUMI? seperti yang anda ungkapkan beberapa saat yang lalu, bahwa perusahaan tambang umumnya mencatat nilai aset mereka pada saat akuisisi, bukan pada harga terkini.
karim mengatakan…
menurut saya,Revaluasi aset akan diminati oleh perusahaan properti dan bahkan perusahaan lainnya...perusahaan cenderung melihat kedepannya., dengan mengikuti paket 5 tsb,perusahaan akan membayar biaya pajak saat ini, tapi akan menghemat pph di masa yang akan datang..logikanya persh A membeli tanah bbrp tahun lalu 100 m , setelah direvaluasi aset menjadi 200 m. jadi persh a membayar pajak 3m( selain biaya lainnya). tetapi bbrp thn kemudian tanah tsb dibangun perumahan dan menghasilkan revenue 400m. maka pajak yg dibayar dimasa datang akan lebih kecil, laba bersih berkurang, tapi uang yang masuk kas perusahaan tetap dinikmati oleh pemegang saham.
Indospring sudah terlalu murah, harga 400an bukan saja pbv 0,1. tapi sudah masuk persh net-net berdasarkan lk q2 2015. kinerja persh menurun bersamaan dengan lesunya sektor otomotif, tapi berdasarkan history, sektor otomotif akan lebih cepat pulih dibandingkan dengan sektor properti. selain itu perusahaan2 otomotif jepang mulai memindahkan basis produksi mobil mereka dari thailand ke Indonesia, akan berdampak positif pada manufaktur otomotif di Indonesia.masalahnya hanya mindset dan waktu.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Sanda Wibowo: Iya betul. Kalau ada perusahaan yang mungkin akan memanfaatkan insentif pajak terkait revaluasi aset ini, maka perusahaan tersebut adalah BUMI, karena dia sedang terlilit utang.
Bla-Bla Miko mengatakan…
Ih.. bersyukur, dapet ilmu lagi.. terimakasih atas sedekah ilmu-nya mas Teguh. Keep posting. Semoga lancar rejekinya. Amin.
Anonim mengatakan…
Menurut saya, u/ sektor property, revaluasi aset sdh sering di lakukan, hanya tidak tercacat. Hal ini bs terlihat pada saat mereka menjual kav/rumah, harga tanah sdh dilipat gandakan sehingga hasil penjualan msh bs dipergunakan u/ belanja tanah 11 atau 2 tahun ke depan...maaf ini pendapat sy yg msh sangat awam. Terima kasih
Unknown mengatakan…
Hal lain yg perlu diperhatikan ketika perusahaan melakukan revaluasi adalah perusahaan akan dapat membebankan biaya penyusutan atas aset yg di revaluasi lebih besar dari sebelumnya, meningkatnya beban penyusutan akan membuat perusahaan membayar pajak penghasilan yg lebih kecil karena beban penyusutan aset akan mengurangi penghasilan kena pajak
Unknown mengatakan…
Lalu apa dampak revaluasi terhadap operating profit margin, total asset turnover, roa, dan operating return asset
Ibrahim F mengatakan…
Selain pembukuan di neraca (kenaikan di pos aset tetap dan ekuitas), apakah ada pembukuan juga di pendapatan lain2 pada laba rugi, pak Teguh?

Jika iya, tentunya angka ROE tidak akan langsung turun (meskipun peningakatan laba tidak organik).

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?