CPIN, PTBA, PGAS, dan SSIA
Halo Pak Teguh, minta pendapat soal Charoen
Pokphand Indonesia (CPIN). CPIN termasuk saham LQ45 yang top pricenya pernah di
sekitar 4,000 dan sempat turun ketika panic selling ke 1,300 (kurang lebih
turun 67%, melebihi penurunan PGAS yang sekitar 50%) dan sekarang mantul ke
2,000 lagi. Secara awam saya melihat jika kita bisa dapat moment buy di 1,300
atau 1,400, tentu saja sekarang sudah profit 30 – 40%. Setahu saya CPIN
merupakan perusahaan yang mempunyai track record bagus, mungkin lagi terimbas
perekonomian global yg melemah dan USD yang melambung tinggi. Apakah CPIN
termasuk saham yg layak dikoleksi?
CPIN membukukan laba
bersih Rp959 milyar di Semester I 2015, turun lumayan dalam dibanding periode yang
sama tahun 2014 sebesar Rp1.25 trilyun. Meski kinerja tersebut masih lebih baik dibanding dua kompetitornya yakni Japfa Comfeed (JPFA) dan
Malindo Feedmill (MAIN) yang sampai merugi, dan pendapatan CPIN juga sejatinya
masih naik, namun penurunan laba tersebut jelas disebabkan oleh pelemahan
nilai tukar Rupiah terhadap USD. CPIN harus mengimpor sebagian bahan baku pakan ayam dari luar negeri, dan pada November 2014 lalu perusahaan
memperoleh pinjaman sindikasi dalam mata uang USD dari Citigroup senilai US$ 200 juta. Pelemahan Rupiah menyebabkan perusahaan menderita
kerugian selisih kurs, dan juga harus membayar bunga pinjaman USD-nya dalam
jumlah yang lebih besar, dan itulah yang kemudian menekan laba perusahaan.
Masalahnya, kita nggak tahu Rupiah ini bisa melemah sampai berapa. Meski saat ini Rupiah sudah
tembus Rp14,000 per USD, namun Bank Indonesia (BI) kelihatannya masih
santai-santai saja, yang itu berarti mereka juga menganggap bahwa posisi Rupiah
pada saat ini masih ‘aman’. Menurut BI sendiri, kurs Rupiah memang harus berada di level
tertentu untuk bisa mendorong nilai ekspor (jadi tidak harus menguat). Jika besok-besok
Rupiah kembali tertekan, katakanlah sampai Rp15,000 per USD, maka kinerja CPIN
mau tidak mau akan turut tertekan.
Jadi meski penulis
setuju bahwa CPIN ini bagus, namun untuk saat ini masih agak riskan untuk
masuk. Kemarin dia memang rebound tinggi setelah event panic selling, tapi
ketika itu SMGR, BBNI, ADRO, PTBA, dan masih banyak lagi, mereka juga terbang
semua. Jadi kemungkinan itu hanya panic buying saja, karena investor
melihat bahwa saham-saham tersebut sudah turun teramat sangat rendah.
Tapi selama
fundamentalnya masih belum cukup baik, dan outlook-nya juga belum cerah,
maka biasanya sahamnya akan turun lagi, karena disisi lain CPIN masih belum
cukup murah untuk ukuran perusahaan yang kinerjanya lagi nggak bagus (PBV-nya
masih 2.7 kali, sementara sekarang ini sudah banyak saham blue chip yang
PBV-nya kurang dari 2 kali). Kalau dihitung dari all time high-nya yakni
5,200, maka CPIN sudah turun lebih dari 60%, tapi jangan lupa kalau CPIN juga sudah naik banyak sekali dari hanya 100 perak di tahun 2008. Jadi posisi CPIN pada saat ini masih jauh lebih tinggi dibanding posisinya di tahun 2008 tersebut.
Bukit Asam (PTBA) apakah sudah murah? Boleh dibeli
untuk disimpan long term? Denger-denger perusahaannya mau buyback?
PTBA adalah saham
terbaik di sektor batubara, dimana perusahaan punya track record kinerja yang sangat solid, profitabilitas diatas rata-rata, manajemennya mampu untuk berekspansi ke hilir (pembangkit
listrik), royal dalam dividen, dan konservatif dalam leverage.
Tapi bahkan perusahaan
sebagus itupun, kalau harga batubara turun maka ya tetap saja labanya bakal
anjlok. Dan sayangnya sampai sekarang harga batubara masih turun meski tidak
lagi sedrastis tahun-tahun lalu. Penulis sebenarnya termasuk yang percaya bahwa
tahun ini mungkin merupakan titik nadir dari industri batubara, sehingga tahun
depan industri ini seharusnya akan bangkit lagi, apalagi jika Pemerintah mampu
merealisasikan pembangunan mega proyek 35,000 MW di dalam negeri. Tapi untuk
saat ini yang bisa kita lakukan hanya mengamati saja dulu, dan mungkin baru
akan masuk nanti kalau industri batubara memang sudah menunjukkan turning
point-nya. Kita akan investasi jangka panjang di PTBA ini, tapi seperti
halnya menjual saham gak perlu buru-buru, maka membelinya pun gak perlu
buru-buru. Kita lihat lagi dalam beberapa bulan kedepan gimana.
Soal buyback, itu belum
tentu menggaransi bahwa sahamnya tidak akan turun lebih rendah lagi. Beberapa
bulan lalu Gajah Tunggal (GJTL) juga mengumumkan bahwa mereka akan buyback
saham ketika GJTL berada di 1,000-an, tapi sekarang GJTL malah sudah dibawah
500.
And btw, PBV PTBA saat
ini masih 1.6 kali. Meski ini sejatinya sudah sangat murah, tapi dalam kondisi
pesta diskon seperti sekarang maka ada banyak saham-saham batubara lain yang
tidak kalah bagusnya, yang PBV-nya malah sudah nol koma. Jadi sekali lagi kita gak
perlu buru-buru, karena jika nanti waktunya sudah tepat, maka di sektor
batubara ini kita gak hanya bisa ambil PTBA, tapi (mungkin) BUMI sekalipun
boleh!
Perusahaan Gas Negara (PGAS), saya tertarik untuk
beli karena kelihatannya sudah murah sekali, tapi saya dengar kalau perusahaan
merugi dari investasinya di luar negeri. Apa benar?
Yep, sebagai salah satu
emiten terbesar di BEI, dan juga merupakan BUMN, maka PGAS terlalu menarik untuk
diabaikan, apalagi sahamnya sudah turun lebih dari 50% dari puncaknya. Meski
kinerja perusahaan juga lagi jelek karena imbas dari lesunya perekonomian,
namun kalau kita berpandangan untuk jangka panjang, maka mungkin sekarang ini
justru merupakan kesempatan yang bagus untuk masuk ke PGAS ini, dan jualnya
nanti 5 tahun kemudian.
Hanya saja seperti CPIN
diatas, PGAS ini juga punya ‘cerita’.
Tahun 2014 lalu, PGAS
melalui anak usahanya, Saka Energy, mengeluarkan US$ 172 juta untuk mengakuisisi
36% kepemilikan di Blok Gas Fasken
di Texas, Amerika Serikat, milik Swift
Energy (SFY), perusahaan migas asal AS. Karena kepemilikan PGAS di Fasken
hanya 36%, maka operasional Fasken tetap dipegang oleh SFY, sementara PGAS hanya ikut memperoleh bagi hasil sebesar 36%
dari gas yang diproduksi.
Secara operasional, Blok Fasken
ini tidak ada masalah apapun. Menurut informasi resmi yang dirilis PGAS, produksi gas di Fasken terus
naik, dari 30 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada tahun 2014 lalu, menjadi 154
MMSCFD pada saat ini, dan bisa naik
lagi menjadi 190 mmscfd pada akhir tahun.
Namun yang mengalami
masalah adalah SFY sendiri. Pada tahun 2014 lalu perusahaan mengalami rugi US$
283 juta, dan hingga Semester I 2015 SFY kembali mencatat rugi US$ 770 juta.
Akumulasi kerugian tersebut sedemikian besarnya hingga nilai ekuitas SFY anjlok
dari US$ 1.1 milyar pada akhir tahun 2013, menjadi hanya US$ 28 juta pada saat
ini. Jika trend kerugian diatas berlanjut, dan kelihatannya memang demikian,
maka tak lama lagi SFY akan mencatat defisiensi modal (seperti BUMI), dan itu
artinya secara teknis perusahaan sudah bangkrut.
Penulis sendiri masih
belum jelas soal apa yang menyebabkan SFY merugi sampai segitunya. Namun karena
kerugian tersebut maka saham SFY tanpa ampun anjlok dari US$ 11.4 menjadi US$
0.5 pada hari ini. Di AS sendiri mulai ada banyak pemberitaan yang menyebut
bahwa SFY mungkin akan segera di-delisting dari bursa.
Poinnya disini adalah,
meski manajemen PGAS sudah membantah bahwa mereka berinvestasi di Fasken dan
bukan di saham SFY, sehingga investasi mereka masih baik-baik saja (dan itu memang benar), namun
jangan lupa bahwa yang memegang kendali operasional atas Fasken itu masih SFY,
bukan PGAS. Jadi kalau SFY kenapa-napa, maka Fasken mau tidak mau akan ikut
kena. Jika pada Kuartal III nanti Swift Energy
pada akhirnya mencatat defisiensi modal (dan kelihatannya demikian), maka
sahamnya mungkin akan benar-benar ditendang keluar dari Bursa New York, dan
cerita soal Blok Fasken ini akan mengemuka kembali, kecuali jika PGAS bisa
menutupinya dengan kinerja yang excellent (tapi nyatanya di Kuartal II barusan labanya masih turun).
Karena itulah, mungkin
untuk saat ini kita ambil saham bluechip/BUMN lainnya saja dulu, yang sama-sama
sudah murah tapi perusahaannya gak lagi ada cerita jelek apapun. Sebab disisi
lain, Blok Fasken ini hanyalah satu dari sepuluh blok gas (tadinya sebelas,
tapi ada satu blok yang dijual) milik PGAS. Dan di laporan keuangan
perusahaan sendiri disebutkan bahwa tiga dari dari sepuluh blok gas tersebut
(termasuk Fasken) mengalami kerugian penurunan nilai.
Surya Semesta Internusa (SSIA), tolong analisa
serta harga terbaik untuk buy.
Dengan laba yang tumbuh
35%, ROE terjaga di level 17%, sementara ekuitasnya juga naik 9.3% secara year to
date (atau 12.5% jika memperhitungkan dividen), maka kinerja SSIA untuk
Semester I 2015 terbilang sangat baik, apalagi jika dibandingkan dengan kinerja
para emiten lainnya di BEI, yang rata-rata mengalami penurunan laba atau bahkan
kerugian. SSIA mampu untuk terus mencatat pertumbuhan laba karena adanya
tambahan pendapatan dari penjualan tanah kawasan industri, dalam hal ini
kawasan industri di Subang, yang land bank-nya sudah diakuisisi sejak tahun 2014
lalu. Sebelumnya pada tahun 2014 laba perusahaan sempat turun dibanding 2013
karena SSIA ‘kehabisan’ tanah kawasan industri untuk dijual, setelah 1,400
hektar kompleks kawasan industri milik perusahaan di Karawang sudah laku
terjual semuanya (sebenarnya masih ada, tapi tinggal sisa 100-an hektar lagi). Beruntung, SSIA masih mampu memperoleh landbank untuk dibangun kompleks kawasan
industri lainnya di Subang, dan kompleks ini masih punya cukup tanah kavling
untuk dijual (totalnya 2,000 hektar) hingga beberapa tahun kedepan.
Selain bisnis kawasan
industri, kedepannya SSIA masih bisa memperoleh tambahan pendapatan dari
konsesi tol barunya (Tol Cikampek – Palimanan), proyek-proyek konstruksi/
pembangunan infrastruktur (melalui Nusa Raya Cipta/NRCA), hingga jaringan hotel
bintang tiga yang saat ini sedang dibangun, ‘Batiqa Hotel’ (sudah selesai sebagian, jadi sudah bisa panen).
Berbeda dengan beberapa perusahaan properti lainnya yang punya utang segunung
atau utang dalam USD, neraca SSIA relatif bersih dari utang (DER-nya 1 kali),
dan hanya ada utang obligasi dalam negeri dengan tingkat bunga yang tentu saja
lebih murah dibanding utang bank.
Tapi meski fundamental
serta outlook-nya sangat menarik, toh saham SSIA tetap saja ikut
terseret arus penurunan IHSG, dan sekarang berada di level 700-an. But
of course, this is a BIG opportunity,
karena kita tahu bahwa dalam kondisi pasar yang normal, seharusnya SSIA ini
berada di level 1,000-an. Another fact: Posisi SSIA saat ini (705) adalah
hampir sama persis dengan posisinya pada Desember 2011 (hampir empat tahun yang
lalu), padahal nilai ekuitas SSIA pada saat ini tercatat Rp2.8 trilyun, dibanding
Rp1.1 trilyun pada akhir 2011 tersebut. Yep, jadi bisa dikatakan bahwa anda
pada saat ini hanya perlu membayar harga yang sama untuk sebuah aset yang
nilainya sudah naik dua setengah kali lipat, dan masih berpeluang untuk naik
lagi di masa yang akan datang! Dan menurut anda, adakah tawaran deal yang
lebih menarik dari itu?
Okay, selebihnya kita
bahas minggu depan.
Disclosure: Ketika artikel ini
dipublikasikan, Avere Investama sedang dalam posisi memegang SSIA di harga rata-rata 680. Posisi ini dapat
berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin Analisis IHSG & stock-pick saham
bulanan edisi September
2015 sudah
terbit! Anda
bisa memperolehnya
disini. Gratis tiga edisi buletin lama (Juni, Juli, dan Agustus) bagi
pelanggan baru, dan gratis
konsultasi/tanya jawab saham langsung
dengan penulis untuk member.
Komentar
mohon diupdate analisa saham ssia pak> terima kasih