Nippon Indosari Corpindo

Kalau pake teknik valuasi standar, maka dengan PER 22.3 dan PBV 5.2 kali pada harga 1,085, saham Nippon Indosari Corpindo (ROTI) sekilas tampak tidak menarik. However, jika kita berbicara mengenai ‘wonderful company’ seperti ROTI ini, maka kita mungkin memang tidak bisa membelinya pada ‘wonderful price’, atau dengan kata lain, kisaran harganya pada saat ini sudah terbilang wajar dan layak buy. And indeed, ROTI is a wonderful company, and I’ll tell you why.


ROTI merupakan pemilik merk ‘Sari Roti’ yang terkenal, dengan outlet berjalan-nya yang selalu memutar jingle ‘Sari roti.. roti sari roti..’ setiap kali keliling perumahan. Perusahaan didirikan pada tahun 1995 oleh Wendy Yap, ketika itu dalam bentuk penanaman modal asing asal Jepang (investor asal Jepang ini masih menjadi salah satu pemegang saham di ROTI sampai sekarang). Ms. Wendy adalah putri dari Piet Yap, salah satu pendiri sekaligus general manager dari produsen tepung terigu terbesar di Indonesia, Bogasari, sejak berdirinya perusahaan pada tahun 1969 hingga 1990-an. Jadi kelihatannya ROTI sejak awal memperoleh pasokan terigu langsung dari Bogasari, dan hingga saat inipun ROTI masih membeli terigu dari Indofood Sukses Makmur (INDF), perusahaan induk Bogasari.

ROTI mengoperasikan pabrik roti pertamanya di Kawasan Industri Jababeka pada tahun 1996, dimana pada tahun itu pula merk ‘Sari Roti’ mulai diperkenalkan ke konsumen. Meski Indonesia dihantam oleh krisis moneter setahun kemudian, namun pabrik tersebut tetap sukses, hingga pada tahun 2001 perusahaan menambah kapasitas produksinya. Tahun 2005 perusahaan membuka pabrik keduanya di Pasuruan, Jawa Timur, dilanjut dengan pendirian pabrik ketiga di Cikarang, pada tahun 2008. Hingga akhirnya pada tahun 2010, dengan statusnya sebagai market leader di industri mass-market bread di Indonesia, ROTI menggelar IPO, ketika itu dengan harga perdana 1,275, atau Rp255 per saham setelah stock-split (ROTI melakukan stock-split dengan rasio 1:5 pada tahun 2013).

(Catatan: Industri roti di Indonesia dibedakan menjadi tiga segmen, yakni roti produksi rumahan, roti produksi masal (di pabrik), dan roti butik (seperti BreadTalk, Holland Bakery, dll). Roti rumahan biasanya harganya murah, dijual di pasar tradisional dan warung-warung kelontong tidak jauh dari lokasi produksi, dan tidak memiliki merk. Sementara roti yang diproduksi secara masal, atau istilahnya mass-market bread, dijual di warung kelontong, minimarket, hingga supermarket, dengan jangkauan yang lebih jauh (bisa ratusan kilometer dari lokasi pabrik), dan memilik merk. Harganya sedikit lebih mahal dari roti rumahan, tapi setimpal dengan kualitasnya yang juga jauh lebih baik. Sementara roti butik biasanya diproduksi dan dijual ditempat yang sama, yakni di toko atau mall-mall, dan harganya paling mahal dibanding dua segemen lainnya.

Nah, ROTI bermain di segmen mass-market bread, dan di segmen ini perusahaan menjadi market leader dengan pangsa pasar lebih dari 90%. Industri roti di Indonesia secara keseluruhan memiliki nilai kurang lebih Rp23 trilyun pada tahun 2014, dan 20% diantaranya berasal dari segmen mass-market bread)

Berikut adalah poin-poin yang menyebabkan ROTI ini bisa dikategorikan sebagai ‘wonderful company’.
  1. Usaha jualan roti, seperti halnya jualan Indomie, tepung terigu, atau bahan makanan lainnya, terbilang kebal terhadap krisis, dan hal itu bisa dilihat dari fakta bahwa perusahaan mampu untuk tetap tumbuh dan berkembang pada akhir tahun 90-an ketika terjadi Krisis Moneter. Dan pada tahun 2008, ketika Indonesia sekali lagi terkena imbas dari krisis global, ROTI malah mendirikan pabrik ketiganya di Cikarang.
  2. ROTI memiliki brand equity yang boleh dibilang tidak ternilai harganya, yakni merk ‘Sari Roti’ yang sudah sangat terkenal bahkan oleh kalangan anak-anak. Jika anda memegang saham Trada Maritime (TRAM), maka anda mungkin akan bingung ketika seseorang bertanya, ‘TRAM itu perusahaan apa sih?’ Tapi kalau anda memegang ROTI ini, maka anda bisa langsung menjawab, ‘Ini yang bikin Sari Roti itu lho!’
  3. Dengan pangsa pasar hingga 90% di segmen-nya, maka ROTI bisa disebut sebagai perusahaan monopoli. Meski demikian, mengingat tingkat konsumsi roti di Indonesia masih relatif rendah, maka ROTI masih terus mengembangkan usahanya sampai sekarang (jadi prospek pertumbuhan perusahaan masih terbuka lebar), biasanya dengan cara mendirikan pabrik roti baru. Sejak IPO pada tahun 2010 hingga saat ini, perusahaan sudah mendirikan setidaknya tujuh pabrik baru yang tersebar di Medan, Palembang, Makassar, Cikande (Tangerang), Cibitung (Bekasi), Purwakarta, dan Semarang.
  4. Perusahaan memproduksi roti dengan rentang harga jual yang menjangkau seluruh kalangan konsumen, mulai dari dorayaki dengan harga Rp4,000, hingga roti lembut isi susu dengan harga Rp17,000 per bungkus.
  5. Antara tahun 2007 – 2012, laba ROTI terus meningkat rata-rata 50% setiap tahunnya. Dan pada Kuartal II 2015 kemarin, laba perusahaan masih maju pantang mundur sebesar 23.0% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, ketika perusahaan-perusahaan lain mulai megap-megap karena lesunya perekonomian.
  6. Berbeda dengan merk roti lain yang hanya dijual di toko-toko atau butik, ROTI mungkin satu-satunya perusahaan yang menjual produknya dengan cara ‘menjemput bola’, yakni dengan datang sendiri ke perumahan dengan gerobaknya yang berisik itu.
Nah, jadi tidak heran kalau Grup Salim, dalam hal ini melalui Indoritel Makmur Internasional (DNET), turut berinvestasi di ROTI dengan mengakuisisi 31.5% sahamnya pada tahun 2013 lalu. Dan dengan masuknya Grup Salim, maka itu semakin memperkokoh posisi perusahaan, karena kini ROTI bisa bersinergi dengan Bogasari (punyanya Grup Salim) untuk memperoleh suplai bahan baku tepung terigu, dan juga bersinergi dengan minimarket Indomaret (punyanya Grup Salim juga) untuk memasarkan produk rotinya. Jika semuanya lancar, maka bukan tidak mungkin ROTI bisa mengikuti jejak Indofood CBP (ICBP), another Salim Group’s company, yang sukses memasarkan Indomie hingga ke Londo dan Nigeria.

Dan untungnya Grup Salim sejak dulu dikenal memiliki reputasi yang baik, terutama jika dibandingkan dengan Lippo, Sinarmas, apalagi Bakrie. Laporan keuangan ROTI juga terbilang bersih dengan jumlah utang yang wajar (ada dua utang obligasi senilai total Rp1 trilyun yang diterbitkan pada Maret dan Juni 2015 kemarin, tapi dengan tingkat bunga yang relatir murah yakni 8 – 10% per tahun, sehingga praktis tidak mengganggu earnings perusahaan). Jadi kita bisa katakan bahwa ROTI kini berada di tangan manajemen yang tepat.

Lalu bagaimana dengan sahamnya?

Seperti yang sudah disebut diatas, pada harga 1,085, ROTI mencetak PER 22.3 dan PBV 5.2 kali, dan itu tentu saja bukan merupakan valuasi yang atraktif, apalagi dalam kondisi pasar yang lagi lesu dimana ada banyak saham lain, termasuk sesama saham consumer goods, yang memiliki valuasi yang jauh lebih rendah. Dan ROTI sendiri memang sudah naik lebih dari 300% sejak IPO-nya. Berdasarkan pengalaman, timing terbaik untuk membeli saham mahal seperti ini adalah ketika ROTI mencatat kinerja yang tidak sebaik biasanya, misalnya  jika labanya turun, atau jika perusahaan mengalami masalah tertentu yang menyebabkan investor ramai-ramai membuang sahamnya. Ketika itulah, ROTI mungkin akan turun hingga ke level dimana PBV-nya hanya 2 atau 3 kali.

Tapi sejak tahun 2007 sampai sekarang, atau bahkan mungkin sejak lebih lama lagi, laba perusahaan selalu naik terus, demikian pula dengan ekuitasnya. Lalu sejauh yang bisa penulis amati, ROTI juga tidak pernah tersangkut masalah/kasus apapun. Dan, face it, untuk perusahaan consumer goods sebagus ROTI ini, maka sangat sulit untuk membayangkan bahwa perusahaan akan kenapa-napa dimasa yang akan datang, sama hal-nya seperti Kalbe Farma (KLBF), Unilever Indonesia (UNVR), HM Sampoerna (HMSP) atau ICBP juga akan maju terus dari waktu ke waktu.

Dan jika valuasi ROTI dibandingkan dengan saham-saham super yang sudah disebut diatas, maka PBV 5 kali masih terasa murah bukan? Sebenarnya pada tahun 2013 lalu ROTI sempat naik sampai 1,800-an tapi kemudian turun lagi meski kinerjanya masih baik-baik saja, karena memang pada harga tersebut dia sudah keterlaluan mahalnya. Tapi pada harga sekarang, maka PER 20 – 25 kali masih relatif wajar untuk saham dengan kualitas fundamental yang terbilang sangat baik, dan dalam dua tahun terakhir ini posisi terendah yang bisa dicapai ROTI adalah di kisaran harganya saat ini (950 – 1,100). Jika anda sedang mencari saham untuk bisa terus dipegang selama 2 – 3 tahun kedepan atau lebih lama lagi, then let me tell you, ROTI sangat layak untuk dipertimbangkan.

However, dalam kondisi pasar yang masih belum cukup kondusif, maka mungkin anda tidak perlu buru-buru masuk ke ROTI ini jika tujuannya memang untuk investasi jangka panjang, karena pergerakan ROTI ini terbilang mudah dipengaruhi oleh IHSG, termasuk pernah anjlok hingga hampir 50% antara Mei hingga November 2013, dimana IHSG ketika itu turun dari 5,250 sampai 3,900-an. I’m not sure, tapi jika pada akhir tahun nanti pasar mulai benar-benar pulih, maka penulis akan melirik ROTI ini sekali lagi, dan mudah-mudahan ketika itu beneran dikasih harga diskon.

PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal II 2015: AA
Rating Saham pada 1,085: A

Komentar

Anonim mengatakan…
Cukup atraktif Pak Ulasannya, tapi dengan nilai Debt to Equity Rationya yang diatas 100% apa nda terlalu riskan Pak kalo dollar terus melambung seperti saat ini, apalagi sebagian bahan baku Gandum hampir 100 % import? Masih wait & see nih
Unknown mengatakan…
pak teguh, kalau saya lihat grupnya om salim sekarang benar2 fokus ke industri consumer goods, tapi kalau saya lihat di lapkeunya, INDF dari aset 90 T utk kuartal 2 hanya mamppu meraih untung cmn sekitar 1 triliunan saja (CMIIW), apa karena INDF udah terlalu besar,atau profitnya tergerus bunga utangnya, atau gimana? mungkin bisa kasih pencerahan

Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonim: DER ROTI diatas 100% karena ada utang obligasi senilai Rp1 trilyun, tapi utang itu dalam mata uang Rupiah sehingga Dollar gak ngaruh, bunganya sangat murah, dan penggunaannya jelas yakni buat ekspansi bikin pabrik alias investasi jangka panjang. Bahan baku roti itu tepung terigu yang dibeli dari Bogasari, jadi risiko kenaikan harga bahan baku gandum karena pelemahan Rupiah ditanggung oleh Bogasari, bukan ROTI. Meski memang ada kemungkinan Bogasari menaikkan harga jual terigu-nya karena alasan pelemahan Rupiah, tapi sampai sekarang itu belum terjadi.

Satu hal lagi, Bogasari mengimpor sebagian besar kebutuhan gandum-nya dari Australia, dan nilai tukar Rupiah terhadap AUD justru menguat dalam setahun terakhir.

@Bayu. ROTI dan INDF merupakan dua perusahaan yang berbeda, dan ROTI gak sepenuhnya dipegang Grup Salim, melainkan sebagian masih dipegang Wendy Yap sendiri. Untuk INDF, labanya turun karena adanya kerugian kurs karena pelemahan Rupiah sebesar Rp716 milyar, meningkat dari sebelumnya Rp39 milyar, karena sebagian utangnya dalam bentuk USD. Dan utang INDF memang gede banget (Rp50T, berbanding ekuitasnya yang cuma Rp25 T). Tapi untungnya ROTI nggak begitu.
Bla-Bla Miko mengatakan…
Sebagai pelanggan baca yg rutin, sekali lagi acungan dua jempol buat artikel tentang ROTI. Apalagi ditengah seliweran bad and negative news di jaman kiwari, enak bener rasanya baca artikel yang nuansanya positif. Well done Mas Teguh. Jangan sampe bosen mencerahkan bangsa (traders/investor/nyangkuters, dll). Salam cuan.
Unknown mengatakan…
Pak Teguh,boleh minta ulasannya untuk MYOR?saya lihat dari key ratio MYOR mirip dengan ROTI..apa aman untuk invest di dua saham ini mengingat DER nya lumayan tinggi..
Anonim mengatakan…
Pak Teguh mohon bantuan nya utk analisa TPS Food (AISA)..
Unknown mengatakan…
Apakah tetep eksis setelah comment 212?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?