Trada Maritime
Pada Kuartal I 2015,
Trada Maritime membukukan laba bersih (yang dapat diatribusikan kepada entitas
induk) sebesar US$ 0.4 juta, dimana meski angka tersebut naik signifikan
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun tetap saja sangat kecil
dibandingkan dengan nilai ekuitas perusahaan sebesar US$ 86.7 juta. Namun demikian, cerita menarik tentang TRAM ini mungkin bukan terkait dengan
kinerjanya tersebut, melainkan terkait sahamnya yang pada saat ini terpuruk di
level 50-an, padahal tidak sampai setahun yang lalu dia sempat berada di level
1,800-an. Kalau melihat laporan keuangannya yang, meski memang tidak bagus,
tapi juga tidak jelek-jelek amat (perusahaannya masih menghasilkan keuntungan,
dan ekuitasnya juga masih positif), dan
PBV-nya pada harga sekarang tinggal 0.5 kali, maka mungkin timbul pertanyaan: Apakah
ada opportunity disini?
TRAM adalah salah satu
perusahaan penyewaan kapal dan jasa transportasi laut yang tergolong baru di
Indonesia. Perusahaan berdiri pada tahun 1998 dan mulai beroperasi secara
komersial pada tahun 2000, ketika itu dengan memperoleh kontrak dari PT Exspan
Nusantara untuk pekerjaan floating storage & offloading (FSO). Tahun
2003, perusahaan membeli kapal tanker untuk mengangkut muatan cair (liquid
cargo), dalam hal ini aspal cair. Pada tahun 2008 perusahaan kembali
menambah armadanya yakni beberapa unit kapal motor dan tongkang untuk
mengangkut muatan kering (dry cargo) seperti batubara dll. Pada tahun
2008 itu pula perusahaan untuk pertama kalinya terdaftar di BEI. Pada akhir
tahun 2014, TRAM secara keseluruhan mengoperasikan total 20 kapal yang terdiri
dari 5 kapal FSO, 5 kapal pendukung untuk FSO, 3 kapal liquid cargo, 5 bulk
carrier, 1 kapal penumpang, dan 1 kapal pengangkut LNG. TRAM hingga saat
ini memiliki beberapa pelanggan jangka panjang yang kebanyakan merupakan
perusahaan minyak dan gas, dan batubara.
Nah, setelah sampai
pada paragraf diatas, maka anda mungkin tidak melihat sesuatu yang istimewa
dari TRAM ini. Namun satu hal yang membedakan TRAM dengan banyak perusahaan
kapal lainnya di Indonesia adalah, belakangan ini TRAM dilanda oleh setidaknya
dua peristiwa luar biasa yang mengganggu operasional perusahaan, yang pada
akhirnya menyebabkan kinerja perusahaan mengalami penurunan dalam setahunan
terakhir. Berikut adalah penjelasan dari peristiwa luar biasa tersebut.
1. Musibah kebakaran kapal
‘Lentera Bangsa’
Pada bulan Juni dan Juli
2010, TRAM memperoleh pinjaman dari International Finance Corporation (IFC) dan
Bank of Tokyo – Mitsubishi UFJ senilai total US$ 50 juta, yang digunakan untuk
membiayai modifikasi kapal FSO ‘Lentera
Bangsa’ milik perusahaan. Perusahaan selanjutnya akan membayar utang
tersebut dengan cara menyicil setiap tiga bulan. Namun pada September 2011,
kapal Lentera Bangsa terbakar hingga terpaksa berhenti beroperasi sama sekali.
Alhasil sejak September 2011 tersebut, perusahaan gagal untuk memenuhi
kewajibannya untuk menyicil pembayaran utang kepada IFC maupun Bank of Tokyo.
Sebelum mengalami musibah
kebakaran, kapal Lentera Bangsa sudah diasuransikan ke PT Asuransi Dayin Mitra,
Tbk (ASDM) dan PT Asuransi Purna Artanugraha, dengan broker asuransi PT Marsh
Indonesia, dengan nilai total pertanggungan maksimal hingga US$ 75 juta. Namun
sejak kapal Lentera Bangsa terbakar sampai dengan saat ini, nilai pertanggungan
tersebut masih belum dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Permasalahan menjadi
rumit setelah pihak IFC dan Bank of Tokyo, pada Mei 2014, sempat hendak
melakukan ‘segala cara’ agar TRAM segera membayar utangnya, namun untungnya itu
tidak dilakukan karena manajemen TRAM berhasil meyakinkan mereka bahwa perusahaan
bukannya tidak mau membayar utang, namun masalahnya terletak di klaim asuransi
yang belum dibayar. Hingga saat ini pihak TRAM bersama-sama dengan IFC dan Bank
of Tokyo masih dalam posisi berdiskusi dengan pihak perusahaan asuransi untuk
sesegera mungkin menyelesaikan klaim yang sudah diajukan (TRAM sudah mengajukan
klaim tersebut pada Juni 2014).
2. Kasus penyelundupan
minyak mentah, yang melibatkan kapal ‘Jelita Bangsa’
Pada Juni 2014, kapal
FSO ‘Jelita Bangsa’ milik perusahaan
ditangkap oleh petugas bea dan cukai di Perairan Kepulauan Riau, karena diduga telah
memindahkan muatan minyak ke kapal lain secara ilegal. Akibat kasus ini, kapal
Jelita Bangsa ditahan oleh pihak berwajib dan praktis berhenti beroperasi.
Investigasi serta
penyidikan segera dilakukan oleh pihak berwenang. Dan pada akhir Maret 2015,
penyidikan terhadap kasus ini sudah selesai dilakukan, dan hasilnya adalah
pihak penyidik menetapkan status tersangka kepada nahkoda dan dua orang awak
kapal, namun pihak TRAM sebagai pemilik kapal tidak turut menjadi tersangka
karena tiga orang tersangka tersebut bertindak diluar wewenang perusahaan.
Meski demikian, hingga saat ini kapal Jelita Bangsa masih tetap ditahan oleh
pihak berwajib sebagai barang bukti.
Okay. Kalau anda jeli,
maka anda akan menemukan beberapa hal yang mengganjal terkait dua peristiwa
diatas. Yang pertama, kapal Lentera Bangsa terbakar pada September 2011, atau
hampir empat tahun yang lalu, dan sejak saat itu pula perusahaan berhenti
membayar cicilan utangnya ke IFC dan Bank of Tokyo. Lalu kenapa manajemen TRAM pada
saat itu tidak langsung mengajukan klaim ke pihak asuransi, melainkan baru melakukannya
pada bulan Juni 2014? Dan itupun setelah perusahaan menerima protes dari IFC
dan Bank of Tokyo sebulan sebelumnya (Mei 2014), gara-gara mereka kelamaan
menunggak cicilan pembayaran utang. Seharusnya kalau pihak TRAM sudah
mengajukan klaim ke perusahaan asuransi pada bulan September 2011, maka pada
saat ini klaim tersebut sudah dibayarkan. Namun karena TRAM baru mengajukan
klaim tersebut pada bulan Juni 2014, maka pihak perusahaan asuransi hingga saat
ini kemungkinan masih melakukan investigasi/pemeriksaan terhadap klaim
tersebut, karena nilai pertanggungan sebesar US$ 75 juta tentu saja bukan
jumlah yang kecil untuk bisa langsung dibayarkan begitu saja.
Anyway, karena sampai
saat ini TRAM masih belum menerima pembayaran klaim dari perusahaan asuransi,
maka di laporan keuangannya sejak tahun 2012 lalu, TRAM dua kali membukukan
kerugian non operasional karena taksiran penurunan nilai aset (‘aset’ disini
adalah kapal Lentera Bangsa), yakni sebesar US$ 12 juta pada tahun 2012, dan US$
23 juta pada tahun 2014, sehingga totalnya adalah US$ 35 juta. Ditambah dengan biaya-biaya
yang harus keluar karena berurusan dengan IFC dan Bank of Tokyo, maka perusahaan
membukukan kerugian (mayoritas hanya kerugian diatas kertas, bukan kerugian
operasional) yang nyaris beruntun selama tiga tahun terakhir, sehingga nilai
ekuitas TRAM menyusut tajam dari US$ 152 juta di akhir tahun 2011, menjadi
hanya US$ 86 juta pada Kuartal I 2015.
Nah, dari sini tampak
jelas bahwa ketika pada akhirnya nanti klaim asuransinya dibayarkan (US$ 75
juta tadi adalah maksimalnya, jadi realisasinya kemungkinan akan kurang dari itu), maka
nilai ekuitas TRAM akan melejit kembali, dan valuasi sahamnya yang tampak murah
pada saat ini (PBV-nya hanya 0.5 pada harga Rp55 per saham) akan menjadi jauh lebih murah lagi. Namun sekali lagi pertanyaannya, kenapa pihak TRAM baru mengajukan
klaim pada bulan Juni 2014, atau nyaris tiga tahun setelah peristiwa
kebakarannya?
Yang kedua, terkait
kasus penyelundupan minyak yang melibatkan kapal Jelita Bangsa. Ketika
dikatakan bahwa perusahaan tidak terlibat penyelundupan tersebut, maka kenapa
kok kapal Jelita Bangsa-nya sampai sekarang masih ditahan oleh pihak yang
berwajib? Dalam materi public expose insidentil yang digelar perusahaan untuk
menjelaskan masalah tersebut, juga tidak disebutkan adanya upaya tertentu yang
dilakukan perusahaan agar kapal Jelita Bangsa bisa dibebaskan seceparnya, agar kapal
tersebut kemudian bisa kembali beroperasi dan kembali memberikan kontribusi
pendapatan terhadap perusahaan, melainkan hanya akan menunggu proses hukum.
Perusahaan lebih menekankan kepada poin bahwa meski kapal Jelita Bangsa masih
belum bisa beroperasi kembali, namun kontribusinya terhadap pendapatan
perusahaan secara keseluruhan hanya sekitar 5% alias tidak terlalu besar,
sehingga kegiatan operasional TRAM tidak akan terlalu terganggu. However,
faktanya adalah pendapatan TRAM pada Kuartal I 2015 anjlok 44.2% dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya, dan itu tentu saja bisa dijelaskan: Kalau
penulis adalah salah satu pelanggan TRAM, maka sebelum TRAM bisa benar-benar menyelesaikan
kasus hukumnya terkait kapal Jelita Bangsa, saya juga mendingan pilih
perusahaan kapal lainnya dulu lah. Saya tentu gak mau ambil risiko dianggap turut ‘terlibat’
dengan kasus penyelundupan atau apapun yang dituduhkan kepada perusahaan.
Diluar dua masalah yang
sudah dibahas diatas, maka cerita yang lebih seru terkait TRAM ini adalah
mengenai sahamnya. Seperti yang sudah disebut diatas, pada September 2011 TRAM mengalami
force majeure yakni kebakaran kapal Lentera Bangsa, yang notabene
merupakan salah satu armada utama (dan termahal) milik perusahaan. Biasanya
kalau ada peristiwa yang bersifat musibah seperti ini, maka saham dari
perusahaan yang bersangkutan akan anjlok (karena investor pada kabur). Namun pada
TRAM, yang terjadi justru sebaliknya. Pada September 2011 tersebut, saham TRAM
yang sebelumnya sideways cukup lama di rentang 550 – 600, tiba-tiba saja
terbang hingga menembus 1,000 pada Januari 2012, dengan volume transaksi yang
sangat besar. Dengan PBV yang sudah menembus 6 kali ketika itu, sementara perusahaannya
baru saja mengalami musibah, dan kinerja TRAM juga sama sekali tidak bisa
dikatakan istimewa, maka jelas bahwa kenaikannya tidak wajar. Apalagi disisi lain
volume transaksinya kelewat besar (mencapai 100 juta lembar saham per hari)
untuk ukuran saham yang sama sekali tidak pernah masuk radar investor sebagai ‘saham
yang mewakili perusahaan dengan fundamental yang cukup baik, sehingga bisa
dijadikan pilihan investasi’. Sejak tahun 2010 sampai sekarang, setiap kali
penulis membaca-baca laporan keuangan terbaru para emiten di BEI setiap
kuartalnya, TRAM ini memang sama sekali tidak pernah lolos screening untuk
dijadikan pilihan investasi.
However, TRAM selanjutnya
tetap stay di rentang harga 800 – 1,000. Ketika perusahaan akhirnya membukukan rugi
bersih pada akhir tahun 2012, saham TRAM sekali lagi bukannya turun tapi malah
naik kembali hingga menembus 1,400-an (gak masuk akal!). Karena disisi lain
volume transaksinya masih sangat besar, maka akhirnya saham ini masuk indeks
LQ45 pada awal tahun 2013. Pada tahun 2013 kinerja perusahaan masih belum
membaik, dan valuasi sahamnya sudah tidak masuk akal saking mahalnya. But
still, TRAM masih melanjutkan kenaikannya hingga sempat menyentuh 1,800-an. Karena
volume transaksi hariannya yang sangat besar, maka biaya trading fee yang harus
dibayar oleh siapapun yang memperjual belikan TRAM ini mencapai total Rp500
juta per hari, atau Rp100 milyar per
tahun! (dengan asumsi bahwa dalam satu tahun terdapat 200 trading day). Pertanyaannya:
Investor/trader mana yang mau mengeluarkan biaya trading fee hingga sebesar itu
hanya untuk memperjual belikan saham dari perusahaan kecil seperti TRAM,
padahal TRAM ini fundamentalnya buruk dan valuasinya juga amat sangat mahal?
Apa untungnya buat dia?
Dan akhirnya, pada
bulan Juni 2014, ketika saham TRAM sudah berada di level 1,800-an, perusahaan
mengalami peristiwa kedua yakni ditangkapnya kapal Jelita Bangsa oleh petugas
bea dan cukai di Perairan Kepulauan Riau (dilanjut dengan pemutusan kontrak
sewa dari Pertamina, yang merupakan pengguna jasa kapal Jelita Bangsa tersebut), dan manajemen TRAM juga menerima surat tuntutan dari IFC
untuk segera melunasi tunggakan utangnya. Merespon kejadian ini, pihak BEI kemudian
segera menghentikan/men-suspensi perdagangan saham TRAM di market. Ketika suspensi
tersebut akhirnya dicabut pada November 2014, mulailah TRAM longsor tanpa
ampun! Nyaris dengan mengalami auto reject kiri setiap hari.
Namun ketika sebuah
saham longsor gila-gilaan, maka berdasarkan pengalaman, terlepas dari faktor
fundamental maupun valuasinya, pada waktu tertentu dia biasanya akan mengalami technical
rebound. Dan memang itulah yang terjadi pada saham TRAM, dimana ketika
penurunannya sampai pada harga 400-an, dia sempat naik signifikan pada
hari-hari tertentu. Salahnya adalah, ketika itu ada banyak investor (atau lebih tepatnya spekulan) yang ikut
masuk ke TRAM ini hanya karena tertarik dengan kenaikannya tersebut, padahal
mereka mengetahui secara persis masalah apa yang sedang terjadi pada perusahaan.
Selain itu pada harga 400-an tersebut, valuasi saham TRAM juga sama sekali
belum bisa disebut murah karena PER dan PBV-nya masih sangat tinggi. Ada banyak
investor ketika itu yang menyangka bahwa TRAM ini sudah murah, hanya karena
harganya sudah turun banyak (dari 1,800 ke 400, berarti sudah turun lebih dari
75%).
Tapi yah.. nasi sudah
jadi bubur, dan sekarang TRAM sepertinya tinggal sesaat lagi menuju level
kematian alias gocap. Pertanyaannya, okay, kalau di harga 400 TRAM ini mungkin
masih mahal. Tapi di harganya saat ini yaitu 55, maka harusnya dia udah murah
dong? PBV-nya aja cuma 0.5 kali bukan? Selain itu, seperti yang tadi sudah
dibahas diatas, kalau nanti perusahaan pada akhirnya menerima klaim
asuransinya, maka ekuitasnya akan meningkat dan valuasi sahamnya akan menjadi
lebih murah lagi.
Jadi kesimpulannya saya
boleh average down dong? Well, ya nggak sesimpel itu juga lah, Kalau anda baca
lagi pembahasannya diatas, masalah yang dihadapi TRAM ini bukan sekedar masalah
kebakaran kapal Lentera Bangsa, atau soal ditahannya kapal Jelita Bangsa oleh
pihak yang berwajib, melainkan terlalu
banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti: 1. Kenapa manajemen TRAM
baru mengajukan klaim asuransi ke perusahaan asuransi, hampir tiga tahun setelah
kejadian kebakarannya? 2. Kenapa manajemen TRAM seperti membiarkan masalah
tunggakan utangnya ke IFC dan Bank of Tokyo, hingga akhirnya IFC terpaksa mengajukan
surat tuntutan? 3. Kapan klaim asuransi itu akan dibayarkan? 4. Bagaimana
sebenarnya detail dari kasus penyelundupan minyak yang melibatkan kapal Jelita
Bangsa? Lalu kapan kapal tersebut akan dibebaskan dan mulai kembali beroperasi?
5. Sebelum mencuatnya kasus kapal Jelita Bangsa dan surat tuntutan dari IFC,
bagaimana mungkin saham TRAM bisa terus bergerak naik secara tidak wajar, dan
dengan volume transaksi yang tidak wajar pula? Dan 6. Berdasarkan data
registrasi pemegang efek, pada akhir April 2015, PT Trada Resources dan PT
Trada International hanya memegang total 36% saham TRAM, atau kurang dari 51%, sementara
selebihnya dipegang oleh publik. Jadi sebenarnya yang jadi pemegang saham pengendali di
TRAM ini siapa???
Nah, sekarang kita pakai logika saja: Berinvestasi di saham itu tak ubahnya seperti mempercayakan dana ke seorang pengusaha/perusahaan.
Kalau anda hendak mempercayakan dana sebesar katakanlah Rp100 juta ke seorang pengusaha
untuk nantinya diinvestasikan ke bidang usaha tertentu, maka sudah tentu anda akan
menginterogasi orang tersebut dengan berbagai pertanyaan bukan? Dan jika ia
tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka apakah anda masih akan
mempercayakan dana anda kepadanya?
Tapi bahkan kalau kita
mengabaikan faktor kepercayaan ini, maka dengan track record kinerja yang amburadul,
rasio profitabilitas yang sangat rendah, jumlah utangnya yang cukup tinggi (dan
juga bermasalah), dan tidak ada kepastian soal masa depan perusahaan, maka
tetap saja TRAM ini tidak bagus untuk pilihan investasi. I mean, untuk apa anda
membeli saham dari perusahaan perkapalan yang baru saja kehilangan mayoritas sumber
pendapatannya, karena para pelanggannya sudah tentu tidak mau turut terlibat dengan..
well.. kasus apapun itu yang sedang dihadapi perusahaan?
Jadi seperti yang sudah
pernah penulis sampaikan pada salah satu artikel di website ini, kami tidak tertarik dengan TRAM ini.
Sementara jika anda sudah terlanjur masuk, maka pilihannya ada dua: 1. Get out
while you can, atau 2. Tunggu saja hingga akhirnya perusahaan merilis dua kabar
positif, yakni bahwa perusahaan akhirnya menerima pembayaran klaim asuransi,
dan kapal Jelita Bangsa juga dibebaskan dan kembali beroperasi. Ketika itulah saham TRAM akan memiliki alasan
yang sangat bagus untuk bisa naik kembali.
However, penulis
sendiri terus terang tidak tahu kapan itu akan terjadi, mungkin bisa sangat lama dari sekarang atau malah tidak terjadi sama sekali. Jadi mungkin opsi
pertama tetap merupakan pilihan terbaik. Nevertheless, the choice is yours.
Penulis menyelenggarakan Seminar Investasi Saham:
Value Investing, di Ibis Styles Hotel - Jakarta,
hari Sabtu tanggal 13 Juni 2015. Biayanya
hanya Rp750,000 per peserta. Keterangan mengenai materi seminarnya dll bisa dibaca
disini.
Buletin Analisis IHSG dan stock-pick saham bulanan edisi Juni 2015 sudah
terbit! Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
Terima kasih mas Teguh untuk ulasannya. Apabila mas Teguh tidak keberatan dan juga tertarik, mohon di ulas tentang WINS.
Terima kasih.
WG