Tips & Strategi Menghadapi Penurunan IHSG

Setelah sempat ‘absen’ dari peristiwa koreksi yang signifikan sepanjang tahun 2014 lalu, pada pertengahan tahun 2015 ini IHSG kembali membara. Ketika artikel ini ditulis, posisi IHSG tercatat 5,055, atau turun total 3.2% dibanding posisi awal tahun yakni 5,227. Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dll yang memang tidak begitu bagus (kita sudah berkali-kali membahasnya di website ini, coba baca lagi artikel-artikel sejak Maret lalu), maka penurunan ini sama sekali tidak mengejutkan dan sejak awal memang sudah diantisipasi. Jika tidak ada perubahan fundamental kedepannya, kemungkinan kondisi ini akan terus berlanjut, dan alhasil IHSG pada tahun 2015 ini bisa kembali ditutup turun dibanding tahun sebelumnya. Pertanyaannya, what should we do?

IHSG sebenarnya ‘secara resmi’ sudah memulai periode koreksinya sejak akhir April lalu, dimana ia tiba-tiba saja turun terus menerus dari puncaknya 5,512 hingga 5,086, yang kemungkinan karena dipicu oleh buruknya kinerja pada emiten di Kuartal I 2015. Karena penurunannya sangat signifikan (lebih dari 8% hanya dalam tempo seminggu), maka tak lama kemudian dia rebound cepat hingga sempat naik 5,300-an lagi. Tapi yah.. karena memang belum ada peristiwa apapun yang secara fundamental bisa mengubah outlook perekonomian Indonesia kedepannya (kemarin ada perubahan outlook rating dari S&P, tapi rating itu sendiri masih belum berubah), maka sangat wajar jika kemudian IHSG longsor kembali.

Dalam acara investor meeting dan gathering dengan tema ‘Strategi Investasi Menghadapi Bear Market’ yang penulis selenggarakan di Jakarta, tanggal 23 Juni lalu (ketika IHSG mengalami rebound-nya dengan naik lagi ke 5,300-an), penulis menyampaikan setidaknya tiga point utama terkait perekonomian nasional.
  1. Pertumbuhan ekonomi mulai slow down, dimana bisnis terasa lesu di segala sektor, para emiten di BEI mengalami penurunan laba, inflasi masih tinggi di level 6.9%, dan Rupiah masih lemah di level Rp13,000-an per USD.
  2. Namun demikian, kondisi ekonomi masih jauh dari krisis. Tapi jika tidak ada perubahan terkait kebijakan pemerintah dll, maka bukan tidak mungkin krisis tersebut pada akhirnya akan terjadi.
  3. Berdasarkan pengalaman, ketika perekonomian mulai menunjukkan trend slow down, maka kalaupun nantinya ada perubahan yang positif, trend tersebut tetap tidak akan langsung berbalik arah lagi dalam waktu dekat melainkan butuh waktu minimal setahunan.

Nah, penulis tidak tahu apakah saya sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi saya akan menyampaikannya lagi disini: Dalam jangka pendek (kurang dari tiga bulan), harga sebuah saham bisa naik atau turun terlepas dari apakah fundamentalnya bagus atau jelek, juga tak peduli valuasinya mahal atau murah. Namun dalam jangka menengah hingga panjang (diatas 3 bulan, atau diatas satu tahun), maka harga saham akan selalu mengikuti fundamental serta valuasinya. Dalam tempo kurang dari 3 bulan, saham Bank BRI (BBRI) atau Bumi Resources (BUMI) bisa saja bergerak saja naik atau turun, sehingga dalam jangka pendek tersebut seseorang mungkin akan mengalami kerugian dari BBRI, dan malah meraup keuntungan dari BUMI. Namun dalam jangka panjang, dalam hal ini beberapa tahun terakhir, saham BBRI mampu untuk naik terus, sementara BUMI sebaliknya turun terus, dan itu tentu bukan tanpa alasan: Ketika BBRI mampu untuk mencetak laba bersih secara konsisten dari kuartal ke kuartal, BUMI justru terus mengalami kerugian yang pada akhirnya membuat ekuitasnya menjadi negatif alias defisiensi modal (jadi secara pembukuan, BUMI ini gak ada nilainya sama sekali).

Logo Bank BRI, perusahaan dengan track record pertumbuhan aset bersih tertinggi di BEI dalam 5 tahun terakhir

Cara kerja yang sama juga berlaku untuk IHSG: Dalam jangka pendek, IHSG bisa naik atau turun terlepas dari dari apakah kinerja perusahaan-perusahaan didalamnya terbilang bagus atau jelek, juga tak peduli valuasinya mahal atau murah. Namun dalam jangka panjang (atau minimal menengah), pergerakan IHSG pada akhirnya akan mengikuti fundamental perekonomian nasional. Pertanyaannya sekarang, berdasarkan pengamatan anda sendiri di lapangan, perkembangan bisnis di Indonesia pada saat ini masih lancar-lancar saja, atau memang lagi agak seret?

Okay, Mas Teguh, jadi apakah itu berarti anda mengatakan bahwa IHSG secara keseluruhan akan turun pada tahun 2015 ini? Ya belum tentu juga. Seperti yang sudah penulis sampaikan di artikel ini, perekonomian akan improve kedepannya jika 1. Pemerintah bersedia melonggarkan beberapa kebijakannya terkait perekonomian (terutama terkait subsidi dan pajak), 2. Harga komoditas terutama CPO dan batubara kembali naik, atau 3. Pembangunan infrastruktur segera direalisasikan. Jika salah satu saja dari tiga point tersebut terjadi, maka ekonomi bisa tumbuh diatas 5% kembali, dan demikian pula IHSG akan punya alasan untuk melaju kencang kembali seperti tahun 2014 lalu.

Tapi mari kita ambil skenario terburuknya: Jika sama sekali tidak ada perubahan, dan IHSG pada tahun 2015 ini benar-benar tumbuh secara negatif, maka apa yang harus kita lakukan?

Sebelum kita bicara soal strategi, penulis akan mengajak anda untuk lihat-lihat lagi pergerakan IHSG di masa lalu, dan poin utamanya adalah ini: Meski indeks-indeks saham di seluruh dunia, termasuk IHSG pada akhirnya akan terus naik dalam jangka puanjaaaanng, namun pada tahun-tahun tertentu mereka bisa saja turun. Antara tahun 1997 hingga 2014, IHSG mengalami penurunan 6 kali, yakni tahun 1997, 1998, 2000, 2001, 2008, dan 2013. Antara tahun 1997 hingga 2001, IHSG mengalami penurunan hampir setiap tahunnya karena memang Indonesia ketika itu sedang dilanda krisis moneter. Pada tahun 2008, IHSG sekali lagi turun karena efek dari krisis global, dan tahun 2013 IHSG turun karena perekonomian nasional mulai mengalami slow down setelah terus menerus ekspansi selama hampir 10 tahun sebelumnya. Kita pernah membahas soal itu disini.

Sementara pada tahun-tahun lainnya, IHSG naik terus. Namun intinya adalah, selama 18 tahun terakhir (dari akhir tahun 1996 hingga akhir tahun 2014), IHSG secara keseluruhan mencatat kenaikan pada 12 tahun tertentu, dan turun pada 6 tahun sisanya. Jadi kalau dirata-ratakan, dengan tidak menyertakan dividen, IHSG mengalami penurunan rata-rata setiap tiga tahun sekali. Namun pola pergantian antara kenaikan dan penurunan IHSG tersebut bersifat random. Jadi IHSG bisa saja naik terus selama lima tahun berturut-turut, dan baru turun lagi pada tahun keenam, atau sebaliknya, IHSG turun dua tahun berturut-turut, dan baru naik lagi pada tahun ketiga.

Dan percaya atau tidak, kalau kita ambil contoh pergerakan indeks S&P 500 di Amerika yang ditampilkan di Annual Letter-nya Berkshire Hathaway, maka polanya juga hampir sama begitu. Selama 50 tahun terakhir, yakni antara tahun 1964 – 2014, S&P secara keseluruhan turun pada 10 tahun tertentu, dan naik pada 40 tahun lainnya, dengan pola yang random. Longest streak bagi S&P terjadi antara tahun 1990 – 1999, dimana ia naik terus selama 9 tahun berturut-turut, tapi pada akhirnya ‘dibayar lunas’ oleh penurunan selama 3 tahun berikutnya.

Jadi bisa disimpulkan bahwa S&P mengalami koreksi rata-rata lima tahun sekali. However, data kenaikan/penurunan S&P diatas sudah termasuk menyertakan dividen. Jika dividen ini dianggap tidak ada, maka mengingat pada tahun-tahun tertentu kenaikannya hanya 1 – 3%, S&P sejatinya turun lebih dari 10 kali dalam 50 tahun terakhir, totalnya mungkin sekitar 15 kali. Dengan demikian, dengan tidak menyertakan dividen, maka S&P 500 juga mengalami penurunan rata-rata tiga tahun sekali, atau sama dengan IHSG.

Intinya sih, penulis hendak menyampaikan bahwa kalaupun benar IHSG akan turun pada tahun 2015 ini, maka itu hal yang biasaaaa... Karena memang sudah sewajarnya bagi IHSG untuk turun, rata-rata setiap tiga tahun sekali. Malah justru, dengan penurunan tersebut maka ruang gerak IHSG akan menjadi lebih terbuka kedepannya. Pada tahun 2013 lalu penulis juga sempat kalang kabut setelah IHSG anjlok dari 5,250 sampai 4,000, tapi ketika itu saya menyakinkan diri sendiri bahwa kalaupun pada tahun 2013 tersebut IHSG turun, maka itu justru bagus untuk kedepannya. Dan memang benar, IHSG turun 1% saja pada 2013 tersebut, namun langsung naik 22.3% di tahun berikutnya yakni 2014. Terkait perekonomian yang melambat akhir-akhir ini, meski memang menyebalkan, namun itu juga sesuatu yang biasa-biasa saja karena itu hanyalah bagian dari siklus. Maksud penulis adalah, ketika perekonomian terus berlari kencang hingga mencapai puncaknya pada tahun 2011 lalu, anda bersikap biasa-biasa saja bukan? Jadi kenapa juga sekarang kita harus mengeluh ketika gilirannya ekonomi mengalami perlambatan?

Okay, tapi itu belum menjawab pertanyaannya: Sebagai investor, apa yang harus saya lakukan dalam kondisi sekarang?

Dalam acara gathering dua minggu lalu, ada tiga poin strategi yang penulis share: 1. Trading cepat memanfaatkan rebound IHSG, 2. Tetap membeli saham-saham berfundamental bagus, dan 3. Just hold your cash and wait, until the stock prices are really discounted. Kalau penulis sendiri, kami sudah cuci gudang pada minggu ketiga April lalu, atau persis sesaat sebelum IHSG jatuh pada akhir April (kami sudah menginformasikan hal ini ke member buletin bulanan), sehingga kami pada saat ini berada dalam posisi free untuk menerapkan salah satu dari tiga strategi diatas, atau kombinasi dari ketiganya.

Okay, sekarang coba kita bahas satu per satu, mulai dari trading cepat memanfaatkan rebound IHSG. Kuncinya ini: Ketika IHSG mengalami penurunan selama periode waktu tertentu, let say selama beberapa bulan, maka penurunannya tidak akan terjadi secara terus menerus melainkan juga akan diselingi rebound-rebound, seperti yang memang terjadi sepanjang Mei kemarin dimana IHSG naik hingga 5,300-an (setelah sebelumnya anjlok sampai 5,086). Nah, Kita bisa memanfaatkan rebound tersebut untuk trading saham-saham bluechip berfundamental bagus. Caranya, anda hold posisi cash, dan tunggu pasar ‘kebakaran’ lagi seperti pada akhir April lalu. Jika pada akhir April lalu IHSG turun sampai 5,000-an, maka pada koreksi berikutnya IHSG mungkin akan turun sampai 4,900-an.

Dan kebetulan, ketika artikel ini ditulis, IHSG memang sedang kebakaran lagi, jadi mungkin anda bisa menerapkan strategi hit and run diatas. Bagi anda yang masih dalam posisi pegang barang, maka anda juga bisa memanfaatkan moment rebound IHSG untuk keluar dulu (jadi jangan keluar pas IHSG anjlok lagi seperti sekarang)

Meski demikian strategi ini memiliki kelemahan: Kita tentu tidak bisa memprediksi kapan persisnya IHSG akan rebound. Jadi jika timing-nya ternyata meleset, maka anda mungkin tetap harus cut loss jika ternyata IHSG tetap melanjutkan penurunannya ketika anda sudah terlanjur masuk. Beberapa saham juga mungkin tidak akan serta merta naik ketika IHSG benar-benar mengalami rebound, melainkan tetap lanjut turun. Karena itulah, anda mungkin bisa menerapkan strategi berikutnya, yakni tetap koleksi saham-saham berfundamental bagus.

Seperti yang sudah penulis sampaikan sebelumnya, ketika kinerja para emiten di BEI terbilang buruk, maka selalu ada saja perusahaan yang kinerjanya masih oke, dan valuasi sahamnya juga masih rendah. Ketika IHSG turun, maka saham-saham yang turun duluan adalah yang fundamentalnya buruk, atau fundamentalnya bagus tapi valuasinya sejak awal sudah mahal.

Sementara untuk saham-saham berfundamental bagus dan valuasinya murah, mereka dalam jangka pendek mungkin akan ikut terseret turun, tapi mungkin juga mereka tetap mampu untuk naik atau minimal bertahan di posisinya. Dan kalaupun mereka ikut terseret turun, namun pada akhirnya mereka akan naik lagi dengan cepat, yakni ketika masa koreksi IHSG berakhir (IHSG boleh turun sampai berapa saja, tapi pada akhirnya dia akan naik lagi). Contoh yang penulis ingat adalah saham Metrodata Electronics (MTDL). Antara Mei – September 2013, saham MTDL ikut terseret oleh penurunan IHSG yang ketika itu anjlok ke level 4,000-an, dengan turun dari 330-an hingga 200 pas. Namun ketika koreksi IHSG berakhir, MTDL juga dengan cepat naik lagi karena memang tidak ada masalah dengan fundamentalnya.

Untuk strategi nomor dua ini, anda nyaris tidak perlu memperhatikan pergerakan IHSG sama sekali (fokus pada sahamnya saja). However, problemnya adalah, dalam kondisi dimana sebagian besar emiten mencatatkan kinerja yang buruk, maka untuk saat ini tidaklah mudah untuk bisa menemukan saham seperti MTDL ini. Okay, beberapa emiten memiliki kinerja yang bagus pada Kuartal I 2015 lalu. Tapi jika perlambatan pertumbuhan ekonomi belakangan ini terus berlanjut, maka siapa yang bisa menjamin bahwa mereka masih akan mencatatkan kinerja yang sama bagusnya pada Kuartal II nanti?

Karena itulah, anda juga bisa pilih strategi nomor tiga: Just hold your cash and wait, tentunya sambil terus memperhatikan perkembangan ekonomi di lapangan.

Karena kalau berdasarkan pengalaman, ketika IHSG turun karena penyebab yang jelas (penyebab kali ini adalah terkait perkembangan ekonomi dalam negeri yang memang tidak menggembirakan), maka penurunan tersebut tidak akan langsung selesai dalam waktu dekat. Pada tahun 2013 lalu, IHSG butuh waktu tiga bulan untuk turun dari 5,200 sampai 3,900. Pada tahun 2008, IHSG juga butuh waktu sembilan bulan untuk turun dari 2,800-an hingga 1,300-an.

Sementara untuk koreksi ini, dihitung sejak akhir April lalu, maka koreksinya baru berjalan selama satu setengah bulan. Penulis tidak tahu IHSG akan turun sampai berapa (actually we have our own estimates, but not to be openly published). Tapi kalau melihat saham-saham bagus di BEI yang valuasinya, setelah dihitung, belum begitu murah, sementara yang sudah murah tapi barangnya memang gak bagus, maka IHSG kemungkinan besar melanjutkan penurunannya minimal dalam beberapa bulan kedepan, sekali lagi, jika tidak terjadi peristiwa tertentu yang secara signifikan bisa mengubah outlook perekonomian menjadi lebih positif.

Strategi ketiga ini adalah yang paling aman, tapi sekaligus paling membosankan serta butuh kekuatan mental, even we cannot do it. Selain itu strategi ini tetap saja ada kekurangannya: Bagaimana jika kita ternyata hanya terlalu pesimis terhadap perkembangan pasar? Bagaimana jika IHSG ternyata langsung pulih lagi besok? Karena pada akhirnya, tidak ada seorangpun yang bisa memprediksi arah pergerakan IHSG maupun saham-saham didalamnya, bukan begitu?

Jadi kami sendiri lebih suka mengkombinasikan strategi ketiga ini dengan strategi pertama dan kedua diatas, contohnya dengan tetap memegang Sri Rejeki Isman (SRIL) (strategi nomor dua) yang, ketika artikel ini ditulis, ternyata mampu untuk bertahan di posisinya meski IHSG turun.

Sudah tentu, ketika pasar sedang tidak bersahabat, maka tetap saja sangat sulit bagi siapapun untuk bisa mencetak keuntungan, tidak peduli seperti apa strategi yang diterapkan. Namun demikian, jika pada tahun ini porto anda minus 5% tapi disisi lain IHSG turun 10%, maka anda sejatinya masih mencatatkan kinerja investasi yang lebih baik dibanding kinerja rata-rata investor di seluruh jagat BEI, dan nilai porto anda tetap berpeluang untuk kembali tumbuh signifikan di tahun berikutnya. Just remember, kita tidak invest di saham untuk sekali ini saja, melainkan untuk seterusnya. Dan jika pada tahun ini IHSG tidak menghasilkan kinerja yang memuaskan, maka secara statistik itu justru bagus karena IHSG akan lebih ‘enteng’ untuk menanjak naik pada tahun berikutnya. At the end, we’ve done this before, so why worry?

Komentar

Anonim mengatakan…
Besok rebound nggak pak?
Sanda Wibowo mengatakan…
wah mantap pak teguh

kalau bagi saya sendiri, penyebab ekonomi agak slow down di era sekarang ya karena pemerintah mulai berhenti fokus hanya membangun wilayah jawa dan mulai menggarap daerah2 terpencil, nah sayangnya para pelaku ekonomi belum banyak yang aware tentang peluang2 baru ini dan masih berkutat di jawa saja. akhirnya yang terasa adalah "banyak duit yang hilang" padahal duitnya masih di dalam negeri, cuma udah bukan melulu di jawa.
kalo mau dilihat misalnya pt. pelni yang melayani pulau-pulau nan jauh. perombakan manajemennya terbilang memuaskan sejauh ini, mirip perbaikan manajemen kai. begitu juga bendungan2 di luar jawa sudah mulai dikejar proyeknya. tinggal tunggu swasta sadar saja tentang hal ini.
Adit123 mengatakan…
Betul kata Mas Teguh. Buat apa khawatir? Mari kita sukseskan Jakarta Great Sale 2015 !!
Hendi mengatakan…
Dan terjadi lagi pada feb 2020

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?