Megapolitan Developments
Beberapa hari lalu,
Pemerintah mengeluarkan setidaknya dua peraturan yang diharapkan akan berdampak
positif terhadap industri properti di tanah air, yang sebelumnya mulai meredup
seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Yang pertama adalah
penurunan batas minimum nilai uang muka pembelian properti, dari tadinya 30%
menjadi 20% saja. Dan kedua, investor dan warga negara asing kini diperbolehkan
untuk membeli aset properti/real estate di Indonesia. Keluarnya dua peraturan
ini segera direspon positif oleh para investor di BEI, dimana saham-saham
properti melonjak cukup signifikan dalam dua tiga hari terakhir.
However, seperti biasa
harus penulis ingatkan bahwa hanya karena Pemerintah mengeluarkan kebijakan
tertentu yang diharapkan akan
berdampak positif terhadap saham atau sektor tertentu, maka itu bukan berarti
harapan tersebut sudah pasti akan jadi kenyataan. In the end, orang-orang tetap
akan melihat kinerja keuangan untuk menentukan apakah saham dari sebuah perusahaan
layak dibeli atau tidak. Dan harus diakui bahwa untuk tahun 2015 ini, sektor
properti mulai agak lesu dimana beberapa pemain besar seperti Alam Sutera
Realty (ASRI), Pakuwon Jati (PWON), dan Summarecon Agung (SMRA), semuanya
mengalami penurunan laba pada Kuartal I. Beberapa perusahaan besar lainnya
seperti Lippo Karawaci (LPKR), Bumi Serpong Damai (BSDE), dan Ciputra
Development (CTRA), mereka memang masih mencatat kenaikan laba, namun dengan
outlook yang juga kurang prospektif seiring dengan lesunya perekonomian, karena
sektor properti itu sendiri memang sangat rentan terhadap risiko perubahan
ekonomi makro. Pada tahun 2008 lalu industri properti di Indonesia juga hampir
habis sama sekali karena imbas krisis global, dan bahkan saham ASRI ketika itu
juga sempat mati di level gocapan.
But, okay, mari kita
mencoba bersikap lebih optimis disini, dimana peraturan Pemerintah ini mungkin
akan mampu menggairahkan kembali industri properti di tanah air, atau minimal
mempertahankan momentum pertumbuhannya yang sudah terjadi sejak tahun 2011 lalu.
Pertanyaannya sekarang, kira-kira saham properti apa yang paling menarik? Nah,
kalau kita balik lagi ke kaidah value investing dimana saham yang bagus adalah
yang: 1. Kinerja keuangan/fundamentalnya bagus, dan 2. Valuasi sahamnya masih
rendah, maka agak sulit untuk menemukan kedua kriteria tersebut pada enam saham
properti yang sudah disebut diatas. Karena sebagai perusahaan properti yang
sudah punya track record kinerja yang excellent serta dan reputasi yang
mentereng, maka jangan harap anda bisa beli ASRI pada PBV 1.0 kali, misalnya.
Thus, perhatian mungkin bisa diarahkan pada
saham-saham dari perusahaan properti yang lebih kecil. In fact, beberapa
perusahaan properti kecil mungkin bisa menjadi alternatif pilihan investasi
jangka panjang karena mereka masih dalam tahap tumbuh dan berkembang (enam
perusahaan properti yang sudah disebut diatas, mereka semua sudah tumbuh besar
dan sudah menikmati masa jayanya sejak tahun 2011), sehingga otomatis prospek
pertumbuhannya masih terbuka lebar. Jadi selain kita bisa memperoleh harga yang
lebih murah, maka jika anda beruntung, anda juga mungkin bisa memperoleh gain 2 - 3 lipat dalam 2 - 3 tahun, sama seperti jika anda membeli saham ASRI,
PWON, atau Lippo Cikarang (LPCK) pada tahun 2011 lalu.
Salah satu small
player itu adalah Megapolitan
Developments (EMDE). Sebagai value investor, penulis tertarik dengan EMDE
ini bukan karena prospeknya, tapi karena valuasinya yang sangat terdiskon
setelah sahamnya terus saja turun dari harga IPO-nya yakni 250, hingga pada
April kemarin sempat menyentuh 84, padahal
kinerja perusahaannya baik-baik saja. Berdasarkan pengalaman di Sri Rejeki
Isman (SRIL) dimana sahamnya juga sempat terus turun dari 300-an hingga mentok di
120, tapi toh kemudian naik lagi karena memang tidak ada yang salah dengan
fundamentalnya, maka penulis kemudian menganggap bahwa mungkin ada opportunity
di EMDE ini. Apalagi, pada harga 84 tersebut PBV-nya cuma 0.5 kali, atau
jauh lebih murah dibanding saham properti manapun di BEI.
Anyway, mari kita
pelajari EMDE ini sejak awal.
EMDE didirikan oleh dua
orang pengusaha bernama Sudjono Barak Rimba dan Lora Melani Rowas, yang
sebelumnya berprofesi sebagai agen properti, pada tahun 1976. Pada tahun 1979,
perusahaan mengembangkan proyek properti pertamanya di Kawasan Cinere, Depok, Jawa Barat, berupa perumahan diatas lahan
seluas 55 hektar. Proyek tersebut sukses besar, sehingga di tahun-tahun berikutnya
perusahaan terus membangun perumahan-perumahan baru plus sebuah mall (Mall
Cinere) di kawasan yang sama. Alhasil, pada akhir tahun 2014, dengan total luas
lahan pengembangan lebih dari 300 hektar (sementara luas Cinere sendiri hanya
1,100 hektar), maka EMDE bisa dinobatkan sebagai perusahaan properti nomor 1 di
Cinere.
But still, hingga saat
ini perusahaan masih mengembangkan Kawasan Cinere. Namun karena luas lahannya
kini mulai terbatas, maka EMDE memfokuskan pengembangan propertinya pada satu kawasan
superblok dengan nama Centro Cinere. Di Centro Cinere ini
terdapat Mall Cinere Bellevue, kompleks pertokoan dan restoran Cinere Terrace,
apartemen Cinere Suites, kompleks ruko Cinere One Commercial Park, dan
perumahan Cinere One Residence. The good news is, sebagian besar dari
proyek-proyek properti tersebut sudah selesai dibangun, dan akan mulai
menghasilkan pendapatan bagi perusahaan pada
tahun 2015 ini.
Kedepannya, masih di
superblok Centro Cinere, EMDE juga akan membangun kompleks kondominium Cinere
Mansion, menara perkantoran The Block, dan menara perkantoran The Marche.
However, beberapa proyek tersebut masih dalam tahap perencanaan, dan baru akan
bisa menghasilkan pendapatan paling cepat dalam waktu 2 – 3 tahun mendatang.
Dan jika seluruh proyek
properti di superblok Centro Cinere ditujukan untuk konsumen kelas menengah
keatas, maka EMDE juga masih punya dua kompleks perumahan di Cinere yakni
Cinere Parkview dan Graha Cinere, dimana unit-unit rumah di dua kompleks
tersebut dijual pada harga yang lebih terjangkau. Untuk Cinere Parkview,
sebagian kompleks perumahannya sudah selesai dibangun dan sudah bisa
dipasarkan, sementara Graha Cinere sejauh ini masih berupa perencanaan (masih
berupa landbank).
Diluar Kawasan Cinere,
perusahaan mulai ‘keluar kandang’ pertama kali pada tahun 2002, ketika itu
dengan membangun ‘Bellagio Residence & Mansion’, sebuah kompleks gedung
perkantoran, apartemen, kondominium, dan mall di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Dan proyek Bellagio ini juga sukses
besar. Namun karena keterbatasan lahan di Mega Kuningan, maka proyek Bellagio
ini pada akhirnya selesai dibangun dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut
lagi.
Karena itulah, pada tahun
2005, perusahaan merambah Kawasan Sentul,
Bogor, dengan membangun superblok ‘Vivo Sentul’. So far, beberapa proyek
properti yang sudah mulai digarap disini adalah Galleria Kiosk Mall (sudah
selesai dan sudah siap beroperasi), kompleks pertokoan Vivo Walk, dan kompleks
ruko Bizpark. Jika proyek-proyek tersebut sukses dan laris manis, maka
selanjutnya akan dibangun shopping mall, hotel, kompleks apartemen, dan
perumahan. EMDE sudah menguasai lahan seluas 200 hektar disini, sehingga jika
semuanya berjalan lancar, Sentul bisa menjadi ‘Cinere berikutnya’ dalam
beberapa tahun kedepan.
Sudah cukup? Belum,
satu lagi: Sejak tahun 2008 lalu, EMDE ikut masuk ke Kawasan Karawaci, Tangerang, dengan membangun superblok ‘The
Habitat’, yang berisi kompleks apartemen khusus mahasiswa, hotel, dan apartemen
untuk umum. Sejauh ini beberapa gedung apartemen untuk mahasiswa sudah selesai
dibangun, alias sudah siap jual, sementara pembangunan hotel dan apartemen
untuk umum akan menyusul dalam 1 – 2 tahun mendatang.
Siap Panen
Dengan demikian, pada
tahun 2015 ini perusahaan memiliki tiga lokasi properti yang sedang
dikembangkan yakni di Cinere, Sentul, dan Karawaci. Namun yang terpenting
adalah, pada tiga lokasi tersebut sudah terdapat beberapa proyek properti yang
‘siap panen’, alias sudah selesai dikerjakan dan siap dipasarkan. Terus terang,
penulis sebelumnya sudah sering ketemu dengan perusahaan properti di BEI yang
punya rencana besar untuk mengembangkan properti disini dan disitu, namun
semuanya masih sebatas rencana saja, sementara
propertinya belum benar-benar dibangun. Poinnya disini adalah, bahkan kalaupun pengerjaan
proyeknya berjalan lancar, maka hasilnya (laba bersihnya) baru akan dinikmati 2
– 3 tahun kemudian, karena untuk membangun banyak properti di satu kawasan yang
luas, itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Dan bagi kami investor
di pasar saham, prinsipnya sederhana saja: Selama perusahaan belum benar-benar
membukukan laba bersih yang besar di laporan keuangannya, maka jangan harap
sahamnya akan naik.
However, EMDE berbeda.
Actually, pada tahun 2011 lalu, perusahaan juga hanya ‘bermodalkan’ rencana
untuk bangun ini dan itu, namun belum ada yang benar-benar dikerjakan. Tapi
sekarang, atau 3 tahun kemudian, sebagian
besar dari rencana tersebut sudah terealisasi. Pendapatan serta laba bersih
EMDE sendiri terus naik sejak tahun 2011 lalu, hingga terakhir tercatat Rp26
milyar untuk Kuartal I 2015, dimana itu mencerminkan annualized ROE
17.2%.
Dan pihak manajemen
sendiri, untuk tahun 2015 ini berani mentargetkan pendapatan Rp700 milyar, naik
lebih dari dua kali lipat dibanding 2014, karena ya itu tadi: Dalam waktu dekat
ini perusahaan akan panen pendapatan dari unit-unit rumah, apartemen, kios,
hingga sewa mall yang sudah selesai di bangun, baik itu di Cinere, Sentul,
ataupun Karawaci. Jika target tersebut tercapai, maka dengan asumsi margin labanya
tetap terjaga di level 25% (margin laba EMDE terbilang besar karena utang
perusahaan relatif kecil), maka laba EMDE akan mencapai Rp175 milyar pada tahun
penuh 2015 ini, dan ROE-nya akan mencapai 30%. Well, sounds good eh?
Valuasi yang sangat
rendah
Terlepas dari
kemungkinan adanya lompatan laba tersebut (selain karena, pada akhirnya,
seorang value investor gak boleh membeli saham hanya karena ‘prospek’), yang
paling menarik dari EMDE ini adalah valuasi sahamnya yang sangat rendah. Diatas
sudah disebutkan bahwa pada harga 84, PBV EMDE ini hanya 0.5 kali. Dan pada
harganya saat ini yakin 124, PBV-nya
masih 0.7 kali, dan PER-nya 3.9 kali. Rendahnya valuasi EMDE karena memang
sahamnya secara umum terus turun sejak dia listing pada harga 250, pada Januari
2011 lalu.
Dan awalnya penulis juga
bingung, apa yang menyebabkan EMDE turun. Namun kemudian penulis menemukan
jawabannya: Pada Kuartal I 2011 lalu (laporan keuangan pertama yang dirilis
perusahaan setelah sahamnya IPO), EMDE mencatat rugi bersih Rp3 milyar karena
penurunan pendapatan. Dan hingga akhir tahun 2011, laba EMDE untuk tahun 2011
tersebut tercatat hanya Rp3 milyar, atau anjlok dibanding Rp24 milyar di tahun
sebelumnya (2010). Penurunan tersebut bukan karena perusahaan sedang bermasalah
atau apa, tapi karena memang pada tahun 2011 tersebut EMDE baru saja menjual
habis unit-unit propertinya, sementara unit-unit properti berikutnya masih
dalam tahap dibangun alias belum siap dijual.
Tapi apapun itu,
kinerja perusahaan yang tampak buruk tersebut menyebabkan sahamnya langsung
turun tak lama setelah IPO. Memasuki tahun 2012 hingga 2014, laba EMDE
sebenarnya mulai kembali merangkak naik. Namun karena ROE-nya masih tetap saja
rendah (pada tahun 2014, ROE EMDE tercatat 7.5%, atau jauh dibawah ASRI dkk),
maka investor tetap saja membuang sahamnya dan alhasil EMDE terus saja turun
hingga valuasinya menjadi unbelievably
undervalue. Nah, jadi dalam hal ini kita sepertinya ketemu lagi dengan
saham korban ‘drama queen’ disini. Bagi anda yang belum mengerti apa itu drama
queen, silahkan baca lagi artikelnya
disini.
Kabar baiknya, pada
tahun 2015 ini ROE EMDE tampak mulai tumbuh signifikan (sudah diatas 17%). Dan
dengan mempertimbangkan faktor ‘siap panen’ diatas, maka pencapaian ini
seharusnya akan kembali meningkat hingga akhir tahun nanti, dan mungkin akan meningkat lagi pada tahun-tahun selanjutnya.
Jadi yah, mau bilang
apa lagi? This is our opportunity!
However, dibalik
peluang maka selalu ada faktor risiko. Dan risiko bagi EMDE ini adalah terkait
track record manajemennya yang beberapa kali tersangkut masalah hukum. Pada
tahun 2012, perusahaan digugat Rp50 milyar oleh mantan komisarisnya, Charles
Dulles Marpaung, karena yang bersangkutan merasa dipecat secara sepihak oleh
perusahaan. Dan pada saat inipun perusahaan sedang terlibat sengketa tanah
dengan beberapa pihak terkait lahan untuk perumahan Graha Cinere (dan itu pula
sebabnya perumahannya masih belum dibangun). Belum ada kejelasan soal kapan
sengketa ini akan selesai. Selain itu faktanya adalah bahwa
sektor properti belakangan ini memang mulai agak lesu.
Namun diluar masalah
hukum diatas, penulis tidak melihat masalah lainnya terkait perusahaan (dan untungnya Graha Cinere ini hanya sebagian kecil dari proyek-proyek EMDE secara keseluruhan). Sementara terkait risiko lesunya sektor properti, pemerintah juga sudah mulai mengeluarkan
kebijakan yang meringankan, dan pihak manajemen sendiri tidak merevisi target
penjualannya yang Rp700 milyar tadi. So let see, apakah hingga akhir tahun
nanti perusahaan bisa memenuhi target penjualannya atau tidak, dimana jika
target tersebut tercapai, maka sahamnya akan terbang entah sampai berapa (dan
dengan mempertimbangkan pengalaman perusahaan sebagai developer properti selama
35 tahun terakhir dengan track record yang excellent,
maka dengan catatan tidak ada peristiwa force majeure, target tersebut
terbilang realistis).
Tapi jika tidak? Well,
asalkan labanya masih naik dan tidak ada kejadian luar biasa, maka tetap saja sahamnya tidak punya alasan untuk
turun karena valuasinya sudah sangat murah (fluktuasi IHSG seharusnya tidak
akan terlalu berpengaruh karena EMDE ini tidak likuid. Dia baru akan likuid
nanti kalau harganya sudah diatas). Jadi kalau bagi penulis sendiri, EMDE ini
adalah investasi yang sangat menarik karena dia tidak hanya menawarkan peluang
lompatan dalam waktu relatif dekat, namun disisi lain risikonya juga terbatas. Faktor risiko inilah yang seringkali dilupakan investor karena terlalu fokus pada faktor 'potensi' dan 'prospek' saja dari sebuah saham (terus terang, penulis juga dulu begitu). Namun untuk EMDE ini, penulis bisa katakan bahwa you've got your back covered.
PT Megapolitan Developments, Tbk (EMDE)
Rating Kinerja pada
Kuartal I 2015: A
Rating Saham pada 124: AA
Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere Investama sedang dalam posisi memegang EMDE di harga rata-rata 97. Posisi ini dapat berubah
setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Buletin analisis IHSG & stock-pick saham
bulanan edisi Juli 2015 sudah terbit tanggal 1 Juli kemarin. Anda masih bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi/tanya jawab langsung
dengan penulis untuk member.
Komentar
Dalam hal value investing apakah Pak Teguh memperhatikan likuiditas sahamnya? maksud saya begini, contoh dalam kasus EMDE ini yang bid offernya hanya ratusan lot yang mana katakanlah untuk membeli sahamnya seharga 100 juta saja (bukan uang yang besar saat ini) bisa menaikkan/turunkan sahamnya cukup drastis.. Anggaplah kita berhasil mengumpulkan sampai 100 juta, tapi masalahnya akan muncul saat kita ingin menjualnya. masalah lain timbul jika ihsg tiba2 rontok maka biasanya saham2 seperti ini bukan berarti tidak akan rontok (kita ambil contoh ASRI seperti yang pak Teguh bahas diatas 2008 dia sempat mendekam di 50) dan akhirnya kita tidak bisa berbuat apa2.. padahal kalau kita pegang saham lain yang likuid, kita bisa memilih opsi switch ke saham2 bluechip yang juga turun besar dan kemungkinan akan naik lebih dahulu saat ihsg pulih.. Mohon pandangan pak Teguh akan hal ini. Terimakasih
Salam super,
Indra
sampai ketemu di harga atas..
Dan kita sendiri kalo ambil barang tertentu gak pernah langsung sekaligus, melainkan lebih suka nyicil dikit-dikit.
Untuk bluechip kita juga ada pegang, kita pegang EMDE bukan berarti di porto hanya ada EMDE aja. IHSG mau naik atau turun, kita sudah siap semuanya.
Salam super,
Indra
kalau untuk emde keliatannya bener pak tidak turun lagi.
contoh saham yang akhirnya turun dibawah harga yang sudah rendah
eraa di 800.nrca di 1000.wiim di 500.maaf ya pak cuma opini saja.hati hati dalam memprediksi harga saham.saya yakin bapak sangat berkompeten dalam valuasi fundamental,tapi di dunia saham bandar punya kepentingan tertentu.wassalam
saya kok melihat pergerakan EMDE sampe saat ini tgl 3 juli harga Rp. 172 sampai sejauh ini tapi tidak ada pergerakan Market Maker yang akumulasi.. sepertinya ini indikasi mark up/ menggoreng saham alias transaksi semu Market Maker dgn membeli apa yg dijualnya sendiri..
seperti kasusnya saham MBSS tahun lalu yg direkomendasikan mas teguh..
Nampaknya Artikel mas teguh ini memang punya pengaruh bagi Market Maker indonesia (juga keliatan sih situsnya mas teguh peringkat 7 di indonesia -info dr sahamsyariah.com-)
saran saya untuk saham EMDE ini maen tektok aja jangan simpan jangka panjang dulu (ntar kayak saham MBSS hehe)dan jangan pake dana besar sampai ada indikasi Market Maker alias Bandar Akumulasi..
Ada yang mau menambahkan?
Tks
MBSS pendapatannya bergantung pada perusahaan batubara
jadi jelas klo batubara turun... pendapatan MBSS harusnya berpengaruh.. seperti artikel yg diutarakan teguh hidayat thn 2014 tentang mbss
tidak seperti yang anda katakan goreng sana sini...