Sri Rejeki Isman (Sritex)
Seperti yang anda
ketahui, pada saat ini sekitar 90% emiten di BEI sudah merilis laporan
keuangannya masing-masing untuk periode Kuartal I 2015. Kabar buruknya,
sebagian besar dari mereka mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan. Bahkan
perusahaan sekelas Astra International (ASII) sekalipun mencatat penurunan laba
hingga 15%, terburuk dalam 10 tahun terakhir. Melihat fakta tersebut maka tidak
heran jika dalam semingguan terakhir ini IHSG anjlok hingga hampir 7% (meski
belakangan rebound kembali), karena memang penulis sendiri, kalau saya memegang
ASII atau saham-saham lainnya yang perusahaannya mencatatkan kinerja yang
kurang oke, sudah tentu akan memilih untuk keluar dulu.
Kabar baiknya, dari
500-an perusahaan di BEI sudah tentu tidak semuanya mencatatkan kinerja yang
buruk. Jika anda jeli, maka anda akan tetap bisa menemukan beberapa saham yang
valuasinya masih cukup rendah, dan kinerja perusahaannya juga tidak ada
masalah.
Dan salah satu saham
tersebut adalah Sri Rejeki Isman (SRIL).
SRIL mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 12.3% pada Kuartal I 2015,
dan ROE 24.0%. Dengan PER hanya 7.3 kali pada harga 296, maka tentu saja saham
ini relatif murah terutama ketika investor seperti tidak punya pilihan lain
kecuali mengalokasikan dana mereka pada saham-saham yang masih mencatatkan
kinerja yang bagus di awal tahun 2015 ini, salah satunya SRIL. Anyway, mari
kita pelajari SRIL ini sejak awal.
SRIL pada saat ini merupakan
perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, atau bahkan di Asia Tenggara (dari
sisi omzet penjualan), yang bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sejarah
perusahaan dimulai pada tahun 1966 dimana pendiri perusahaan, Almarhum Haji Muhammad Lukminto, ketika itu
membuka toko produk-produk tekstil di Pasar Klewer, Kota Solo. Dua tahun
kemudian, HM Lukminto sukses mendirikan pabrik kain pertamanya di Jalan
Baturono No.81A, Solo. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1978, PT Sri
Rejeki Isman, atau disingkat Sritex,
resmi berdiri.
Tahun-tahun berikutnya,
perusahaan terus berkembang. Tahun 1982, Sritex membuka pabrik tenun
pertamanya. Pada tahun 1992, Sritex mencapai salah satu milestone-nya
dengan menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi, dengan menguasai empat
lini produksi yakni pemintalan, penenunan, pencelupan, dan garmen. Pada tahun
1994, Sritex untuk pertama kalinya memperoleh kepercayaan dari Pemerintah Jerman
untuk memproduksi seragam militer bagi Tentara Jerman, dan dari situlah Sritex
kemudian membangun reputasinya sebagai salah satu produsen seragam militer paling
terkemuka di dunia.
Tahun
2006, HM Lukminto pensiun, dan posisinya sebagai chairman Sritex
digantikan oleh putra pertamanya, Iwan
Setiawan Lukminto. Di tangan generasi kedua perusahaan, perkembangan bisnis
Sritex bahkan melaju lebih kencang lagi dalam waktu yang relatif singkat,
dimana pada tahun 2013 Sritex resmi listing di BEI, mengakuisisi salah satu
kompetitornya, PT Sinar Pantja Djaja (sehingga memperbesar kapasitas produksi perusahaan),
dan melipat gandakan kapasitas produksi garmen-nya menjadi 12 juta pakaian per
tahun. Pada
saat ini Sritex menjadi supplier tetap seragam militer bagi lebih dari
30 negara di seluruh dunia, membuat seragam bagi karyawan di perusahaan-perusahaan
di Indonesia, membuat baju dan produk-produk fashion lainnya untuk dijual ke
toko ritel, memproduksi benang, kain mentahan, dan fabric. Dari tadinya hanya
memiliki toko tekstil di Pasar Klewer, Solo, Sritex kini memiliki sentra
produksi berupa kompleks pabrik seluas 52 hektar di Sukoharjo, belum termasuk
kompleks pabrik kedua di Semarang, Jawa Tengah, seluas 18 hektar, dan pada
akhir tahun 2014 mempekerjakan total 16,800 karyawan.
Nah,
kalau anda mempelajari bisnis tekstil di Indonesia, maka anda akan menemukan
beberapa fakta berikut:
Yang
pertama, diluar komoditas seperti batubara dan CPO yang sempat booming beberapa
tahun lalu, Indonesia juga memiliki produk tekstil sebagai salah satu produk andalan
untuk ekspor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang
tahun 2013 lalu Indonesia mengekspor pakaian jadi bukan rajutan (jadi belum
termasuk produk-produk tekstil lainnya) senilai US$ 3.9 milyar. Nilai ekspor
ini, meski jauh lebih kecil dibanding nilai ekspor batubara dan CPO senilai
total lebih dari US$ 40 milyar, tapi masih lebih besar dibanding nilai ekspor
dari produk andalan ekspor lainnya, seperti sepatu dan plastik. Pada tahun 2013
tersebut, berdasarkan data dari Statista.com, Indonesia juga termasuk salah
satu dari sepuluh negara eksportir tekstil terbesar di dunia.
Kedua,
seperti halnya industri minyak dan gas, mayoritas industri tekstil di Indonesia
dikuasai asing, terutama asal Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, atau
setidaknya demikilanlah jika kita melihat komposisi pemegang saham dari 19
perusahaan tekstil yang listing di BEI (sementara secara keseluruhan, Indonesia
memiliki 500-an perusahaan tekstil). SRIL adalah salah satu dari sedikit perusahaan
tekstil di Indonesia yang masih dikuasai oleh pemilik lokal, tapi untungnya dia
justru berstatus sebagai perusahaan tekstil terbesar.
Dan
ketiga, entah itu karena adanya transfer pricing, kesulitan dalam
memperoleh bahan baku produksi, atau lainnya, perusahaan-perusahaan
tekstil yang listing di BEI kebanyakan mencatatkan kinerja yang buruk dalam
jangka panjang. Kalau kita ambil contoh dua kompetitor utama SRIL, yakni Pan Brothers (PBRX), dan Apac Citra Centertex (MYTX), maka PBRX memiliki margin laba yang sangat
tipis (kurang dari 3%) sehingga ROE-nya nggak nyampe 10%. Untuk MYTX malah
lebih parah lagi, dimana perusahaan terus saja merugi sejak tahun 2008 sampai
sekarang. Kalau melihat fakta bahwa Indonesia adalah salah satu produsen tekstil
terbesar di dunia, termasuk kalau di Bandung sendiri penulis bisa melihat ada
banyak pengusaha pemilik pabrik tekstil atau toko pakaian yang kaya raya, maka
hal ini menjadi aneh: Ngapain aja para perusahaan tekstil itu sampe rugi melulu?
However, hal yang
berbeda terjadi pada SRIL. Antara tahun 2010 – 2014, perusahaan selalu mencatatkan
margin laba antara 5 – 8%, dan perolehan laba itu sendiri senantiasa naik dari
tahun ke tahun. Dan pada awal tahun 2015 ini, trend kenaikan tersebut masih
berlanjut dimana seperti yang sudah disebut diatas, pada Kuartal I 2015 laba
bersih perusahaan naik 12.3% dibanding periode yang sama tahun 2014, dan ROE tercatat
24.0%. Karena disisi lain nilai ekuitas SRIL sebenarnya melonjak karena adanya
tambahan modal sebesar Rp1.3 trilyun dari IPO-nya pada tahun 2013, maka ROE
sebesar 24.0% tersebut terbilang sangat baik, karena itu berarti bahwa
perusahaan bisa dengan cepat menggunakan dana hasil IPO-nya (hanya butuh waktu
setahun) untuk melakukan pengembangan usaha.
Lalu bagaimana dengan
prospek perusahaan kedepan?
Sebagai sebuah
perusahaan, SRIL boleh dibilang mengalami masa-masa keemasannya terutama sejak
tampuk kepemimpinan perusahaan diambil alih oleh Iwan Setiawan Lukminto, dan
juga adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto (Iwan S. menjadi komisaris, sementara Iwan
K. menjadi direktur), dimana sejak tahun 2006 lalu SRIL melakukan banyak
pembangunan pabrik baru untuk memperbesar kapasitas produksi, meningkatkan
efisiensi, memperluas diversifikasi produk, hingga menambah jaringan pelanggan.
And so far, berbagai ekspansi tersebut sukses besar hingga SRIL sekarang ini menjadi
perusahaan tekstil terbesar di Indonesia (pada tahun 2006, SRIL sama sekali
belum sebesar sekarang).
Namun proses ekspansi
itu sendiri masih jauh dari kata berhenti. In fact, perusahaan masih punya
rencana untuk meningkatkan kapasitas produksinya hingga tahun 2016 nanti (dihitung
sejak 2006, berarti proses ekspansinya membutuhkan waktu total 10 tahun), salah
satunya produksi pakaian jadi yang ditargetkan akan mencapai 30 juta potong
pada tahun 2016, meningkat 150% dibanding 2013.
Lalu dari mana
kebutuhan modalnya? Well, setelah sukses meraup Rp1.3 trilyun dari IPO-nya di
BEI pada tahun 2013 lalu (yang langsung habis untuk membangun ini dan itu), setahun
kemudian SRIL menerbitkan obligasi senilai US$ 270 juta di Singapura, dimana
US$ 110 juta diantaranya digunakan untuk melunasi utang bank (refinancing,
utang bank dengan bunga 11 – 12% per tahun diganti dengan utang obligasi dengan
bunga yang lebih murah, yakni 9% per tahun), sementara selebihnya dipakai untuk
belanja modal.
Karena adanya utang
obligasi ini maka nilai kewajiban SRIL tercatat total US$ 433 juta pada Kuartal I 2015, atau
mencapai 1.7 kali nilai ekuitasnya sebesar US$ 247 juta, dan menurut penulis
sendiri ini DER sebesar itu agak berisiko. Wujud utangnya yang dalam mata uang
USD juga membuat kinerja SRIL menjadi rentan terhadap risiko pelemahan nilai
tukar Rupiah yang terjadi akhir-akhir ini. However, karena proses ekspansi yang
dilakukan SRIL sudah lebih dari separuh jalan (dan sejauh ini semuanya
lancar-lancar saja), maka penulis optimis bahwa manajemen akan mampu
menggunakan dana hasil penerbitan obligasinya secara optimal. Pelemahan nilai
tukar Rupiah juga seharusnya tidak akan berdampak negatif karena toh mayoritas pendapatan
SRIL juga dalam mata uang USD. In fact, jika ada perusahaan-perusahaan di BEI
yang diuntungkan karena pelemahan Rupiah, maka SRIL adalah salah satu
perusahaan tersebut mengingat SRIL membayar biaya bahan baku dan tenaga kerja
dalam mata uang Rupiah (posisi SRIL sebagai perusahaan tekstil yang
terintegrasi dari hulu ke hilir menyebabkan perusahaan tidak tergantung pada
impor bahan baku), namun memperoleh pendapatannya dalam mata uang USD. Dan
tidak seperti harga CPO atau batubara yang terus saja turun dalam tiga tahun
terakhir, harga produk-produk tekstil yang dihasilkan perusahaan terbilang
sangat stabil.
Jadi jika tidak ada
aral melintang ataupun kejadian luar biasa (force majeure) terentu, maka
kinerja positif serta pertumbuhan aset yang signifikan yang dihasilkan oleh
SRIL sejauh ini seharusnya bisa dipertahankan paling tidak hingga tahun 2016
nanti. And by that I pointed to you, private equity guys, ‘coz you do like
prospect, eh?
Kemudian bagaimana
dengan sahamnya?
Sejak listing perdana
di BEI pada bulan Juni 2013 di harga 240,
pergerakan SRIL terbilang fluktuatif dimana meski ia sempat naik sampai 300
pada Januari 2014, tapi selanjutnya ia malah
turun, dan terus saja turun hingga sempat menyentuh 120 pada Oktober 2014, atau anjlok persis 60% dibanding harga
puncaknya, yang mungkin itu karena investor khawatir dengan utang obligasi perusahaan
sebesar US$ 270 juta, dimana nilainya dalam mata uang Rupiah tentu akan
meningkat jika Rupiah itu sendiri melemah.
However, seperti yang
sudah dibahas diatas, pelemahan Rupiah seharusnya tidak akan berdampak negatif
terhadap perusahaan. Penulis sendiri mulai tertarik dengan saham ini ketika ia
berada di posisi 150-an, karena
ketika itu PBV-nya cuma 1.1 kali sementara kinerja perusahaan terbilang no
problemo (saya ketika itu sudah membahas dan merekomendasikan sahamnya di ebook
kuartalan edisi Kuartal III 2014). Plus, SRIL berstatus sebagai leader di
bidangnya, dan juga menawarkan prospek pertumbuhan jangka panjang seperti yang sudah
dibahas diatas. Meski ketika itu sahamnya masih downtrend berat sampai tinggal
sisa 120-an perak, namun setelah penulis pertimbangkan, no way sahamnya bisa
sampai ke gocap. Malahan jika perusahaan sukses membukukan kenaikan laba pada
Kuartal I 2015 nanti, maka sahamnya seharusnya bakal sukses naik kembali.
Dan kabar baiknya, SRIL
memang sukses mencatatkan kinerja positif di Kuartal I 2015. Tapi kabar
buruknya, sahamnya juga sudah terbang duluan. Setelah sideways cukup lama di
rentang harga 150 – 160 dari November 2014 hingga Februari 2015, sejak awal
Maret lalu SRIL mulai merangkak naik dan teruuus saja naik hingga sekarang
sebentar lagi mencetak new high. Tapi dari sisi valuasi dimana harga 296
masih mencerminkan PER 7.6 kali dan PBV 1.7 kali, serta dengan memperhatikan outlook
perusahaan yang cukup cerah, maka peluang kenaikan lebih lanjut bagi SRIL
mungkin masih terbuka. Secara konservatif saja, dengan mempertimbangkan bahwa PBV
yang wajar bagi SRIL ini adalah 2.0 kali, maka targetnya sekitar 350. Fluktuasi IHSG sepertinya tidak
berpengaruh dimana meski semingguan ini IHSG turun tajam, namun SRIL malah
terus saja naik, dan kenaikannya tersebut memang ditopang oleh fundamentalnya
yang juga bagus.
Hanya saja, berdasarkan
pola pergerakan saham ini di masa lalu, SRIL memang cenderung fluktuatif dimana
dia bisa cepat naik, tapi juga bisa dengan cepat turun. Kenaikan hingga nyaris
2 kali lipat (dari 150-an hingga sebentar lagi tembus 300) hanya dalam tempo
dua bulan juga tentu saja terlalu cepat, dimana kedepannya mungkin akan ada
investor yang profit taking dari SRIL ini sehingga menyebabkan sahamnya turun
kembali. Secara teknikal, support kuat hingga beberapa bulan kedepan bagi SRIL
ini adalah di level 225-an, atau
cukup jauh dibawah posisi harganya saat ini (jadi secara teknikal pula, anda baru
boleh akumulasi SRIL di harga 225-an tersebut).
Karena itulah, jika
anda tertarik dengan saham ini maka strateginya adalah sebagai berikut: 1.
Jadikan SRIL ini sebagai investasi untuk jangka minimal menengah (3 – 12 bulan),
dimana target 350 tadi mungkin baru bisa dicapai, dengan catatan tidak terjadi force
majeure, dalam waktu hingga setahun dari sekarang. Lupakan soal trading
jangka pendek apalagi swing, karena SRIL ini terlalu bagus untuk itu, dan
2. Sebelum waktu setahun tersebut ada kemungkinan SRIL ini bisa turun dulu,
mungkin mentoknya sampai 225 tadi. Karena itulah anda sebaiknya membeli SRIL ini
secara sedikit demi sedikit sambil ‘testing the ground’, yakni untuk mengetahui
bahwa kalau saham ini nantinya turun lagi maka dia mentoknya sampai berapa. Jangan
beli sekaligus terutama karena posisi IHSG juga masih rentan koreksi lanjutan,
dimana kalau ada orang yang beli SRIL ini pake duit margin dan dia kena force
sell, maka SRIL tetap akan terseret turun meski fundamentalnya nggak
kenapa-napa.
Okay, I think that’s
all. Any comments? :)
PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (SRIL)
Rating Kinerja pada
Kuartal I 2015: A
Rating Harga Saham pada 296: A
Disclosure: Ketika artikel ini
dipublikasikan, Avere Investama sedang dalam posisi memegang SRIL
di harga beli rata-rata 274. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa
pemberitahuan sebelumnya.
Pengumuman: Buletin Bulanan Special Edition yang berisi: 1.
Analisis lengkap posisi IHSG, 2. Tips & strategi investasi/trading disaat
pasar turun, dan 3. Stockpick Saham, sudah terbit hari Senin, tanggal 4
Mei kemarin. Anda masih bisa memperolehnya
disini. Gratis ebook kuartalan edisi Kuartal II 2014 bagi member baru.
Buku Kumpulan Analisis Saham
edisi Kuartal I 2015 (ebook kuartalan) sudah terbit tanggal 11
Mei kemarin. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
SRIL memang bagus, tapi tumben sekarang bawa2 'secara teknikal'?
Kembali ke masalah valuationnya, saya rasa semua investors punya cara melihat yg berbeda, walaupun sama2 value-investing. Dan biasanya, itu tidak ada yg benar dan salah, tergantung kapan kita meng re-evaluasi saham tersebut. Suatu hari kalau SRIL naik tinggi, TH mungkin mengatakan dia benar. Eh, 2 minggu kemudian kalau SRIL terkoreksi, si pemberi komentar akan merasa dia lebih benar. Bukankah begitu?
sekarang udah turun ke 330---350
kan sekarang KRAS lagi bikin pabrik baru ( Blast Furnace hampir selesai dan HSM II sudah peletakan batu)
JuGa sdg kerjasama bikin pabrik baru dgn NIPPON STEEL dan OSAKA STEEL
saya khawatir, tanpa memahami keunggulan sril yang sebenarnya kita hanya akan membeli angka-angka, rasio-rasio dan grafik yang naik tapi dengan ancaman-ancaman penurunan dan kemungkinan bahwa ini bisa saja sunset business atau punya incoming threat.
sebagai contoh keunggulan yg saya maksud, bisnis sawit kita misalnya, kita punya keuntungan komparatif dari sisi iklim, dan produktifitas tanaman yang berkali lipat sibandingkan produk substitusinya, apakah sril punya sesuatu seperti itu bila dibandingkan pesaing di luar egeri mengingat sril punya tujuan pasar internasional.
Dulu ada juga direktur pemberani, dari CPGT.
Jika menganut prinsip dont lose money, paling tidak patut ditunggu tahun depan, saat ROA SRIL 10% setidaknya.
Dan lebih baik ketinggalan kereta daripada berbalik arah. Walaupun melihat growth sih sepertinya nyampe.
Risiko SRIL adalah kegagalan bersaing lawan bangladesh dan china. Itu yang sulit diketahui. Apalagi ternyata dari tahun ke tahun penjualannya ternyata berhasil naik.
Ambil dari sekarang ibarat setengah gambling.
Maaf masih awam...