PGAS, Bluechip at Bargain Price

Warren Buffett pernah mengatakan dalam salah satu annual letter-nya, ‘Kami menyukai untuk berinvestasi pada perusahaan yang sudah berdiri dan beroperasi selama lebih dari 100 tahun. Kami tidak mau ambil risiko dengan berinvestasi pada perusahaan start-up yang belum memiliki track-record kinerja yang panjang.’ Pendek kata, Buffett lebih suka berinvestasi pada perusahaan yang sudah mapan ketimbang perusahaan yang baru berdiri ‘kemarin sore’. However, ketika prinsip ini diterapkan di Indonesia maka investor mungkin akan mengalami kesulitan. Sebab, berapa banyak sih perusahaan yang listing di BEI yang sudah berusia lebih dari 100 tahun? Lha wong Republik Indonesia sendiri baru berdiri pada tahun 1945 bukan?

Tapi untungnya, Indonesia bukannya tidak memiliki perusahaan yang sudah berusia lebih dari satu abad, meski memang jumlahnya sangat sedikit. Salah dari perusahaan tersebut adalah Perusahaan Gas Negara (PGAS). Secara formal, PGAS memang baru berdiri pada tahun 1965, dan juga baru listing di BEI pada tahun 2003. Namun sebagai perusahaan gas, PGAS sudah berdiri dan beroperasi jauh sebelum itu, yakni sejak tahun 1859 dengan nama LJN Eindhoven & Co., ketika itu merupakan perusahaan pertama di Indonesia (bahkan mungkin salah satu yang pertama di dunia) yang memperkenalkan penggunaan gas untuk masyarakat umum dan industri, dimana bisnis utama perusahaan perusahaan adalah mendistribusikan gas (yang terbuat dari batubara) dari lokasi tambang batubara ke kawasan perkotaan.

Hingga hari ini bisnis utama perusahaan masih sama, yakni distribusi gas, meski bukan lagi gas yang dibuat dari batubara melainkan gas alam, karena biayanya lebih ekonomis. Kemungkinan karena berstatus sebagai perusahaan pertama di bidangnya, selain karena bisnis distribusi gas merupakan bisnis yang sulit dimasuki pemain lain, maka PGAS hingga hari ini praktis merupakan penguasa tunggal di bisnis distribusi gas di Indonesia, dengan pangsa pasar 81% pada akhir tahun 2014. Kombinasi antara penguasaan pasar yang cenderung monopoli tersebut plus pengalaman selama lebih dari seratus lima puluh tahun (karena kalau cuma monopoli, toh sejatinya Pertamina, PLN, dan PT Kereta Api juga monopoli, tapi entah kenapa mereka rugi melulu), menyebabkan PGAS senantiasa mencetak keuntungan yang besar setiap tahunnya, dengan rata-rata ROE lebih dari 30% selama sembilan tahun terakhir (2006 – 2014). Alhasil, nilai aset bersih perusahaan meningkat dari US$ 569 juta pada akhir tahun 2006, menjadi US$ 2.8 milyar pada akhir tahun 2014. Ini artinya jika seseorang membeli saham PGAS pada tahun 2006 dan masih memegangnya sampai sekarang, maka terlepas dari fluktuasi harga sahamnya di market, ia secara riil telah memperoleh capital gain sebesar rata-rata 21.9% per tahun, belum termasuk perolehan dividen. Sebagai perusahaan BUMN yang sudah mapan, PGAS membayar dividen rata-rata 30 – 50% dari laba bersihnya setiap tahun kepada para pemegang saham.

Pendek kata, kalau memperhatikan track record-nya yang excellent diatas, maka PGAS ini sangat menarik untuk investasi jangka panjang. Apalagi belakangan ini perusahaan juga mulai sukses menuai pendapatan yang signifikan dari investasinya di sektor hulu migas, yang sudah dimulai sejak tahun 2011 lalu dimana perusahaan ketika itu mendirikan PT Saka Energi Indonesia sebagai kendaraan untuk mengakuisisi blok-blok migas di tanah air, entah itu secara keseluruhan ataupun sebagian, dan akuisisi-akuisisi tersebut masih dilakukan sampai sekarang. Yang terbaru, pada tanggal 15 April kemarin PGAS menambah portofolio blok migas-nya dengan mengakuisisi 11.7% participating interest di Muara Bakau PSC, Provinsi Kalimantan Timur, yang dijadwalkan akan memproduksi gas pada tahun 2017.

Logo PT Saka Energi Indonesia

Dan hasilnya, dari laba kotor perusahaan sebesar US$ 1.04 milyar di tahun 2014, terdapat US$ 115 juta atau 11% diantaranya yang berasal dari bisnis minyak dan gas. Yang perlu dicatat disini adalah, perolehan laba tersebut diperoleh ketika harga minyak dan gas sedang turun dalam beberapa bulan terakhir. Jadi jika nanti harga minyak dan gas kembali naik, maka seharusnya laba tersebut bisa lebih besar lagi. Bisnis hulu migas milik PGAS ini tampak lebih sukses dalam menghasilkan alternatif income bagi perusahaan ketimbang bisnis transmisi gas yang, meski sudah dirintis sejak tahun 1998, namun sampai sekarang hanya mampu menghasilkan laba kotor US$ 5 juta bagi perusahaan pada tahun 2014, atau sama sekali tidak signifikan. Penjelasan mengenai transmisi gas tersebut bisa dibaca lagi disini.

Kemungkinan karena kesuksesan PGAS dalam memperoleh sumber pendapatan baru dari blok-blok migas milik perusahaan, pihak manajemen kemudian lebih bersemangat untuk mengakuisisi lebih banyak lagi blok migas, dan itu sebabnya pada tahun 2014 kemarin PGAS menerbitkan obligasi senilai US$ 1.3 milyar di Singapura, dimana dananya akan digunakan untuk modal kerja termasuk akuisisi blok migas. Obligasi tersebut baru akan jatuh tempo pada tahun 2024, dengan tingkat suku bunga yang terbilang sangat murah yakni hanya 5.1% per tahun (jadi PGAS seperti dapat duit gratis, karena bahkan kalau dana hasil obligasi tersebut disimpan begitu saja di deposito bank atau surat utang negara, maka keuntungan yang diperoleh sudah lebih dari cukup untuk membayar bunga tersebut). Rendahnya tingkat suku bunga serta lamanya jangka waktu obligasi tersebut menunjukkan tingginya kepercayaan para investor di Singapura sana bahwa PGAS merupakan perusahaan yang sangat baik dan akan terus bertumbuh dalam jangka panjang, karena kalaupun perusahaan ternyata gagal dalam venture blok migas-nya, namun pendapatan perusahaan secara umum tetap tidak akan terganggu karena bisnis inti perusahaan, yakni distribusi gas, sudah memang sudah sangat settle. Karena nilai obligasinya besar (US$ 1.3 milyar itu sama dengan Rp16 trilyun, kalau pake kurs sekarang), maka tentu saja PGAS menerapkan hedging dimana nilai obligasi tersebut tidak akan terpengaruh terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar.

Lalu bagaimana dengan sahamnya?

Bagi anda yang sudah hafal dengan gaya investasi penulis, maka anda pasti sudah tahu kenapa saya tiba-tiba saja membahas PGAS ini. Yup, itu karena sahamnya tiba-tiba saja turun signifikan dalam beberapa minggu terakhir, dan seperti biasa dengan ‘dibumbui’ oleh banyak sentimen negatif. Ketika artikel ini ditulis, saham PGAS berada di posisi 4,340, yang merupakan posisi terendahnya dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan untuk tahun penuh 2014, dan dengan menggunakan posisi kurs Rupiah pada tanggal 31 Desember 2014 yakni Rp12,501 per US Dollar, maka harga tersebut mencerminkan PBV 3.0 kali dan PER 11.6 kali. Pertanyaannya tentu, apakah harga tersebut sudah cukup murah? Dalam hal ini maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Yang pertama, sebagai salah satu perusahaan paling mapan, paling konsisten, dan paling menguntungkan di BEI, maka adalah wajar jika PGAS senantiasa dihargai pada valuasi yang cukup tinggi, bisa dilihat dari PER-nya yang selalu berkisar antara 14 hingga 16 kali, terkadang bahkan lebih tinggi dari itu. However, itu bukan berarti PGAS tidak pernah dihargai pada valuasi yang rendah. Dalam lima tahun terakhir, PGAS pernah tiga kali turun hingga mendekati 30% dari posisi tertingginya, yakni pada September 2011, Desember 2013, dan sekarang. Berikut data selengkapnya:

Date
Lowest
Highest (before drop)
Change (%)
Sep-11
2,350
4,475
(47.5)
Dec-13
4,435
6,250
(29.0)
Apr-15
4,370
6,150
(28.9)

Nah, kalau berkaca pada pengalaman di bulan September 2011 dan Desember 2013, maka tidak peduli sedalam apapun penurunan PGAS, namun toh pada akhirnya dia akan naik lagi. Namun berbeda dengan dua kali koreksi sebelumnya (dan mungkin juga koreksi-koreksi sebelumnya lagi) dimana penurunan PGAS ketika itu selaras dengan pergerakan IHSG yang juga turun (pada bulan September 2011 dan Desember 2013, IHSG telah turun masing-masing 17 dan 19% dari posisi puncaknya), maka penurunan PGAS kali ini terjadi ketika pergerakan IHSG masih relatif stabil. Selain itu kalau melihat kasus koreksi di bulan September 2011, PGAS sempat turun hingga PER-nya tercatat hanya 8.5 kali. Sementara pada harganya saat ini, PER PGAS masih tercatat 11.6 kali.

Itu yang pertama. Yang kedua, setiap kali saham-saham besar (termasuk PGAS) turun maka di media selalu beredar banyak pemberitaan yang ‘menjelaskan’ penyebab penurunan tersebut, atau dengan kata lain sentimen negatif. Berdasarkan catatan penulis saja, untuk penurunan PGAS kali ini terdapat beberapa ‘bad news’ terkait perusahaan, yakni: 1. Menteri Perindustrian, Saleh Husin, mengatakan kepada pers bahwa Kemenperin mengusulkan penurunan harga jual gas sebesar 10 – 20%, dimana jika itu direalisasikan maka margin laba PGAS tentunya akan tertekan (Sebenarnyaaaa, harga jual gas dari PGAS adalah yang termurah sejagat nusantara, bahkan lebih murah dibanding gas melon. Jadi mau diturunin sampe berapa lagi?), 2. Pendapatan PGAS di tahun 2015 diprediksi turun 6% karena penyerapan gas oleh PLN berkurang (isu ini tidak valid, karena pada tahun 2014, pendapatan PGAS dari PLN tercatat US$ 624 juta, masih naik dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 575 juta. Lagipula kalau benar pendapatan dari PLN berkurang, maka itu tidak bepengaruh signifikan terhadap kinerja PGAS karena pendapatan dari PLN tersebut tidak sampai 20% dari pendapatan PGAS secara keseluruhan), 3. Blok-blok migas yang dimiliki PGAS harus diserahkan ke Pertamina (Ini siapa yang ngomong coba? Ngaco banget!), dan 4. PGAS mengalami kesulitan memperoleh pasokan gas (meski yang ini memang bener, tapi itu cuma cerita lama yang diungkit-ungkit lagi).

Tapi terus terang, kalau penulis sendiri sudah cukup hafal bahwa isu-isu negatif seperti itu pada akhirnya nanti akan menguap dengan sendirinya. Faktanya, ada banyak dari isu-isu negatif tersebut yang justru baru keluar setelah PGAS turun (jadi ketika PGAS masih diatas, tidak ada isu negatif apapun). Dan sebagai investor, disitulah tantangannya: Ketika anda sedang mengincar (atau memang sudah membeli) saham blue chip yang harganya sedang turun, maka anda harus bisa memilah-milah, berita yang mana yang memang berita sungguhan dan berita mana yang sekedar rumor. Penjelasan selengkapnya boleh dibaca disini. Selebihnya, anda harus tetap fokus pada fundamental perusahaan serta valuasi sahamnya.

Dan yang ketiga, adalah terkait dengan fundamental perusahaan. Meski sampai hari ini PGAS masih mendominasi bisnis distribusi gas di Indonesia, namun pangsa pasar perusahaan terus turun dari 93% pada akhir tahun 2010, menjadi hanya 81% pada akhir tahun 2014. Penurunan tersebut terjadi karena dari sisi volume, jumlah gas yang didistribusikan perusahaan memang cenderung stagnan karena, seperti yang sudah disebut diatas, PGAS kesulitan untuk memperoleh pasokan gas dari pihak produsen, dan kondisi tersebut sudah terjadi sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pada tahun 2014 kemarin PGAS telah menyalurkan gas sebanyak 1,717 MMScfd, atau hanya naik sedikit sekali dibanding 1,661 MMScfd pada tahun 2010. Alhasil, meski nilai aset bersih PGAS masih terus tumbuh secara signifikan setiap tahunnya (karena tingginya rasio profitabilitas perusahaan), namun rate pertumbuhan laba bersih PGAS cenderung stagnan, Pada tahun 2014 perusahaan mencatatkan laba bersih US$ 748 juta, atau hanya tumbuh sedikit dibanding US$ 696 juta pada tahun 2010. Seretnya pasokan gas ini juga menyebabkan PGAS agak ‘malas’ dalam membangun jaringan pipa gas baru dan infrastruktur gas lainnya, karena buat apa repot-repot menambah jaringan pipa gas, kalau perusahaan tidak memperoleh pasokan gas untuk didistribusikan?

Untuk mengatasi masalah sulitnya pasokan gas, sejak tahun 2011 perusahaan berupaya untuk memiliki pasokan gas-nya sendiri dengan cara mengakuisisi blok-blok migas. Dan kabar baiknya, seperti yang sudah disebutkan diatas, upaya tersebut sejauh ini terbilang berhasil dimana PGAS kini memiliki sumber pendapatan baru dari penjualan minyak dan gas, kali ini dalam posisinya sebagai produsen, bukan distributor. Pada akhir tahun 2014, dari delapan blok migas yang dimiliki perusahaan, baik seluruhnya maupun sebagian (belum termasuk Blok Muara Bakau yang baru diakuisisi pada tahun 2015), tiga diantaranya memang sudah berproduksi. Malah, kalau bukan karena adanya pendapatan baru tersebut, maka laba bersih PGAS pada tahun 2014 tidak akan turun sebesar 10.1% dibanding tahun 2013, melainkan lebih dari itu.

However, faktanya tetap saja: Laba bersih PGAS di tahun 2014 kemarin tercatat turun dibanding tahun sebelumnya. Jika pada Kuartal I 2015 mendatang perusahaan kembali mencatatkan penurunan laba, maka sentimen-sentimen negatif yang sudah disebutkan diatas akan kembali ramai dibicarakan orang, dan saham PGAS akan kembali tertekan. Tapi jika pada Kuartal I tersebut perusahaan sukses membukukan kenaikan laba, maka sentimen negatif tadi akan menguap lebih cepat, dan seharusnya PGAS akan mampu naik kembali.

Kesimpulannya, meski PGAS pada saat ini sangat menarik dari sisi valuasi, sementara outlook jangka panjangnya juga terbilang cerah dimana perusahaan terbilang sukses masuk ke bisnis hulu migas, namun penulis sendiri lebih memilih wait and see, terutama karena melihat IHSG yang belakangan ini seperti kehabisan bensin untuk naik lebih lanjut (jika IHSG turun maka PGAS tetap akan lanjut turun), dan ada baiknya kita menunggu laporan keuangan berikutnya, just to be sure. Penulis tidak tahu penurunan PGAS ini bakal mentoknya sampai level berapa, tapi seperti yang sudah disebutkan diatas: Serendah apapun penurunannya, namun pada akhirnya PGAS ini akan naik lagi. Jadi semakin rendah penurunannya maka itu semakin bagus! Karena itu artinya potensi keuntungannya menjadi semakin besar.

Tapi Pak Teguh, saya sudah terlanjur beli sahamnya nih? What should I do? Well, kalau anda belinya di harga 4,750 atau dibawahnya, maka sebenarnya itu sudah cukup murah sehingga seharusnya, meski mungkin perlu menunggu cukup lama, pada akhirnya anda tetap akan memperoleh keuntungan. Selain itu PGAS hanya bisa turun lebih rendah lagi dari posisinya saat ini kalau: 1. IHSG mengalami koreksi, 2. Terdapat sentimen negatif yang serius (sentimen-sentimen negatif terkait PGAS yang beredar sejauh ini rata-rata cuma ‘bercanda’), atau 3. Perusahaan kembali membukukan penurunan labanya di tahun 2015. Jadi saran penulis adalah, jika tiga kondisi diatas tidak terjadi, maka anda bisa tetap hold saham anda, termasuk boleh juga beli lagi di harga bawah alias average down. Tapi jika salah satu dari tiga kondisi diatas terjadi, maka sebaiknya keluar dulu, paling tidak separuhnya. Jadi kalau anda pegang PGAS 100 lot maka boleh jual 50 lot, sementara selebihnya tetap di-hold.

Dengan cara ini maka kalau PGAS beneran lanjut turun, anda bisa menggunakan dana hasil penjualan PGAS tadi untuk nanti beli lagi di harga bawah. Tapi jika PGAS ternyata tidak lanjut turun dan rebound, maka kerugian anda hanya separuh dari yang seharusnya. Good luck!

PT Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk
Rating Kinerja pada 2014: A
Rating Saham pada 4,340: AA

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak, januari 2014 sempet 4000-4100. Lanjutan issue merger/dicaplok pertagas semenjak Q4 2013
Anonim mengatakan…
Pak Teguh, mohon dibahas tentang SMGR, terutama pasca penurunan harga semen yang diumumkan oleh Bapak Presiden (yang kemudian diikuti oleh penurunan harga saham-saham semen) dan pasca menangnya SMGR di PTUN kemaren.
Trims.
Anonim mengatakan…
INCO gimana pak.. Rasio-rasio ya sekilas juga oke banget.. mohon diulas lebih dalam pak
IDX IC mengatakan…
thanks pak teguh hidayat, mohon pak pencerahaan saham WTON yang berada 1250 bisa long term bisa enggak ke 1600
Anonim mengatakan…
Jika diperhatikan, PGAS mengbeli aset upstream di awal dan pertengahan 2014, dimana harga minyak dan gas jauh lebih tinggi daripada saat ini.
Mungkin faktor ini akan menimbulkan impairment losses yang akan mempengaruhi kinerja keuangannya kedepan.
EP Swing Trader mengatakan…
Luar biasa cakep... tks
Anonim mengatakan…
EPS 2015 Q1 sekitar 50 perak. Annualize kalau dikali 4 = 200. PER 10 = 2000.
Rinto Harapan mengatakan…
Harga 3500 super bargain
Yudhis mengatakan…
Tetapi kenapa laporan Q2 nya belum keluar?
di IDX maupun di web PGAS.

Gasindon mengatakan…
Harga 2800 saat ini bagaimana Pak TH. Saya beli dari 4000.
Anonim mengatakan…
PGAS : Pada tanggal 12 Mei 2014, Perusahaan menerbitkan USD1.350.000.000 Senior Unsecured Fixed Rate Notes , yang akan jatuh tempo pada tanggal 16 Mei 2024, dengan harga penerbitan sebesar 99,037%. Wali amanat atas obligasi ini adalah The Bank of New York Mellon. Obligasi ini dikenakan bunga sebesar 5,125% per tahun yang terhutang setengah tahunan in arrear setiap tanggal 16 Mei dan 16 November, dimulai pada tanggal 16 November 2014. Obligasi ini dicatatkan pada Bursa Efek Singapura, tidak dapat dibatalkan dan dijamin tanpa syarat oleh Perusahaan. Dana bersih yang diperoleh sebesar USD1.335.334.469, diterima pada tanggal 16 Mei 2014 dan dipergunakan untuk penambahan modal kerja dan keperluan umum lainnya. Berdasarkan Moody’s Investors Services, Standard & Poor (S&P) dan Fitch Rating, peringkat dari obligasi tersebut masing-masing adalah Baa3, BB+ dan BBB-.
Unknown mengatakan…
Pak teguh, mau tanya, itu fsru yang di Lampung leasing atau punya sendiri? kira2 dampak signifikan dari beroperasinya fsru itu bagaimana ya pak?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?