Teknik Diversifikasi Anti Pusing
Strategi diversifikasi adalah salah satu elemen
penting dalam berinvestasi di saham terutama untuk mengurangi risiko kerugian, dan di blog ini kita
sudah membahas tema ‘diversifikasi’ tersebut beberapa kali, contohnya pada artikel ini, dan yang ini. Mungkin perlu penulis sampaikan sekali lagi
bahwa, kalau anda meniru strategi diversifikasi ala Warren Buffett, maka dalam
satu waktu tertentu anda bisa memegang sekitar 15 hingga 20 saham yang berbeda dalam portofolio anda. Pada tahun
1960-an, ketika masih mengelola Buffett Partnership dengan dana kelolaan
sekitar US$ 40 juta, Warren Buffett memang hanya memegang sekitar 20-an saham
di dalam portofolio-nya.
Jumlah 20 saham ala Warren ini jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan fund manager profesional lainnya, yang bisa memegang sampai
lebih dari 100 saham yang berbeda, belum termasuk diversifikasi tambahan dengan
juga menempatkan investasi pada obligasi dan istrumen pasar uang (contohnya
deposito bank). Sementara Mr. Buffett, tidak hanya dia hanya menempatkan dana
kelolaannya hanya pada 20 saham, tapi juga dia sepertinya tidak pernah
menempatkan investasi pada obligasi, dan sangat jarang memegang uang
tunai/deposito kecuali dalam jumlah yang sedikit. Karena itulah, Warren Buffett
dikenal sebagai investor saham yang anti
diversifikasi. Jika melihat komposisi portofolio Berkshire Hathaway pada
saat ini yang berisi lebih dari 100 saham/perusahaan yang berbeda, maka itu
bukan karena Mr. Buffett sudah mengubah strategi diversifikasinya. Melainkan
karena, dengan jumlah dana kelolaan Berkshire yang sudah amat sangat besar
(nilai total aset Berkshire pada akhir tahun 2014 tercatat US$ 526 milyar), maka adalah mustahil jika dana sebesar itu bisa
ditempatkan hanya pada beberapa saham saja. Let say, kalau Buffett tertarik
untuk mengakuisisi 100% saham dari perusahaan terbesar di Indonesia, yakni Astra
International (ASII), maka dia hanya perlu mengeluarkan dana sekitar US$ 25
milyar saja, atau nggak sampai 5% dari nilai aset Berkshire secara keseluruhan.
However, meski Buffett dikatakan sebagai investor
yang anti diversifikasi, namun itu bukan berarti dia sama sekali tidak
menerapkan diversifikasi tersebut. Karena seperti yang disebut diatas, dia
tetap menempatkan investasinya pada sekitar 20-an saham yang berbeda. Investor
paling terkenal di Indonesia, Bapak Lo Kheng Hong, juga terbiasa untuk menempatkan
investasinya pada 20 – 30 saham yang berbeda.
Nah, berdasarkan pengalaman penulis dalam
memberikan advice kepada teman-teman
sesama investor, biasanya mereka mengeluh bahwa jangankan 20 saham, megang 10
saham saja mereka sudah pusing. Mereka biasanya bilang begini, ‘Pak Teguh, gak
usah kasih saya banyak rekomendasi. Cukup satu atau dua saja, tapi yang bagus!’
Atau, ‘Dari sepuluh saham yang direkomendasikan, yang mana yang paling bagus?
Saya mau beli satu saham yang paling bagus itu saja’.
Intinya adalah, dalam pandangan investor ritel
paruh waktu, yang dimaksud dengan ‘anti diversifikasi’ adalah benar-benar hanya
fokus pada satu atau dua saham saja! Untuk apa report-repot menyebar dana pada
banyak saham kalau kita bisa menempatkan semuanya pada satu saham yang terbaik?
Yakni saham yang, setelah dianalisis secara hati-hati, menawarkan potensi keuntungan
yang paling tinggi?
Terkait hal ini, maka penulis akan share tentang pengalaman saya di tahun
2012 lalu. Pada tahun 2012 tersebut sektor properti rata-rata menghasilkan
kinerja fundamental yang bagus, sehingga saham-saham di sektor ini banyak yang
naik. Setelah lihat-lihat barang, maka pilihan penulis jatuh pada dua saham
properti yang penulis anggap paling bagus, baik itu dari sisi fundamental,
valuasi, prospek kedepan, dan juga risiko kerugiannya. Mereka adalah Alam
Sutera Realty (ASRI), dan Greenwood
Sejahtera (GWSA). Ketika itu, ASRI berada pada harga 450-an, sementara GWSA
250-an. Dan setelah dianalisis, penulis mengambil kesimpulan bahwa secara
konservatif, ASRI mungkin bisa naik sampai 700, sementara GWSA 400.
Awalnya penulis hendak mengambil keduanya. Namun
karena saya sudah punya beberapa pegangan saham di sektor lain, maka rasanya
bakal repot juga kalau harus ngambil dua-duanya. Penulis kemudian berpikir
keras: Kalau saya harus memilih salah satu saja dari keduanya, maka yang
manakah yang terbaik dari ASRI dan GWSA? Dan ternyata penulis memilih GWSA.
Alhasil, dana yang tadinya dialokasikan untuk ASRI dan GWSA, kesemuanya
ditempatkan pada GWSA saja.
Bad luck for me, ASRI ternyata kemudian naik.. dan
terus naik.. hingga pada pertengahan tahun 2013 sempat menembus 1,000!
Sementara GWSA? Dia hanya sempat naik sedikit sampai 300, sebelum kemudian
turun pada sekitar bulan April di tahun 2013 karena kinerja perusahaan secara
tidak terduga menjadi buruk dimana labanya anjlok, gara-gara perusahaan menghadapi
sengketa lahan berkepanjangan yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan
pembangunan gedung. Dan ketika tidak ada gedung perkantoran atau apartemen yang
dibangun, maka apa yang mau dijual? Meski penulis dengan cepat keluar dari GWSA
begitu melihat laporan keuangan perusahaan, sehingga hanya menderita kerugian
yang tidak terlalu besar, namun penulis tetap rugi karena kehilangan momentum
di ASRI. Seandainya penulis sejak awal tetap melakukan diversifikasi dimana saya mengambil ASRI dan juga GWSA,
maka saya tetap akan memperoleh keuntungan yang cukup signifikan, karena kenaikan
ASRI sendiri mencapai lebih dari dua kali lipat (dari 450-an ke 1,000).
Mungkin ada pertanyaan: Lho, daripada beli GWSA
dan ASRI, lalu kenapa gak semua dana dipake buat beli ASRI saja? Dengan
demikian maka keuntungannya bakal lebih besar lagi bukan? Iya, memang. Tapi
masalahnya, bagaimana anda bisa tahu
kalau ASRI yang bakal naik, dan GWSA yang akan turun? Bagaimana kalau
ternyata malah ASRI yang mengalami force
majeure, sehingga kinerjanya turun dan sahamnya juga anjlok, sementara GWSA tidak mengalami masalah
apa-apa sehingga kinerjanya bagus terus dan sahamnya juga terus naik? Kasus
sengketa lahan yang dihadapi GWSA diatas adalah force majeure, alias peristiwa tidak terduga yang berdampak negatif
pada kinerja perusahan, dan itu bisa terjadi pada perusahaan mana saja entah
itu GWSA, ASRI, atau lainnya.
Dan tidak peduli sebaik apapun anda dalam menilai
kualitas fundamental sebuah saham, namun kalau perusahaan mengalami force majeure seperti itu, maka anda
tetap akan mengalami kerugian! Kesalahan penulis ketika itu bukan karena saya tidak
memprediksi bahwa GWSA akan mengalami masalah sengketa lahan, karena tidak ada seorangpun yang bisa
memprediksi hal seperti itu, dan bahkan Warren Buffett pun tidak. Kesalahan
penulis cuma satu: Saya tidak melakukan
diversifikasi. Jika penulis menempatkan seluruh dana pada ASRI tanpa
membeli GWSA sama sekali, maka itu juga tetap merupakan suatu kesalahan, yang
meski tidak mengakibatkan kerugian (karena ASRI sukses naik banyak), namun
tetap akan menyebabkan kerugian di masa yang akan datang.
Karena itulah, ketika ada seorang teman yang
bertanya seperti ini, ‘Dari sepuluh saham yang Pak Teguh direkomendasikan, yang
mana yang paling bagus? Saya mau beli satu saham yang paling bagus itu saja’, maka
penulis biasanya menjawab, ‘Kesepuluh saham tersebut adalah yang terbaik, yang
sudah saya seleksi dari ratusan saham di BEI. However, dari sepuluh saham itu bisa
saja ada satu atau dua diantaranya yang malah turun, entah itu karena force
majeure atau memang karena saya keliru dalam menganalisisnya, tapi saya tentu saja tidak tahu yang mana.
Saya khawatir kalau saya menunjuk satu saham tertentu, maka justru saham itulah
yang ternyata malah turun. Karena itulah, saya sarankan untuk melakukan
diversifikasi dengan membeli semuanya.’
Analogi dari diversifikasi ini adalah seperti
ujian matematika. Kalau anda punya anak kecil yang masih duduk di bangku
sekolah dasar, maka coba perhatikan: Setiap kali dia mengikuti ulangan/tes
matematika, maka jumlah soal yang diberikan bukan hanya satu atau dua, melainkan
biasanya sepuluh. Dari sepuluh soal ini, jika si anak mampu menjawab semuanya
dengan benar, maka dia akan memperoleh nilai sempurna yakni seratus.
Namun dari katakanlah empat puluh siswa dalam satu
kelas, berapa banyak siswa yang memperoleh nilai seratus tersebut?
Paling-paling hanya satu atau dua bukan? Atau malah tidak ada sama sekali. Kalau
seorang siswa bisa memperoleh nilai 80 saja (jadi dari sepuluh soal yang
diberikan, ada dua diantaranya yang tidak mampu ia jawab dengan benar), maka
itu sudah sangat bagus bukan? Tidak masalah kalau ada satu atau dua soal yang
tidak bisa dijawab, yang penting soal-soal lainnya bisa dijawab dengan benar.
Sekarang bayangkan jika Pak Guru hanya memberikan
satu soal saja dalam tes matematika, sehingga hanya ada dua kemungkinan nilai
bagi siswa: Seratus alias sempurna, atau nol alias gagal sama sekali. Maka
bagaimana kira-kira hasilnya?
Hal yang sama juga berlaku di saham. Kalau anda
membeli sepuluh saham yang berbeda, maka biasanya ada saja satu, dua, atau tiga
saham yang ternyata malah turun, but it’s okay. Namun kalau anda hanya membeli
satu saham dan ternyata dia turun, maka skor anda adalah nol alias gagal sama
sekali.
Teknik Diversifikasi Dengan Hanya Memegang Satu
Saham
Sayangnya meski penulis sudah sering membahas soal
diversifikasi diatas, namun tetap saja ada banyak investor yang lebih suka
hanya memegang satu atau dua saham saja di portofolionya, dan belakangan
penulis bisa memahami hal itu. Seorang investor, jika dia tidak full time di
saham, maka dia biasanya tidak menempatkan seluruh asetnya di saham, melainkan
juga menempatkan sebagian diantaranya di properti, reksadana, dll. Ini berarti ia
sejak awal sudah melakukan diversifikasinya sendiri, jadi kenapa juga di saham
harus melakukan diversifikasi lagi? Untuk fund manager profesional, apalagi
yang mengelola dana besar dan menempatkan investasinya tidak hanya di Indonesia
melainkan seluruh dunia, maka dia juga seringkali hanya membeli satu atau dua
saham saja di Indonesia, karena ia juga sudah menempatkan investasinya pada
saham-saham lain di negara-negara lain, belum termasuk penempatan investasi
pada obligasi dan pasar uang.
Jadi pertanyaannya sekarang, kalau saya hanya mau
menempatkan investasi pada satu saham saja, maka adakah teknik diversifikasi
yang bisa diterapkan? Well, ternyata ada, dan berikut penjelasannya.
Seorang teman pernah bercerita kepada penulis
bahwa ia, dalam melakukan investasi atau trading saham, selama bertahun-tahun hanya
pernah memegang satu saham saja, yakni Astra International (ASII), dan alasannya
adalah ‘Saya nggak mau invest di saham-saham yang gak jelas, jadi mending main
ASII saja’. Dan meski ASII sendiri kadang naik banyak dalam tahun tertentu dan
kemudian cenderung mendatar atau malah turun di tahun berikutnya, namun teman
penulis ini sukses dalam menghasilkan keuntungan sekitar 30 atau bahkan 40% per
tahun hanya dengan trading di saham ASII.
Bagaimana caranya? Here we go: Setiap kali ASII
turun hingga menembus batas harga
tertentu katakanlah 7,000, entah itu karena koreksi
IHSG atau karena penyebab lainnya, maka ia akan beli ASII sebanyak
sepertiga dari seluruh dana yang dimiliki. Jika ASII turun lebih lanjut hingga
mencapai batas harga berikutnya katakanlah 6,500, maka dia akan beli sebanyak
sepertiga lagi (average down, sehingga rata-rata harga belinya menjadi 6,750). Setelah
itu biasanya ASII akan naik, let say sampai 7,750 – 8,000, dan ketika itulah
dia akan melepas semua pegangan untuk meraup keuntungan antara 10 – 15%, sudah
termasuk memperhitungkan sisa sepertiga dana yang tidak digunakan.
Selanjutnya tinggal tunggu ASII turun lagi, sambil
terus memperhatikan perkembangan laporan keuangan perusahaan (jadi jika kinerja ASII bagus, maka batas-batas harga tadi bisa dinaikkan).
Kecuali pada kasus-kasus tertentu dimana IHSG turun secara ekstrim, maka ASII
biasanya tidak turun lebih lanjut lagi, sehingga sepertiga dana yang terakhir
tidak perlu digunakan. Namun jika IHSG mengalami koreksi besar dan ASII juga
turun lebih dalam dari biasanya, katakanlah sampai mencapai 5,000-an, maka
barulah sisa dana yang sepertiga tadi bisa digunakan.
So, jika teman penulis tadi bisa trading ASII
sebanyak dua atau tiga kali saja dalam
setahun, maka keuntungan yang diperoleh adalah antara 20 hingga 40%, tak
peduli meski IHSG mengalami koreksi seperti tahun 2013 lalu. Dan bonusnya
adalah, dia nggak perlu pusing karena dia hanya harus memperhatikan pergerakan saham
serta perkembangan kinerja dari satu perusahaan saja, yakni ASII tadi.
Nah, sudah dapat poinnya? Intinya adalah, kalau anda
hanya mau invest/trading pada satu saham saja, maka anda bisa menggunakan trik
ini: Bagi dana anda menjadi minimal tiga
bagian (atau empat, lima, enam bagian, terserah anda), kemudian belilah
saham yang anda incar secara bertahap.
Dengan cara ini, maka in case saham
anda ternyata malah turun (ingat bahwa kita tidak bisa secara persis memperkirakan
bahwa kalau sebuah saham lagi turun, maka penurunannya akan mentok pada level
harga berapa), anda bisa beli lagi di harga yang lebih rendah. Jika dia masih
turun? Ya beli sekali lagi. Jika dana anda sudah habis, selanjutnya tinggal
tunggu saja sampai dia naik sendiri.
However, strategi ini hanya efektif pada
saham-saham dengan kinerja fundamental serta reputasi yang sangat baik, dan
biasanya merupakan saham-saham blue chip seperti ASII, Bank
BRI (BBRI), Perusahaan
Gas Negara (PGAS), Semen
Indonesia (SMGR), dan seterusnya. Kecuali perusahaannya diterpa sentimen
negatif tertentu atau kinerja perusahaan sedikit kurang bagus dibanding
biasanya, maka saham-saham tersebut biasanya hanya akan turun kalau IHSG turun,
dan ini berbeda dengan saham-saham kecil yang bisa turun kapan saja, dan turunnya
bisa sampai pada level berapa saja.
Selain itu risikonya tetap ada. Kalau anda terjebak
dalam situasi dimana anda menempatkan nyaris seluruh dana pada satu saham, tapi
kemudian perusahaannya mengalami force
majeure seperti kasus GWSA tadi, maka kerugian yang anda derita akan sangat
besar. Saham-saham blue chip, meski sangat jarang mengalami force majeure
seperti itu, namun mereka bukannya tidak pernah mengalaminya. Pada bulan
Januari 2007, saham PGAS pernah ARB 23% hanya dalam satu hari karena keluarnya
berita bahwa perusahaan terlambat dalam melakukan komersialisasi dari salah
satu jaringan pipa yang dibangun. Beberapa saham blue chip lainnya seperti Berlian
Laju Tanker (BLTA) dan Bumi
Resources (BUMI), malah mengalami nasib yang lebih buruk dimana sahamnya
hancur berantakan tanpa mampu bangkit lagi, setidaknya sampai sekarang.
Tapi yang jelas, risiko dari strategi ‘anti
diversifikasi’ ini tetap rendah asalkan anda mainnya di blue chip, dan faktanya
strategi ini terbukti cukup berhasil pada beberapa investor tertentu. So, anda
mau mencobanya?
Komentar
saya mau tanya bagaimana mengetahui hasil RUPS sedini mungkin?, karna saya sering ketinggalan kereta mengenai informasi dividen & aksi korporasi lainnya, Pls pak help me,
Saya sendiri melakukan teknik seperti itu tapi bedanya saya memilih hingga 3 saham bluechip dan sama sekali tidak menyisakan dana cadanya tuk DCA, dan kalau misalnya ada salah satu dari 3 saham tersebut yg turun maka dananya diambil dari penjualan salah satu dari 3 saham yang sudah untung...berapa pun itu...jadi gak ada dana yang nganggur..dan kalau misalanya semua turun maka kadang menunggu kurang dari 1 bulan saja pasti ada yang naik dan barulah saya jual untuk melakukan DCA dari dana penjualan tersebut...
kebetupan PP Property mau IPO jg thn ini...dibahas dong mas...
http://www.britama.com/index.php/2015/04/perusahaan-yang-akan-ipo-di-kuartal-ii-2015/