Saham Terbaik dari Sisi Pertumbuhan Riil Perusahaan

Jika anda hendak berinvestasi di pasar saham melalui reksadana, maka salah satu indikator utama yang dipakai dalam menentukan reksadana mana yang terbaik adalah dengan melihat track record kinerjanya dalam jangka panjang, katakanlah lima tahun terakhir. Jika CAGR (compound annual growth rate, alias rata-rata pertumbuhan tahunan) dari suatu reksadana tercatat lebih baik dari kenaikan IHSG pada periode waktu yang sama, maka simpelnya bisa kita katakan bahwa reksadana tersebut memiliki kinerja yang bagus. Jika selisihnya terbilang besar, katakanlah rata-rata 17% per tahun sementara rata-rata kenaikan IHSG pada periode yang sama hanya 7% (sehingga selisihnya mencapai 10%), maka itu lebih bagus lagi.

Nah, meskipun dalam prospektus reksadana selalu ada kalimat berikut: ‘Kinerja reksadana dimasa lalu tidak mencerminkan kinerja dimasa yang akan datang’, namun tetap saja, anda tentu akan merasa lebih nyaman jika berinvestasi pada reksadana yang memiliki track record kinerja yang bagus bukan?

Lalu pertanyaannya, berapa standar pertumbuhan tahunan yang bisa dikatakan bagus bagi suatu unit reksadana? Kalau di Indonesia, sepertinya tidak ada standar baku yang berlaku. Sebagian orang mungkin cukup puas dengan pertumbuhan 10 – 15%, sebagian lainnya lebih agresif dengan mengincar 25 – 30% per tahun, dan selebihnya mungkin kembali lagi ke peraturan dasar: Yang penting lebih baik dari IHSG.

Namun kalau kita pakai track record dari Berkshire Hathaway, maka selama kurun waktu yang sangat panjang antara tahun 1965 hingga 2013, perusahaan investasi milik Opa Warren ini mencatat rata-rata pertumbuhan 19.7% per tahun, sudah termasuk memperhitungan kinerja pada tahun-tahun tertentu dimana terjadi kondisi krisis. Karena rata-rata kenaikan indeks S&P500 pada periode yang sama adalah 9.8% per tahun (sudah termasuk dividen), maka kinerja Berkshire adalah 9.9% lebih baik dibanding kinerja pasar saham Amerika secara umum. Selisih 9.9% ini mungkin tampak kecil, namun kalau anda mampu untuk terus mempertahankannya selama berpuluh-puluh tahun, maka hasilnya akan sangat luar biasa, dan itu sebabnya Warren Buffett hingga kini masih tercatat sebagai salah satu orang terkaya di dunia.

Pertanyaannya lagi, Berkshire Hathaway kan bukan perusahaan reksadana. Perusahaan tidak pernah mengambil dana dari masyarakat untuk diinvestasikan di saham, melainkan hanya pake dana mereka sendiri atau dana pinjaman, entah itu dari bank atau lainnya, tapi yang jelas bukan dari masyarakat. Jika seseorang hendak berinvestasi di Berkshire, maka caranya bukan dengan membeli unit reksadana yang ditawarkan perusahaan (karena memang perusahaan tidak pernah menawarkan unit reksadana apapun), melainkan bisa langsung dengan cara membeli sahamnya di market.

Jadi kalau begitu, bagaimana caranya Opa Buffett menghitung kinerja investasi Berkshire setiap tahunnya? Kalau di reksadana kan jelas: Kinerja suatu reksadana bisa dihitung dari nilai NAV-nya (net asset value). Simpelnya, kalau NAV tersebut tercatat 1,000 pada awal tahun, dan tumbuh menjadi 1,200 pada akhir tahun, maka pertumbuhannya adalah 20%, sehingga angka 20% itulah yang bisa dicatat sebagai kinerja reksadana di tahun yang bersangkutan.

Sementara Berkshire? Ternyata perusahaan menggunakan nilai buku perusahaan per lembar sahamnya (book value per share/BVS) sebagai indikator kinerjanya. Penjelasannya begini: Nilai ekutas/aset bersih, atau nilai buku Berkshire pada akhir tahun 2013 adalah US$ 221.9 milyar. Pada periode yang sama, jumlah saham beredar Berkshire adalah 1.6 juta lembar, atau tepatnya 1,644 ribu lembar. Maka, BVS Berkshire adalah US$ 221.9 milyar dibagi 1.6 juta, sama dengan US$ 134,973 per lembar saham.

Kemudian, pada tahun sebelumnya yakni 2012, nilai ekuitas Berkshire tercatat US$ 187.6 milyar, sementara jumlah saham beredar adalah 1,643 ribu lembar. Maka BVS Berkshire pada akhir tahun 2012 adalah US$ 114,214 per lembar saham.

Kesimpulannya, sepanjang tahun 2013, Berkshire Hathaway mencatat kinerja investasi sebesar 18.2%, karena BVS-nya naik dari US$ 114 ribu pada awal tahun, menjadi US$ 135 ribu per saham pada akhir tahun. However, angka 18.2% ini terbilang ‘buruk’ karena pada tahun yang sama, S&P500 sukses naik 32.4%.

Melihat metode perhitungan kinerja investasi yang sangat simpel diatas, penulis jadi mikir: Kalau begitu maka ketimbang kita invest di reksadana dimana dana kita bakal dipotong management fee dan juga profit sharing (atau fee transaksi, atau apapun itu namanya) bagi si fund manager, maka kenapa kita tidak langsung invest di saham-saham perusahaan saja? Jika kita bisa menilai kualitas suatu reksadana dari track record kinerja investasinya, maka di saham juga sama: Kita bisa menilai kualitas suatu saham dari track record pertumbuhan nilai aset bersih perusahaannya, atau tepatnya aset bersih per lembar saham atau book value per share (BVS). Boleh jadi, di BEI sebenarnya ada banyak saham-saham yang memiliki rata-rata pertumbuhan BVS yang lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan IHSG. Jadi kenapa kita tidak ambil saham-saham tersebut?

So, berikut adalah track record pertumbuhan book value per share (BVS) dari dua puluh saham terbesar di BEI dari sisi likuiditas sahamnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni 2009 – 2013. Data ini bisa di-update jika nanti seluruh emiten sudah merilis laporan keuangannya untuk tahun penuh 2014:

Company
Ticker
BVS 2009
BVS 2013
CAGR (%)
Bank BRI
BBRI
1,105
3,216
30.6
Telkom
TLKM
387
601
11.6
Bank Mandiri
BMRI
1,674
3,747
22.3
Astra International
ASII
985
2,623
27.7
Bank BCA
BBCA
1,130
2,590
23.1
Semen Indonesia
SMGR
1,719
3,521
19.6
Bank BNI
BBNI
1,253
2,552
19.5
Perusahaan Gas Negara
PGAS
484
1,280
27.5
Lippo Karawaci
LPKR
282
555
18.4
Kalbe Farma
KLBF
85
173
19.5
Indocement
INTP
2,901
6,234
21.1
United Tractors
UNTR
4,161
9,557
23.1
Indofood Sukses Makmur
INDF
1,157
2,693
23.5
Wijaya Karya
WIKA
245
526
21.1
Adhi Karya
ADHI
416
860
19.9
PP London Sumatera
LSIP
559
969
14.8
Adaro Energy
ADRO
545
1,031
17.2
Bank BTN
BBTN
619
1,094
15.3
Gudang Garam
GGRM
9,512
15,209
12.5
Jasa Marga
JSMR
1,056
1,598
10.9
Jakarta Composite Index
JCI
2,534
4,274
14.0

Catatan:
  1. Data diurutkan berdasarkan tingkat likuiditas saham
  2. Book value per share (BVS) adalah dalam Rupiah penuh, dihitung berdasarkan nilai ekuitas perusahaan pada akhir tahun 2009 dan 2013, dibagi dengan jumlah saham beredar pada tahun yang bersangkutan
  3. Jumlah saham beredar sudah termasuk memperhitungkan faktor stock-split
  4. Jika laporan keuangan perusahaan disajikan dalam mata uang US Dollar, maka angkanya dikonversi dulu kedalam Rupiah. Kurs yang digunakan adalah Rp9,400 per USD untuk tahun 2009, dan Rp12,189 per USD untuk tahun 2013.

Nah, sekarang perhatikan. Seandainya kita menganggap bahwa rata-rata pertumbuhan book value per share untuk tiap-tiap saham diatas adalah sama dengan pertumbuhan NAV di reksadana (dan memang sama, hanya beda istilah saja), maka ‘reksadana’ terbaik yang bisa diambil adalah? Bank BRI (BBRI), tentu saja. Dengan CAGR mencapai 30.6%, maka rata-rata pertumbuhan BBRI tercatat jauh lebih baik dibanding rata-rata pertumbuhan IHSG (sebenarnya kalau cakupan data diatas diperluas hingga ke saham-saham yang kecil-kecil, maka bisa saja ada saham lain yang CAGR-nya bahkan lebih tinggi dibanding BBRI. However, angka 30.6% yang dicapai BBRI ini tentunya sudah sangat baik). CAGR dari sisi BVS ini jauh lebih riil dibanding CAGR dari sisi kenaikan harga saham perusahaan, karena harga saham bisa naik dan turun setiap saat, namun BVS akan terus naik dari ke waktu selama perusahaan masih menghasilkan laba. Bagi anda sebagai investor, maka diluar keuntungan dalam bentuk real capital gain sebesar 30.6% per tahun, anda juga akan menerima ‘bonus’ dalam bentuk dividen tahunan, sehingga total keuntungannya adalah lebih dari 30.6% tersebut.


Sementara jika anda berinvestasi di reksadana, maka tidak hanya anda tidak akan memperoleh dividen, namun keuntungan yang anda peroleh dalam satu tahun akan dikurangi management fee sebesar 1 – 2%, dan mungkin juga biaya-biaya lainnya. Jadi kalau diatas kertas anda memperoleh keuntungan 20% per tahun, maka realisasinya kurang lebih hanya 17%.

Setelah BBRI, pilihan selanjutnya adalah Astra International (ASII) dengan CAGR 27.7%, dan PGAS dengan CAGR 27.5%. Seperti halnya BBRI, dua perusahaan ini juga cukup royal dalam membagikan dividen. So, melihat fakta diatas, maka penulis kira bukan suatu kebetulan kalau sebagian besar fund manager yang beroperasi di Indonesia, entah itu asing maupun lokal, hampir pasti memegang trio BBRI, ASII, dan PGAS ini dalam portofolio-nya. Jadi ketimbang anda menitipkan dana anda kepada mereka, lalu kenapa anda nggak langsung beli sendiri saja sahamnya?

Sudah tentu, seperti yang sudah disebutkan diatas, ‘Kinerja dimasa lalu tidak mencerminkan kinerja dimasa yang akan datang’. Kedepannya, baik BBRI, ASII, maupun PGAS bisa saja mengalami penurunan kinerja sewaktu-waktu, sama seperti hal-nya kinerja Berkshire Hathaway yang, dalam lima tahun terakhir, justru terbilang kurang meyakinkan karena empat kali kalah cepat dengan kenaikan indeks S&P. Oleh karena itu anda tetap harus memperhatikan faktor-faktor fundamental lain diluar faktor track record pertumbuhan book value per share, dan juga jangan lupa: Valuasi sahamnya. Hanya karena anda menemukan suatu saham dengan fundamental yang sangat bagus, maka itu bukan berarti anda boleh membelinya pada harga berapapun.

Disisi lain, tiga saham dengan track record kinerja yang paling buruk dari tabel diatas adalah Gudang Garam (GGRM), Telkom (TLKM), dan Jasa Marga (JSMR). Sebagai perusahaan consumer goods, dan juga merupakan salah satu yang terbesar di bidangnya, GGRM sepertinya memang sulit untuk melangkah lebih jauh lagi, apalagi setelah HM Sampoerna dipegang oleh Philip Morris sejak tahun 2005 lalu, dimana perusahaan cenderung kalah bersaing. Untuk TLKM, ceritanya juga mirip dengan GGRM dimana perusahaan telekomunikasi ini sudah ‘mentok’ dan nyaris gak bisa ngapa-ngapain lagi. Dan JSMR, meski sejatinya prospeknya sangat menarik karena Indonesia sejauh ini masih kekurangan jalan tol, namun perusahaan sangat lambat dalam hal merealisasikan pembangunan ruas-ruas jalan tol yang baru, sehingga pertumbuhan perusahaan nyaris sepenuhnya bergantung pada kenaikan harga tiket tol semata. Well, kalau anda salah satu pemegang sahamnya, maka mungkin anda perlu ikut RUPS untuk mengusulkan penggatian direksi, biar perusahaan ini bisa sedikit lebih agresif dalam berekspansi.

Hmm, okay apa lagi ya? Ya sudah, selebihnya silahkan anda tuliskan sendiri melalui kolom komentar dibawah.

Komentar

Anonim mengatakan…
pak teguh, kenapa yg di jadikan patokan itu CAGR dari book value ? kenapa bukan dari net profit ?
wengzhixiang mengatakan…
Pak Teguh saya kurang paham dengan penjelasan anda tentang real capital gain yang didasarkan atas BVS, kita waktu membeli saham sebut saja BBRI pasti diatas BVS nya yang berarti dana yang kita keluarkan untuk memiliki selembar saham BBRI pasti lebih besar dari BVS nya, sedangkan pertumbuhan BVS dari tahun ke tahun tidak akan sama dengan pertumbuhan harga sahamnya. Bisa saja BVS terus tumbuh tapi harga sahamnya malah turun lalu dimana bisa disebutkan real capital gain kita adalah berdasarkan BVS sedangkan jumlah investasi rupiah yang kita keluarkan berdasarkan harga saham perusahaan tersebut.
Anonim mengatakan…
management fee didapat dari dividen
Anonim mengatakan…
Saya barusan sempat bertanya-tanya kenapa INDF bisa CAGR nya 23%, padahal ROE biasanya di bawah 20%.
Ternyata ada penambahan ekuitas yang lumayan di tahun 2010 karena anak perusahaannya yaitu ICBP listing di bursa. Saya lihat PBV ICBP cukup tinggi, mungkin pada waktu IPO sudah tinggi, maka wajar sang induk mendapatkan kenaikan ekuitas.
Anonim mengatakan…
Setahu saya reksadana tidak mengenal profit sharing dengan fund managernya, sesuai peraturan MI hanya berhak memungut fee transaksi dan fee management.

untuk profit sharing umumnya ada pada instrumen yang bentuknya KPD/ discretionary fund yang kontraknya 2 pihak saja MI dan 1 investor
Teguh Hidayat mengatakan…
@Wengzhixiang: Harga saham, meski bisa naik turun setiap saat, namun pada akhirnya dia akan naik sesuai dengan kenaikan BVS-nya Saham BBRI tidak akan naik dari 2,500 pada tahun 2010 lalu hingga sekarang sudah diatas 10,000, kalau bukan karena peningkatan BVS-nya yang memang sangat signifikan. Untuk saham-saham seperti BBRI ini, maka adalah wajar jika kita harus membelinya pada harga yang lebih tinggi dari BVS-nya (asalkan tidak terlalu tinggi), karena kita tahu persis bahwa BVS tersebut kedepannya kemungkinan besar akan tumbuh lagi.

@anonim: Betul, ekuitas INDF meningkat karena IPO SIMP dan ICBP. ekuitas BMRI juga naik tajam kemungkinan salah satunya karena right issue.

@anonim: Terima kasih koreksinya. Benar, reksadana atau mutual fund biasanya nggak pake profit sharing. Profit sharing hanya berlaku pada hedge fund.
Unknown mengatakan…
Data yng diatas itu diambilnya darimana mas?. saya pengen tau banyak

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?