Bank BTN, an Opportunity for Short-Term Play

Bank BTN (BBTN) mencatatkan kinerja yang kurang bagus sepanjang tahun 2014 dimana labanya turun dari Rp1.6 trilyun di tahun 2013, menjadi hanya Rp1.1 trilyun pada tahun 2014, atau turun 28.6%. Meski tampak mengecewakan, namun faktanya ini adalah kali pertama dalam delapan tahun terakhir dimana perusahaan mencatat laba bersih yang turun dibanding tahun sebelumnya (pada tahun 2006 laba BBTN turun dibanding tahun 2005, namun itu karena pada tahun 2005 perusahaan tidak melakukan penyisihan untuk pembayaran pajak, sehingga labanya tampak sangat besar). Sementara antara 2006 hingga 2013, laba BBTN terus naik secara konsisten, demikian juga dengan ekuitasnya.

Jadi dalam hal ini penulis bisa katakan bahwa meski sejak awal BBTN bukanlah perusahaan yang sangat menguntungkan (dalam lima tahun terakhir, ROE BBTN hanya berada di level 15 – 18%, dimana meski angka segitu sejatinya lumayan baik, namun terbilang rendah dibanding tiga bank BUMN lainnya), namun ia bukanlah perusahaan yang jelek juga. Pada situasi saat ini, kita bisa menyebut BBTN sebagai ‘perusahaan bagus yang kinerjanya sedang jelek’. Sekedar catatan, Warren Buffett lebih menyukai perusahaan yang seperti BBTN ini ketimbang perusahaan yang kinerjanya selama ini jelek tapi tiba-tiba saja jadi bagus.


Kabar baiknya, harga saham BBTN di pasar sejak awal sudah mencerminkan kinerjanya yang turun tersebut. Ketika artikel ini ditulis, BBTN diperdagangkan di level Rp1,070 per saham, atau terbilang rendah dibanding rata-rata harganya selama setahun terakhir yakni 1,200-an. Disisi lain, dengan PER 10.1 kali dan PBV 0.9 kali, maka praktis dari sisi valuasi, BBTN pada harganya saat ini ini lebih menarik dibanding tiga saudaranya sesama bank BUMN. Selengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut:

Stocks
Price (Rp per Share)
PER (x)
PBV (x)
ROE (%)
Mkt Cap (US$ Million)
Bank BRI
12,875
13.1
3.3
24.8
26,468
Bank Mandiri
12,000
14.1
2.7
19.4
23,333
Bank BNI
6,875
11.9
2.2
18.3
10,684
Bank BTN
1,070
10.1
0.9
9.1
942

Catatan:
1.      Market cap adalah berdasarkan asumsi kurs Rp12,000 per USD
2.      ROE dihitung berdasarkan nilai laba bersih tahun berjalan yang diatribusikan kepada entitas induk, dibagi nilai ekuitas bersih perusahaan pada akhir tahun 2014. Angka yang ditampilkan pada tabel diatas mungkin lebih rendah dibanding angka ROE yang disajikan pada laporan keuangan perusahaan versi iklan koran.

Nah, kalau anda lihat lagi tabel diatas, maka tampak bahwa return BBTN tercatat hanya sepertiga return Bank BRI (BBRI), padahal nilai total aset BBTN tidak sampai seperlima aset BBRI (semakin besar nilai aset perusahaan, semakin sulit bagi perusahaan tersebut untuk mencatatkan return yang tinggi setiap tahunnya), dan itu membuat kinerja BBTN tampak lebih buruk lagi, sekaligus menjelaskan kenapa sahamnya gak kemana-mana ketika tiga saudaranya terus berlari kencang selama setahun terakhir.

However, jangan lupakan pula bahwa return BBTN yang hanya 9.1% diatas (atau 10.7%, kalau kita pakai ROE yang disajikan di laporan keuangan perusahaan), itu lebih rendah dibanding rata-rata return BBTN selama ini, yakni 15 – 18%. Jadi tahun 2014 kemarin benar-benar merupakan pengecualian. Make a guess, jika pada Kuartal I 2015 nanti perusahaan kembali bangkit dan mencatatkan annualized return seperti yang biasanya, maka bagaimana dampaknya terhadap sahamnya? Ya sudah tentu bakal naik lagi. Disisi lain, karena sejak awal valuasinya sudah sangat rendah, maka bahkan kalaupun pada tahun 2015 ini perusahaan kembali mencatatkan kinerja yang sama seperti 2014 lalu, maka sahamnya tetap tidak akan turun lebih rendah lagi.

Yang mungkin masih mengganjal disini adalah, apa yang menyebabkan laba BBTN turun di tahun 2014 lalu? Tidak ada jawaban pasti soal ini. Namun mengingat BBTN tidak sendirian dalam hal mencatatkan penurunan laba (beberapa bank kelas menengah seperti Bank Danamon, Bank CIMB Niaga, dan Bank BJB, juga mengalami penurunan laba pada tahun 2014), maka penyebabnya kemungkinan karena sektor perbankan secara umum mengalami pengetatan likuiditas, yakni karena kenaikan BI Rate yang disusul oleh kenaikan suku bunga pinjaman dan deposito (sehingga bank-bank mengalami kesulitan dalam menyalurkan kredit, sementara disisi lain mereka harus membayar bunga yang lebih tinggi kepada para deposan). Sebagaimana yang kita ketahui, antara tahun 2009 hingga 2013, sektor perbankan di Indonesia mengalami masa-masa keemasan dimana BI Rate terus turun dari 9.25% pada akhir tahun 2008, hingga mencapai titik terendahnya yakni 5.75% pada tahun 2012 hingga pertengahan 2013. Dan pada masa-masa itu para bank bisa dengan mudah menyalurkan kreditnya, termasuk kredit KPR yang merupakan spesialisasi BBTN.

Namun memasuki bulan Mei 2013, BI Rate mulai merangkak naik kembali hingga sempat menyentuh 7.75% pada Januari 2015 kemarin (sebelum kemudian mulai sedikit turun ke posisi 7.50% seperti sekarang). Pihak Bank Indonesia (BI) bahkan juga memberikan arahan kepada bank-bank untuk menurunkan pertumbuhan penyaluran kredit menjadi 15 – 17% saja pada tahun 2014 kemarin, dan inilah masalahnya: Berbeda dengan tiga saudaranya yakni BBRI, Bank BNI (BBNI), dan Bank Mandiri (BMRI) yang memiliki beberapa sumber income diluar penyaluran kredit, seperti berbagai macam fee based income hingga asuransi, dan selain karena penyaluran kredit itu sendiri bisa menyasar ke berbagai segmen seperti kredit konsumer, kredit korporasi, kredit mikro, dan juga kredit KPR, maka BBTN sepertinya hanya bisa mengandalkan pendapatan dari penyaluran kredit KPR dan unit syariah-nya saja. BBTN bukannya nggak punya sumber income diluar penyaluran kredit KPR dan properti, salah satunya dari layanan priority banking yang dibentuk sejak tahun 2010, namun kontribusinya masih sangat kecil.

Dan hasilnya, pendapatan BBTN memang hanya tumbuh 18.8% sepanjang 2014, atau jauh lebih rendah dibanding BBRI, BBNI, dan BMRI, yang pendapatan mereka rata-rata sukses naik 25%. Karena disisi lain beban operasional perusahaan naik lebih tinggi, termasuk karena adanya penyisihan atas penurunan nilai aset senilai Rp771 milyar (angka ini terbilang sangat besar mengingat laba BBTN hanya Rp1.1 trilyun), maka jadilah laba BBTN menjadi tertekan lumayan dalam. Terkait penyisihan tadi, maka barulah dalam hal ini kita bisa menganggap bahwa manajemen BBTN memang kurang kompeten dalam hal menjaga kualitas penyaluran kreditnya, dimana rasio kredit macet (NPL Net) BBTN tercatat sangat tinggi yakni 2.8% (sementara pada BBNI, BBRI, dan BMRI, NPL net mereka hanya 0.3 – 0.4%). Simpelnya, seseorang yang mengambil pinjaman ke Bank BTN memiliki kemungkinan hingga tujuh kali lebih besar untuk mengalami gagal bayar, ketimbang orang lainnya yang mengambil pinjaman ke Bank BRI. Dan dalam hal ini penulis jadi bingung: Bukannya kredit KPR itu jelas-jelas dijamin oleh rumah itu sendiri? Lalu kenapa rasio kredit macetnya bisa sampai sebesar itu? Fakta menyebalkannya adalah, masalah kredit macet ini sudah terjadi sejak lama dan sampai sekarang belum ada perbaikan, dimana antara tahun 2009 hingga 2014, NPL Net BBTN selalu tercatat antara 2.2 – 3.0%. Dan mungkin ini juga yang menjelaskan kenapa return BBTN terbilang rendah dibanding tiga saudaranya sesama bank-bank BUMN.

Karena nilai pendapatan BBTN sejauh ini hanya bergantungm pada penyaluran kredit KPR tanpa adanya alternative income, maka bisa dikatakan bahwa kinerja BBTN kedepannya akan sangat tergantung dari kebijakan BI dalam menentukan BI Rate. Kabar baiknya, kita tahu bahwa belakangan ini BI Rate mulai turun kembali. Jadi meski mungkin agak sulit untuk mengharapkan bahwa BBTN bisa menghasilkan ROE diatas 20% karena ketergantungan perusahaan pada kredit KPR dan masalah kredit macetnya tadi, namun kalau untuk balik lagi ke level normalnya yakni 15 – 18%, maka itu masih realistis. Jika manajemen BBTN bisa memanfaatkan momentum penurunan BI Rate dan mampu mencatatkan laba yang kembali naik pada Kuartal I 2015, maka sahamnya juga seharusnya mampu untuk kembali ke level normal/wajarnya, yakni 1,200 – 1,400.

Okay, jadi apakah itu berarti sahamnya layak dikoleksi pada harganya saat ini? Nah, penulis sendiri sebenarnya tertarik dengan BBTN ini karena batas penurunan harganya sudah sangat jelas, dimana kalau BBTN ini lagi turun maka mentoknya paling-paling sampai 900 – 1,000, dan secara valuasi itu bisa dijelaskan: BBTN ini sahamnya likuid, boleh dikatakan termasuk blue chip, dan perusahaannya juga bukan perusahaan kecil antah berantah yang baru berdiri kemarin sore (kalau anda sering lewat kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, maka kantor Bank BTN akan kelihatan gede dan jelas banget). Lalu masa iya PBV-nya cuma 0.8 kali? Kalaupun problemnya adalah karena fundamentalnya yang memang nggak terlalu bagus, tapi BBTN juga nggak sejelek itu bukan? At the end, BBTN masih terus beroperasi dengan normal tanpa adanya masalah yang berarti, tetap rutin membayar dividen setiap tahunnya, dan nilai aset bersih perusahaan juga masih terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Kita bisa mengatakan bahwa, although this company is not so wonderful, but after considering everything, the price is absolutely wonderful!

Jadi kalau anda membeli BBTN pada harganya saat ini, maka risikonya bisa dikatakan sangat rendah dimana kecuali ada kejadian luar biasa atau IHSG hancur lebur, maka BBTN tidak akan turun lebih rendah dari 1,000, atau maksimal 900 tadi. Disisi lain BBTN ini akan dengan mudah naik ke katakanlah 1,400, kalau: 1. Perusahaan sukses mencatatkan kenaikan laba pada Kuartal I 2015 mendatang, 2. Perusahaan mengumumkan dividen, atau 3. Berita soal rencana merger antara BBTN dengan BMRI atau bank BUMN lainnya (ini cerita lama sebenernya, tapi sampe sekarang nggak jadi-jadi) mencuat kembali. So, meski BBTN ini mungkin tidak menarik untuk investasi jangka panjang kecuali jika manajemen sukses menciptakan pendapatan diluar kredit KPR (dan juga berhasil menekan rasio kredit macetnya), namun pada harganya saat ini, saham BBTN ini menawarkan peluang trading, dimana anda mungkin bisa memperoleh gain 10 – 20% dalam waktu relatif singkat (1 atau 2 bulan, atau mungkin kurang dari itu) sementara risiko terburuknya adalah anda ternyata hanya buang-buang waktu, karena setelah ditunggu-tunggu ternyata saham ini nggak kemana-mana melainkan disitu-situ saja.

Masalah Penurunan Bunga Kredit KPR

Terakhir, anda mungkin memperhatikan bahwa saham BBTN belakangan ini turun karena adanya berita bahwa Pemerintah menurunkan bunga KPR bersubsidi dari tadinya 7.5% menjadi hanya 5%, dengan tujuan agar lebih banyak lagi orang yang bisa memiliki rumah. Karena BBTN sejak awal sudah ditunjuk sebagai salah satu pelaksana program KPR bersubsidi tersebut, maka jadilah orang menyangka bahwa BBTN harus menurunkan bunga KPR-nya menjadi hanya 5%, dimana jika itu terjadi maka pendapatan BBTN dari penyaluran KPR bakal anjlok gila-gilaan, padahal sebagian besar pendapatan BBTN ya memang cuma dari bunga KPR saja. Alhasil, saham BBTN langsung turun dari 1,200-an pada awal Januari lalu hingga sempat menyentuh 975 sebagai titik terendahnya, dan sampai sekarang masih belum naik kembali.

Padahal yang bener adalah sebagai berikut: Satu, bunga kredit KPR di BBTN secara umum adalah 11.5% per tahun, dimana besaran bunga ini mengikuti BI Rate. Dua, dari total penyaluran kredit KPR yang dilakukan BBTN sepanjang tahun 2014, hanya sekitar 5 – 6% diantaranya yang disalurkan melalui program KPR bersubsidi (yang bunganya lebih rendah, yakni 7.5%). Dan tiga, meski BBTN menerima pendapatan bunga yang lebih rendah dari penyaluran KPR bersubsidi (karena bunganya lebih rendah dibanding bunga KPR biasa), namun selisihnya sejak awal sudah diganti oleh Pemerintah! Analoginya sama saja dengan Pertamina, dimana meski perusahaan menjual gas elpiji 3 kg pada harga yang sebenarnya terlalu rendah, namun selisihnya sudah diganti oleh Pemerintah dalam bentuk subsidi. Jadi ketika Pemerintah memberikan subsidi barang-barang kebutuhan pokok ke masyarakat, maka yang menerimanya uangnya bukan masyarakat langsung, melainkan perusahaan-perusahaan BUMN (Pertamina, PLN, Bank BTN, dst) sehingga mereka bisa menjual produk-produknya pada harga yang terjangkau masyarakat, namun perusahaan tetap memperoleh keuntungan.

Jadi mau Pemerintah menurunkan bunga KPR bersubsidi (bersubsidi ya, jadi bukan KPR biasa) sampai 0% sekalipun, maka BBTN tetap tidak akan terkena dampak apa-apa! Sepanjang tahun 2014, BBTN menerima subsidi yang dibayar dimuka senilai Rp427 milyar dari Pemerintah terkait program KPR bersubsidi, dimana uang Rp427 milyar tersebut nantinya akan diakui sebagai pendapatan ketika KPR bersubsidi tersebut sudah disalurkan. Kalau memang Pemerintah benar-benar menurunkan bunga KPR bersubsidi menjadi hanya 5%, maka itu artinya Pemerintah akan membayar subsidi ke BBTN dalam jumlah yang lebih besar. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perumahan Rakyat memang sudah menganggarkan Rp5.4 trilyun pada tahun 2015 ini (anggarannya sudah disetujui DPR pada awal Februari lalu), naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp4.0 trilyun, untuk program KPR bersubsidi, dimana BBTN akan menjadi salah satu penerima dana anggaran tersebut (selain melalui Bank BTN, pemerintah juga akan menyalurkan KPR bersubsidi melalui beberapa bank daerah).

So, meski dalam beberapa kasus, adanya sentimen negatif tertentu memang benar-benar berdampak buruk pada kinerja perusahaan, namun untuk masalah bunga KPR ini penulis bisa katakan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan itu artinya kesimpulan akhir bagi BBTN ini masih sama dengan yang sudah disampaikan diatas: Pada kisaran harganya saat ini, maka BBTN ini menawarkan peluang untuk trading jangka pendek dengan target sekitar 1,200 - 1,400. We'll see.

PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN)
Rating Kinerja pada Kuartal IV 2014: BBB
Rating Saham pada 1,070: AA

Disclosure: Ketika artikel ini dipublikasikan, Avere Investama sedang dalam posisi memegang BBTN di average 1,032. Posisi ini dapat berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Penulis membuat buku elektronik (ebook) yang berisi kumpulan analisis dari saham-saham pilihan berdasarkan kinerja perusahaan di laporan keuangan terbarunya (Kuartal IV 2014). Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
malam mas, kok bisa beda ya hitungan ROE nya. versi hitungan mas sama LK ? bisa tolong bantu jelaskan mas.

terima kasih
Teguh Hidayat mengatakan…
Jadi gini pak. Khusus untuk emiten perbankan, ROE dan ROA-nya dihitung berdasarkan nilai rata-rata ekuitas dan nilai rata-rata aset, dan bukan nilai ekuitas dan nilai aset pada tanggal pelaporan laporan keuangan (31 Desember). Jadi jika nilai ekuitas BBTN pada awal tahun adalah Rp100 milyar, dan pada akhir tahun menjadi Rp120 milyar, maka nilai ekuitas yang digunakan untuk menghitung ROE-nya adalah Rp110 milyar, bukan Rp120 milyar.

Sehingga jika laba BBTN adalah Rp20 milyar, maka ROE-nya bukan 20 / 120 = 16.6%, melainkan 20 / 110 = 18.8% (lebih besar). Di laporan keuangan BBTN versi iklan koran, angka 18.8% inilah yang ditampilkan.

Karena angka ekuitasnya (yang digunakan untuk perhitungan) lebih kecil, maka angka ROE-nya yang dihasilkan sudah pasti sedikit lebih besar. Sebenarnya gak cuma untuk perbankan, tapi untuk perusahaan-perusahaan lain juga seharusnya sama begitu cara ngitungnya. Tapi kita lebih suka pake angka posisi ekuitas pada akhir periode (dan bukan rata-rata) untuk alasan kepraktisan saja, karena di laporan keuangan perusahaan, angka 'rata-rata ekuitas' tidak dicantumkan. Selain itu, ketika kita memperoleh angka ROE yang sedikit lebih kecil, maka kita juga jadinya akan lebih hati-hati dan konservatif dimana kita tidak akan menghargai sahamnya terlalu tinggi.
Unknown mengatakan…
Mas Teguh, dari yang saya baca, pembiayaan untuk KPR subsidi juga ditanggung bank, dengan proporsi 70% pemerintah 30% bank. Misalnya saya baca di sini: http://www.rumahku.com/berita/read/bank-malas-salurkan-kpr-bersubsidi-36636#.VPLtaVOUc4Q. Jadi mana yang benar?
Teguh Hidayat mengatakan…
Sederhana kok pak, Kalau ada orang ngajuin KPR ke bank untuk beli rumah seharga Rp100 juta, misalnya, maka bank akan membayar harga rumah tersebut ke pihak penjual/developer (bank melakukan pembiayaan), kemudian orang itu akan menyicil ke bank setiap bulan selama 5 hingga 20 tahun.

Pada program KPR bersubsidi, ketika seseorang mengajukan KPR bersubsidi ke Bank BTN untuk beli rumah seharga Rp100 juta, maka pihak bank hanya perlu ngasih Rp30 juta, sementara selebihnya ditanggung oleh Pemerintah (porsinya 30 : 70). Dari penyaluran kredit senilai Rp30 juta ini, Bank BTN akan menerima bunga 5% per tahun, alias lebih rendah dari bunga KPR biasa sebesar 11.5%, namun selisihnya akan diganti oleh Pemerintah dalam bentuk subsidi, dan alhasil pihak Bank BTN tetap akan memperoleh keuntungan seperti layaknya KPR biasa.

Jadi yang sebagian ditanggung oleh bank, itu pembiayaannya, bukan kerugian karena selisih bunga KPR-nya.

Lalu kenapa kok sebagian porsi pembiayaannya harus ditanggung Pemerintah? Kenapa harga Rp100 juta tadi tidak semuanya dibayar oleh Bank BTN? Karena ketika seseorang mengambil KPR Bersubsidi ini, maka ia boleh mengangsur hingga jangka waktu yang paling lama yakni 20 tahun. Pihak bank tentu akan keberatan jika dananya mengendap di debitur selama 20 tahun, dimana mereka mungkin akan mengalami kesulitan likuiditas. Karena itulah, porsi pembiayaannya kemudian dibagi dua dengan Pemerintah. Dengan cara ini maka Pemerintah juga ikut menanggung risiko jika ada debitur yang gagal bayar.
Anonim mengatakan…
pak teguh mau nambahin aja

kalau yg pak teguh pakai itu RoAE
return of Average Equity

http://www.investopedia.com/terms/r/roae.asp
Anonim mengatakan…
Main short term juga mas?
Teguh Hidayat mengatakan…
Short term disini maksudnya kurang dari 3 bulan pak. Jadi jangan bayangkan beli pagi jual sore, kalo itu namanya swing.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?