Tidak Apa Menjadi Berbeda, Asalkan..

Beberapa waktu lalu penulis ketemu dan diskusi dengan seorang investor senior, dan dalam diskusi tersebut kita sedikit membahas soal salah seorang investor saham paling terkenal di Indonesia: Pak Lo Kheng Hong. Menurut kawan penulis ini, LKH tidak layak disebut sebagai ‘Warren Buffett Indonesia’, karena terdapat beberapa perbedaan mendasar antara cara investasi LKH dengan Buffett. Sebagai contoh, LKH sama sekali bukan investor jangka panjang seperti layaknya Buffett. Pada tahun 2002, ketika ia membeli United Tractors (UNTR) pada harga Rp400 per saham,  hanya dalam tempo 3 tahun kemudian UNTR tersebut sudah dijual. Bandingkan dengan Buffett yang sejak membeli saham Coca Cola pada tahun 1989, hingga saat ini atau lebih dari 25 tahun kemudian, saham tersebut masih dipegang.

Pendapat kawan penulis tersebut memang benar, tapi disisi lain pernyataannya tersebut juga membuat penulis jadi berpikir: Apakah untuk menjadi investor saham yang sukses, maka kita harus berinvestasi dengan cara yang sama persis dengan Warren Buffett, dan tidak boleh berbeda sedikitpun? Tapi kalau memang benar demikian, lalu kenapa pak LKH, yang dikatakan berinvestasi dengan cara yang berbeda dengan Warren Buffett, ternyata tetap saja sukses besar hingga menjadi kaya raya seperti sekarang?

Dalam hal inilah penulis jadi ingat lagi dengan seminar yang disampaikan oleh Mr. Buffett di Columbia University pada taun 1984 lalu, ketika itu dalam rangka memperingati 50 tahun terbitnya buku ‘The Intelligent Investor’, sebuah buku pertama di dunia tentang value investing yang ditulis oleh Ben Graham, mahaguru dari Warren Buffett dan juga semua value investor di seluruh dunia. Dalam seminarnya tersebut, Buffett memaparkan tentang bagaimana kinerja investasi dari beberapa investor penganut paham value investing, termasuk dirinya sendiri, yang rata-rata lebih baik dibanding pasar (dalam hal ini pasar saham Amerika). Contohnya seperti Buffett Partnership, yang antara tahun 1957 – 1969 sukses membukukan gain rata-rata 29.5% per tahun, atau jauh diatas kenaikan indeks Dow Jones yang rata-rata hanya 7.4% per tahun.

Tapi intinya adalah, dalam seminar tersebut Buffett berkali-kali menyampaikan bahwa meski ia dan beberapa fund manager lainnya menganut paham yang saham yakni value investing, namun setiap fund manager memiliki gaya investasinya masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Sebelumnya, berikut adalah beberapa nama investor/fund manager penganut value investing yang diceritakan oleh Buffett dalam seminarnya tersebut:
  1. Walter J. Schloss
  2. Tom Knapp
  3. Warren E. Buffett sendiri
  4. Bill Ruane
  5. Charles T. Munger (Mr. Charlie kemudian menjadi orang nomor dua di Berkshire)
  6. Rick Guerin, dan
  7. Stan Perlmeter
Okay, lalu apa perbedaan ‘gaya investasi’ dari ketujuh orang diatas? Here we go. Walter Schloss merupakan tipe investor yang menyukai diversifikasi dimana ia memegang lebih dari 100 saham yang berbeda, dan ini berkebalikan dengan Charlie Munger yang memegang kurang dari 20 saham dalam portofolionya. Kemudian Tom Knapp, ia lebih suka menjadi investor aktif yang memegang kendali atas perusahaan (yang ia beli sahamnya), sehingga ia lebih banyak berinvestasi pada perusahaan-perusahaan kecil dimana ia bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Dan ini berkebalikan dengan cara investasi Bill Ruane, yang lebih suka memegang saham dari perusahaan-perusahaan besar. Jika Warren Buffett punya metode work-out dalam strategi investasinya, dimana melalui metode ini ia membeli saham-saham yang pergerakannya tidak dipengaruhi oleh naik turunnya pasar, maka keenam investor lainnya tidak menerapkan strategi yang sama, namun menariknya kinerja investasi dari salah satu dari mereka, yakni Rick Guerin, tercatat lebih baik dari Buffett. Terakhir, Stan Perlmeter, yang mungkin karena latar belakangnya yang tidak pernah kuliah jurusan finansial dan juga tidak pernah secara langsung menghadiri seminar/kursus dari Ben Graham (Mr. Stan hanya sempat ketemu beberapa kali dengan Buffett), maka ia tidak pernah melakukan analisis yang ribet dalam memilih saham seperti bagaimana kira-kira kinerja perusahaan setahun kedepan, bagaimana trend perubahan harga saham, dan seterusnya. Dan ini berbeda dengan Buffett yang seringkali menganalisis perusahaan secara mendalam, termasuk menghitung nilai intrinsiknya kira-kira berapa, karena Buffett sejak awal memang sudah merupakan pakar investasi dengan gelar master (S2) di bidang sains ekonomi dari Universitas Columbia.

But still, kinerja investasi Mr. Stan juga tetap lebih baik dibanding rata-rata pasar.

Beberapa perbedaan yang disebutkan diatas hanyalah sebagian. Pada prakteknya ketujuh value investor diatas benar-benar berinvestasi dengan cara mereka masing-masing, yang bisa jadi sangat berbeda satu sama lain. Dan itu sebabnya komposisi portofolio dari ketujuh investor diatas juga berbeda. Ketika salah seorang investor diatas membeli saham tertentu, maka itu bukan berarti keenam investor lainnya akan turut membeli saham yang sama. Malah faktanya, tidak ada satupun dari ketujuh investor diatas yang berusaha mencontek apa saja pilihan saham dari investor disebelahnya, karena masing-masing punya pilihan sahamnya sendiri.

Warren Buffett bersama para karyawan inti di Berkshire Hathaway. Selain dikelola langsung oleh Buffett, Berkshire juga mempercayakan sebagian kecil dana (beberapa milyar Dollar) ke beberapa fund manager internal untuk dikelola sendiri oleh mereka sesuai gaya investasi mereka masing-masing, dengan catatan mereka tetap menerapkan konsep value investing. Dan hasilnya, fund-fund manager ini pada tahun-tahun tertentu terkadang mencatat kinerja yang justru lebih baik dibanding kinerja Buffett itu sendiri.

Kalau begitu bagaimana bisa ketujuh value investor ini kesemuanya sukses dalam menaklukan pasar? Apa sebenarnya persamaan dari mereka semua? Well, kenyataannya hanya ada satu persamaan: Baik itu Walter Schloss, Tom Knapp, hingga Stan Perlmeter, kesemuanya hanya membeli saham yang, setelah mereka hitung secara hati-hati, memiliki nilai yang secara signifikan lebih tinggi dibanding harga belinya. Singkatnya, mereka semua membeli saham senilai US$ 1 pada harga 40 sen atau kalau bisa kurang dari itu. Perkara jualnya nanti di harga berapa, pegangnya berapa lama, atau bagaimana dengan prospek perusahaan kedepannya dll, dalam value investing sama sekali tidak ada patokannya secara spesifik. Jika anda baca lagi buku ‘The Intelligent Investor’, maka meskipun buku itu sangat tebal yakni lebih dari 1,000 halaman, namun intinya ya cuma itu tadi, yakni belilah saham pada harga yang jauh lebih rendah dibanding nilainya, dan tidak ada lagi peraturan lainnya. Mau anda coba baca buku-buku tentang value investing lainnya pun, intinya tetap saja sama. Salah seorang value investor yang usianya relatif masih muda namun sudah kaya raya (mengelola aset lebih dari US$ 1 milyar) bernama Seth A. Klarman, juga pernah menulis buku berjudul ‘Margin of Safety: Risk Averse Value Investing Strategies for Thoughtful Investor’. Dan lagi-lagi inti dari bukunya juga sama: Belilah saham pada harga yang lebih rendah dibanding nilai intrinsik perusahaan. Mungkin penulis perlu menekankan juga bahwa, dalam bukunya, Mr. Klarman menyampaikan bahwa ia memiliki beberapa metode investasi yang berbeda dengan Warren Buffett. Contohnya, jika Buffett lebih suka beli saham kemudian ditinggal, maka Mr. Klarman sesekali masih men-trading-kan sahamnya. Namun karena inti strateginya tetap sama yakni value investing, maka tetap saja Mr. Klarman ini sukses.

So kesimpulannya balik lagi keatas, okay Pak LKH mungkin memang bukan Warren Buffett, dimana mereka berdua memiliki banyak perbedaan baik itu dalam hal strategi investasi maupun komposisi portofolio (komposisi porto LKH dengan Berkshire Hathaway jelas beda, karena LKH invest di Indonesia sementara Berkshire di Amerika). Tapi yah, faktanya tetap saja LKH menjadi besar bukan? Karena beliau adalah seorang penganut sejati dari paham margin of safety. Yang juga harus diingat, adalah juga tidak mungkin bagi siapapun untuk meniru 100% metode yang diterapkan Warren Buffet ataupun LKH dalam berinvestasi, karena setiap investor memiliki ciri khas mereka masing-masing, seperti lamanya pengalaman investasi, latar belakang pendidikan, besarnya jumlah dana kelolaan dan seterusnya, yang pastinya berbeda dengan investor-investor lainnya.

Tapi kalau anda sudah paham inti dari value investing itu sendiri, yakni margin of safety tadi, maka itu sudah cukup! You know, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo memiliki style mereka masing-masing dalam hal mencetak gol, dimana Messi fokus pada teknik sementara Ronaldo fokus pada power. Namun karena keduanya mampu melakukan hal tersebut (mencetak gol) dengan sama baiknya, maka dua-duanya tetap layak disebut sebagai pemain terbaik dunia bukan? Intinya disini adalah bukan bagaimana cara anda mencetak gol, tapi seberapa banyak gol yang bisa anda cetak. Mau anda pake teknik jungkir balik dalam menendang bola dan mencetak gol, tapi kalau hasilnya tendangan anda malah melenceng, maka ya buat apa??? Dalam value investing juga sama: Entah itu anda menerapkan diversifikasi atau hanya memegang saham-saham tertentu, entah itu anda pilih saham-saham blue chip atau second liner, entah itu anda pegang saham yang sama selama bertahun-tahun atau lebih suka trading dalam jangka yang lebih pendek (asal jangan jadi day trader aja), maka itu semua tidak jadi soal! Karena yang terpenting adalah, anda harus beli saham pada harga yang secara signifikan lebih rendah dibanding nilainya. Kenapa demikian? Karena hanya dengan metode itulah anda bisa disebut sebagai value investor, dimana anda akan berpeluang besar untuk beat the market, seperti yang telah sukses dilakukan oleh para value investor senior yang sudah disebutkan diatas.

Catatan: Bagi anda pengunjung baru TeguhHidayat.com, penjelasan lebih lanjut soal margin of safety baca lagi disini. Soal bagaimana menghitung berapa nilai saham, apakah lebih rendah atau lebih tinggi dibanding harganya, penulis juga sudah cukup sering membahasnya di website ini. Silahkan cari di artikel-artikel terdahulu, semuanya boleh anda baca secara gratis!

Baiklah, tapi masa iya sih caranya sesederhana itu? Pokoknya beli saham murah, udah gitu aja? Ya memang tidak sesimpel itu juga. Berdasarkan pengalaman, diluar peraturan margin of safety yang sudah tidak boleh lagi ditawar-tawar tersebut, maka seiring perjalanan investasi yang anda lakukan, anda juga akan menemukan beberapa peraturan lainnya yang bisa disesuaikan dengan karakter anda sendiri sebagai investor. Contohnya, penulis termasuk investor yang cuek dan tidak peduli dengan fluktuasi jangka pendek/harian. Karena itulah penulis beberapa waktu terakhir berani beli saham-saham komoditas meski mereka sedang turun (karena sentimennya lagi jelek), as long as fundamentalnya bagus dan harga belinya juga nggak mahal. Tapi kalau anda tipe jantungan, maka anda disarankan untuk ambil saham-saham blue chip saja. Penulis pada waktu-waktu tertentu cukup berani untuk menempatkan 100% dana di saham, tapi beberapa investor lain mungkin lebih suka tetap harus menyisakan dana cash. Penulis tidak tahu apakah gaya investasi ini akan bisa dipertahankan kedepannya, atau, karena satu dan lain hal, harus diubah. Tapi yang pasti, sejak awal hingga seterusnya, saya akan selalu beli saham-saham yang berfundamental bagus pada harga yang murah.

Dan Warren Buffett juga sama. Pada tahun 60-an, ia menyukai saham-saham dengan PBV kurang dari 1 kali, bahkan meski perusahaan tersebut agak amburadul. Tapi kesininya ia lebih memilih saham-saham dari perusahaan yang sudah mapan meski memang harga belinya tidak bisa lagi semurah itu, dengan catatan harga beli tersebut tetap lebih rendah dibanding nilai intrinsik perusahaan. Intinya, Buffett pada hari ini bisa jadi sangatlah berbeda dengan Buffett 40 tahun yang lalu, meski kedua orang tersebut (Buffett pada hari ini, dan Buffett di tahun 1960-an) sama-sama menerapkan value investing. Penulis sendiri juga sama begitu, dimana saya hari ini sangatlah berbeda dengan saya lima tahun lalu, dan saya lima tahun yang akan datang mungkin juga akan berbeda dengan saya hari ini, but it’s okay as long as you keep applying the formula: The margin of safety.

Okay, ada yang mau menambahkan?

Instagram

Komentar

rudykawi mengatakan…
Yang perlu ditambahkan juga, siapa sopir atau management dari perusahaan yang akan diinvest? Managemen baik di perusahaan dengan bisnis yang buruk masih lebih baik dari managemen pt buruk yang mengatur perusahaan dengan bisnis baik. Jadi seandainya pun PER, PBV atau EPS bagus puntapi perusahaan dikelola managemen buruk, dan nakal....apalagi..., tidak akan bertahan lama untuk menuju kehancuran perusahaan tersebut. Bakrie and connections, dll dll adalah contoh yang kelihatan. meskipun value investing untuk saham yang dinilai murahpun punya nilai aktiva bersih tapi managemen buruk tentu akan menuju kehancuran. daya Guna Samudera, Berlian Laju tanker, dll
Anonim mengatakan…
Ada tambahan mas.. Artikelnya menarik.. hehe. Bravo.
Anonim mengatakan…
Menurut saya pak LKH lebih mirip dengan cara Ben Graham, mencari perusahaan yang murah yaitu yang harganya lebih rendah dari nilai bukunya terlepas apakah manajemennya buruk atau tidak. Setuju dengan Pak Teguh, Buffett juga awalnya begitu dengan Berkshire, GEICO dan Dempster Mill. Buffett melakukan Cigar Butt investing (sama seperti LKH dan Ben Graham) sampai akhirnya ia sadar melakukan kesalahan saat membeli Berkshire yang terus-menerus mengalami kerugian akibat bisnis tekstilnya dan ia merubah Berkshire menjadi perusahaan investasi seperti sekarang ini (bukan lagi tekstil). Sekarang Buffett membeli perusahaan dengan harga yang fair (walaupun mahal) tapi akan impas dengan laba di masa depannya. Buffett juga kadang-kadang melakukan workouts/stock arbitrage/special situations seperti RJR Nabisco dan Arcata.
Unknown mengatakan…
mas tulisan yang bagus. btw jarang bahas strategi Peter Lynch, kn doi juga value investor wlwpun tdk murni.
Anonim mengatakan…
Pak artikel yang ngomongin Banpu kenapa dihapus ? :)
Unknown mengatakan…
Tolong bahas CPRO pak..makasih

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?