Tantangan Ekonomi Presiden Jokowi
Jumat kemarin, Presiden Jokowi meresmikan
pembukaan pasar saham di hari perdagangan pertama di tahun 2015, di Gedung BEI,
Jakarta. Meski sejak beberapa tahun terakhir, pembukaan pasar saham di awal
tahun memang rutin dihadiri oleh Presiden RI, namun kehadiran Jokowi terasa
istimewa karena kita semua tahu persis bahwa sebelumnya beliau, terkait tragedi
Air Asia, sampai harus bolak-balik Papua – Jakarta – Pangkalan Bun – Surabaya,
dan ke Jakarta lagi hanya dalam hitungan hari, dan itu belum termasuk melakukan
tugas kenegaraan seperti menerima George Soros di Istana, rapat dengan para
menteri terkait penurunan harga BBM, dan melantik beberapa petinggi TNI yang
baru. Tapi toh, jumat kemarin beliau masih sempat-sempatnya mampir ke SCBD dan
juga hadir tepat waktu (sebelum pasar dibuka pukul 09.00 WIB), padahal pagi
harinya beliau berkunjung ke Pasar Tanah Abang dulu! Untuk blusukan seperti
biasa, dan juga membuka kegiatan perdagangan di Pasar Tanah Abang tersebut.
Penulis pribadi, sebagai investor yang setahunan
terakhir lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlibur dan do nothing, terus terang menjadi malu
sendiri kepada Pak Presiden yang seperti tanpa pernah beristirahat dalam menjalankan
seluruh tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Entah itu para pedagang di
pasar tradisional ataupun para pelaku pasar saham, dan juga para korban bencana
longsor Banjarnegara dan Air Asia, semuanya memperoleh perhatian secara
langsung tanpa terkecuali! So, dengan ini saya menyatakan, God bless you Mr.
President! Semoga anda panjang umur, tetap sehat walafiat, dan terus memberikan
inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk juga terus bekerja keras sesuai
peran dan kapasitas kami masing-masing, demi mewujudkan Indonesia yang lebih
baik.
Anyway, sekarang kita ke inti dari artikel ini.
Sepanjang tahun 2014 lalu, seperti yang anda ketahui, IHSG naik cukup
signifikan yakni 22.3%. Berdasarkan statistik BEI di hari perdagangan terakhir
di tahun 2014, dua sektor yang menjadi pendorong utama kenaikan IHSG adalah
sektor properti dan konstruksi dengan kenaikan 55.8%, dan jasa finansial
(perbankan, asuransi, dan pembiayaan) sebesar 35.4%. Kenaikan yang tinggi di
sektor properti dan konstruksi, terutama konstruksi, salah satunya karena
didorong oleh optimisme investor bahwa Pemerintahan yang baru dibawah presiden
Jokowi akan fokus pada pembangunan infrastruktur, dimana perusahaan-perusahaan
konstruksi akan diuntungkan. Dan karena pembangunan infrastruktur tersebut
dikatakan akan fokus pada sektor maritim, maka jadilah saham-saham perkapalan,
pelabuhan, hingga perikanan turut terkena sentimen positif. Jika semuanya
lancar, maka Indonesia akan menjadi salah satu ‘poros maritim dunia’ dalam
beberapa tahun kedepan. Penjelasan lebih lanjut mengenai prospek sektor
konstruksi dan kelautan ini bisa dibaca disini,
dan disini.
However, seperti yang sudah sering penulis
sampaikan, hanya karena Presiden Jokowi sudah mantap untuk sesegera mungkin
membangun infrastruktur termasuk infrastruktur kelautan, maka itu bukan berarti
sektor maritim kita akan langsung jadi bagus dalam sekejap untuk kemudian
memberikan dampak positif kepada perekonomian nasional secara keseluruhan.
Pembangunan pelabuhan dll biar bagaimanapun akan membutuhkan waktu yang tidak
sebentar, belum termasuk harus menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang sudah
pasti akan timbul dengan sendirinya.
Dan sayangnya, kalau kita balik lagi ke kondisi
perekonomian nasional pada saat ini, maka
Indonesia sejatinya sedang dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Jumat kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS)
merilis data neraca ekspor impor untuk periode Januari – November 2014, dan
datanya menunjukkan bahwa neraca perdagangan kita masih defisit (impor lebih besar dibanding ekspor) sebesar US$ 2.1
milyar. Defisit yang terjadi terus menerus sejak tahun 2012 turut menekan
pertumbuhan ekonomi nasional hingga ke level 5.0% pada Kuartal III 2014, atau level terendah dalam lima tahun terakhir. Data
inflasi juga tampak tidak terlalu bagus, dimana sepanjang tahun 2014 angkanya
tercatat 8.4%, atau jauh diatas target Bank Indonesia (BI) sebesar 4.5%. Karena
itulah, meski ada banyak pihak yang menyatakan bahwa pelemahan Rupiah hingga ke
posisi Rp12,474 per US Dollar adalah lebih karena penguatan mata uang US Dollar
itu sendiri, terbukti yang melemah gak cuma Rupiah melainkan hampir seluruh
mata uang negara lainnya juga turut melemah, namun faktor lainnya yang juga
harus diperhatikan adalah fundamental perekonomian Indonesia yang
memang, seperti yang sudah disebut diatas, sedang tidak terlalu bagus.
Kalau penulis perhatikan, kondisi ini masih
merupakan buntut dari pelemahan harga komoditas, terutama batubara, crude palm oil (CPO), dan karet yang terjadi sejak 2012 lalu
sampai sekarang (kita pernah membahasnya disini),
karena memang tiga komoditas itulah yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Posisi
terakhir dari harga batubara adalah sekitar US$ 65 per ton, dan CPO RM2,284 per
ton, alias masih sangat jauh dibawah harga tertingginya masing-masing yakni US$
110 per ton untuk batubara, dan RM3,900 per ton untuk CPO (untuk harga karet
agak susah cari datanya, tapi yang pasti lagi anjlok juga). And you know what?
Bahkan dalam kondisi dimana pendapatan perusahaan-perusahaan batubara dan
perkebunan kelapa sawit di BEI turun terus dalam 3 tahun terakhir, batubara dan
CPO masih menjadi komoditas ekspor utama Indonesia (diluar migas) dengan nilai
ekspor yang hampir persis sama, yakni masing-masing US$ 19.4 milyar untuk
periode Januari – November 2014. Sementara ekspor mesin dan peralatan listrik,
yang menempati posisi ketiga sebagai ekspor nonmigas terbesar Indonesia,
nilainya hanya US$ US$ 8.9 milyar (ekspor karet menempati posisi keempat dengan
nilai US$ 6.6 milyar). Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2011 dimana harga
komoditas sedang tinggi-tingginya, Indonesia mengekspor batubara, CPO, dan
karet senilai masing-masing US$ 27.4, 21.7, dan 14.3 milyar, yang menjadikan
ketiganya sebagai andalan utama ekspor nonmigas di Indonesia.
Problemnya adalah, diluar migas, batubara, CPO,
dan karet, ekspor Indonesia juga masih didominasi oleh komoditas natural resources lainnya, seperti kakao,
tembaga, bijih nikel, dan timah, dimana nilai
ekspor dari berbagai komoditas tersebut masih sangat tergantung oleh fluktuasi
harga internasional dari komoditas yang bersangkutan. Ketika kondisinya seperti
sekarang, dimana harga komoditas semuanya turun tanpa terkecuali, maka jadilah ekonomi makro kita menjadi
terkena dampak negatifnya, dimana kondisi fundamental ekonomi kita pada saat
ini justru lebih buruk dari setahunan
yang lalu. Pada Agustus 2013 lalu ketika IHSG sedang berada di salah satu
level terendahnya yakni 3,900 – 4,000, Rupiah masih berada di level Rp10,700 –
11,000 per USD, pertumbuhan ekonomi tercatat 5.8%, dan inflasi 8.8% (meski
inflasi ketika itu sudah tinggi, tapi ingat bahwa BI Rate pada Agustus 2013
hanya 6.50% dan bukan 7.75% seperti sekarang). Meski Warren Buffett sendiri seringkali
mengabaikan data makroekonomi seperti ini dan lebih fokus pada fundamental
perusahaan, namun mau tidak mau hal ini tetap menjadi concern penulis, karena itu artinya terdapat gap yang cukup lebar antara posisi IHSG pada saat ini dengan fakta
ekonomi di lapangan. Kalau anda mau jujur, anda juga harus mengakui bahwa
kenaikan saham-saham konstruksi, perkapalan hingga perikanan
sepanjang 2014 lalu, rata-rata lebih didorong oleh ‘prospek kedepan’ ketimbang
fundamental riil mereka bukan?
Kondisi perekonomian Indonesia yang tergantung
pada fluktuasi harga-harga komoditas di pasar internasional ini, mengingatkan
penulis dengan negara Qatar. Kalau
anda rajin baca-baca tentang ekonomi makro (di Wikipedia banyak kok), anda akan
mengetahui bahwa Qatar adalah negara paling makmur di dunia, dengan GDP per
kapita sebesar US$ 146 ribu pada tahun 2013, atau paling tinggi dibanding
negara lain manapun. Qatar bisa menjadi negara dengan GDP sebesar itu, karena
mereka memiliki salah satu cadangan gas
alam (natural gas) terbesar di dunia, dimana sektor gas alam dan minyak
menyumbang lebih dari 60% GDP di Qatar. Karena penduduk di Qatar cuma sedikit,
maka jadilah GDP per kapita mereka menjadi sangat besar. Kondisi ini juga mirip
dengan negara Brunei Darussalam, yang
juga merupakan salah satu negara dengan GDP per kapita tertinggi di dunia,
karena mereka punya stok minyak dan gas alam yang melimpah untuk diekspor,
sementara disisi lain jumlah penduduknya tidak begitu banyak.
However, baik Pemerintah Qatar maupun Brunei sejak
awal sudah sadar bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada
ekspor minyak dan gas, karena kalau begitu caranya maka pertumbuhan ekonomi
mereka akan dengan mudah diombang ambing oleh fluktuasi dari harga minyak dan
gas itu sendiri di pasar internasional. Karena itulah, sejak tahun 1983,
Pemerintah Brunei mendirikan Brunei
Investment Agency (BIA), yakni sebuah badan dibawah Kementerian Keuangan
Brunei, yang secara khusus bertugas untuk menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari
ekspor migas, sehingga dana tersebut tidak menguap sia-sia melainkan menjadi
aset yang menghasilkan tambahan pendapatan bagi negara dan juga perekonomian
Brunei secara keseluruhan. BIA kemudian menempatkan investasi pada beragam
aset, seperti Dolchester Collection, Beverly Hills Hotel, Grand Hyatt Singapore
Hotel, Paterson Securities (di Australia), Bahagia Investment Corp (di
Malaysia), dan seterusnya.
Sementara di Qatar, pemerintah setempat baru
mendirikan Qatar Investment Authority
(QIA) pada tahun 2005, dengan tujuan yang juga sama dengan BIA:
Menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas. Meski
masih relatif baru, QIA malah justru lebih agresif dalam
berinvestasi dimana mereka membeli saham-saham, baik minoritas maupun mayoritas, dari
perusahaan-perusahaan paling terkenal di dunia, seperti Barclays, Fisker,
Volkswagen Group, Harrods Group, Sainsbury’s, Miramax Films, Credit Suisse,
Royal Dutch Shell, hingga klub sepakbola Paris Saint Germain. Dengan
kepemilikan dana yang sepertinya tidak terbatas, baru-baru ini QIA juga
menginvestasikan US$ 5 milyar untuk membangun fasilitas petrokimia di Malaysia,
dan US$ 10 milyar untuk investasi di berbagai sektor ekonomi di Tiongkok
(dengan bekerja sama dengan CITIC Group sebagai fund manager-nya).
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Meski Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam
yang melimpah mulai dari minyak dan gas, emas, nikel, batubara, hingga CPO dan
karet, namun kebanyakan dari sumber daya alam tersebut dikuasai oleh swasta,
baik itu asing maupun domestik, dan bukannya Pemerintah, dan ini berbeda dengan
Pemerintah Brunei dan Qatar yang memiliki kendali penuh atas hampir seluruh
cadangan migas mereka. Alhasil ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka
yang menikmatinya hanya pihak-pihak tertentu seperti para konglomerat pemilik
tambang batubara, dan bukannya warga negara secara keseluruhan. Itu sebabnya
meski ekonomi kita tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun
pertumbuhan tersebut terjadi dengan sangat
tidak merata, dimana beberapa orang kaya di perkotaan bisa menjadi tambah
kaya, tapi orang-orang yang miskin di kampung-kampung tetap saja miskin.
Problemnya adalah, jika para konglomerat ini lebih
memilih untuk menarik dana hasil surplus mereka dari ekspor batubara dll keluar
Indonesia (seperti yang dilakukan Banpu
melalui ITMG), maka ya jadinya kita nggak dapet apa-apa. Tapi ketika
gilirannya harga-harga komoditas ini turun, maka perekonomian kita tetap
terkena dampaknya. Pemerintah Indonesia sebenarnya bukan tanpa kendali sama
sekali terhadap natural resources, karena mereka masih menguasai minyak melalui
Pertamina,
batubara melalui Bukit Asam
(PTBA), dan perkebunan kelapa sawit dan karet melalui PT Perkebunan
Nusantara (PTPN). Tapi yah, seberapa besar sih kekuasaan Pertamina atas
cadangan minyak di seluruh Indonesia? SKK Migas sejauh ini kerjanya ngapain aja? Termasuk PTBA, coba deh, bisa nggak
mereka ambil alih Kaltim Prima Coal (KPC) dari tangan Bumi
Resources (BUMI)?
However, kinerja yang tidak terlalu bagus yang
ditunjukkan oleh BUMN-BUMN di bidang natural resources diatas, mungkin itu
karena kurangnya support dari Pemerintah juga, dimana DPR kerjaannya cuma minta
setoran dividen aja tiap tahun, atau minta jatah kursi komisaris dengan gaji
Rp50 juta per bulan padahal kerjaannya cuma datang rapat nggak jelas setahun
sekali. At the end, baik itu pemerintah Qatar maupun Brunei, mereka bisa
memiliki kendali penuh atas natural resources-nya, karena ketegasan sang Emir dan Sultan dalam mengatakan, ‘all of
these natural resources are belong to our people, and not certain individual or
corporations!’. Dalam mengelola migas-nya, pemerintah Brunei sejatinya tidak
sendirian melainkan bekerja sama dengan Shell, dan Pemerintah Qatar juga harus
bekerja sama dengan ExxonMobil, Total, Mitsui, dan Marubeni. However, sebagai
tuan rumah, Pemerintah Brunei dan Qatar sama-sama dalam posisi majority shareholders dari perusahaan
minyak yang didirikan, sehingga mereka memiliki kendali atas
perusahaan-perusahaan minyak global tersebut, dan bukannya sebaliknya.
Kemudian bagaimana dengan Pemerintah Indonesia?
Di bawah pimpinan Presiden Jokowi, jika
menyaksikan ketegasan beliau dalam memimpin TNI, Polri, dan seluruh elemen
pemerintahan yang terkait dalam proses pencarian dan evakuasi pesawat Air Asia
QZ8501 hingga akhirnya beberapa jenazah korban bisa dievakuasi dalam waktu yang relatif singkat, dan juga ketika bagaimana Pemerintah bisa dengan gampangnya mencabut
subsidi BBM dan mengeksekusi keputusan penting lainnya tanpa perlu lagi bagi-bagi
jatah jabatan dengan para orang-orang di DPR seperti yang dulu selalu dilakukan
Presiden SBY, maka terdapat harapan yang besar bahwa Indonesia kini memiliki pemerintahan yang efektif, yang bisa
dengan tegas mengatakan kepada individu maupun korporasi tertentu, baik asing
maupun lokal, bahwa, ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!’.
Penulis berharap bahwa, meski tentunya memerlukan kerja keras dan waktu yang tidak
sebentar, namun suatu hari nanti Pemerintah RI pada akhirnya memiliki cukup
kendali atas cadangan natural resources
di Indonesia, entah itu melalui BUMN atau badan-badan yang secara khusus
dibentuk untuk mengelola natural resources tersebut.
Kemudian, setelah memastikan bahwa hasil sumber
daya alam kita nggak diangkut kemana-mana melainkan balik lagi ke bumi
Indonesia, maka Pemerintah juga mendirikan satu badan khusus, mungkin dengan
nama Indonesia Investment Authorities
atau semacamnya, yang bertugas untuk menginvestasikan kembali hasil surplus
dari natural resources (atau dari manapun), ke aset-aset yang produktif. Dengan cara inilah, meski tentunya akan
membutuhkan waktu yang tidak sebentar, maka suatu hari nanti pertumbuhan
ekonomi Indonesia akan tidak lagi tergantung pada fluktuasi harga komoditas, karena
kita juga punya alternative income dalam
bentuk dividen ataupun profit sharing dari investasi-investasi yang sudah ditanamkan sebelumnya, dimana income ini
langsung masuk ke kas negara dan bisa dialokasikan untuk APBN.
Kalau boleh jujur, jika mampu dikelola dengan
serius, maka Indonesia Investment Authorities ini sebenarnya bisa juga langsung
didirikan untuk kemudian beroperasi tanpa perlu menunggu support dana yang
dihasilkan dari surplus natural resources. Sejak tahun 1974 lalu, atau kurang
dari sepuluh tahun sejak negaranya merdeka, Pemerintah Singapura sudah
mendirikan Temasek Holdings, sebuah
perusahaan investasi yang kerjaannya menginvestasikan sejumlah dana yang sejak
awal memang sudah dialokasikan oleh Pemerintah untuk diinvestasikan, tanpa
perlu menunggu surplus dari hasil ekspor natural resources atau lainnya, karena
memang Singapura nggak punya natural resources sama sekali. Dan setelah 40
tahun, pada saat ini Temasek merupakan salah satu perusahaan konglomerasi
terbesar di dunia dengan total aset US$ 317 milyar pada akhir tahun 2013. Untuk
tahun fiskal 2013, Temasek menghasilkan laba bersih US$ 10.6 milyar, yang
kesemuanya menjadi milik Kementerian Keuangan Republik Singapura sebagai pemegang
100% sahamnya. Untuk state budget,
Pemerintah Singapura juga secara rutin menarik dividen dari Temasek dengan
nilai sesuai kebutuhan.
Kesimpulan
Karena negaranya tidak memiliki natural resources,
maka nilai dana kelolaan yang dipegang Temasek sebenarnya relatif terbatas,
sehingga kontribusinya terhadap perekonomian Singapura secara keseluruhan tidak
terlalu signifikan, dan ini berbeda dengan BIA milik Brunei ataupun QIA milik
Qatar, yang kinerja mereka dalam berinvestasi cukup berpengaruh terhadap perekonomian
nasional.
Sementara posisi Indonesia lebih mirip dengan
Brunei dan Qatar ketimbang Singapura, dalam hal kepemilikan sumber daya alamnya
yang melimpah. However, jika Pemerintah kesulitan dalam mengambil alih semua
aset natural resources yang tersebar di seluruh Indonesia (karena memang tidak semudah itu), maka paling tidak bisa dibuat
beberapa formula atau peraturan yang memungkinkan Pemerintah memperoleh bagian
lebih dari natural resources yang dihasilkan perusahaan-perusahaan. Contohnya,
diluar pajak yang dibayar perusahaan, Pemerintah sudah menerima royalti dari
batubara, bea keluar dari ekspor CPO, dan juga royalti dari tambang emas milik
Freeport dan Newmont. Jika Pemerintah mampu bernegosiasi dengan pihak
korporasi, maka nilai dari royalti dan bea keluar tersebut bisa dinaikkan
sekian persen, katakanlah dengan menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar
internasional (jadi kalau harga batubara naik, royaltinya ikut naik, kalau turun
ya ikut turun).
Dana yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam
satu wadah, katakanlah dengan nama Indonesia
Natural Resources Fund, untuk kemudian jangan
digunakan untuk apa-apa kecuali untuk investasi, dalam hal ini investasi di
dalam negeri untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pembangkit listrik dll.
Selain itu, diluar dana yang dikelola sendiri oleh negara, Pemerintah juga bisa
mengeluarkan peraturan yang mengharuskan korporasi-korporasi tambang dan
lainnya untuk menggunakan perolehan laba yang besar termasuk ketika harga
batubara sedang tinggi-tingginya, untuk diinvestasikan disini ketimbang dibawa
kabur keluar negeri.
Sebab, sebagai mana yang kita ketahui pertumbuhan
ekonomi didorong oleh empat komponen yakni konsumsi,
investasi, belanja negara, dan ekspor,
dan ditekan oleh satu komponen, yakni impor.
Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ada banyak upaya yang bisa
dilakukan selain dengan terus mendorong ekspor dan menekan impor, yakni juga
dengan mendorong investasi di dalam
negeri, atau boleh juga investasi diluar negeri selama dana yang
diinvestasikan adalah milik Pemerintah atau pihak swasta domestik (sehingga
keuntungan hasil investasinya akan tetap balik lagi ke Indonesia). Ketika
harga-harga komoditas sedang naik, maka ekspor Indonesia juga akan meningkat dengan sendirinya, namun yang terpenting adalah surplus/cadangan dana yang bisa digunakan untuk investasi kemudian, baik itu oleh Pemerintah
maupun swasta, juga turut meningkat. Dan ketika harga-harga komoditas sedang
turun, maka penurunan nilai ekspor akan dikompensasi dengan peningkatan investasi,
menggunakan dana 'tabungan' dari periode waktu ketika harga-harga komoditas sedang tinggi.
Dengan cara inilah, yakni menyimpan/menabung
kelebihan dana ketika lagi banyak duit dalam bentuk investasi, dan
menggunakannya nanti ketika lagi susah (untuk konsumsi, belanja negara dalam
bentuk subsidi, dll), maka ekonomi Indonesia akan bisa tumbuh secara stabil
tanpa perlu lagi bergantung pada fluktuasi harga komoditas di pasar
internasional.
.
.
.
Kepada yang terhormat Bapak Presiden,
Sebagai rakyat biasa, kami tentu tidak
memiliki power apapun untuk
merealisasikan ide-ide yang sudah dibahas diatas. Dan terus terang kami merasa
malu karena melalui tulisan ini kami seolah-olah mengatur-ngatur Bapak dan
seluruh jajaran pemerintah dibawah pimpinan Bapak untuk melakukan ini dan itu,
padahal tugas dan pekerjaan mereka sudah sangat banyak. Kami juga mengetahui
persis bahwa apa yang sudah disampaikan diatas jauh lebih mudah untuk dikatakan
ketimbang dipraktekkan di lapangan.
However, seperti yang sudah kami sampaikan diatas,
kerja keras yang Bapak tunjukkan selama ini telah menginspirasi
kami untuk juga melakukan hal yang sama, untuk turut berkontribusi secara
positif, meski mungkin hanya dalam bentuk kontribusi yang teramat sangat kecil
dan tidak berarti, terhadap pembangunan negeri.
Dan dalam kapasitas kami sebagai penulis dan
pelaku investasi, maka hanya dalam bentuk tulisan inilah kontribusi tersebut
bisa kami berikan. Tidak ada maksud dan tujuan lain dari tulisan ini kecuali
kami menginginkan agar Indonesia menjadi negara yang maju, dimana suatu hari
nanti ketika kami bepergian ke luar negeri dan ketika ditanya oleh penduduk
setempat tentang dari mana kami berasal, kami bisa dengan bangga menjawab,
‘from beloved Indonesia’.
Terus terang, sebelum Bapak menjadi Presiden, kami
tidak terlalu merasa optimis dengan Pemerintah, dan karena itulah kami juga
bersikap apatis dengan hanya peduli pada diri kami sendiri namun tidak pernah
peduli terhadap negara. Namun apa yang Bapak lakukan sejauh ini membuat
optimisme tersebut telah tumbuh dengan sangat cepat, hingga membuat kami merasa begitu bersemangat untuk juga turut ambil
bagian dalam pembangunan nusantara tercinta. Jadi dengan ini kami sampaikan, you’re not
alone, Mr. President! Karena kami semua ada di belakangmu.
Semoga panjang umur Pak Jokowi, semoga rahmat Allah SWT senantiasa tercurah bagi Bapak dan seluruh keluarga. Amin!
Jakarta, 3 Januari 2015
Teguh Hidayat
Komentar
Selain royalti progresif di batubara, di sektor perkebunan kelapa sawit juga ada bea keluar yang juga progresif. Tapi penggunaan dana tersebut belum jelas untuk investasi atau apa. Bea keluar CPO saja, setelah diakumluasikan, menurut Gapki nilainya sudah lebih dari Rp50 trilyun. Jika dana tersebut bisa diinvestasikan dengan gain 12% saja setiap tahunnya (12% itu rata2 pertumbuhan IHSG sejak 1982 sampai sekarang), maka dalam jangka panjang hasilnya akan luar biasa.
pak saya seorang newbie nh, mau tanya untuk PGAS. beritanya PGAS melakukan buy back saham dan sekarang ingin melakukan penjualan kembali. sesuai dengan peraturan bursa di jual 2minggu setelah informasi public dan harus di atas harga rata2 90 hari ( correct me if im wrong). yang ingin saya tanyakan, akan adakah efek yang di timbulkan ke saham PGAS? apakah harganya akan di tekan?
terimakasih pak teguh
sukses selalu dan keep sharing ilmunya :)
Brunei dan Qatar itu negara mungil dengan kekayaan luar biasa , ibarat anak semata wayang seorang Multi Billionaire yang tentunya akan hidup berkelimpahan , terima kasih dengan kandungan luar biasa MIGAS.
Mengatakan Indonesia kaya tentulah tidak salah , bahkan tidak hanya kandungan kekayaan alam namun posisi geografis , geopolitk yang sangat strategis juga dari sudut pandang iklim bersahabat untuk keanekaragaman flora dan fauna jelas melengkapi kekaguman.
Meski demikian , kehendak dan impian besar seorang Soekarno dengan imperial Indonesia yang meluas dari Aceh sampai Papua bukan tanpa problem , bukan tanpa tantangan berat. Semakin besar wilayah , semakin banyak penduduk , semakin besar kekayaan alam , semakin besar kepentingan negara atau wilayah lain maka semakin besar pula tantangan dan problematika dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.
Saya tidak menyangkal atau membela pemerintahan kita yang jelas jauh dari memuaskan dalam tata kelola kekayaan alam (dan saya setuju bahwa perampokan massal sudah terjadi sejak penjajahan...yes !) namun bukan berarti pemerintahan sentralistik cenderung autokrat seperti Brunei ataupun Qatar dengan emir-nya menjadi solusi bagi pembangunan negeri ini. Mereka bisa leluasa menjalankan pemerintahan karena memang komparitas antara aset dengan liabilitas teramat jauh. Tidak dibutuhkan seorang jenius untuk berinvestasi di luxury business seperti yang dilakoni oleh keluarga sang Sultan maupun keluarga sang Emir dan kalau anda mau gali lebih jauh, bias antara milik negara dan penguasa itu sangat tipis perbedaannya.
Namun selama jaminan sosial dan subsidi lainnya mengalir deras , semua bisa menerima dan hidup dengan tenang (herd mentality), bahwa dibalik kerlap kerlip kemewahan tersebut banyak malinvestasi dan korupsi dibaliknya, bedanya mereka bermain dalam kelebihan bahkan kelimpahan sementara kita bertarung dalam ketimpangan.
Pola dan tata kelola pemerintahan dewasa ini adalah hidup dalam defisit terukur dengan proyeksi inflasi terbatas guna mendorong pertumbuhan di masa mendatang, bahwa defisit yang tentunya ditutupi dengan kapital dari luar atau utang tentu bisa menjadi solusi dari keterbatasan modal dalam investasi, namun problem utamanya adalah bukan pada tidak adanya kapital untuk mendanai investasi namun pengelolaan kapital yang salah kaprah dan cenderung boros tanpa makna alias tata kelola keuangan untuk memiskinkan bangsa.
Sebagai gambaran nyata cukup buka atau baca laporan triwulanan daerah oleh BI dan kita bisa menengok bagaimana daya serap anggaran di pemerintahan daerah yang tentunya merupakan ujung tombak dari pembangangunan modal.
Mulai dari anggaran yang lebih banyak diserap pada kegiatan tidak langsung termasuk belanja hibah juga ongkos produksi mahal untuk membayar pegawai juga belanja pegawai yang luar biasa besar dengan kontribusi yang minim (maaf , namun ini fakta) sementara daya serap anggaran investasi yang jelas-jelas seharusnya dijalankan paling awal dan sejak dini (mengingat multiplier effect dan inflasi) daya serapnya begitu rendah , bahkan tidak jarang hingga kuartal III masih dibawah 30% !
Sehingga bukan saja belanja pegawai maupun barang dan jasa lebih besar dibandingkan dengan belanja modal, namun daya serapnya juga sangat minim dan kita belum bicara mengenai malinvestasi maupun penyelewengan dana. Dari sini kita bisa memahami bahwa dana investasi yang besar tidak menjadi solusi terdepan melainkan bagaimana menggunakan anggaran dengan tepat guna adalah hal yang utama (suatu situasi yang belum dipahami atau dipedulikan para pemimpin, dan terutama para pemimpin daerah)
best regards,
e
PS : tahun ini akan menjadi tahun yang sangat berat , semoga kita bisa melaluinya dengan tabah...good luck !
ditunggu analisisnya tentang INVS ya pak? kenapa tu saham sampai terjun bebas dari pertengahan tahun lalu