Tantangan Ekonomi Presiden Jokowi

Jumat kemarin, Presiden Jokowi meresmikan pembukaan pasar saham di hari perdagangan pertama di tahun 2015, di Gedung BEI, Jakarta. Meski sejak beberapa tahun terakhir, pembukaan pasar saham di awal tahun memang rutin dihadiri oleh Presiden RI, namun kehadiran Jokowi terasa istimewa karena kita semua tahu persis bahwa sebelumnya beliau, terkait tragedi Air Asia, sampai harus bolak-balik Papua – Jakarta – Pangkalan Bun – Surabaya, dan ke Jakarta lagi hanya dalam hitungan hari, dan itu belum termasuk melakukan tugas kenegaraan seperti menerima George Soros di Istana, rapat dengan para menteri terkait penurunan harga BBM, dan melantik beberapa petinggi TNI yang baru. Tapi toh, jumat kemarin beliau masih sempat-sempatnya mampir ke SCBD dan juga hadir tepat waktu (sebelum pasar dibuka pukul 09.00 WIB), padahal pagi harinya beliau berkunjung ke Pasar Tanah Abang dulu! Untuk blusukan seperti biasa, dan juga membuka kegiatan perdagangan di Pasar Tanah Abang tersebut.

Penulis pribadi, sebagai investor yang setahunan terakhir lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlibur dan do nothing, terus terang menjadi malu sendiri kepada Pak Presiden yang seperti tanpa pernah beristirahat dalam menjalankan seluruh tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Entah itu para pedagang di pasar tradisional ataupun para pelaku pasar saham, dan juga para korban bencana longsor Banjarnegara dan Air Asia, semuanya memperoleh perhatian secara langsung tanpa terkecuali! So, dengan ini saya menyatakan, God bless you Mr. President! Semoga anda panjang umur, tetap sehat walafiat, dan terus memberikan inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk juga terus bekerja keras sesuai peran dan kapasitas kami masing-masing, demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Anyway, sekarang kita ke inti dari artikel ini. Sepanjang tahun 2014 lalu, seperti yang anda ketahui, IHSG naik cukup signifikan yakni 22.3%. Berdasarkan statistik BEI di hari perdagangan terakhir di tahun 2014, dua sektor yang menjadi pendorong utama kenaikan IHSG adalah sektor properti dan konstruksi dengan kenaikan 55.8%, dan jasa finansial (perbankan, asuransi, dan pembiayaan) sebesar 35.4%. Kenaikan yang tinggi di sektor properti dan konstruksi, terutama konstruksi, salah satunya karena didorong oleh optimisme investor bahwa Pemerintahan yang baru dibawah presiden Jokowi akan fokus pada pembangunan infrastruktur, dimana perusahaan-perusahaan konstruksi akan diuntungkan. Dan karena pembangunan infrastruktur tersebut dikatakan akan fokus pada sektor maritim, maka jadilah saham-saham perkapalan, pelabuhan, hingga perikanan turut terkena sentimen positif. Jika semuanya lancar, maka Indonesia akan menjadi salah satu ‘poros maritim dunia’ dalam beberapa tahun kedepan. Penjelasan lebih lanjut mengenai prospek sektor konstruksi dan kelautan ini bisa dibaca disini, dan disini.

However, seperti yang sudah sering penulis sampaikan, hanya karena Presiden Jokowi sudah mantap untuk sesegera mungkin membangun infrastruktur termasuk infrastruktur kelautan, maka itu bukan berarti sektor maritim kita akan langsung jadi bagus dalam sekejap untuk kemudian memberikan dampak positif kepada perekonomian nasional secara keseluruhan. Pembangunan pelabuhan dll biar bagaimanapun akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, belum termasuk harus menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang sudah pasti akan timbul dengan sendirinya.

Dan sayangnya, kalau kita balik lagi ke kondisi perekonomian nasional pada saat ini, maka Indonesia sejatinya sedang dalam kondisi yang tidak terlalu baik. Jumat kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data neraca ekspor impor untuk periode Januari – November 2014, dan datanya menunjukkan bahwa neraca perdagangan kita masih defisit (impor lebih besar dibanding ekspor) sebesar US$ 2.1 milyar. Defisit yang terjadi terus menerus sejak tahun 2012 turut menekan pertumbuhan ekonomi nasional hingga ke level 5.0% pada Kuartal III 2014, atau level terendah dalam lima tahun terakhir. Data inflasi juga tampak tidak terlalu bagus, dimana sepanjang tahun 2014 angkanya tercatat 8.4%, atau jauh diatas target Bank Indonesia (BI) sebesar 4.5%. Karena itulah, meski ada banyak pihak yang menyatakan bahwa pelemahan Rupiah hingga ke posisi Rp12,474 per US Dollar adalah lebih karena penguatan mata uang US Dollar itu sendiri, terbukti yang melemah gak cuma Rupiah melainkan hampir seluruh mata uang negara lainnya juga turut melemah, namun faktor lainnya yang juga harus diperhatikan adalah fundamental perekonomian Indonesia yang memang, seperti yang sudah disebut diatas, sedang tidak terlalu bagus.

Kalau penulis perhatikan, kondisi ini masih merupakan buntut dari pelemahan harga komoditas, terutama batubara, crude palm oil (CPO), dan karet yang terjadi sejak 2012 lalu sampai sekarang (kita pernah membahasnya disini), karena memang tiga komoditas itulah yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Posisi terakhir dari harga batubara adalah sekitar US$ 65 per ton, dan CPO RM2,284 per ton, alias masih sangat jauh dibawah harga tertingginya masing-masing yakni US$ 110 per ton untuk batubara, dan RM3,900 per ton untuk CPO (untuk harga karet agak susah cari datanya, tapi yang pasti lagi anjlok juga). And you know what? Bahkan dalam kondisi dimana pendapatan perusahaan-perusahaan batubara dan perkebunan kelapa sawit di BEI turun terus dalam 3 tahun terakhir, batubara dan CPO masih menjadi komoditas ekspor utama Indonesia (diluar migas) dengan nilai ekspor yang hampir persis sama, yakni masing-masing US$ 19.4 milyar untuk periode Januari – November 2014. Sementara ekspor mesin dan peralatan listrik, yang menempati posisi ketiga sebagai ekspor nonmigas terbesar Indonesia, nilainya hanya US$ US$ 8.9 milyar (ekspor karet menempati posisi keempat dengan nilai US$ 6.6 milyar). Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2011 dimana harga komoditas sedang tinggi-tingginya, Indonesia mengekspor batubara, CPO, dan karet senilai masing-masing US$ 27.4, 21.7, dan 14.3 milyar, yang menjadikan ketiganya sebagai andalan utama ekspor nonmigas di Indonesia.

Problemnya adalah, diluar migas, batubara, CPO, dan karet, ekspor Indonesia juga masih didominasi oleh komoditas natural resources lainnya, seperti kakao, tembaga, bijih nikel, dan timah, dimana nilai ekspor dari berbagai komoditas tersebut masih sangat tergantung oleh fluktuasi harga internasional dari komoditas yang bersangkutan. Ketika kondisinya seperti sekarang, dimana harga komoditas semuanya turun tanpa terkecuali, maka jadilah ekonomi makro kita menjadi terkena dampak negatifnya, dimana kondisi fundamental ekonomi kita pada saat ini justru lebih buruk dari setahunan yang lalu. Pada Agustus 2013 lalu ketika IHSG sedang berada di salah satu level terendahnya yakni 3,900 – 4,000, Rupiah masih berada di level Rp10,700 – 11,000 per USD, pertumbuhan ekonomi tercatat 5.8%, dan inflasi 8.8% (meski inflasi ketika itu sudah tinggi, tapi ingat bahwa BI Rate pada Agustus 2013 hanya 6.50% dan bukan 7.75% seperti sekarang). Meski Warren Buffett sendiri seringkali mengabaikan data makroekonomi seperti ini dan lebih fokus pada fundamental perusahaan, namun mau tidak mau hal ini tetap menjadi concern penulis, karena itu artinya terdapat gap yang cukup lebar antara posisi IHSG pada saat ini dengan fakta ekonomi di lapangan. Kalau anda mau jujur, anda juga harus mengakui bahwa kenaikan saham-saham konstruksi, perkapalan hingga perikanan sepanjang 2014 lalu, rata-rata lebih didorong oleh ‘prospek kedepan’ ketimbang fundamental riil mereka bukan?

Kondisi perekonomian Indonesia yang tergantung pada fluktuasi harga-harga komoditas di pasar internasional ini, mengingatkan penulis dengan negara Qatar. Kalau anda rajin baca-baca tentang ekonomi makro (di Wikipedia banyak kok), anda akan mengetahui bahwa Qatar adalah negara paling makmur di dunia, dengan GDP per kapita sebesar US$ 146 ribu pada tahun 2013, atau paling tinggi dibanding negara lain manapun. Qatar bisa menjadi negara dengan GDP sebesar itu, karena mereka memiliki salah satu cadangan gas alam (natural gas) terbesar di dunia, dimana sektor gas alam dan minyak menyumbang lebih dari 60% GDP di Qatar. Karena penduduk di Qatar cuma sedikit, maka jadilah GDP per kapita mereka menjadi sangat besar. Kondisi ini juga mirip dengan negara Brunei Darussalam, yang juga merupakan salah satu negara dengan GDP per kapita tertinggi di dunia, karena mereka punya stok minyak dan gas alam yang melimpah untuk diekspor, sementara disisi lain jumlah penduduknya tidak begitu banyak.

However, baik Pemerintah Qatar maupun Brunei sejak awal sudah sadar bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada ekspor minyak dan gas, karena kalau begitu caranya maka pertumbuhan ekonomi mereka akan dengan mudah diombang ambing oleh fluktuasi dari harga minyak dan gas itu sendiri di pasar internasional. Karena itulah, sejak tahun 1983, Pemerintah Brunei mendirikan Brunei Investment Agency (BIA), yakni sebuah badan dibawah Kementerian Keuangan Brunei, yang secara khusus bertugas untuk menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas, sehingga dana tersebut tidak menguap sia-sia melainkan menjadi aset yang menghasilkan tambahan pendapatan bagi negara dan juga perekonomian Brunei secara keseluruhan. BIA kemudian menempatkan investasi pada beragam aset, seperti Dolchester Collection, Beverly Hills Hotel, Grand Hyatt Singapore Hotel, Paterson Securities (di Australia), Bahagia Investment Corp (di Malaysia), dan seterusnya.

Sementara di Qatar, pemerintah setempat baru mendirikan Qatar Investment Authority (QIA) pada tahun 2005, dengan tujuan yang juga sama dengan BIA: Menginvestasikan kembali dana surplus yang dihasilkan dari ekspor migas. Meski masih relatif baru, QIA malah justru lebih agresif dalam berinvestasi dimana mereka membeli saham-saham, baik minoritas maupun mayoritas, dari perusahaan-perusahaan paling terkenal di dunia, seperti Barclays, Fisker, Volkswagen Group, Harrods Group, Sainsbury’s, Miramax Films, Credit Suisse, Royal Dutch Shell, hingga klub sepakbola Paris Saint Germain. Dengan kepemilikan dana yang sepertinya tidak terbatas, baru-baru ini QIA juga menginvestasikan US$ 5 milyar untuk membangun fasilitas petrokimia di Malaysia, dan US$ 10 milyar untuk investasi di berbagai sektor ekonomi di Tiongkok (dengan bekerja sama dengan CITIC Group sebagai fund manager-nya).

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Meski Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah mulai dari minyak dan gas, emas, nikel, batubara, hingga CPO dan karet, namun kebanyakan dari sumber daya alam tersebut dikuasai oleh swasta, baik itu asing maupun domestik, dan bukannya Pemerintah, dan ini berbeda dengan Pemerintah Brunei dan Qatar yang memiliki kendali penuh atas hampir seluruh cadangan migas mereka. Alhasil ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka yang menikmatinya hanya pihak-pihak tertentu seperti para konglomerat pemilik tambang batubara, dan bukannya warga negara secara keseluruhan. Itu sebabnya meski ekonomi kita tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun pertumbuhan tersebut terjadi dengan sangat tidak merata, dimana beberapa orang kaya di perkotaan bisa menjadi tambah kaya, tapi orang-orang yang miskin di kampung-kampung tetap saja miskin.

Problemnya adalah, jika para konglomerat ini lebih memilih untuk menarik dana hasil surplus mereka dari ekspor batubara dll keluar Indonesia (seperti yang dilakukan Banpu melalui ITMG), maka ya jadinya kita nggak dapet apa-apa. Tapi ketika gilirannya harga-harga komoditas ini turun, maka perekonomian kita tetap terkena dampaknya. Pemerintah Indonesia sebenarnya bukan tanpa kendali sama sekali terhadap natural resources, karena mereka masih menguasai minyak melalui Pertamina, batubara melalui Bukit Asam (PTBA), dan perkebunan kelapa sawit dan karet melalui PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Tapi yah, seberapa besar sih kekuasaan Pertamina atas cadangan minyak di seluruh Indonesia? SKK Migas sejauh ini kerjanya ngapain aja? Termasuk PTBA, coba deh, bisa nggak mereka ambil alih Kaltim Prima Coal (KPC) dari tangan Bumi Resources (BUMI)?

However, kinerja yang tidak terlalu bagus yang ditunjukkan oleh BUMN-BUMN di bidang natural resources diatas, mungkin itu karena kurangnya support dari Pemerintah juga, dimana DPR kerjaannya cuma minta setoran dividen aja tiap tahun, atau minta jatah kursi komisaris dengan gaji Rp50 juta per bulan padahal kerjaannya cuma datang rapat nggak jelas setahun sekali. At the end, baik itu pemerintah Qatar maupun Brunei, mereka bisa memiliki kendali penuh atas natural resources-nya, karena ketegasan sang Emir dan Sultan dalam mengatakan, ‘all of these natural resources are belong to our people, and not certain individual or corporations!’. Dalam mengelola migas-nya, pemerintah Brunei sejatinya tidak sendirian melainkan bekerja sama dengan Shell, dan Pemerintah Qatar juga harus bekerja sama dengan ExxonMobil, Total, Mitsui, dan Marubeni. However, sebagai tuan rumah, Pemerintah Brunei dan Qatar sama-sama dalam posisi majority shareholders dari perusahaan minyak yang didirikan, sehingga mereka memiliki kendali atas perusahaan-perusahaan minyak global tersebut, dan bukannya sebaliknya.

Kemudian bagaimana dengan Pemerintah Indonesia?

Di bawah pimpinan Presiden Jokowi, jika menyaksikan ketegasan beliau dalam memimpin TNI, Polri, dan seluruh elemen pemerintahan yang terkait dalam proses pencarian dan evakuasi pesawat Air Asia QZ8501 hingga akhirnya beberapa jenazah korban bisa dievakuasi dalam waktu yang relatif singkat, dan juga ketika bagaimana Pemerintah bisa dengan gampangnya mencabut subsidi BBM dan mengeksekusi keputusan penting lainnya tanpa perlu lagi bagi-bagi jatah jabatan dengan para orang-orang di DPR seperti yang dulu selalu dilakukan Presiden SBY, maka terdapat harapan yang besar bahwa Indonesia kini memiliki pemerintahan yang efektif, yang bisa dengan tegas mengatakan kepada individu maupun korporasi tertentu, baik asing maupun lokal, bahwa, ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!’. Penulis berharap bahwa, meski tentunya memerlukan kerja keras dan waktu yang tidak sebentar, namun suatu hari nanti Pemerintah RI pada akhirnya memiliki cukup kendali atas cadangan natural resources di Indonesia, entah itu melalui BUMN atau badan-badan yang secara khusus dibentuk untuk mengelola natural resources tersebut.

Kemudian, setelah memastikan bahwa hasil sumber daya alam kita nggak diangkut kemana-mana melainkan balik lagi ke bumi Indonesia, maka Pemerintah juga mendirikan satu badan khusus, mungkin dengan nama Indonesia Investment Authorities atau semacamnya, yang bertugas untuk menginvestasikan kembali hasil surplus dari natural resources (atau dari manapun), ke aset-aset yang produktif. Dengan cara inilah, meski tentunya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, maka suatu hari nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tidak lagi tergantung pada fluktuasi harga komoditas, karena kita juga punya alternative income dalam bentuk dividen ataupun profit sharing dari investasi-investasi yang sudah ditanamkan sebelumnya, dimana income ini langsung masuk ke kas negara dan bisa dialokasikan untuk APBN.

Kalau boleh jujur, jika mampu dikelola dengan serius, maka Indonesia Investment Authorities ini sebenarnya bisa juga langsung didirikan untuk kemudian beroperasi tanpa perlu menunggu support dana yang dihasilkan dari surplus natural resources. Sejak tahun 1974 lalu, atau kurang dari sepuluh tahun sejak negaranya merdeka, Pemerintah Singapura sudah mendirikan Temasek Holdings, sebuah perusahaan investasi yang kerjaannya menginvestasikan sejumlah dana yang sejak awal memang sudah dialokasikan oleh Pemerintah untuk diinvestasikan, tanpa perlu menunggu surplus dari hasil ekspor natural resources atau lainnya, karena memang Singapura nggak punya natural resources sama sekali. Dan setelah 40 tahun, pada saat ini Temasek merupakan salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di dunia dengan total aset US$ 317 milyar pada akhir tahun 2013. Untuk tahun fiskal 2013, Temasek menghasilkan laba bersih US$ 10.6 milyar, yang kesemuanya menjadi milik Kementerian Keuangan Republik Singapura sebagai pemegang 100% sahamnya. Untuk state budget, Pemerintah Singapura juga secara rutin menarik dividen dari Temasek dengan nilai sesuai kebutuhan.


Kesimpulan

Karena negaranya tidak memiliki natural resources, maka nilai dana kelolaan yang dipegang Temasek sebenarnya relatif terbatas, sehingga kontribusinya terhadap perekonomian Singapura secara keseluruhan tidak terlalu signifikan, dan ini berbeda dengan BIA milik Brunei ataupun QIA milik Qatar, yang kinerja mereka dalam berinvestasi cukup berpengaruh terhadap perekonomian nasional.

Sementara posisi Indonesia lebih mirip dengan Brunei dan Qatar ketimbang Singapura, dalam hal kepemilikan sumber daya alamnya yang melimpah. However, jika Pemerintah kesulitan dalam mengambil alih semua aset natural resources yang tersebar di seluruh Indonesia (karena memang tidak semudah itu), maka paling tidak bisa dibuat beberapa formula atau peraturan yang memungkinkan Pemerintah memperoleh bagian lebih dari natural resources yang dihasilkan perusahaan-perusahaan. Contohnya, diluar pajak yang dibayar perusahaan, Pemerintah sudah menerima royalti dari batubara, bea keluar dari ekspor CPO, dan juga royalti dari tambang emas milik Freeport dan Newmont. Jika Pemerintah mampu bernegosiasi dengan pihak korporasi, maka nilai dari royalti dan bea keluar tersebut bisa dinaikkan sekian persen, katakanlah dengan menyesuaikan dengan harga komoditas di pasar internasional (jadi kalau harga batubara naik, royaltinya ikut naik, kalau turun ya ikut turun).

Dana yang diperoleh kemudian dikumpulkan dalam satu wadah, katakanlah dengan nama Indonesia Natural Resources Fund, untuk kemudian jangan digunakan untuk apa-apa kecuali untuk investasi, dalam hal ini investasi di dalam negeri untuk membangun infrastruktur pelabuhan, pembangkit listrik dll. Selain itu, diluar dana yang dikelola sendiri oleh negara, Pemerintah juga bisa mengeluarkan peraturan yang mengharuskan korporasi-korporasi tambang dan lainnya untuk menggunakan perolehan laba yang besar termasuk ketika harga batubara sedang tinggi-tingginya, untuk diinvestasikan disini ketimbang dibawa kabur keluar negeri.

Sebab, sebagai mana yang kita ketahui pertumbuhan ekonomi didorong oleh empat komponen yakni konsumsi, investasi, belanja negara, dan ekspor, dan ditekan oleh satu komponen, yakni impor. Jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ada banyak upaya yang bisa dilakukan selain dengan terus mendorong ekspor dan menekan impor, yakni juga dengan mendorong investasi di dalam negeri, atau boleh juga investasi diluar negeri selama dana yang diinvestasikan adalah milik Pemerintah atau pihak swasta domestik (sehingga keuntungan hasil investasinya akan tetap balik lagi ke Indonesia). Ketika harga-harga komoditas sedang naik, maka ekspor Indonesia juga akan meningkat dengan sendirinya, namun yang terpenting adalah surplus/cadangan dana yang bisa digunakan untuk investasi kemudian, baik itu oleh Pemerintah maupun swasta, juga turut meningkat. Dan ketika harga-harga komoditas sedang turun, maka penurunan nilai ekspor akan dikompensasi dengan peningkatan investasi, menggunakan dana 'tabungan' dari periode waktu ketika harga-harga komoditas sedang tinggi.

Dengan cara inilah, yakni menyimpan/menabung kelebihan dana ketika lagi banyak duit dalam bentuk investasi, dan menggunakannya nanti ketika lagi susah (untuk konsumsi, belanja negara dalam bentuk subsidi, dll), maka ekonomi Indonesia akan bisa tumbuh secara stabil tanpa perlu lagi bergantung pada fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.

.
.
.

Kepada yang terhormat Bapak Presiden,

Sebagai rakyat biasa, kami tentu tidak memiliki power apapun untuk merealisasikan ide-ide yang sudah dibahas diatas. Dan terus terang kami merasa malu karena melalui tulisan ini kami seolah-olah mengatur-ngatur Bapak dan seluruh jajaran pemerintah dibawah pimpinan Bapak untuk melakukan ini dan itu, padahal tugas dan pekerjaan mereka sudah sangat banyak. Kami juga mengetahui persis bahwa apa yang sudah disampaikan diatas jauh lebih mudah untuk dikatakan ketimbang dipraktekkan di lapangan.

However, seperti yang sudah kami sampaikan diatas, kerja keras yang Bapak tunjukkan selama ini telah menginspirasi kami untuk juga melakukan hal yang sama, untuk turut berkontribusi secara positif, meski mungkin hanya dalam bentuk kontribusi yang teramat sangat kecil dan tidak berarti, terhadap pembangunan negeri.

Dan dalam kapasitas kami sebagai penulis dan pelaku investasi, maka hanya dalam bentuk tulisan inilah kontribusi tersebut bisa kami berikan. Tidak ada maksud dan tujuan lain dari tulisan ini kecuali kami menginginkan agar Indonesia menjadi negara yang maju, dimana suatu hari nanti ketika kami bepergian ke luar negeri dan ketika ditanya oleh penduduk setempat tentang dari mana kami berasal, kami bisa dengan bangga menjawab, ‘from beloved Indonesia’.

Terus terang, sebelum Bapak menjadi Presiden, kami tidak terlalu merasa optimis dengan Pemerintah, dan karena itulah kami juga bersikap apatis dengan hanya peduli pada diri kami sendiri namun tidak pernah peduli terhadap negara. Namun apa yang Bapak lakukan sejauh ini membuat optimisme tersebut telah tumbuh dengan sangat cepat, hingga membuat kami merasa begitu bersemangat untuk juga turut ambil bagian dalam pembangunan nusantara tercinta. Jadi dengan ini kami sampaikan, you’re not alone, Mr. President! Karena kami semua ada di belakangmu.

Semoga panjang umur Pak Jokowi, semoga rahmat Allah SWT senantiasa tercurah bagi Bapak dan seluruh keluarga. Amin!

Jakarta, 3 Januari 2015
Teguh Hidayat

Komentar

Anonim mengatakan…
Mantap pak Teguh, artikelnya sangat menggugah.
Anonim mengatakan…
Jadi PIP dan PNM fungsinya? Royalti progresif sudah diberlakukan sjak dlu,cek esdm lumayan besar porsinya kq
Teguh Hidayat mengatakan…
Berbagai badan seperti PIP dan PNM memang sudah ada, tapi kinerja mereka dalam hal mengalokasikan kembali dana yang dikumpulkan untuk investasi belum kelihatan. Maksud saya adalah, seperti Temasek yang setiap tahun rutin merilis laporan keuangan dan dan catatan kinerja (porto mereka naik atau turun berapa persen di tahun tersebut) maka PNM atau badan lainnya yang berwenang seharusnya juga bisa sama seperti itu. PNM sepertinya juga tidak memiliki kewenangan terkait penggunaan dana natural resources, melainkan harus mencari pendanaan sendiri.

Selain royalti progresif di batubara, di sektor perkebunan kelapa sawit juga ada bea keluar yang juga progresif. Tapi penggunaan dana tersebut belum jelas untuk investasi atau apa. Bea keluar CPO saja, setelah diakumluasikan, menurut Gapki nilainya sudah lebih dari Rp50 trilyun. Jika dana tersebut bisa diinvestasikan dengan gain 12% saja setiap tahunnya (12% itu rata2 pertumbuhan IHSG sejak 1982 sampai sekarang), maka dalam jangka panjang hasilnya akan luar biasa.
Anonim mengatakan…
selamat sore pak teguh,sebelumnya terimakasih pak, saya termasuk yang sering menjadi silent rider di sini hehe banyak ilmu yang saya dapat dari postingan pak teguh.

pak saya seorang newbie nh, mau tanya untuk PGAS. beritanya PGAS melakukan buy back saham dan sekarang ingin melakukan penjualan kembali. sesuai dengan peraturan bursa di jual 2minggu setelah informasi public dan harus di atas harga rata2 90 hari ( correct me if im wrong). yang ingin saya tanyakan, akan adakah efek yang di timbulkan ke saham PGAS? apakah harganya akan di tekan?
terimakasih pak teguh
sukses selalu dan keep sharing ilmunya :)
Anonim mengatakan…
Memperbandingkan Brunei maupun Qatar dengan Indonesia seperti memperbandingkan antara koloni semut di lumbung gula dengan koloni gajah di padang rumput.

Brunei dan Qatar itu negara mungil dengan kekayaan luar biasa , ibarat anak semata wayang seorang Multi Billionaire yang tentunya akan hidup berkelimpahan , terima kasih dengan kandungan luar biasa MIGAS.

Mengatakan Indonesia kaya tentulah tidak salah , bahkan tidak hanya kandungan kekayaan alam namun posisi geografis , geopolitk yang sangat strategis juga dari sudut pandang iklim bersahabat untuk keanekaragaman flora dan fauna jelas melengkapi kekaguman.

Meski demikian , kehendak dan impian besar seorang Soekarno dengan imperial Indonesia yang meluas dari Aceh sampai Papua bukan tanpa problem , bukan tanpa tantangan berat. Semakin besar wilayah , semakin banyak penduduk , semakin besar kekayaan alam , semakin besar kepentingan negara atau wilayah lain maka semakin besar pula tantangan dan problematika dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.

Saya tidak menyangkal atau membela pemerintahan kita yang jelas jauh dari memuaskan dalam tata kelola kekayaan alam (dan saya setuju bahwa perampokan massal sudah terjadi sejak penjajahan...yes !) namun bukan berarti pemerintahan sentralistik cenderung autokrat seperti Brunei ataupun Qatar dengan emir-nya menjadi solusi bagi pembangunan negeri ini. Mereka bisa leluasa menjalankan pemerintahan karena memang komparitas antara aset dengan liabilitas teramat jauh. Tidak dibutuhkan seorang jenius untuk berinvestasi di luxury business seperti yang dilakoni oleh keluarga sang Sultan maupun keluarga sang Emir dan kalau anda mau gali lebih jauh, bias antara milik negara dan penguasa itu sangat tipis perbedaannya.

Namun selama jaminan sosial dan subsidi lainnya mengalir deras , semua bisa menerima dan hidup dengan tenang (herd mentality), bahwa dibalik kerlap kerlip kemewahan tersebut banyak malinvestasi dan korupsi dibaliknya, bedanya mereka bermain dalam kelebihan bahkan kelimpahan sementara kita bertarung dalam ketimpangan.

Pola dan tata kelola pemerintahan dewasa ini adalah hidup dalam defisit terukur dengan proyeksi inflasi terbatas guna mendorong pertumbuhan di masa mendatang, bahwa defisit yang tentunya ditutupi dengan kapital dari luar atau utang tentu bisa menjadi solusi dari keterbatasan modal dalam investasi, namun problem utamanya adalah bukan pada tidak adanya kapital untuk mendanai investasi namun pengelolaan kapital yang salah kaprah dan cenderung boros tanpa makna alias tata kelola keuangan untuk memiskinkan bangsa.

Sebagai gambaran nyata cukup buka atau baca laporan triwulanan daerah oleh BI dan kita bisa menengok bagaimana daya serap anggaran di pemerintahan daerah yang tentunya merupakan ujung tombak dari pembangangunan modal.

Mulai dari anggaran yang lebih banyak diserap pada kegiatan tidak langsung termasuk belanja hibah juga ongkos produksi mahal untuk membayar pegawai juga belanja pegawai yang luar biasa besar dengan kontribusi yang minim (maaf , namun ini fakta) sementara daya serap anggaran investasi yang jelas-jelas seharusnya dijalankan paling awal dan sejak dini (mengingat multiplier effect dan inflasi) daya serapnya begitu rendah , bahkan tidak jarang hingga kuartal III masih dibawah 30% !

Sehingga bukan saja belanja pegawai maupun barang dan jasa lebih besar dibandingkan dengan belanja modal, namun daya serapnya juga sangat minim dan kita belum bicara mengenai malinvestasi maupun penyelewengan dana. Dari sini kita bisa memahami bahwa dana investasi yang besar tidak menjadi solusi terdepan melainkan bagaimana menggunakan anggaran dengan tepat guna adalah hal yang utama (suatu situasi yang belum dipahami atau dipedulikan para pemimpin, dan terutama para pemimpin daerah)

best regards,

e

PS : tahun ini akan menjadi tahun yang sangat berat , semoga kita bisa melaluinya dengan tabah...good luck !
Anonim mengatakan…
keren pak teguh.. Yes Mr President you"re not alone
EFM mengatakan…
Salam pak teguh..
ditunggu analisisnya tentang INVS ya pak? kenapa tu saham sampai terjun bebas dari pertengahan tahun lalu
Anonim mengatakan…
Pak, mohon ulasannya tentang ECII. Kayaknya menarik yang satu ini. Sahamnya lagi turun terus belakangan mungkin karena IPO nya kemahalan.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?