Peluang Investasi di Saham-Saham Semen
Pada hari Jumat tanggal 16 Januari lalu, untuk
pertama kalinya dalam sejarah, Pemerintah mengintervensi industri semen dengan
mengumumkan penurunan harga semen sebesar maksimal Rp3,000 per sak. Dan hasilnya
mudah ditebak: Seketika itu juga saham-saham semen di BEI langsung
bertumbangan. Pada hari Jumat tersebut saham Semen Indonesia (SMGR) anjlok 7.4%
dari 16,200 ke 15,000, dan berlanjut turun ke level 14,100 pada hari
perdagangan berikutnya. Saham-saham semen lainnya yakni Semen Baturaja (SMBR), Holcim
Indonesia (SMCB), dan Indocement (INTP), tiga-tiganya juga turun antara 4.9 hingga
12.2% dalam dua hari perdagangan setelah kebijakan penurunan harga semen tadi
diumumkan.
Secara teori, kebijakan pemerintah terkait
penurunan harga jual semen ini hanya berlaku bagi perusahaan semen BUMN, dalam
hal ini SMGR dan Semen Baturaja (SMBR), dimana Pemerintah sebagai pemegang saham
mayoritas dari kedua perusahaan tersebut tentunya memiliki kuasa penuh untuk menaikkan
atau menurunkan harga jual dari produk semen yang dihasilkan perusahaan.
However, kalau SMGR sebagai pemimpin pasar semen di Indonesia menurunkan harga
jual produknya, maka mau tidak mau perusahaan semen lainnya akan turut dipaksa
untuk melakukan hal yang sama. Jadi ini bisa menjelaskan kenapa saham dari
perusahaan semen swasta seperti INTP dan SMCB ikut tertekan.
Tapi benarkah kebijakan Pemerintah ini benar-benar
akan menekan kinerja perusahaan-perusahaan semen kedepannya? Well, mungkin
nggak juga, dan berikut penjelasannya.
Ketika Pemerintah mengumumkan penurunan harga jual
semen, pada saat yang bersamaan Pemerintah juga mengumumkan penurunan harga
jual BBM (premium dan solar) dan elpiji non-subsidi. Penurunan tersebut adalah
untuk menyesuaikan dengan harga minyak dunia (dan gas) yang memang sedang
turun. Seperti yang kita ketahui, pada saat ini Pemerintah sudah tidak lagi
mensubsidi BBM jenis premium sehingga harga jualnya bisa berubah setiap saat,
dalam hal ini setiap dua minggu sekali, dengan mengikuti perkembangan harga
minyak dunia. Untuk gas elpiji non-subsidi ceritanya juga sama, dimana harga
jualnya akan disesuaikan dengan perkembangan harga gas dunia. Terkait harga semen,
belum jelas soal apakah harganya juga akan naik dan turun mengikuti harga BBM.
Namun karena penurunan harga jual semen ini diumumkan berbarengan dengan
penurunan harga BBM, maka besar kemungkinan bahwa kedepannya harga jual semen
juga akan dinaikkan dan diturunkan mengikuti harga BBM.
Ini artinya kalau nanti harga bensin naik lagi,
maka harga jual semen juga akan dinaikkan kembali. Malah faktanya tanpa perlu
Pemerintah mengumumkan kenaikan harga, harga semen sudah pasti akan naik dengan
sendirinya ketika nanti harga BBM naik kembali, karena memang setiap kali harga
BBM naik maka harga barang-barang termasuk semen akan juga naik dengan sendirinya.
Sementara ketika gilirannya harga BBM turun (ini
bukan kali pertama harga BBM turun), maka biasanya
harga barang-barang bukannya ikut turun tapi malah cenderung tetap. Jika ‘kebiasaan
buruk’ ini dibiarkan maka akan menyebabkan tingginya inflasi, yang pada
akhirnya mengganggu perekonomian. Dan mungkin itu pula sebabnya Pemerintah
mengeluarkan kebijakan intervensi pasar, dalam hal ini dimulai dari harga jual
semen karena seperti hal-nya industri BBM di Indonesia dikuasai oleh Pemerintah
melalui Pertamina, industri semen juga dikuasai oleh Pemerintah melalui Semen
Indonesia (dan juga Semen Baturaja). Ketika harga semen disebutkan turun
Rp3,000 per sak, maka sejatinya harga
semen tersebut tidak benar-benar turun melainkan hanya balik lagi ke harga
semula sebelum dinaikkan beberapa waktu lalu, yakni ketika harga BBM jenis
premium naik dari Rp6,500 menjadi Rp8,500 per liter. Berdasarkan survei yang
penulis lakukan sendiri ke toko bangunan di dekat rumah (di Jakarta), harga
semen merk Tiga Roda pada saat ini adalah Rp62,000 per sak. Harga tersebut
lebih tinggi dibanding beberapa bulan lalu sebelum BBM naik, yakni Rp58,000 per
sak. Jadi kalau harga tersebut diturunkan Rp3,000, maka secara keseluruhan
sebenarnya harga semen masih naik seribu perak toh?
Itu yang pertama. Yang kedua, meski tidak secara
resmi diumumkan oleh Pemerintah, namun tarif dasar listrik non-subsidi untuk
pelanggan industri juga ikut turun mengikuti penurunan harga minyak dunia
(sehingga nanti kalau harga minyak dunia naik, maka tarif listrik ini juga akan
naik lagi). Mengingat biaya listrik adalah salah satu komponen utama dari
ongkos produksi semen, maka penurunan harga jual semen belum tentu berdampak signifikan
terhadap laba bersih perusahaan, karena disisi lain biaya produksi semen-nya juga turun. Malahan kalau penurunan biaya produksi
ini lebih besar dibanding penurunan harga jual semen, maka SMGR dkk jadinya
justru diuntungkan, karena itu artinya margin laba mereka menjadi lebih besar.
Ingat bahwa biaya BBM juga merupakan salah satu biaya utama yang harus
ditanggung perusahaan-perusahaan semen, dalam hal ini biaya distribusi, dan
biaya itu juga turun seiring dengan penurunan harga BBM itu sendiri.
Kesimpulannya, terlalu dini jika kita langsung
memvonis bahwa ‘penurunan’ harga jual semen ini akan berdampak negatif pada perolehan
laba para juragan semen. Kalau kita melihatnya dari sisi lain, maka ketika
Pemerintah mengumumkan penurunan harga jual semen, itu adalah kabar baik bagi perusahaan-perusahaan
konstruksi dan juga para developer properti, dimana kalau mereka sebelumnya menghemat
anggaran belanja semen (karena harganya naik), maka sekarang mereka akan
ramai-ramai menyerbu toko bangunan kembali. Jadi penurunan harga jual semen,
jika itu benar-benar terjadi, akan dikompensasi oleh peningkatan omzet. Hal ini
juga sejalan dengan visi Presiden Jokowi untuk mengembangkan infrastruktur di
Indonesia, dimana visi tersebut tidak akan jalan kalau Adhi Karya dkk belum
apa-apa udah males duluan ketika ketemu orang sales dari SMGR yang dengan seenaknya
menaikkan harga karena alasan harga BBM naik, tapi nggak mau nurunin harga
ketika gilirannya harga BBM turun.
Okay, jadi apa itu artinya sekarang merupakan saat
yang tepat untuk membeli SMGR, INTP, SMBR, atau SMCB, mumpung harganya lagi
turun? Sebelum itu, mari kita cek valuasi terbaru dari saham-saham semen, dan
berikut datanya berdasarkan harga saham per tanggal 23 Januari 2015:
Stocks
|
Price (Rp)
|
PER (x)
|
PBV (x)
|
ROE (%)
|
SMGR
|
14,475
|
15.8
|
3.8
|
24.2
|
INTP
|
23,000
|
17.1
|
3.6
|
21.3
|
SMCB
|
1,985
|
20.0
|
1.7
|
8.5
|
SMBR
|
376
|
12.6
|
1.4
|
11.3
|
Nah, kalau anda perhatikan, ketika tanggal 16
Januari kemarin pengumuman soal penurunan harga semen ini keluar, maka saham
yang paling terkena dampak negatifnya adalah SMGR, dimana dia turun total 14%
dalam dua hari. Sementara yang paling kuat bertahan adalah SMBR, yang cuma
turun gak sampe 5% pada periode waktu yang sama. And you know what? Dari sisi
PBV, seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas, saham SMGR merupakan saham
termahal di BEI pada saat ini, sementara SMBR adalah yang termurah. Jadi perbedaan
yang signifikan pada penurunan yang dialami SMGR dan SMBR, padahal dua-duanya
merupakan perusahaan semen BUMN yang terkena dampak langsung dari penurunan
harga semen ini, menjadi bisa dijelaskan. SMGR, karena valuasinya yang premium,
sejak awal sudah rentan terhadap risiko penurunan jika sewaktu-waktu IHSG turun
atau perusahaannya diterpa sentimen negatif tertentu. Sementara SMBR, karena valuasinya lebih rendah, maka risiko penurunannya
otomatis lebih rendah pula.
Jadi sebenarnya tidak ada yang salah dengan
fundamental SMGR. Malahan sampai sekarang penulis masih menganggap SMGR sebagai
perusahaan semen dengan fundamendal terbaik di BEI. Tapi kalau harga sahamnya
ketinggian maka yaa.. gitu deh. Kalau anda perhatikan, dalam setahun terakhir saham
SMGR selalu terjaga di level 15,000 – 16,000 dan gak mau turun (pernah turun
sesekali ke 14,000-an, tapi langsung naik lagi) karena didorong oleh optimisme
investor terkait prospeknya seiring dengan pembangunan infrastruktur. Namun karena
disisi lain valuasinya juga sudah mahal, maka sahamnya sulit untuk naik lebih
lanjut dan justru bisa dengan mudah turun ketika terjadi sentimen negatif tertentu yang secara otomatis 'membuyarkan' prospeknya.
However, karena predikatnya sebagai ‘saham dengan fundamental terbaik’,
maka SMGR pada saat ini lebih menarik perhatian penulis dibanding ketiga
saham semen lainnya.
Problemnya adalah, bahkan setelah harganya turun
ke posisi sekarang, valuasi SMGR masih belum benar-benar terdiskon. Berdasarkan
pengalaman, PER 15.8 kali (sebagai saham blue chip, valuasi SMGR bisa dilihat
pula dari PER-nya) masih belum bisa dikatakan cukup rendah bagi saham dengan kriteria seperti SMGR yakni: 1. Sahamnya sangat likuid, 2. Nama perusahaannya
terkenal dan juga punya reputasi baik, 3. Kinerjanya sangat baik dan juga
konsisten dalam jangka panjang. Idealnya, pada kondisi pasar yang normal dimana
IHSG tidak sedang terkoreksi signifikan, PER SMGR adalah kurang lebih 14 kali, sehingga dia baru bisa
dikatakan murah kalau PER-nya sudah dibawah 14 kali tersebut, yang itu berarti
target penurunannya adalah hingga 12,500,
dimana harga tersebut akan mencerminkan PER 13.6 kali.
Lalu apakah SMGR akan benar-benar turun sampai
level 12,500 tersebut? Ya ndak tau.. Siapa yang tahu kalau dua minggu lagi Pemerintah
ternyata kembali menaikkan harga semen, sehingga SMGR dan yang lainnya langsung
berbalik terbang? Namun yang kita ketahui adalah, valuasi SMGR pada saat ini masih belum cukup murah. Secara teknikal-pun SMGR belum
tampak benar-benar rebound karena harganya sekarang masih dibawah support
kuatnya (yang sekarang menjadi resistance), yakni 14,625. Kenaikan yang terjadi dua hari terakhir kemungkinan juga hanya
karena didorong kenaikan IHSG yang sedang break
new high. Jadi kalau nanti IHSG turun maka SMGR bisa saja melanjutkan
penurunannya. Dan terakhir, sekali lagi berdasarkan pengalaman, kalau ada saham
blue chip yang turun karena penyebab atau sentimen negatif tertentu, maka dia
akan memerlukan waktu, mungkin satu dua atau beberapa bulan, untuk bisa naik lagi,
yakni ketika sentimen negatif tadi dilupakan orang dengan sendirinya.
So, ketika para analis sekuritas sibuk merilis riset dan analisis mereka yang pada intinya adalah memprediksi bagaimana
kinerja SMGR dkk kedepan, termasuk dengan menyertakan hitung-hitungan penurunan
margin laba bersih bla bla bla yang sangat rumit, namun kita value
investor mikirnya sederhana saja: Kalau nanti SMGR beneran ke lanjut turun ke 12,500
atau dibawahnya, maka boleh mulai cicil, sembari terus
mengamati perkembangan kinerja perusahaan dari kuartal ke kuartal. Tapi kalau SMGR
nggak turun sampai serendah itu maka yaaa.. masih ada banyak saham-saham lain
yang lebih murah kok. Kalau anda masuk di harga sekarang maka anda bukannya nggak bisa dapet cuan, tapi risikonya tentu lebih besar dibanding jika anda sukses masuk di 12,500 tadi.
NB:
Buletin analisis & rekomendasi saham bulanan edisi Februari 2015 akan
terbit tanggal 1 Februari mendatang. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Bagaimana dengan saham SMBR. Bisa diulas sedikit tentang kinerja perusahaannya?
Terimakasih kasih Pak.
Mohon info saham dengan fundamental bagus tetapi rentan dengan pengaruh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar (misal NIPS/Nipres, atau yang lainnya)
tetapi bagi saya masih ada kemunginan SMGR dapat turun ke 13.000-an dengan asumsi bahwa situasi ekonomi global dan politik nasional masih belum stabil, paling tidak bisa kita tunggu sampai 3 bulan kedepan.
Nah, belakangan saya baru sadar PER itu bisa mengecil dengan 2 cara, ya tunggu harganya turun atau tunggu earning-nya naik.
Nah jadi ketika harga gak kunjung turun, tetap saya beli dengan harapan earningnya kedepan naik. Betul tidak ya Pak?
Hanya saja, kinerja kedepan suatu perusahaan, itu kita nggak ada yang tahu, bahkan untuk perusahaan sekelas SMGR sekalipun. Bagaimana kalo dia malah turun? Jadi akan lebih aman kalau kita baru masuk nanti setelah laba perusahaan memang confirm naik.
@anonim in english: Holcim Indonesia have been here for years, yet they do not possess any threat to SMGR or INTP as market leaders. I wonder if the other cement companies could do something differently.
Banyak orang yg mengatakan bahwa TRAM dan INVS ini mirip2 dengan KARK dan menberi Saran untuk menbaca ulasan Pak Teguh mengenai KARK dr jilid 1 sampai 3 sebelum menbeli agar tidak menyesal nantinya, saya telah menbaca ketiganya dan menemukan satu kesamaan antara KARK INVS TRAM yaitu "Ketiganya memiliki jumlah kas dan setara kas yg sangat kecil dibandingkan dengan nilai ekuitas nya"!
Khusus INVS saya melihat adanya akun aset Goodwill dan aset LAIN2 yg nilainya mencapai 14% dr total aset, apakah jumlah tersebut tergolong wajar atau tidak ?
Menurut opini saya (yg masih hijau ini) tidak seperti KARK dimana PER dan PBV nya menipu, PER dan PBV dr INVS TRAM normal normal saja, Jadi bagaimana pendapat Pak Teguh mengenai INVS TRAM ini apakah memang benar mirip seperti KARK ? Mohon pencerahan nya Terimah Kasih.
Tadinya saya memang mau bahas TRAM. Tapi setelah dipikir-pikir, ngapain juga sahamnya dibahas panjang lebar kalau kesimpulan akhirnya adalah bahwa sahamnya tidak bisa direkomendasikan. Untuk INVS juga sama.