Capital Expenditure, dan Prospek Saham
Beberapa waktu lalu seorang teman bertanya kepada
penulis, ‘Apa itu capital expenditure?’ Dan penulis baru sadar bahwa meski di
website ini kita sudah membahas banyak hal, tapi belum pernah sekalipun
membahas soal capital expenditure, atau yang biasa disingkat capex. Padahal
capex adalah sesuatu yang sering sekali diperhatikan para analis ketika mereka
menganalisis prospek sebuah saham, karena itu menyangkut ‘apa-apa saja yang
dikerjakan perusahaan untuk memperoleh kenaikan laba di masa yang akan datang’.
Karena itulah, kita juga akan membahasnya disini, tentunya menggunakan bahasa
yang lebih mudah. Here we go.
Capex, atau kalau dalam bahasa Indonesianya
‘belanja modal’, adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh perusahaan selama
kurun waktu tertentu (misalnya satu tahun) untuk membeli aset tertentu (biasanya aset fisik, jadi kalau beli saham maka itu tidak masuk capex), atau
meningkatkan kapasitas produksi dari aset yang sudah ada, dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja operasional perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan
pendapatan/laba bersih. Contohnya, kalau anda punya restoran dan untuk tahun
2015 ini anda menganggarkan Rp1 milyar untuk membuka cabang dan membeli meja,
kursi, piring, hingga alat-alat memasak, maka anda bisa dikatakan telah
mengeluarkan capex Rp1 milyar untuk tahun fiskal 2015. Tujuannya? Untuk
meningkatkan pendapatan dari usaha restoran yang anda miliki, dimana dengan
adanya cabang, maka tentunya diharapkan bahwa pendapatan restoran juga akan
bertambah.
Dari definisi diatas maka bisa disimpulkan bahwa
jika perusahaan menganggarkan capex yang besar pada tahun tertentu, maka itu
artinya perusahaan sedang melebarkan sayap usahanya alias sedang berekspansi, dimana jika ekspansinya tersebut sukses maka
pendapatan serta laba bersih perusahaan di tahun berikutnya (atau tahun
berikutnya lagi) akan naik signifikan. Ini sebabnya setiap kali analis atau
wartawan mewawancarai direktur atau corporate secretary dari perusahaan
tertentu yang terdaftar di BEI, maka yang ditanyakan pertama kali adalah,
‘Berapa capex perusahaan untuk tahun ini/tahun depan?’ Sebab jika angka
capex-nya besar, let say mencapai 100% dari laba bersih perusahaan di tahun
sebelumnya, maka akan terdapat kesan bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek
yang cerah, karena dia sedang bertumbuh untuk memperoleh pendapatan dan laba
bersih yang lebih besar lagi di masa yang akan datang.
Nah, sebagai investor yang memegang saham dari
perusahaan tertentu, pernahkah anda bertanya begini? Tahun ini perusahaan dapet
laba Rp100 milyar, dimana Rp30 milyar diantaranya sudah dibagikan kepada kami
para pemegang saham dalam bentuk dividen. Lantas, sisanya yang Rp70 milyar itu
diapakan? Jawabannya ya untuk mengembangkan usaha, entah itu mendirikan pabrik
baru, membuka kantor cabang baru, menambah stok persediaan barang, dan seterusnya. However,
pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana progress
dari pendirian pabrik baru tersebut? Sebab hanya karena perusahaan punya
duit Rp70 milyar yang akan dipakai buat mendirikan pabrik baru, maka itu bukan
berarti bahwa besok-besok pabrik baru tersebut akan langsung siap beroperasi
bukan? Maka dari itu informasi soal capex ini diperlukan, karena itu akan
menjelaskan kepada investor bahwa perusahaan pada tahun ini akan membelanjakan
dana sebesar sekian (yang salah satunya diambil dari laba ditahan sebesar Rp70
milyar tadi) untuk mendirikan pabrik baru, dimana pada akhir tahun nanti (atau tahun berikutnya lagi) pabrik
baru tersebut akan sudah siap beroperasi. Intinya, pada tahun ini perusahaan
tidak akan berdiam diri/membiarkan dana Rp70 milyar tadi mengendap di bank,
melainkan akan segera menggunakannya untuk tujuan pengembangan usaha tadi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka bisa dikatakan
bahwa perusahaan yang bagus adalah perusahaan yang memegang dana kas dalam
jumlah yang tidak terlalu besar, dimana setiap kali mereka memperoleh dana kas
(dari laba bersih pada tahun tertentu), maka dana tersebut langsung diputar
lagi untuk membeli aset, persediaan, dll, paling lambat pada tahun berikutnya, tentunya
setelah disisihkan sebagian untuk membayar dividen (jika perusahaannya memiliki
kebijakan untuk membayar dividen, karena ada juga perusahaan yang tidak
membayar dividen). Sebuah perusahaan idealnya memiliki dana kas sebesar 10% dari
nilai asetnya secara keseluruhan. Jadi kalau PT A asetnya Rp1 trilyun, maka
dana kas-nya maksimal Rp100 milyar. Jika lebih dari itu maka akan timbul kesan
bahwa perusahaan ‘malas’ atau lambat dalam memberdayakan aset dana tunai yang
mereka miliki.
Kalau penulis perhatikan, di BEI terdapat
setidaknya tiga macam perusahaan berdasarkan besaran anggaran capex-nya. Yang
pertama adalah perusahaan yang menganggarkan capex sesuai kemampuan, yakni 1. Sebesar
dana cash yang mereka miliki, dan juga 2. Sesuai tingkat kecepatan manajemen
dalam bekerja. Contohnya Semen Baturaja (SMBR). Untuk tahun 2015, perusahaan menganggarkan
capex Rp900 milyar, yang sepenuhnya dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas
pabrik semen milik perusahaan, dan juga mendirikan pabrik semen baru. Karena
posisi kas internal perusahaan (dana
kas milik sendiri, bukan hasil pinjaman) tercatat Rp1.8 trilyun, maka kebutuhan
capex tadi bisa diambil dari dana kas tersebut tanpa perlu ngutang ke bank.
Sebenarnya, jika memungkinkan, maka bisa jadi bahwa manajemen SMBR juga maunya
langsung menghabiskan Rp1.8 trilyun tadi hanya dalam waktu 1 tahun saja (dalam
bentuk capex), untuk mendirikan pabrik baru. However, mendirikan pabrik semen memerlukan
waktu paling cepat 2 – 3 tahun, sehingga mau tidak mau dana kas tersebut hanya
bisa digunakan secara bertahap.
Yang kedua adalah perusahaan yang menganggarkan
capex melebihi kemampuan. Misalnya, perusahaan cuma punya dana kas internal
Rp100 milyar, namun capex-nya dalam satu tahun tertentu bisa sampai Rp200
milyar. Lalu kekurangan dananya ngambil dari mana? Ya dari pinjaman lah, bisa
ke bank atau menerbitkan obligasi. Contoh dari perusahaan ini adalah Bumi
Resources Minerals (BRMS), anak usaha dari Bumi Resources (BUMI). Beberapa
tahun lalu, tepatnya pada akhir tahun 2010, manajemen BRMS ketika itu
mengumumkan bahwa perusahaan menganggarkan US$ 581 juta atau setara Rp5.2
trilyun berdasarkan kurs Rupiah ketika itu, untuk belanja modal selama tiga
tahun kedepan (tahun 2011, 2012, dan 2013). Untuk tahun pertama yakni 2011,
dana yang akan dibelanjakan adalah US$ 240 juta, atau sekitar Rp2.3 trilyun.
Padahal berapa dana kas perusahaan ketika itu?
Cuma Rp914 milyar, karena laba bersih BRMS untuk tahun 2010 juga hanya Rp764
milyar. Jadi dari mana BRMS memperoleh dana untuk memenuhi capex-nya? Ya dari
pinjaman bank. However, dalam kasus ini maka capex yang terlalu besar tersebut
justru menjadi berisiko, karena jika pengembangan usahanya ternyata gagal
(ingat bahwa hanya karena perusahaan keluar duit sekian untuk membangun pabrik
baru atau membuka tambang batubara, maka itu bukan berarti bahwa proses
pembukaan tambangnya dijamin akan berjalan lancar. Dan kalaupun pembukaan
tambang tersebut berjalan lancar hingga siap berproduksi, maka belum tentu juga
batubara yang dihasilkan akan langsung laku terjual pada harga yang
diinginkan), maka perusahaan tidak memperoleh peningkatan pendapatan yang
diinginkan, namun tetap harus membayar bunga pinjaman bank. Ketika sebuah
perusahaan menganggarkan capex yang kelewat agresif seperti yang ditunjukkan
oleh BRMS, maka hasilnya seringkali malah jadi buruk.
Yang ketiga adalah perusahaan yang menganggarkan
capex ala kadarnya saja, biasanya karena perusahaannya sudah mature dimana memang sudah tidak ada
lagi yang bisa dikerjakan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan di masa yang
akan datang. Contohnya Unilever Indonesia (UNVR). Untuk tahun fiskal 2014,
perusahaan hanya menganggarkan Rp1.4 trilyun untuk membeli alat-alat produksi
es krim, padahal laba perusahaan di tahun sebelumnya (2013) tercatat RpRp5.4
trilyun. Jadi buat apa laba tersebut? Ya dibagikan saja semuanya ke pemegang
saham dalam bentuk dividen.
Jadi kesimpulannya, perusahaan yang baik adalah
perusahaan yang menganggarkan capex-nya dalam jumlah yang wajar, yakni sesuai
kemampuan perusahaan, tidak lebih dan tidak kurang. Mengambil utang bukannya
tidak boleh, namun harus hati-hati karena jika berlebihan maka risikonya
menjadi lebih besar, karena tidak ada jaminan bahwa rencana ekspansi yang
dilakukan perusahaan pasti akan berhasil. Sementara kalau hanya ala kadarnya
seperti contoh UNVR diatas, maka itu artinya perusahaan tidak menawarkan
pertumbuhan yang lebih lanjut di masa yang akan datang.
Penulis sendiri selama ini jarang menganalisis
saham dari sisi nilai capex-nya, karena informasi mengenai capex tersebut hanya
ada di koran-koran/media internet, sementara saya sekarang ini gak pernah lagi
baca koran (karena dulu waktu langganan suka bingung buang sisa koran bekasnya
kemana, kalau dibakar pasti dimarahi Pak RT). Selain itu, ketika perusahaan
pada akhir tahun tertentu menganggarkan capex sebesar Rp100 milyar untuk tahun
berikutnya, misalnya, maka seringkali realisasi penyerapannya tidak persis
Rp100 milyar juga melainkan bisa kurang, bisa juga lebih. Karena itulah angka capex
ini mungkin tidak berarti apapun. Namun dari materi public expose yang bisa
anda download dari website IDX, disitu biasanya sudah cukup dijelaskan kalau
perusahaan punya rencana ekspansi tertentu, dimana anda bisa menilai apakah
ekspansinya wajar atau berlebihan. Sementara beberapa perusahaan yang mature seperti UNVR tadi, pada materi
public expose-nya biasanya tidak dijelaskan soal perusahaan mau ngapain kecuali
hanya beroperasi seperti biasanya saja, dan dari situ bisa langsung disimpulkan
bahwa UNVR ini tidak menganggarkan capex yang besar.
Okay, materi edukasi selanjutnya kita bahas lagi minggu depan, kecuali jika ketika itu ada saham yang menarik untuk dibahas.
Komentar
Mohon kiranya dapat dibahas saham kedaung Setia Industrial.
Terima kasih