Prospek Saham Farmasi Terkait BPJS
Selain sektor konstruksi yang sudah kita bahas
minggu lalu, email pertanyaan yang cukup sering penulis terima beberapa waktu
terakhir ini adalah soal bagaimana prospek dari Kalbe Farma (KLBF), Tempo Scan
Pacific (TSPC), dll, alias saham-saham farmasi, terkait program pemerintah yang
dinamakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), yang
sudah berjalan sejak awal tahun 2014 lalu. Kemudian sejak Jokowi dilantik
sebagai Presiden tanggal 20 Oktober kemarin, tak lama kemudian beliau langsung
meluncurkan program ‘kartu sakti’ andalannya, salah satunya Kartu Indonesia
Sehat (KIS), yang mungkin semakin membuat anda penasaran, bagaimana kira-kira dampaknya
terhadap saham-saham farmasi di BEI. Nah, sebelum itu, mari kita bahas dulu
tema ‘kesehatan’ ini sejak awal.
Sebagai sebuah negara, konstitusi Republik Indonesia
(yang tercantum dalam UUD 1945) mewajibkan pemerintah untuk menyediakan minimal
dua kebutuhan masyarakat yang paling dasar, yakni pendidikan dan kesehatan.
Jadi meskipun dua ‘komoditas’ ini (pendidikan dan kesehatan) sering menjadi
bahan kampanye para caleg, calon bupati, gubernur, hingga calon Presiden, biasanya
dengan embel-embel ‘gratis’, namun setelah mereka terpilih, para pejabat ini
memang sudah seharusnya menyediakan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau
(tidak perlu gratis sama sekali, kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak
mampu) bagi seluruh rakyat Indonesia di wilayah dimana ia berkuasa (kalau
Bupati ya di kabupatennya, gubernur ya di provinsi-nya, dan seterusnya).
Sekali lagi, secara konstitusi (saya kok jadi
ketularan Ahok gini ya..), ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945, maka sejak saat itu juga masalah pendidikan dan
kesehatan seluruh rakyat menjadi tanggung jawab penuh Pemerintahan yang baru.
However, pada prakteknya Pemerintah memerlukan waktu dan proses yang cukup
panjang untuk mewujudkan cita-cita tersebut (pendidikan dan kesehatan yang
terjangkau bagi seluruh rakyat). Dalam hal kesehatan, program penyediaan
layanan kesehatan baru diluncurkan pada jaman Pak Harto, tepatnya tahun 1968, ketika itu dengan nama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan
Kesehatan (BPDPK). Program BPDPK ini bertujuan untuk menyediakan semacam asuransi bagi pegawai negeri, penerima
pensiun (PNS dan ABRI), dan anggota keluarganya.
Nah, jadi kalau anda berpikir bahwa BPJS Kesehatan
baru dibuat pada tahun 2014 ini (BPJS itu ada dua, yakni BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan), maka sejatinya Pemerintah RI sudah meluncurkannya sejak
46 tahun sebelumnya. Boleh dibilang bahwa BPJS Kesehatan ini adalah bentuk terbaru, yang tentunya
diharapkan lebih sempurna dibanding
pendahulunya, dari program penyediaan layanan kesehatan oleh Pemerintah.
Balik lagi ke sejarah program kesehatan ini.
Seperti yang tadi disebutkan diatas, ketika diciptakan pada tahun 1968, program
kesehatan milik Pemerintah hanya menjangkau PNS, pensiunan, dan anggota
keluarganya. Pada tahun 1984, jumlah penerima layanan kesehatan ini diperluas,
dimana para pejabat negara (dan anggota keluarganya) juga memperolehnya. Pada
tahun 1991, giliran direktur, komisaris, dan karyawan BUMN yang juga memperoleh
manfaat layanan kesehatan. Pada tahun 1992, PT Asuransi Kesehatan (Askes) didirikan sebagai BUMN penyelenggara
jasa layanan kesehatan. Meski berbentuk sebagai perusahaan, namun PT Askes ini
nyaris seperti organisasi nirlaba karena hanya fokus pada penyediaan layanan
kesehatan itu sendiri (ini berbeda dengan perusahaan asuransi swasta yang
tentunya fokus pada keuntungan komersial). PT Askes diizinkan untuk tidak
memberikan kontribusi apapun terhadap Pemerintah sebagai pemegang saham, selama
perusahaan bisa menjalankan tugasnya secara maksimal, yakni menyediakan layanan
kesehatan bagi para pemegang kartu askes.
Hingga akhir dekade 90-an, pemegang kartu askes (jadi
progam ‘kartu’ ini tidak hanya ada pada jaman Jokowi, tapi sudah ada sejak
jaman Pak Harto dulu) masih terbatas pada PNS, TNI, pensiunan, pejabat negara,
dan karyawan BUMN (dan mungkin juga anggota Polri dan pejabat daerah). Intinya
kartu askes ini masih menjadi semacam hak eksklusif bagi kalangan tertentu
saja, alias belum menjangkau seluruh masyarakat.
Kemudian barulah pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya pada tahun 2005, Pemerintah membentuk
program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Miskin. PT Askes, yang sebelumnya tidak pernah menyentuh ‘wong cilik’,
ketika itu meluncurkan Kartu Askeskin,
alias Kartu Askes untuk masyarakat miskin. Pada titik inilah, jika anda
tergolong keluarga yang tidak mampu, maka anda tetap bisa memperoleh layanan
kesehatan yang terjangkau atau bahkan gratis dari Pemerintah meski anda bukan
PNS.
Namun sudah tentu, hanya karena Pemerintah
meluncurkan Askeskin ini, maka bukan berarti seluruh rakyat miskin di Indonesia
bisa langsung memperoleh manfaatnya seketika itu juga, karena proses
pelaksanaannya di lapangan tentu membutuhkan waktu. However, berdasarkan
pengamatan penulis sendiri, di beberapa daerah seperti Cirebon dan Bandung
(soalnya saya sering kesitu), warga yang tergolong tidak mampu sudah bisa
berobat secara gratis di puskesmas terdekat. Anda-anda yang tinggal di kota
besar dan ngutak-atik saham setiap hari mungkin tidak pernah secara langsung
melihat layanan kesehatan gratis ini, karena anda tidak mungkin menerimanya
juga (anda kan nggak miskin toh?). But let me tell you, bagi anda yang masih
nyinyir dengan Pak SBY, penulis bisa katakan bahwa beliau meninggalkan legacy
yang layak diapresiasi di bidang kesehatan.
Kemudian pada tahun 2014, Presiden SBY mengubah
nama PT Askes menjadi BPJS Kesehatan,
dan ruang lingkup penyediaan layanan keseharan oleh BPJS ini lebih diperluas
lagi menjadi seluruh warga negara
Indonesia tanpa terkecuali. Bahkan, bagi warga asing yang tinggal di
Indonesia selama minimal enam bulan, ia juga diwajibkan untuk menjadi anggota
BPJS. Jadi mulai tahun 2014 ini, siapapun anda, PNS atau bukan, tergolong miskin
atau nggak miskin-miskin amat, anda tetap berhak atas layanan kesehatan dari
Pemerintah hanya dengan membayar premi kurang lebih Rp60,000 per bulan (berbeda-beda
tergantung tingkat pertanggungan kesehatan yang diinginkan). Sementara bagi
warga miskin, mereka tidak perlu membayar premi apapun alias gratis. Sudah
tentu, sekali lagi, ketika BPJS Kesehatan ini diluncurkan, maka itu bukan
berarti BPJS ini bisa langsung menjangkau seluruh warga. Jika prosesnya
berjalan lancar, maka pada tahun 2019 mendatang diharapkan seluruh warga negara
Indonesia sudah menjadi anggota BPJS Kesehatan ini.
Lalu bagaimana dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diluncurkan oleh Presiden Jokowi,
awal November lalu?
Jika BPJS sudah memiliki dasar hukum berupa UU, sumber
dananya jelas (dari APBN), dan mekanisme pelaksanaannya dilapangan juga sudah
jelas (prinsip gotong royong, yang mampu membiayai yang tidak mampu melalui
premi Rp60,000 tadi), maka tidak demikian halnya dengan KIS. Termasuk anda
mungkin juga masih bingung, apa bedanya KIS dengan BPJS. Jadi kalau menurut
penulis sendiri, kalau fokusnya adalah soal bagaimana dampak dari program
layanan kesehatan dari Pemerintah terhadap saham-saham farmasi di BEI, maka fokus
kita adalah ke BPJS Kesehatan saja dulu.
Okay, jadi bagaimana hitung-hitungan prospek
saham-saham farmasi terkait BPJS ini?
Perbedaan mendasar antara BPJS dan Askes,
seperti yang sudah dibahas diatas, adalah lingkup pelayanannya, dimana BPJS ini
(diharapkan bisa) melayani seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Hitung-hitungannya,
dari 250 juta warga Indonesia, sekitar 100 juta jiwa diantaranya adalah
penduduk miskin, sehingga mereka boleh menggunakan BPJS secara gratis. Kemudian
100 juta jiwa lainnya adalah penduduk kelas menengah kebawah, yang bisa
diarahkan untuk membayar premi Rp25,000 – 42,500 per bulan (kita ambil
rata-ratanya Rp35,000). Dan 50 juta sisanya adalah penduduk kelas menengah
keatas, yang bisa membayar premi Rp60,000 per bulan. Maka omzet BPJS ini adalah:
1. Rp35,000 x 100 juta x 12 bulan, sama dengan Rp42 trilyun per tahun, plus
2. Rp60,000 x 50 juta x 12 bulan, sama dengan Rp36 trilyun per tahun.
Jadi totalnya sekitar Rp78 trilyun per tahun! Boleh dibilang bahwa dana sebesar inilah
yang akan tambahan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan layanan kesehatan di
seluruh Indonesia, termasuk perusahaan farmasi, tentunya jika program BPJS ini
berjalan maksimal. Yang juga perlu dicatat adalah, nilai premi yang antara
Rp25,000 – 60,000 per bulan tersebut tentunya bisa dinaikkan atau diturunkan
sesuai inflasi dll, jadi di tahun-tahun selanjutnya nilai omzet BPJS diatas
bisa naik kembali.
However, jangan lupakan kalimat ‘jika program
BPJS ini berjalan maksimal’ diatas. Dalam satu atau dua tahun pertama
pelaksanaannya, program BPJS ini kemungkinan baru bisa menjangkau 20 – 30%
penduduk, yang itu berarti omzetnya turun menjadi hanya Rp16 – 24 trilyun. Selain itu jangan lupa bahwa yang menerima dana
trilyunan tersebut bukanlah perusahaan
farmasi, melainkan rumah sakit, puskesmas, dokter praktek, apotek, dan optik.
Jadi pendapatan bersih yang diterima KLBF dkk adalah setelah dikurangi bagian
untuk rumah sakit, puskesmas, dan apotek. Let say, margin untuk perusahaan
farmasi adalah sekitar 70%, maka omzetnya turun lagi menjadi Rp11 – 17 trilyun.
Omzet inilah yang kemudian dibagi rata ke sekitar 200 perusahaan farmasi di Indonesia, sesuai pangsa pasarnya
masing-masing. Kalau kita ambil contoh KLBF, yang merupakan perusahaan farmasi
terbesar di BEI dengan pangsa pasar 12%, maka potensi tambahan pendapatan yang
akan diterima oleh KLBF karena adanya program BPJS Kesehatan ini adalah Rp1.3 –
2.0 trilyun.
Dan berapa nilai pendapatan KLBF pada tahun 2014
ini? Per Kuartal III, tercatat Rp12.3 trilyun, atau Rp16.4 trilyun jika
disetahunkan, tumbuh 7.5% dibanding periode yang sama tahun 2013. Jika potensi tambahan
pendapatan sebesar Rp1.3 – 2.0 trilyun tadi terealisasi, maka itu artinya pendapatan
KLBF akan meningkat sebesar kurang lebih 10 – 12% diluar pertumbuhan yang
biasanya (sehingga total pertumbuhannya bisa diatas 20% per tahun), atau cukup
signifikan.
Masalahnya adalah, KLBF adalah satu-satunya
perusahaan farmasi yang kinerjanya konsisten di BEI (sehingga kita bisa
berharap bahwa BPJS ini bakal benar-benar berkontribusi positif terhadap
kinerja perusahaan), tapi disisi lain valuasi sahamnya minta ampun mahalnya. Sehingga
kalau pake pendekatan value investing, maka saham ini gak bisa diambil. Opsi
yang lebih masuk akal mungkin Tempo Scan
Pacific (TSPC). Namun dengan PER 18.4 kali pada harga saham 3,000, maka
TSPC juga belum begitu murah. Sido Muncul (SIDO) mungkin juga menarik, tapi dia
tidak masuk hitungan BPJS ini karena perusahaan tidak memproduksi obat-obatan
untuk mengobati penyakit, melainkan lebih ke suplemen (Kuku Bima) dan obat
ringan (Jamu Tolak Angin). Terus kalau anda mau perusahaan farmasi yang
kinerjanya bagus dan konsisten, maka Darya Varia Laboratoria (DVLA) sebenarnya
juga bagus, tapi sayang sahamnya sama sekali gak likuid. Untuk Kimia Farma
(KAEF), masalahnya juga sama dengan KLBF: Muahhaaall! Lalu bagaimana dengan
Indofarma (INAF)? Well, perusahaannya lagi rugi, jadi saya gak mau ambil risiko.
Jadi yaaa, I’m not sure.. kalau di konstruksi
penulis masih bisa ambil Nusa Raya Cipta
(NRCA), maka di farmasi saya belum melihat ada saham yang menarik meski
memang, prospek sektor farmasi terkait BPJS ini tampak begitu nyata seiring
dengan pelaksanaannya di lapangan yang cukup lancar. Kecuali sebagian dokter
yang masih mengeluh masalah keterlambatan pembayaran (mudah-mudahan masalah ini
segera diatasi), sebagian besar masyarakat mengakui bahwa mereka terbantu
karena BPJS ini. Jika nanti Kartu Indonesia Sehat yang diluncurkan Jokowi bisa
berjalan dengan lancar (meski ada juga yang bilang kalau KIS itu ya sama saja
dengan BPJS, hanya ganti nama saja), maka prospek saham-saham farmasi ini akan
menjadi lebih menarik lagi. But like I said before, selama saham yang kita
incar belum memiliki fundamental yang strong, atau valuasinya juga tidak
bisa dikatakan murah, maka prospeknya seringkali tidak berarti apa-apa. Kita
lihat nanti jika ada salah satu dari saham-saham yang disebutkan diatas
harganya turun pada level yang affordable, atau jika perusahaannya
benar-benar mencatatkan lonjakan pendapatan dan laba seperti yang diharapkan.
Catatan: Barusan penulis dikasih tau temen kalau
saham Trada Maritime (TRAM) terjun
bebas dari 1,900 ke 300-an, sehingga seperti biasa menimbulkan pertanyaan:
Apakah harga segini sudah cukup murah? Tapi berhubung untuk minggu ini sudah
ada artikel ini, maka kita akan membahasnya minggu depan.
Komentar
Jadi menurut saya, dgn adanya program BPJS kesehatan, masyarakat akan lebih aware atas kesehatan mrk. Nah, tentunya mrk mendapatkan pengobatan gratis tapi biaya ini kan dibebankan oleh rumah sakit ke BPJS. Jadi lbh banyak org berobat ke rumah sakit tentunya akan meningkatkan pendapatan rumah sakit.
kerugiannya mengecil dan di kuartal 3 mencetak laba semenjak dipegang manajemen KAEF
Saya kok merasa de javu ya habis baca berita di imq21.com sangat mirip dengan artikel yang pak teguh buat beberapa hari yang lalu. Ini link nya
http://www.imq21.com/news/read/272146/20141211/050006/Prospek-Saham-Farmasi-di-Tengah-BPJS-Tamat-.html