Conservative? What is That?
Di hari Senin pagi yang cerah ini, di Kota Jogja
yang amat sangat bersahabat ini, penulis iseng-iseng mengecek lagi harga dari
saham-saham Grup Bakrie. Andd.. whoaaa.. Bumi Resources (BUMI) sepertinya tinggal
selangkah lagi menuju gocap! Sebab saat ini harganya tinggal Rp103 per saham.
Sebelumnya, beberapa saham Grup Bakrie lainnya seperti Darma Henwa (DEWA),
Bakrie Sumatra Plantations (UNSP), Bakrie Telecom (BTEL), Bakrie & Brothers
(BNBR), hingga Bakrieland Development (ELTY), mereka semua sudah lebih dulu
mencapai level gocap tersebut. Dan kalau mengingat bahwa di tahun 2009 – 2010
lalu, saham-saham Grup Bakrie begitu mendominasi volume perdagangan saham di
BEI dimana orang-orang bahkan lebih tertarik untuk melihat arah pergerakan BUMI
ketimbang pergerakan IHSG itu sendiri, maka ini tentu saja menimbulkan
pertanyaan: What the hell happen???
Bagi anda pengunjung teguhhidayat.com yang masih
baru, maka biar penulis sampaikan sekali lagi bahwa, sejak saya masuk pasar
saham pada tahun 2009 lalu, penulis tidak pernah sekalipun mencolek BUMI barang satu
lot pun. Padahal faktanya BUMI merupakan salah satu saham paling populer
ketika itu, dimana data registrasi di bulan tertentu di tahun 2009 menunjukkan
bahwa BUMI dipegang oleh lebih dari 50,000 investor, baik individu maupun
institusi, baik asing maupun lokal. Mengingat jumlah investor saham ketika itu tidak sampai 300,000 orang di seluruh Indonesia, maka kita bisa mengatakan bahwa,
dari setiap 5 atau 6 pemain saham di bursa, minimal ada satu orang yang pegang
BUMI.
However, seorang teman pernah berkomentar
begini, ‘Kalau Mas Teguh sudah masuk pasar pada tahun 2006 atau 2007, maka besar
kemungkinan Mas Teguh juga bakal pegang BUMI. Sebab, BUMI memang saham paling
fenomenal sepanjang sejarah BEI, dimana harganya naik dari awalnya 700-an di
bulan September 2006, hingga menjadi 3,500-an pada bulan yang sama setahun kemudian
(2007), atau naik 5 kali lipat hanya
dalam waktu 1 tahun, dan itu memang sejalan dengan fundamentalnya yang
(ketika itu) memang bagus. Karena volume transaksi sahamnya sangat likuid, maka semua orang bisa masuk untuk membeli BUMI, termasuk fund-fund besar
sekalipun, dan itu membuat harganya naik lebih tinggi lagi hingga menembus
8,000-an pada bulan Mei 2008. Pada titik tersebut semua orang sudah kalap,
dimana sekuritas-sekuritas amat sangat rajin merilis riset dan analisis yang
pada kesimpulannya merekomendasikan BUMI, termasuk ada juga sekuritas besar
yang mengatakan bahwa BUMI bisa lanjut terbang lagi sampai 12,000-an.’
Temen penulis ini melanjutkan, ‘Kalau Mas Teguh
ketika itu sudah masuk pasar dan entah bagaimana caranya bisa menahan diri untuk tidak membeli BUMI, maka semua orang akan menganggap anda
gila.’
Intinya, terlepas dari harga sahamnya yang
terpuruk saat ini, termasuk fundamentalnya yang juga hancur berantakan, namun
pada satu periode tertentu di masa lalu, BUMI ini merupakan perusahaan yang
memang layak di-admire. It was ACTUALLY a good company! Termasuk, pada
tahun 2009 lalu, Gita Wirjawan juga
sukses besar setelah membeli BUMI di rentang harga 500 – 1,000, dan menjualnya
di 2,500-an hanya dalam waktu sekitar setahun kemudian (dan itu sebabnya ia
menjadi kaya raya). Jadi pertanyaannya sekarang, apa yang terjadi dengan BUMI,
dan juga saham-saham Bakrie-related lainnya?
Jawaban dari pertanyaan ini balik lagi ke
sejarah berdirinya BUMI itu sendiri. Seperti yang pernah penulis ceritakan di artikel
ini, Pada tahun 2001, Grup Bakrie mencoba menata kembali imperium bisnis
mereka, yang sebelumnya hancur berantakan diterpa Krisis Moneter 1998, dengan
mengakuisisi sebuah perusahaan batubara bernama Arutmin, ketika itu dengan
memperoleh pinjaman senilai Rp2 trilyun dari Bank Mandiri dan Jamsostek (jadi
Bakrie memperoleh Arutmin dengan cara berhutang). Bakrie sebelumnya membeli
perusahaan perhotelan kecil yang nyaris bangkrut di bursa dengan kode BUMI, dan
mengubah namanya menjadi Bumi Resources (namun kodenya tetap sama). Arutmin
kemudian dimasukkan kedalam BUMI ini (backdoor listing), sehingga BUMI berubah
status menjadi perusahaan batubara.
Tak lama kemudian Arutmin mulai menghasilkan
keuntungan substansial, sehingga Grup Bakrie mulai mencari peluang baru. Pada tahun 2003, Pemerintah RI ketika itu mewajibkan
dua perusahaan tambang global, British Petroleum (BP) dan Rio Tinto, untuk
mendivestasi saham mereka di Kaltim Prima
Coal (KPC), sebuah perusahaan batubara terbesar
di Indonesia. Dengan keahliannya yang luar biasa dalam hal bernegosiasi,
Mr. Ical dan adiknya, Mr. Nirwan, sukses mengambil alih KPC ini dengan nilai
akuisisi US$ 500 juta, padahal mereka ketika itu nggak punya uang sebanyak itu.
Jadi duitnya dari mana? Yaaa dari utang lagi! KPC kemudian terbukti sukses menjadi
penyumbang pendapatan terbesar bagi BUMI, dimana dalam beberapa tahun
berikutnya laba bersih serta kinerja BUMI secara umum terus naik secara sangat signifikan,
hingga sahamnya pun terus naik, dari hanya 200-an pada 2003, menjadi 8,000-an
pada tahun 2007. Pada titik ini, Mr. Ical dan keluarganya sukses untuk kembali
menempatkan diri mereka dalam jajaran orang terkaya di Indonesia versi Majalah
Forbes.
Tapi yah, namanya pebisnis itu seringkali memang gak ada
puasnya. Dengan memegang KPC, Grup Bakrie sebenarnya sudah sangat sukses dalam menyingkirkan
banyak konglomerat lainnya yang cuma bisa ngiler melihat cadangan batubara KPC
yang mencapai 2 milyar ton (dan terus meningkat seiring dengan dilanjutkannya
kegiatan eksplorasi), dan faktanya Grup Bakrie sukses menjadi besar kembali
berkat KPC tersebut.
Namun mungkin justru karena mereka sukses dengan
mudahnya mengambil alih Arutmin dan KPC (bahkan meski mereka nggak punya uang),
maka mereka kembali melanjutkan kegiatan ‘belanja’ aset tersebut. Selesai dengan KPC, Grup Bakrie melalui BUMI
kembali mengakuisisi banyak aset, seperti perusahaan batubara PT Fajar Bumi
Sakti, PT Pendopo Energi Batubara, perusahaan tambang emas PT Gorontalo
Minerals, PT Citra Palu Mineral, perusahaan tambang bijih besi PT Dairi Prima
Mineral, hingga yang paling hot, kepemilikan minoritas di salah satu perusahaan
emas terbesar di tanah air, PT Newmont Nusa Tenggara. Dalam hal ini penulis
jadi berandai-andai bahwa, seandainya Pemerintah RI entah bagaimana caranya bisa
memaksa Freeport McMoran untuk mendivestasikan sahamnya di PT Freeport Indonesia, maka Bakrie bakal berada dalam barisan
paling depan untuk mengambil alih saham yang dijual tersebut, sekali lagi,
bahkan meski mereka nggak punya uang.
Lalu dari mana Nirwan cs punya duit untuk serangkaian
akuisisi tersebut? Ya dari mana lagi kalau bukan dari pinjaman sana-sini.
Ibaratnya Mr. Nirwan tinggal tunjuk aset anu, lalu setelah aset tersebut sudah
deal dijual pada harga sekian, dia datang ke bank buat ngambil duitnya. Tidak
hanya melalui BUMI, namun melalui perusahaan-perusahaan lainnya seperti Energi
Mega Persada (ENRG), ELTY, BNBR, hingga yang listing paling baru, Visi Media
Asia (VIVA), Grup Bakrie rajin mengakuisisi aset-aset sesuai jenis asetnya (BUMI
untuk aset-aset tambang batubara dan mineral, ENRG untuk aset-aset minyak dan
gas, ELTY untuk aset-aset properti dan infrastruktur, dst).
Masalahnya, Bakrie sama sekali tidak
membatasi diri mereka dalam hal berhutang ini. Mereka terus saja mengambil alih
aset sehingga utang mereka terus membesar, termasuk utang-utang dengan beban bunga
yang sebenarnya mencekik, seperti pinjaman ke China Investment Corporation (CIC) dengan bunga 19% per tahun. Karena
nilai pinjaman itu sendiri mencapai US$ 1.9 milyar, maka Grup Bakrie harus
membayar US$ 361 juta, atau sekitar Rp4
trilyun per tahun, hanya untuk membayar bunganya saja, dan itu belum
termasuk bunga dari utang-utang yang lain! Maka tidak heran Bakrie kemudian
lebih sibuk melakukan refinancing, penundaan pembayaran bunga, dll, ketimbang
mengurus perusahaan itu sendiri.
Dan ketika aset-aset yang dipegang BUMI (dan juga perusahaan-perusahaan lainnya dalam naungan Grup Bakrie) mulai mengalami penurunan kinerja sedikit saja, misalnya karena penurunan harga batubara, maka dampaknya negatifnya menjadi sangat besar karena perusahaan tidak memiliki cukup dana (dari laba bersih yang diperoleh, karena nilai dari laba itu sendiri turun) untuk membayar bunga pinjaman, hingga menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yang luar biasa besar. Ketika kerugian ini terakumulasi maka nilai aset bersih BUMI itu sendiri menjadi terus tertekan hingga minus (defisiensi modal). Dan hal itulah yang menyebabkan keterpurukan BUMI pada saat ini, yang kemudian merembet pada perusahaan-perusahaan Bakrie lainnya. Penulis tidak tahu apakah Grup Bakrie bisa survive atau tidak, termasuk apakah mereka sanggup untuk mengembalikan kejayaan BUMI seperti tahun 2007 lalu atau tidak, tapi yang jelas untuk saat ini mereka hancur berantakan karena ulah mereka sendiri. Anda tentu bisa melihat bahwa perusahaan-perusahaa batubara di BEI memang lagi susah, dan saham-saham mereka pada turun semua, tapi kenapa cuma BUMI doang yang turun sampai segininya?
Dan ketika aset-aset yang dipegang BUMI (dan juga perusahaan-perusahaan lainnya dalam naungan Grup Bakrie) mulai mengalami penurunan kinerja sedikit saja, misalnya karena penurunan harga batubara, maka dampaknya negatifnya menjadi sangat besar karena perusahaan tidak memiliki cukup dana (dari laba bersih yang diperoleh, karena nilai dari laba itu sendiri turun) untuk membayar bunga pinjaman, hingga menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yang luar biasa besar. Ketika kerugian ini terakumulasi maka nilai aset bersih BUMI itu sendiri menjadi terus tertekan hingga minus (defisiensi modal). Dan hal itulah yang menyebabkan keterpurukan BUMI pada saat ini, yang kemudian merembet pada perusahaan-perusahaan Bakrie lainnya. Penulis tidak tahu apakah Grup Bakrie bisa survive atau tidak, termasuk apakah mereka sanggup untuk mengembalikan kejayaan BUMI seperti tahun 2007 lalu atau tidak, tapi yang jelas untuk saat ini mereka hancur berantakan karena ulah mereka sendiri. Anda tentu bisa melihat bahwa perusahaan-perusahaa batubara di BEI memang lagi susah, dan saham-saham mereka pada turun semua, tapi kenapa cuma BUMI doang yang turun sampai segininya?
Okay, jadi pelajaran apa yang bisa diambil dari
Kasus Bakrie diatas?
Dalam berbisnis, atau berinvestasi, sifat
serakah, atau istilahnya greed, itu merupakan hal yang biasa. Even
Gordon Gekko once said, ‘Greed, for the lack of better words, is good’. Penulis
sendiri sudah sering ketemu anak muda yang tidak antusias ketika penulis
mengatakan, ‘Target investasi saya konservatif aja, sekitar 20 – 30% per tahun
karena, terus terang, dapetin cuan segitu juga nggak gampang lho’. Mungkin mereka
berpikir: Kalau cuma segitu kapan gue bisa kaya???
Nah, hal yang sama juga terjadi pada level
investor yang lebih tinggi, seperti Grup Bakrie ini (kalau kita kan cuma pemain
kelas teri, yang cuma bisa ambil alih aset yang diperdagangkan di market dengan
duit ala kadarnya karena kita gak punya akses ke Credit Suisse atau Deutsche
Bank). Grup Bakrie sejatinya sudah sangat sukses ketika mereka mengambil alih
KPC, dimana mereka menjadi kaya raya kembali dalam sekejap, namun kesuksesan
itu justru menyebabkan mereka penasaran untuk melangkah lebih jauh lagi.
Istilahnya kalau perlu, seluruh aset-aset bagus yang ada di Indonesia semuanya dipegang
oleh mereka! Masalah dana, itu soal gampang. Toh para bank juga malah ngantri untuk ngasih pinjaman.
Sebenarnya beberapa grup konglomerasi lainnya, let say Grup Astra, mereka juga bukannya anti utang. Namun mereka hanya mengambil utang dalam jumlah yang wajar, dan hanya mengakuisisi aset-aset sesuai kemampuan mereka. Mereka tidak tertarik dengan ‘melompat’ menggunakan leverage (istilah keren untuk utang), melainkan lebih suka untuk melangkah maju terus meski terkesan ‘alon-alon asal kelakon’, salah satunya dengan terus mengembangkan aset-aset yang ada, dan ini berbeda dengan Grup Bakrie yang lebih tertarik untuk terus mengakuisisi aset baru ketimbang mengembangkan yang sudah ada. Singkat kata, Grup Astra berbisnis (dan berinvestasi) dengan cara yang jauh lebih konservatif dibanding Grup Bakrie.
Sebenarnya beberapa grup konglomerasi lainnya, let say Grup Astra, mereka juga bukannya anti utang. Namun mereka hanya mengambil utang dalam jumlah yang wajar, dan hanya mengakuisisi aset-aset sesuai kemampuan mereka. Mereka tidak tertarik dengan ‘melompat’ menggunakan leverage (istilah keren untuk utang), melainkan lebih suka untuk melangkah maju terus meski terkesan ‘alon-alon asal kelakon’, salah satunya dengan terus mengembangkan aset-aset yang ada, dan ini berbeda dengan Grup Bakrie yang lebih tertarik untuk terus mengakuisisi aset baru ketimbang mengembangkan yang sudah ada. Singkat kata, Grup Astra berbisnis (dan berinvestasi) dengan cara yang jauh lebih konservatif dibanding Grup Bakrie.
Tapi hasilnya? Yah, anda lihat sendiri bagaimana
besarnya Astra sekarang. Sementara BNBR, yang pernah disebut sebagai ‘Berkshire
Hathaway Indonesia’, malah mati di gocap. Sebenarnya bukan kali ini saja cara
investasi yang terlalu berani, bahkan terkesan nekad, seperti yang dilakukan Grup
Bakrie, pada akhirnya hanya menghasilkan
kehancuran. Lehman Brothers bangkrut di tahun 2008 karena terlalu royal dalam
menyalurkan kredit perumahan, dan menanggung utang hingga US$ 900 milyar. Enron
Corp., sebuah perusahaan minyak di Amerika yang sempat tenar di tahun 90-an,
juga bangkrut terutamanya karena teramat sangat rajin dalam mengakuisisi
aset-aset menggunakan utang. WorldCom Inc., sebuah perusahaan telekomunikasi
yang juga besar di Amerika, bangkrut pada tahun 2002 setelah gagal dalam
membayar utang-utang mereka yang nilainya mencapai US$ 41 milyar. Dan
seterusnya.
Sementara di Indonesia? Well, selain Bakrie
(meski anehnya kok mereka belum bangkrut juga, tapi memang peraturan kepailitan
disini belum seketat di Amerika), ada Berlian
Laju Tanker (BLTA), sebuah perusahaan perkapalan yang punya sejarah panjang
yang cemerlang, namun semuanya berubah setelah pada tahun 2007 manajemen
perusahaan memutuskan untuk ‘melompat lebih tinggi’ dengan mengambil hutang
hingga milyaran Dollar. Terus ada Borneo
Lumbung Energi & Metal (BORN), sebuah perusahaan batubara dengan
prospek yang luar biasa karena dia adalah satu dari sedikit pemilik batubara mahal
jenis coking coal di Indonesia, namun seketika langsung hancur lebur
setelah perusahaan memutuskan untuk ikut dalam ‘kerjasama malapetaka’ dengan
Bakrie dan Rothschild, dimana BORN sekarang terlilit utang US$ 1 milyar ke
Standard Chartered Bank yang tidak mampu mereka bayar. Pada tahun 1998 lalu ketika terjadi krisis moneter, juga tidak terhitung berapa banyaknya perusahaan yang bangkrut, dan lagi-lagi masalahnya sama: Karena mereka kebanyakan megang utang.
Jadi apa kesimpulannya?
Kalau ada yang mengatakan bahwa pasar modal itu
ada karena adanya keserakahan dari para investor di dalamnya, maka penulis
setuju dengan itu. However, sejarah membuktikan bahwa investor yang mampu mengendalikan
sifat serakahnya itulah, yang pada akhirnya akan menang. Tindakan leverage, selama
itu dilakukan dalam tingkatan yang wajar, maka itu diperbolehkan. Namun jika
dilakukan secara berlebihan, maka ujungnya nyaris selalu jelek. Grup Bhakti,
yang sekarang berubah nama menjadi Grup MNC milik pengusaha muda Hary Tanoe,
merupakan salah satu kelompok investor yang juga menggunakan leverage alias
mengambil utang ke bank atau menerbitkan obligasi, namun itu dilakukan secara
wajar dan secukupnya saja. Dan hasilnya, meski Mr. Hary kelihatannya masih
gatot di politik, namun bisnisnya lancar-lancar aja tuh. Saham MNC Investama
(BHIT), perusahaan holding dari seluruh anak-anak usaha Grup MNC, meski juga
belum kemana-mana lagi, tapi juga nggak sampai mati di gocapan seperti BNBR
(atau BUMI, sebentar lagi kayanya).
Karena itulah, anda sebagai investor di pasar
saham, harap hati-hati dalam melihat jumlah utang dari perusahaan yang akan
anda beli sahamnya. Seperti yang dikatakan Warren Buffett, ‘Kami menyukai
perusahaan yang mampu menghasilkan keuntungan yang konsisten, dimana keuntungan
tersebut diperoleh dengan hanya memanfaatkan sedikit utang, atau tidak sama
sekali’. Penulis sendiri cenderung menghindari perusahaan yang memiliki utang-utang yang mengandung bunga
(utang bank, obligasi) yang nilainya terlalu besar, let say lebih besar dari
nilai ekuitasnya sendiri. Kalau di saham-saham perbankan, saya selalu mencari
saham perbankan yang CAR-nya besar, katakanlah diatas 15%. Yang juga perlu
dicatat disini adalah, ketika perusahaan berhutang namun jumlahnya tidak berlebihan, maka itu masih diperbolehkan.
Jadi anda nggak perlu juga membatasi investasi anda pada saham/perusahaan yang
gak punya utang sama sekali.
Itu dari sisi perusahaan yang akan anda beli
sahamnya. Sementara dari sisi anda sendiri sebagai investor, usahakan untuk bersikap se-konservatif mungkin.
Mungkin harus penulis sampaikan sekali lagi bahwa, ‘strategi bertahan’ seperti ini
memang bukanlah ide yang populer, terutama karena orang paling malas kalau disuruh
jalan, maunya lari terus. Seperti halnya dalam pertandingan sepakbola, akan lebih
seru jika kedua tim saling menyerang ketimbang jika salah satunya hanya
bertahan. But trust me, tak peduli taktik apapun yang digunakan sang pelatih,
entah itu total menyerang, bermain di tengah, atau counter attack, namun
sisi pertahanan tetap saja tidak
boleh dilupakan bukan? Seorang pelatih sepakbola tidak bisa hanya terus
memikirkan soal bagaimana cara menjebol gawang lawan, tapi juga soal bagaimana
cara menjaga agar gawang sendiri tidak kebobolan. Nah, dalam value investing
juga sama: Kamu tentu akan selalu mengincar keuntungan, namun strategi margin
of safety agar kami tidak mengalami kerugian juga sama pentingnya, atau
bahkan lebih penting. Kami tidak tertarik dengan potensi keuntungan yang amat
besar jika kami tidak bisa mengukur, seberapa
besar risikonya.
Penulis sendiri, ketika masih sangat muda dulu,
juga tidak tertarik dengan konsep konservatif seperti ini, karena itu tadi:
Kalau begitu caranya, lalu kapan saya bisa kaya? Namun setelah diajari oleh
pengalaman selama beberapa tahun ini, termasuk melihat sejarah dari ‘conservatism
vs greedism’ yang ternyata selalu dimenangkan oleh orang-orang yang
konservatif, maka penulis memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemenang
ini. Kami lebih suka berinvestasi hanya dengan menggunakan dana yang ada saja,
tanpa margin, leverage atau semacamnya kecuali jika memang benar-benar
diperlukan (Warren Buffett pada waktu-waktu tertentu juga kadang menerbitkan
obligasi, tapi ya itu: Hanya di waktu-waktu tertentu saja). Kami juga tidak
tertarik untuk memperoleh ‘keuntungan besar dalam waktu singkat’ atau yang
seperti itu, melainkan alon-alon sajalah, yang penting kami enjoy, santai, dan tidak
stress dalam menjalani kegiatan investasi yang kami lakukan.
And I’m inviting you guys, to join me to the
club! Just do your investment like Astra or Hary Tanoe does instead of Bakrie, and see the results! Aanndd oh, do not play politics, please?
Pengumuman: Penulis membuat Buku
berisi kumpulan analisis saham-saham pilihan berdasarkan kinerja mereka di
Kuartal III 2014, dan pada saat ini buku itu sudah terbit. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Ketika itu harga BUMI saat itu 660 namun sudah sejak 2010 (ketika itu harganya di 2000-an) saya sudah memperingatkan semua sahabat saya di bursa agar jangan masuk BUMI karena akan ke harga 50,tapi kebanyakan tidak ada yang percaya,mereka bilang "masa dari 2000-an bisa ke 50,harga segini sudah murah karena dulu pernah 8000". Akhirnya apa yang saya katakan 4 tahun itu mulai mendekati kenyataan. Ternyata memang benar bahwa BUMI itu murah karena murahan.
Sepengetahuan saya, memang sudah jelas kita dikenakan pajak saat penjualan sebesar (kalau tidak salah)0.1%,
Yg saya tanyakan itu dari total bruto penjualan saham atau hanya total capital gain-nya saja?
Selain itu saya juga denger masalah dividen jg kena pajak..
However, sebenarnya kata broker saya, saya tidak usah pusing memikirkannya, karena toh nanti akan dipotongkan/diurus secara otomatis oleh broker, pada saat akun kita melakukan transaksi penjualan saham.
Namun, kendalanya disini adalah pas nanti waktunya untuk mengisi SPT(Surat Pemberitahuan) Wajib pajak Tahunan, dimana isinya harus saya sesuaikan, Pak Teguh..
Memang kita bisa saja mengisi data secara umumnya saja, karena mengingat SPT ini sifatnya self-assasement (alias kita sendiri yg menghitungnya) namun sebagai warga negara yg baik, selayaknya kita melaporkan penghasilan ke negara secara cermat.
Bagaiamana dgn Pak Teguh Sendiri, selama ini pengurusannya terkait dalam perihal Pajak-Perpajakan?
atau mungkin ada rekan-rekan lain Retail Investor yg punya tips ttg pengurusan SPT Pajak Pribadi?
Oh ya, selain itu, kalau kita pegang/hold suatu saham dalam jangka panjang(lebih dari satu tahun hitungan pajak) dan belum kita jual, apakah itu termasuk dalam objek kena pajak?
Trima Kasih,
Iskandar.
saya kagum dengan anda yang sudah memikirkan hal ini, broker jawab tidak usah pusing karena mereka tidak perduli dengan hal ini, padahal ini penting untuk "dipusingkan".
1. pajak 0.1% adalah dari total bruto penjualan saham, bukan total capital gainnya saja.
2. setiap pembelian dan penjualan saham ada bukti pembelian yang namanya trade confirmation (biasanya dalam bentuk pdf dikirimkan lewat email), harap ini di simpan baik2 untuk bukti bahwa kita sudah bayar pajak final jika dibutuhkan oleh kantor pajak
3. pajak deviden saham sebesar 10% sebenarnya juga sudah otomatis dipotong oleh emiten yang membagi devidennya, namun yang sering tidak diperhatikan investor/trader adalah "Tidak pernah Meminta bukti potongan pajak deviden" dari sekuritasnya (sekuritas juga tidak minta ini ke emiten yang bersangkutan jika kita tidak minta), ini wajib diminta karena waktu kita setor SPT biasanya kita harus kasih buktinya juga bahwa kita sudah bayar pajak deviden dari saham.
pertanyaan terakhir : jika hold jangka panjang ya tidak kena pajak, intinya begitu jual saham baru kena pajak. dan di segmen harta yang diisi adalah nilai pembeliannya, capital gain tidak diakui sebelum adanya penjualan saham. jadi mis beli saham A di harga 1000 dengan total nilai 100 jt tahun 2014, di tahun 2015 belum dijual namun harga pasar sudah jadi 2000 dengan total nilai harga bapak jadi 200 jt, yang dibukukan di SPT 2015 hanya 100 jt, nanti mis bapak jual di 2016 di harga 2500 dengan total nilai 250 jt, maka yang dibukukan di SPT 2016 250 jt harta di saham. dan di kolom penjualan saham ada penjualan 250 jt dan pajaknya.
Bagaimana menentukan hutang yang ideal atau tidak hanya dengan DER?
Jadi menurut saya dalam kasus BUMI lebih kepada 1) bad Corporate Governance (constant dilution of BVPS), 2) business nature of coal (price volatility)dan 3) high acquisition valuation for its non-performing assets. Mungkin bisa lebih diklarifikasi ketiga hal tsb agar lebih menarik dan dipelajari.
Thanks!
Pajak dari pejualan saham ternyata adalah termasuk PPh Final, dan tidak perlu untuk dilaporkan lagi pas pengisian SPT Tahunan.
Thanks.