Perkembangan Politik & Pengaruhnya Terhadap IHSG
Dalam salah satu annual letter-nya, Warren
Buffett pernah ngomong begini, ‘Kami berharap bahwa anda akan bersama kami
untuk seterusnya (baca: menjadi pemegang saham Berkshire Hathaway untuk
seterusnya), dan tidak akan keluar/menjual saham anda hanya karena anda
khawatir ketika terjadi gejolak ekonomi dan politik di Amerika Serikat.’ Nah,
perhatikan bahwa Buffett menyebutkan dua kata: ekonomi, dan politik. Buffett
mengatakan kalimat tersebut karena, berdasarkan pengalamannya selama menjadi
investor, terdapat setidaknya dua hal yang bisa membuat pasar saham Amerika,
termasuk kinerja para perusahaan didalamnya, mengalami penurunan, yakni jika ‘ada
masalah’ terhadap perekonomian ataupun situasi politik, baik dalam skala
nasional maupun global.
Dan faktanya, ekonomi dan politik merupakan dua
hal yang sangat berbeda namun tidak dapat dipisahkan, dan keduanya sama-sama
berpengaruh terhadap kinerja bursa saham. IHSG sebagai indikator kinerja bursa
saham di Indonesia hanya bisa naik secara konsisten jika ditopang oleh perekonomian
yang bertumbuh secara riil. Sementara ekonomi Indonesia hanya bisa maju jika suhu
politiknya kondusif, dan suhu politik hanya bisa kondusif jika para pelakunya
(para politisi) mampu untuk paling tidak berhenti tonjok-tonjokkan dan mulai
bekerja dengan semestinya. Kesimpulannya, IHSG akan bisa naik secara konsisten
jika para penghuni gedung parlemen bisa benar-benar ‘bekerja untuk rakyat’
seperti yang mereka kampanyekan, dan bukannya saling lempar interupsi ketika
dilakukan sidang paripurna atau semacamnya.
Sementara jika yang terjadi tidak seperti itu,
maka dampaknya terhadap IHSG akan buruk. Selama ini penulis sendiri mengira
bahwa satu-satunya hal yang mempengaruhi pergerakan IHSG adalah terkait perekonomian,
baik secara makro (ekonomi negara secara keseluruhan), sektoral, maupun mikro
(kinerja perusahaan-perusahaan), sementara politik tidak berpengaruh sama
sekali. Namun ternyata itu adalah karena suasana politik di Indonesia,
khususnya selama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa, terbilang
kondusif. Satu-satunya gonjang-ganjing politik yang penulis ingat adalah ketika
pada tahun 2009 – 2010, SBY dan Partai Demokrat-nya diserang habis-habisan oleh
para oposisi di parlemen menggunakan Kasus Bank Century, dan kasus Cicak vs
Buaya (terkait pelemahan KPK), ketika itu bahkan sampai ada wacana untuk
melengserkan Presiden segala. Namun toh, Sir Beye berhasil meredam itu semua
(termasuk 'membungkam’ wakilnya, Pak Boediono, untuk nurut saja sama
beliau).
Logo PT Bank Mutiara, Tbk (BCIC), yang dahulu bernama Bank Century |
Karena tidak ada ‘masalah politik’ yang
benar-benar serius, maka jadilah selama 10 tahun ini hanya faktor ekonomi saja
yang bisa meruntuhkan IHSG, salah satunya ketika dunia dilanda krisis global
pada tahun 2008 dimana Indonesia terkena imbasnya, dan ketika Indonesia
mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang serius di tahun 2013. Diluar
itu, bursa saham kita nyaris selalu maju terus pantang mundur.
Kondisi yang berbeda terjadi di Amerika Serikat
(AS). Sejak masalah Krisis Yunani reda pada akhir tahun 2011, panggung bursa
saham dunia dipenuhi oleh berita-berita terkait Debt Ceiling, Quantitative Easing, Fiscal Cliff,
hingga United
States Shut Down. Butuh waktu yang agak lama bagi penulis untuk menyadari
bahwa berbagai isu tersebut ternyata bukanlah isu ekonomi, melainkan lebih merupakan isu
politik di negeri Paman Sam. Pada kasus United States Shut Down dimana
Pemerintah AS menutup kantor-kantor pemerintahan dan merumahkan ratusan ribu
PNS, misalnya, maka itu adalah buntut dari perselisihan antara Presiden Obama
dan House of Representative (kalau di Indonesia sama dengan DPR) terkait
rancangan APBN Amerika, dan bukan karena perekonomian AS sedang bermasalah.
Namun tetap saja: Ketika ‘shutdown’ tersebut diumumkan, tak lama kemudian Dow
Jones cs langsung berjatuhan.
Lalu bagaimana dengan perpolitikan Indonesia
dibawah pimpinan Presiden yang baru, Jokowi?
Jika SBY adalah seorang politisi ulung, maka
diakui atau tidak, tidak demikian halnya dengan Joko Widodo alias Jokowi. Sebagai
seorang ‘pekerja & pelayan rakyat’, Jokowi punya track record yang luar
biasa baik selama beliau menjadi walikota Solo, termasuk ketika menjadi Gubernur
DKI Jakarta, dimana hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun sejak beliau dilantik,
ada banyak sekali perubahan positif yang bisa langsung dirasakan oleh seluruh
warga Jakarta (termasuk penulis).
However, sebagai politisi, Jokowi masih belum cukup
berpengalaman. Jika anda membaca profil dari politisi-politisi senior di
Indonesia, maka anda akan menemukan bahwa mereka biasanya sudah berpolitik sejak masih sangat muda, biasanya dengan menjadi aktivis di kampusnya masing-masing
(jika dia adalah tokoh sipil). Contohnya Bung Karno, yang sudah bergabung
dengan organisasi politik sejak berusia 16 tahun, dan sudah mendirikan
partainya sendiri (Partai Nasional Indonesia/PNI) pada usia 28 tahun.
Sementara bagi para politisi dengan latar
belakang militer, kemampuan berpolitik itu telah terbentuk dengan sendirinya
sejak ia masih di dinas militer, dimana untuk bisa naik pangkat menjadi sersan,
mayor, letnan, kolonel, hingga jendral, maka seorang tentara harus memiliki
kemampuan untuk memimpin (leadership) para anak buahnya di medan perang,
dimana semakin tinggi kemampuannya dalam memimpin, maka semakin tinggi
pangkatnya. Dan ‘kemampuan untuk memimpin’ itu adalah dasar dari politik itu
sendiri bukan?
Lalu, Jokowi? Well, Jokowi adalah warga sipil
biasa, tanpa latar belakang militer, tanpa latar belakang keuturunan ningrat
atau keluarga kaya, dan juga: Tanpa latar belakang politik. Karier politik
Jokowi benar-benar baru dimulai ketika beliau menjadi Walikota Solo pada tahun
2005, atau hingga saat ini belum genap 10 tahun. Sementara sebelum itu, Jokowi adalah seorang
pengusaha dengan kisah karier yang juga biasa-biasa saja: Lulus kuliah, nganggur
sebentar lalu kerja di perusahaan, lalu resign dan nekad buka perusahaan
sendiri dibidang meubel, mengalami jatuh bangun termasuk kena tipu, dan
akhirnya sukses hingga bisa mengekspor meubel ke Eropa.
Pendek kata, Jokowi bukanlah figur yang spesial
sama sekali, karena beliau benar-benar merupakan orang yang biasa-biasa saja,
atau kasarnya: rakyat jelata. Dalam hal inilah penulis jadi maklum ketika
Prabowo kemarin nggak bisa langsung legowo setelah kalah Pilpres, karena
bagaimana mungkin seorang mantan jendral, masih turunan ningrat (Prabowo
merupakan keturunan generasi kesekian dari Tumenggung Banyakwide, seorang jendral
kepercayaan Pangeran Diponegoro), pimpinan tertinggi dari partai politik yang
cukup besar, dan punya aset trilyunan, bisa-bisanya kalah sama seorang.. tukang
kayu?
Kembali ke Jokowi. Meski tidak punya latar
belakang sebagai politisi yang berpengalaman, namun faktanya Jokowi adalah Presiden
terpilih Indonesia untuk periode 2014 – 2019. However, ketiadaan pengalaman
berpolitik tersebut menyebabkan posisi Jokowi sebagai Presiden, secara politik,
mau tidak mau menjadi tidak cukup kuat. Sebab, ingat ini: Tugas presiden bukan
melulu soal melaksanakan pembangunan, mensejahterakan rakyat, dan semacamnya,
tapi juga membangun koalisi di parlemen, karena seperti itulah cara kerja sistem demokrasi. Pak Harto sukses
menjadi Presiden selama 32 tahun karena selama itu beliau mampu mengendalikan para penghuni
gedung DPR dengan tangan besinya. Sir Beye dan Bu Mega juga mampu menjalankan
tugas sebagai Presiden hingga akhir periode jabatannya masing-masing, karena
mampu menjalin komunikasi dengan para anggota dewan.
Sementara BJ Habibie dan Gus Dur, mereka berdua
tidak bisa mengendalikan ataupun menjalin komunikasi dengan warga Senayan, dan
alhasil dua-duanya didepak lebih awal. Kesalahan BJ Habibie dan Gus Dur
bukanlah karena mereka ‘tidak berpihak kepada rakyat’, melainkan karena tidak
bisa berdamai dengan pihak legislatif, atau dengan kata lain: Tidak mampu
berpolitik.
Dan Jokowi, meski beliau mungkin
sepenuhnya independen dalam hal menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang
Presiden, namun dalam hal berpolitik itu tadi, beliau sama sekali tidak bisa bergerak
dengan bebas, karena di internal partainya sendiri dia masih berada dibawah
bayang-bayang Megawati sebagai ketua Partai. Sekarang coba anda bayangkan:
Jokowi mengajak tokoh politik tertentu, katakanlah Pak Beye, untuk ‘ngobrol-ngobrol
santai’ sambil makan siang, dan ternyata mereka berdua klop sehingga Sir Beye
setuju untuk memberikan dukungan kepada Jokowi di Parlemen (meski tidak lagi
menjabat Presiden, namun SBY tetap memiliki kekuasaan dalam kapasitasnya
sebagai pimpinan tertinggi Partai Demokrat).
Tapi kalau Megawati nggak setuju dengan
keberadaan SBY di koalisi, maka Jokowi bisa apa?
Dalam hal ini penulis sempat berpikir bahwa,
kalau mau pemerintahannya berjalan mulus, maka Jokowi mungkin harus mengkudeta Megawati
sebagai pimpinan partai, dan menjadikan PDI-P sebagai miliknya sendiri. Sebab
ketika kemarin Anas Urbaningrum mulai punya kubu sendiri di Demokrat, maka SBY
langsung bergerak cepat dengan meng-KPK-kannya, sehingga Demokrat kembali
menjadi milik beliau sendiri. Tidak boleh ada dua orang pemimpin dalam satu
partai. Dan karena Jokowi yang jadi presiden, maka harusnya ia pula yang
menjadi pemimpin tertinggi partai, bukan Megawati.
Namun Jokowi bukan tipe backstabber seperti
itu. Malah mungkin, beliau sama sekali tidak peduli soal itu. Penulis bisa
membayangkan bahwa yang ada di benak Jokowi saat ini adalah soal tugas-tugas apa yang
bisa ia kerjakan sebagai seorang Presiden, dimana ia bisa blusukan dari Aceh
hingga Papua, mengawasi secara langsung berbagai kegiatan pembangunan, ketimbang
buang-buang waktu untuk debat kusir dengan anggota dewan. Dan jika rakyat bisa
melihat hal tersebut, maka meski Jokowi mungkin akan sering diganggu oleh Fadli Zon
dkk di parlemen, namun beliau tetap akan memperoleh simpati rakyat, dan itu
adalah bekal yang sangat berharga untuk menjaga agar pemerintahannya tetap
kokoh. Masih ingat bagaimana ketika Jokowi dikritik habis-habisan oleh seorang
politisi yang merupakan anggota DPRD DKI Jakarta, namun justru malah si anggota
dewan ini yang jadi bulan-bulanan publik di televisi dan media sosial?
Tapi apapun itu, berbeda dengan SBY yang merupakan
politisi ulung (dan karena itu pula Indonesia relatif aman dari gejolak politik
selama 10 tahun beliau berkuasa), maka Jokowi tidak atau belum memiliki
kapasitas berpolitik tersebut. Dan karena itulah penulis melihat bahwa selain
isu-isu ekonomi, pergerakan IHSG kedepannya akan juga sesekali digoyang oleh
isu-isu politik. Termasuk penurunan IHSG akhir-akhir inipun, itu jelas karena
kubu Jokowi gagal dalam pertarungan RUU Pilkada dan Pemilihan Ketua di DPR (diluar faktor lain seperti pelemahan Rupiah).
Jika nanti kubu Jokowi kalah lagi dalam Pemilihan Ketua MPR, maka pasar juga
akan terguncang sekali lagi. We’ll see.
Catatan: Politik adalah tema yang sangat menarik untuk didiskusikan, jadi kalau anda punya pendapat tersendiri mengenai perkembangan politik di Indonesia saat ini, silahkan anda menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
Catatan: Politik adalah tema yang sangat menarik untuk didiskusikan, jadi kalau anda punya pendapat tersendiri mengenai perkembangan politik di Indonesia saat ini, silahkan anda menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah.
Komentar
Saat ini baguskan hanya ada 2 koalisi, Koalisi Prabowo menguasai Legislatif dan Koalisi Jokowi yg di handle sama Megawati menguasai Eksekutif.
Mirip dengan AS dimana 2 pihak, dimana Demokrat menguasai eksekutif dan Republik menguasai United States Congress.
Pertempuran politik ditataran elite bukan grassroot dan saling serang yang mengganggu stabilitas ekonomi pasti ada, anda lihat saja thailand. sering terjadi perang politik tetapi pertumbuhan ekonomi jalan terus walau tidak optimal.
Orang bilang negara ini autopilot, negara liberal yg cengkraman pemerintah tidak/belum terlalu menancap kedalam segi ekonomi. pemerintahan jalan kemana saja ekonomi tetap tumbuh karena besarnya potensi pasar yang ada
Saya optimis walau terjadi huruhara politik ditingkat elite, IHSG akan terus naik, terlepas saat ini hanya sentimen temporer pasar (faktor psikologis)
sedangkkan mengenai kelancaran kebijakan akibat hambatan parlemen juga cukup aman dalam jangka panjang. saat ini mungkin KMP mmemiliki jumlah mayoritas, tetapi sebenarnya ada 2 partai yang arah politiknya sangat mungkin untuk berubah, yaitu PPP dan Golkar ketika pergantian ketua keduanya selesai dilaksanakan. Bahkan PPP sudah sempat membelot ketika pemilihan ketua MPR kemarin. walaupun belum bisa dipastikan apakah PPP akan terus bersahama KIH, tetapi itu bukti KMP belum tentu bisa terus solid dalam jangka menengah panjang. Partai Demokrat juga posisinya penyeimbang, walaupun selama beberapa waktu belakangan terlihat lebih pro kepada kubu KMP, tetapi sangat mungkin dukungan tersebut mengarah kepada KIH bila Ibu Megawati mau bertemu SBY. Dan bila situasinya benar-benar sudah mendesak pada akhirnya pasti megawati akan terpaksa dan mau bertemu SBY. Jadi dalam jangka panjang saya rasa pemerintahan jokowi akan cukup aman dari hambatan-hambatan yang dilakukan parlemen. hambatan-hambatan seperti saat ini saya rasa hanya akan terjadi dalam jangka pendek. kalau masalah ketika pergantian ketua umum PPP dan Golkar maka kabinet jokowi sudah terbentuk sehingga terlambat, itu bukan masalah. kalau memang perlu dan terpaksa apa susahnya sih melakukan reshuffle kabinet untuk mengakomodasi partai tersebut.
jadi saya rasa tidak perlu terlalu khawatir dengan kondisi politik indonesia kedepan
Pengalaman di DKI menunjukkan ketidakmampuan Jokowi menjalin komunikasi dengan anggota dewan. Banyak target dia yang ga bisa dijalankan karena mentok di DPR. Mirip Obama kalo di US dimana dia ga mampu menaklukkan senat yang berakibat mandeknya implementasi janji kampanye
Jokowidodo kelihatannya orang baik. Sayangnya baik saja tidak cukup.