Tips Memilih Sekuritas
Anda sudah nonton film The Wolf of Wallstreet? (Jika belum, nonton dulu
sana). Film tersebut menceritakan tentang kisah karier Jordan Belfort, seorang broker/pialang saham di Pasar Saham Amerika
(Wallstreet) pada tahun 90-an, yang sangat ahli dalam meyakinkan para
nasabahnya untuk membeli dan menjual saham-saham tertentu, dimana ia kemudian
memperoleh trading fee dari situ.
Karena keahliannya tersebut ia sukses mendirikan perusahaan pialangnya sendiri,
Stratton Oakmont, dan menjadi sangat kaya raya pada usia yang belum genap 30
tahun. Namun endingnya cukup ironis: Belfort ditangkap pihak berwajib karena
ketahuan melakukan insider trading,
yang menyebabkan kerugian nasabahnya hingga puluhan juta Dollar.
Poster Film 'The Wolf of Wallstreet'. Sumber: imdb.com |
Belfort bukanlah investor atau trader saham, dia adalah broker atau pialang saham (atau disebut juga equity sales). Ia meraup pendapatannya dari aktivitas jual beli saham yang
dilakukan para nasabahnya. Dan dengan sedikit trik, ia juga bisa meraup
keuntungan tambahan dari kerugian yang
diderita nasabahnya, dengan cara menggoreng saham-saham penny yang membuat para investor membeli
saham-saham penny tersebut pada harga tinggi. Istilah gampangnya, Belfort ini seorang bandar.
Namun hal itu (kerugian yang diderita nasabah) mungkin bukan sepenuhnya
salah Belfort. Dalam film-nya, ketika ia diterima bekerja di sebuah perusahaan sekuritas untuk
pertama kalinya pada usia 22 tahun, Belfort (diperankan oleh Leonardo di Caprio) diajak makan siang oleh atasannya, dan
mereka berdialog kurang lebih seperti berikut:
Belfort: ‘Suatu kehormatan bagi saya untuk bekerja di perusahaan anda pak,
apalagi disini saya bertemu dengan banyak klien/nasabah yang merupakan
orang-orang kaya dan penting...’
Atasannya: ‘(Memotong) F**k the
client. Tugasmu adalah memberikan keuntungan bagi perusahaan’
Belfort: ‘Well, tapi itu bisa dilakukan sambil membantu nasabah untuk
meraup keuntungan bukan?’
Atasannya: ‘(Menggeleng) Ketika nasabah menjual sahamnya dan memperoleh
untung, maka jangan biarkan ia menarik keuntungan tersebut, tapi dorong dia untuk
membeli saham yang lain lagi, dan lagi.. Dia mungkin akan meraup keuntungan
atau menderita kerugian karenanya, bahkan kalaupun dia untung maka keuntungan itu
hanya diatas kertas. Yapi yang terpenting, kita akan memperoleh trading fee, tunai!’
Melihat adegan film tersebut, penulis jadi ingat kejadian di tahun 2011
lalu dimana saya ditawari untuk bekerja sebagai pialang di sebuah sekuritas.
Ketika penulis bertemu dengan orang yang akan menjadi atasan penulis (jika saya
jadi bekerja disitu), dia juga bilang begini, ‘Tugas kamu kamu adalah mendorong
nasabah untuk trading, trading, dan trading lagi. Karena pendapatan kita
berasal dari situ’. Ketika itu, berhubung penulis juga sudah menjadi seorang
investor, penulis berpikir dalam hati: ‘Jadi tugas kita sebagai pialang,
alih-alih membantu nasabah untuk memperoleh keuntungan dari investasinya, kita
justru harus mendorong nasabah untuk mengeluarkan biaya karena sering melakukan
jual beli saham, tak peduli dia untung atau tidak?’
Dua detik kemudian, saya memutuskan untuk tidak jadi bekerja disitu.
Sayangnya ketika penulis ketemu dengan beberapa kenalan dari sekuritas
lain, ternyata cara kerja mereka juga sama begitu: Dorong nasabah untuk trading sesering mungkin. Sudah tentu, para
pialang ini tidak serta merta mengatakan kepada nasabahnya, ‘Pak, trading dong!
Biar saya dapat komisi nih!’, melainkan, ‘Pak, ada saham bagus nih. Chart-nya
bagus, potensi upside sekian persen, risiko terbatas! Mau beli nggak? Berapa
lot? Wah, tapi cash-nya kurang, jadi saham apa dulu yang mau dijual nih? Okay,
mau pake margin nggak?’ Yap! Pialang dituntut (oleh perusahan sekuritas tempat
ia bekerja) untuk memberikan rekomendasi
saham, kalau bisa setiap hari, kepada para nasabahnya, dengan harapan
nasabah tersebut menjual saham yang ia pegang sebelumnya, lalu menggunakan
uangnya untuk membeli saham yang direkomendasikan. Atau dengan kata lain, melakukan trading. Dengan cara inilah,
si nasabah tidak akan merasa bahwa ia sebenarnya sedang ‘beramal’ untuk pihak
sekuritas. Malah justru, ia akan merasa senang bisa memperoleh
informasi/rekomendasi saham gratis, setiap hari pula, apalagi jika saham yang
ia beli kemudian naik.
Jadi ketika seorang investor sudah menjadi kecanduan untuk trading saham, apalagi sampai setiap hari, maka
ketika itulah sang pialang boleh dikatakan telah meraup kesuksesan.
However, cara kerja pialang yang seperti itu dapat dipahami. Investor
manapun, bahkan termasuk Warren Buffett sekalipun, bisa menderita kerugian
setiap saat. Jadi jika pendapatan pialang berasal dari keuntungan atau profit
sharing dari nasabahnya (sehingga si pialang akan membantu nasabahnya untuk
menperoleh cuan sebanyak-banyaknya), lalu bagaimana jika nasabahnya tersebut
merugi? Karena itulah, sekuritas menciptakan sistem dimana mereka bisa tetap
memperoleh pendapatan baik dalam kondisi si nasabah meraup keuntungan ataupun
menderita kerugian, yakni dengan menerapkan trading fee. Dan itu adalah pendapatan yang legal, karena
dimana-mana yang namanya ‘perantara’ itu memang berhak atas sejumlah komisi
atas jasa perantara yang mereka berikan. Selain itu ketika seorang investor
menderita kerugian, maka itu juga bukan salah pialangnya, karena tidak pernah
ada seorang pialang pun yang dengan sengaja menjeremuskan nasabahnya agar
menderita kerugian (apa untungnya? Toh mau nasabah untung atau rugi, si pialang
hanya akan dapet trading fee), kecuali jika dia jadi bandar seperti Jordan
Belfort tadi.
Namun ketika seorang pialang terjebak pada kalimat, ‘peduli amat nasabah
untung atau rugi, yang penting saya dapet fee!’, maka, diakui atau tidak, itu
bukanlah cara berbisnis yang baik. Seorang teman penulis yang merupakan fund
manager di Dana Pensiun Angkasa Pura pernah bilang begini, ‘Meski
keputusan untuk membeli atau menjual tetap ada di tangan nasabah, namun pialang
atau broker saham itu seharusnya juga bisa menjadi fund manager bagi
nasabahnya, dalam hal sama-sama berusaha untuk memperoleh keuntungan dari investasi
yang dilakukan. Investor paruh waktu mungkin kurang memperhatikan soal apakah
pialangnya membantunya atau tidak. Namun bagi investor profesional seperti
kami, kami bisa membedakan pialang mana yang hanya peduli soal trading fee, dan
pialang mana yang benar-benar berusaha membantu kami. Dan sudah tentu, kami
lebih menyukai pialang yang disebut terakhir.’
Jadi sebagai pialang, apa yang harus saya lakukan? Well, sebenarnya sederhana
saja, yakni: Jangan lagi menganggap klien/nasabah anda sebagai ‘mesin uang’,
melainkan partner bisnis yang,
seperti halnya anda, juga berhak untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama
yang dilakukan, dalam hal ini ketika mereka membuka rekening di tempat anda.
Anda harus memiliki visi yang sama dengan kami, yakni: Untuk meraup keuntungan
dari kegiatan investasi yang dilakukan, dan bukan untuk tik tok tik tok gak
jelas. Ketika anda memberikan rekomendasi saham kepada kami, maka itu haruslah
rekomendasi yang berkualitas, dan bukan asal rekomendasi agar kami melakukan
trading.
Dan kalau anda perhatikan, tidak benar bahwa mau nasabah untung atau rugi,
maka si pialang tetap memperoleh fee. Yang benar adalah, jika nasabah mengalami
rugi, maka trading fee yang diperoleh akan jadi kecil karena nilai dana yang
dipakai untuk jual beli saham menjadi berkurang bukan? Kalau si nasabah ini
rugi terus, maka lama-lama dana dia akan habis, dan tidak bisa trading lagi. Tapi
jika nasabah untung, maka fee yang anda terima juga akan naik karena jumlah
dana yang dipakai menjadi bertambah, termasuk si nasabah juga kemungkinan besar
akan menyetor dana lagi.
Mitos lainnya yang mungkin dipercaya oleh sebagian equity sales adalah
bahwa investor jangka panjang tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka,
karena mereka jarang sekali trading. Padahal faktanya, bahkan Warren Buffett pun dari
duluuu sampai sekarang, setiap tahunnya
selalu membeli saham tertentu (kecuali di tahun 1999 ketika terjadi dot com bubble) dan iapun sesekali menjual saham tertentu. Artinya? Ia selalu menghasilkan
komisi bagi pialangnya! Coba anda pikirkan, ketika kemarin Buffett membeli IBM senilai total kurang lebih US$ 10 milyar, maka berapa fee-nya???
Ambil 0.07% saja (ini adalah rata-rata komisi bersih bagi pialang di Indonesia,
setelah dipotong bagian perusahaan sekuritas, BEI, KSEI, KPEI, dan pajak), maka
itu artinya US$ 7 juta! Maksud penulis adalah, lebih baik anda memegang nasabah
besar yang sekali pencet tombol buy bisa
menghasilkan komisi jumbo, daripada nasabah kecil yang harus didorong untuk trading
setiap hari agar komisi anda terasa berarti.
However, anda tidak akan bisa meng-handle nasabah besar kecuali jika anda memiliki reputasi bahwa anda memang benar-benar
membantu nasabah untuk memperoleh keuntungan, atau jika anda sukses membantu nasabah anda yang tadinya kecil menjadi besar
dengan sendirinya. Penulis kenal beberapa pialang sukses yang menghasilkan
ratusan juta Rupiah setiap bulannya, dan itu adalah karena mereka memegang
klien-klien besar, seperti investor institusi, atau investor individu yang full
time. Kenapa para klien besar ini mau dipegang oleh mereka? Ya karena para
pialang ini memang sangat mengerti soal saham (ini mungkin perlu digaris bawahi, soalnya penulis pernah juga
ketemu dengan pialang yang bahkan gak tahu dimana harus mencari laporan
keuangan perusahaan!), sudah sangat
berpengalaman, mampu membantu nasabah untuk menghasilkan keuntungan yang riil,
dan yang terpenting: Mampu menjadi teman bagi nasabah! Karena, investor
seringkali tidak butuh rekomendasi saham, melainkan hanya teman untuk curhat
dan minta saran jika ia kebetulan sedang nyangkut. Pialang yang baik adalah
yang mampu memberikan counseling bagi
para nasabahnya, dimana mereka bisa membesarkan hati para investor ketika pasar
saham sedang anjlok, dan sebaliknya, mengingatkan investor agar realistis dan
tidak serakah ketika pasar sedang naik tinggi. Jika anda ikut-ikutan panik
ketika nasabah anda panik, atau sebaliknya ikut-ikutan serakah ketika nasabah
anda serakah, maka itu seperti dokter yang ketika didatangi pasien, ia bukannya
mengobati tapi malah ikut jatuh sakit. Dan sudah tentu, anda tidak akan menjadi
pialang besar dengan cara seperti itu.
Contoh pialang yang sukses karena menerapkan metode ‘menjadi teman’ bagi
kliennya adalah Chris Gardner. Dalam
film berjudul ‘Pursuit of Happyness’, Gardner, yang diperankan oleh Will Smith,
dengan sengaja datang ke rumah seorang fund manager besar untuk menawari membuka
rekening di Dean Witter Reynolds, perusahaan pialang tempat Gardner bekerja
(sementara teman-teman broker lainnya hanya menghubungi calon klien potensial
melalui telepon). Gardner juga memenuhi ajakan si fund manager yang akan
membawa anaknya untuk menonton pertandingan base
ball, meski ia sebenarnya tidak menyukai base ball. Sepanjang pertandingan,
Gardner lebih banyak bicara soal pertandingannya itu sendiri, termasuk
mengobrol dengan si anak, ketimbang ngoceh soal saham. Hasilnya, ia sukses
besar, hingga beberapa tahun kemudian mampu mendirikan perusahaan pialangnya
sendiri.
Tidak banyak pialang yang bisa menjadi teman bagi klien-nya, dan kalaupun
ada, terkadang si pialang ini bukanlah teman yang baik (baca: tidak cukup
mengerti soal saham, sehingga nasabahnya tidak bisa meminta advice apapun). Seorang kawan baik penulis,
Pak Gunawan pemilik blog Anggun Trader, beliau adalah trader tulen dengan
kepemilikan dana yang tidak sedikit, dan beliau pernah ngomong begini, ‘Saya
paling males kalau buka rekening di sekuritas besar, karena direkturnya sulit
sekali ditemui dan terkesan sombong, sementara saya cuma dikasih sales anak
muda yang bisa saya kontak sewaktu-waktu, padahal dia nggak ngerti apa-apa. Kalau
di sekuritas kecil, direkturnya biasanya lebih friendly dan tidak sulit untuk ditemui atau diajak makan siang. Dan
sebagai trader, itu saja yang saya butuhkan.’
Penulis sendiri, ketika dulu pertama kali membuka rekening di sekuritas
tidak pernah memperhatikan soal ini. Namun sekarang, sekuritas yang saya pilih
bukanlah karena sistemnya bagus, fee-nya murah, atau semacamnya, melainkan
karena salesnya merupakan kawan baik penulis dimana penulis merasa nyambung
setiap kali berdiskusi soal saham dengannya, dan dia selalu available setiap kali penulis membutuhkan
bantuan tertentu. Itu saja!
So, mari kita runut lagi kriterianya. Untuk menjadi pialang yang sukses,
anda harus: 1. Menjadi partner bisnis yang memiliki visi yang sama dengan
nasabah, yakni untuk memperoleh keuntungan dan sama-sama bertumbuh menjadi
besar, 2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang saham agar nasabah bisa
konsultasi, termasuk memiliki ketenangan agar nasabah bisa counseling, dan 3. Mampu menjadi seorang teman. Terdengar sulit? Well,
sebenarnya tidak juga, karena kami sebagai investor juga memiliki kesulitan
yang sama untuk mengerjakan analisis, mengelola portofolio, dll. Tidak mudah bagi
kami untuk terus berupaya memperoleh keuntungan, sembari diwaktu yang bersamaan
menjaga agar tidak kebobolan (baca: rugi). Intinya, semua profesi di pasar
modal memiliki tantangannya masing-masing, demikian pula profesi-profesi
lainnya yang ada di dunia, dimana kita dituntut untuk bekerja seperti yang memang seharusnya, jika
kita ingin menjadi besar.
Hmm, penulis kira sudah cukup. Ada yang mau menambahkan?
Komentar
sulit untuk berdiskusi kalau si pialang terlihat sangat menguasai semua pembicaraan. dan memang benar yang Pak Teguh katakan, pialang juga harus bisa mendengarkan dan berdiskusi, bukannya mencela atau merendahkan pihak lain / saham tertentu.
sangat bermanfaat artikel ini pak.
sebagai pekerja di sekuritas saya banyak belajar dari pak teguh, khususnya tulisan kali ini.
saya berusaha tidak membedakan antara client kecil atau besar, saya tidak pernah memaksa mereka transaksi, saya menganggap portofolio mereka adalah portofolio saya.
meskipun perusahaan terus menggencet saya, tapi saya tetap berkomitmen memberikan yang terbaik.
Awalnya saya masih ragu apakah pendapat saya benar, tetapi melalui tulisan ini saya semakin mantap berkomitmen menjadikan client sebagai prioritas saya. meskipun posisi saya menjadi taruhannya.
Terimakasih pak teguh atas tulisannya
bagi saudara yg belum mengikuti seminarnya pak teguh... ayokk segera ikut ya..kl gk nyesel...
ilmu yg di share kan pak teguh sangat berguna agar bisa survive di market....
Salam cuan dr medan
Suyanto
Saya hanya ingin comment sedikit tentang ini.Agar orang-orang juga belajar dari pengalaman lumayan pahit. hehehe
Memang banyak broker-broker atau menyebut diri mereka analis. Tetapi banyak yang terjebak dengan rekomendasi para broker2 tsb, karena sebetulnya broker2 tsb tidak tahu apa-apa tentang fundamental perusahaan yang di rekomendasi.
Saya dulu adalah orang yang selalu bertanya kepada para broker apa yang harus dibeli, dan nyata nya apabila ada koreksi, mereka hanya berkata "iya pak, sedang koreksi". semua juga nyaho sedang koreksi T.T
Kalau boleh kasih saran, sarannya simple menurut saya: Do your homework... It's your money not theirs, you're supposed to be the one responsible for it. and also remember we don't have to be smarter, we just have to be more disciplined than the rest.
Happy Investing
Thanks mas Teguh untuk sharing kepada kita-kita.
WG
*maaf, saya hanya orang biasa yang menyukai saham :) yang sehari-harinya terbiasa dengan gaya bahasa yang lugas, langsung pada point-nya namun tetap menjunjung kesopanan.. :)
salam kenal, sudah 5 bulan saya menjadi peserta BEI melalui broker Kresna sekuritas, nah saya mau naya menurut pengalaman bapak butuh berapa lama supaya bisa sukses dalam trading? apa pernah bapak melakukan survey?
thanks a lot.
saran saya sama dengan david dv "Jangan bertransaksi saham pada broker yang hanya berorientasi pada value transaksi semata? Tetapi pada broker yang peduli pada portofolio saham nasabah-nasabahnya & broker yang terus meng-upgrade pengetahuannya tentang saham" inget ya di sekuritas masih banyka broker2 yang berorientasi sama nilai bukan fee semata :)
dari saya ex broker yang sekarang seorang menjadi full investor :)
Yang pasti di atas deposito atau standart target > 7.5%. Kalau ingin lebih agresif ya 15-20% (rata-rata Warren Buffet) atau >100% ala Peter Lynch. Imho pak :)
Salam dari BSD ( Bumi Serpong Damai).
Elman Raiyan.
elmanraiyan.com