Cara Membedakan Laporan Keuangan ‘Palsu’

Berdasarkan pengalaman penulis ketika beberapa kali mengadakan seminar investasi saham, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh peserta seminar ketika sesi tanya jawab adalah soal bagaimana cara kita mengetahui apakah laporan keuangan sebuah perusahaan menyajikan angka-angka (pendapatan, laba bersih dll) yang sebenarnya atau tidak. Atau dengan kata lain, bagaimana jika kita melihat bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan tampak bagus dengan laba bersih yang besar dll, namun ternyata itu karena pihak perusahaan memalsukan laporan keuangannya tersebut? Nah, berhubung ini mungkin merupakan pertanyaan dari banyak sekali teman-teman investor, maka sekalian saja kita bahas disini. Okay, kita langsung saja.

Salah satu kekhawatiran yang sering melanda seorang investor adalah terkait benar tidaknya informasi keuangan yang disajikan oleh laporan keuangan perusahaan. Contohnya, pada Kuartal II 2014, laporan keuangan PT Astra International, Tbk (ASII) menunjukkan bahwa perusahaan membukukan laba bersih Rp11.8 trilyun selama Januari – Juni 2014. Pertanyaannya, dari mana kita tahu bahwa ASII benar-benar membukukan laba sebesar itu? Bagaimana jika kenyataannya adalah bahwa laba ASII ternyata lebih kecil dari Rp11.8 trilyun, atau sebaliknya lebih besar?

Terkait hal ini, penulis jadi ingat dengan seorang kawan yang merupakan pemilik dari salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, namun tidak terdaftar di bursa, dimana kami sempat mengobrol soal laporan keuangan ini (kalau saya sebutkan nama PT-nya anda pasti tahu, namun beliau keberatan jika nama perusahaannya disebut). Beliau bercerita bahwa, sebagai pemilik dari perusahaan besar yang memiliki banyak sekali anak perusahaan, maka bukanlah pekerjaan yang mudah untuk merekap data-data pendapatan, laba bersih, dll dari anak-anak usahanya tersebut, untuk kemudian dikonsolidasikan ke induknya. Alhasil, bahkan beliau sendiri pun tidak bisa menjamin bahwa data-data yang disajikan di laporan keuangannya adalah benar, dan itu bukan karena mereka (pihak manajemen) sengaja memanipulasinya, melainkan karena kesulitan dalam merekap itu tadi. Sekarang coba anda bayangkan: Kalau anda adalah pemilik dari perusahaan rental mobil kecil-kecilan, maka menghitung laba bersihnya mudah saja: Ongkos rental yang masuk selama satu periode dikurangi bensin, gaji supir, penyusutan, dan seterusnya hingga potongan pajak. Maka ketemu deh laba bersihnya berapa. Tapi kalau anda adalah pemilik dari grup usaha yang bergerak di bidang produksi dan distribusi mobil, perkebunan kelapa sawit, alat-alat berat, tambang batubara, perbankan dan jasa keuangan, hingga teknologi informasi (seperti ASII), maka bagaimana menghitung total laba bersihnya? Ya bisa saja dihitung hingga ketemu totalnya berapa. Namun semakin besar angkanya, maka semakin besar kemungkinan terjadinya perbedaan antara hasil perhitungan laba bersih yang sesungguhnya dengan yang disajikan di laporan keuangan, karena perhitungan yang dilakukan harus memenuhi standar akuntansi.

Itu sebabnya Warren Buffett pernah ngomong begini, 'Karena faktor keterbatasan akuntansi, kinerja kami yang sesungguhnya mungkin tidak tersajikan dalam laporan keuangan Berkshire Hathaway.'

Nah, ketika pihak manajemen ketemu dengan auditor independen, seringkali terdapat dispute (perselisihan) tentang berapa angka yang benar, karena adanya perbedaan tadi. Misalnya, manajemen mengklaim bahwa berdasarkan perhitungan internal yang mereka lakukan, laba bersih perusaahaan adalah Rp100 milyar. However, setelah melakukan audit, pihak auditor menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa menyajikan cukup bukti bahwa laba bersihnya mencapai Rp100 milyar, melainkan (yang benar, atau istilahnya yang 'wajar tanpa pengecualian') adalah Rp70 milyar. Jika kedua belah pihak (pihak manajemen dan auditor) sama-sama bersikukuh dengan hasil perhitungannya masing-masing, maka seringkali yang diambil adalah jalan tengahnya. Alhasil, di laporan keuangan perusahaan (yang sudah diaudit), laba bersih yang ditampilkan bukanlah Rp70 atau 100 milyar, melainkan mungkin Rp85 milyar.

Lalu apakah dengan begitu laba perusahaan adalah benar Rp85 milyar? Sekali lagi, belum tentu. Malah faktanya, tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui secara persis, berapa sebenarnya nilai laba bersih tersebut.

Catatan: Yang dimaksud dengan mengaudit laporan keuangan bukanlah menghitung ulang nilai pendapatan, laba bersih dll sejak awal, melainkan mengevaluasi transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan perusahaan, apakah benar transaksi itu dilakukan atau tidak, itupun pihak auditor tidak mengevaluasi seluruh transaksi. Contohnya, kalau pihak perusahaan mengklaim telah mengeluarkan Rp10 milyar untuk biaya hotel, dimana hal itu dicatat sebagai beban di laporan keuangannya, maka pihak auditor akan minta bukti kwitansi hotelnya sebagai bukti transaksi tersebut, tidak perlu semuanya, tapi beberapa diantaranya saja.

Jadi tugas auditor bukanlah membuat 'laporan keuangan tandingan', melainkan, sekali lagi, hanya mengevaluasi angka-angka yang diajukan perusahaan di laporan keuangannya. Jika perusahaan tidak bisa mengajukan bukti-bukti yang cukup terkait angka-angka yang mereka ajukan, maka pihak auditor mungkin akan memberikan opini bahwa laporan keuangan tersebut adalah 'tak wajar'. Opini terbaik yang bisa diberikan auditor adalah 'wajar tanpa pengecualian', dan untuk memperoleh opini tersebut-lah, pihak perusahaan seringkali harus beberapa kali mengkoreksi laporan keuangannya, hingga akhirnya sesuai dengan semua bukti yang bisa diajukan kepada pihak auditor (pada titik inilah mungkin akan dilakukan 'jalan tengah' tadi). Setelah itu barulah laporan keuangannya akan dipublikasikan, plus dilengkapi pernyataan opini dari auditornya.

Proses audit ini rata-rata memerlukan waktu hampir 2 bulan setelah pembuatan laporan keuangannya selesai (tapi belum dipublikasikan karena masih belum memperoleh opini dari auditor). Itu sebabnya untuk laporan keuangan periode setahun penuh yang diaudit, keluarnya adalah sekitar tanggal 31 Maret, atau 3 bulan setelah tanggal laporan keuangannya (31 Desember). Sementara untuk periode kuartal yang lain (yang tidak diaudit), laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan 1 bulan setelah tanggal laporan keuangan. Untuk periode kuartal 1 yang berakhir tanggal 31 Maret, misalnya, laporan keuangannya akan sudah dipublikasikan pada tanggal 30 April atau beberapa hari sebelumnya.

Makanya, kalau anda perhatikan, dalam Bahasa Inggris, laporan keuangan tidak disebut sebagai financial report, melainkan financial statement, alias pernyataan keuangan. Berbagai data dan angka terkait nilai aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, laba operasional, hingga laba bersih perusahaan, itu semua tidak lebih dari pernyataan dari satu pihak saja yakni pihak manajemen perusahaan, dan bukan merupakan laporan yang secara persis menggambarkan keadaan dan fakta di lapangan. Sebagai contoh, ketika di laporan keuangan PT A disebutkan bahwa nilai ekuitas atau aset bersih perusahaan (setelah dikurangi seluruh kewajiban) adalah Rp1 trilyun, maka ketika perusahaan dilikuidasi dimana aset-aset tersebut dijual kemudian sebagian uangnya dipakai untuk melunasi semua utang/kewajiban, maka nilai uang tunai yang tersisa belum tentu akan persis Rp1 trilyun juga, melainkan bisa kurang, dan bisa juga lebih, tergantung oleh banyak faktor (kalau jualnya cepet-cepet alias diobral, maka kemungkinan harga jual asetnya akan turun, sehingga uang yang terkumpul akan lebih sedikit dari Rp1 trilyun).

Itu sebabnya, untuk mengkonfirmasi apakah pernyataan seperti yang tercantum di laporan keuangan itu benar atau tidak, maka diperlukan pernyataan tambahan dari pihak ketiga, dalam hal ini auditor independen, dimana pernyataan tersebut bukan berupa 'laporan keuangan tandingan', melainkan hanya sekedar pernyataan pendapat/opini bahwa laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar atau tidak. Jika 'wajar tanpa pengecualian' adalah opini terbaik yang bisa diberikan pihak auditor, maka opini terburuknya adalah 'disclaimer', yakni bahwa auditor sama sekali tidak melihat bahwa laporan keuangannya disajikan secara wajar, atau dengan kata lain, berbagai angka-angka seperti pendapatan dan laba bersih, itu semua tidak bisa dibuktikan kebenarannya sama sekali (penulis ingat dulu pernah menemukan satu perusahaan Tbk di Indonesia yang memperoleh predikat 'disclaimer' dari auditornya, namun saya lupa nama perusahaannya).

Makanya pihak BEI sebagai otoritas bursa juga mewajibkan perusahaan untuk menunjuk auditor untuk mengaudit laporan keuangannya minimal setahun sekali (laporan keuangan kuartalan boleh nggak diaudit, tapi laporan keuangan pada akhir tahun harus diaudit). Namun keberadaan auditor inipun tetap tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan akan menjadi benar 100%, karena itu tadi: Kalau pihak manajemen dan pihak auditor sama-sama mengklaim bahwa angka mereka-lah yang benar, maka kemudian yang diambil adalah tengah-tengahnya.

Logo PWC, salah satu auditor paling terkemuka di dunia

Lho, jadi apakah dengan demikian laporan keuangan perusahaan itu angkanya justru palsu semua? Well, bukan palsu, hanya saja tidak bisa dijamin keakuratannya, dan itu sekali lagi bukan karena pihak perusahaan sengaja memanipulasi (meski kemungkinan manipulasi tersebut akan selalu ada), melainkan karena faktor perbedaan yang mungkin terjadi ketika dilakukan perhitungan nilai laba bersih dll.

Tapi berdasarkan pengalaman penulis selama ini, tidak adanya jaminan bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan sebuah perusahaan (termasuk laporan keuangan yang diaudit) adalah benar, itu tidak sebenarnya tidak jadi masalah. Sebab mau datanya benar atau tidak, namun yang jelas semua investor melihat ke laporan keuangan yang sama, karena tidak pernah ada laporan keuangan tandingan atau semacamnya. Contohnya, ketika ASII menyatakan di laporan keuangannya bahwa laba bersih mereka untuk periode Kuartal II 2014 adalah Rp11.8 trilyun, maka entah itu angkanya benar atau tidak, namun yang jelas tidak ada data lain (atau laporan keuangan versi lain) yang menyebutkan bahwa laba ASII bukanlah Rp11.8 trilyun, melainkan hanya (misalnya) Rp10 trilyun.

Dan ketika informasi tertentu hanya bisa diperoleh dari satu sumber yang sama, maka anda tidak perlu khawatir bahwa anda akan memperoleh informasi yang keliru, karena orang lain juga memperoleh informasi yang sama. Ketika anda membaca bahwa nilai laba bersih ASII adalah Rp11.8 trilyun, maka fund manager di Schroders juga membaca angka yang sama. Alhasil, entah itu merupakan angka yang benar atau tidak, namun semua orang sepakat bahwa laba bersih ASII adalah benar Rp11.8 trilyun.

Analoginya seperti ketika Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia pada tahun 2014 adalah sekian persen. Nah, apakah itu merupakan angka yang benar? Ya bisa benar, bisa juga tidak, tapi yang jelas data dari BPS itulah yang dijadikan acuan oleh semua orang, atau dengan kata lain dianggap benar oleh semua orang, karena memang tidak ada data alternatif.

Namun ketika sebuah lembaga survey politik menyatakan bahwa, berdasarkan survey/polling yang mereka selenggarakan, partai tertentu akan memenangkan Pemilu, maka orang-orang tidak akan langsung percaya dengan data hasil survey tersebut, karena masih ada beberapa lembaga lain yang juga menyajikan data hasil survey milik mereka masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Sementara pada kasus data yang disajikan di laporan keuangan, hal ini tidak terjadi karena untuk perusahaan manapun, laporan keuangannya (untuk periode tertentu) hanya ada satu, dan tidak ada ‘laporan keuangan tandingan’.

Dan jika laporan keuangan sebuah perusahaan memang menunjukkan hasil yang menggembirakan, sementara disisi lain sahamnya pun masih murah, maka harga sahamnya juga akan naik. Contoh sederhana saja: Pada awal tahun 2013 lalu, saham-saham properti mengalami kenaikan yang signifikan, dan itu adalah karena sektor properti memang mencatat kinerja yang luar biasa pada tahun 2013 tersebut. Jika pada tahun ini saham-saham properti tidak mampu naik kembali hingga melewati titik tertinggi yang pernah dicapai setahun yang lalu, maka itu adalah karena pada tahun 2014 ini laba perusahaan properti banyak yang turun. Contoh lainnya, saham-saham batubara dan CPO terbilang terpuruk sepanjang 2012 – 2013 karena pada dua tahun tersebut kinerja mereka memang jeblok, namun pada tahun ini saham-saham di dua sektor tersebut mulai bergerak naik, dan itu karena beberapa perusahaan batubara dan sawit (meski tidak semuanya) mulai menunjukkan kenaikan pendapatan dan laba kembali.

Nah, jika anda kritis, anda mungkin bertanya: 1. Benarkah laba perusahaan-perusahaan properti naik banyak pada tahun 2013, lalu 2. Bernarkah laba tersebut kemudian turun pada tahun 2014 ini? Well, jika anda meragukan dua fakta tersebut, namun yang jelas orang lain juga melihat data dan angka yang sama, dimana mereka kemudian mengeksekusi buy and sell mereka berdasarkan data-data tersebut. Dan itu sebabnya saham-saham di sektor properti rata-rata naik banyak pada tahun 2013 lalu karena orang ramai-ramai membelinya (karena laporan keuangannya bagus). Namun setelah mini-crash di akhir tahun 2013 lalu, mereka ternyata belum naik banyak lagi pada tahun ini (sementara saham-saham konstruksi, meski juga turun banyak pada akhir tahun 2013 lalu, namun kesininya dengan cepat naik kembali karena kinerja mereka sejauh ini masih bagus).

Dan contoh terakhir, kalau anda membaca laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan Grup Bakrie, maka anda bisa dengan mudah melihat bahwa kinerja mereka amat sangat berantakan: Ekuitas yang turun terus (bahkan ada yang sampai minus), utang segunung, dan rugi melulu. Kalaupun anda menganggap bahwa mungkin saja kinerja mereka sebenarnya tidak seburuk kelihatannya, namun investor yang lain juga melihat ke laporan keuangan yang sama, sehingga mereka ramai-ramai menghindari sahamnya. Hasilnya, bisa anda lihat sendiri kan gimana nasib saham-saham Bakrie?

Tips-tips dalam membaca laporan keuangan

However, seperti yang sudah disebut diatas, kemungkinan terjadinya manipulasi yang disengaja pada laporan keuangan akan selalu ada. Selain itu, problem terbesar yang seringkali dialami seorang investor adalah ketidak telitiannya dalam membaca dan menganalisis laporan keuangan secara mendetail, sehingga bisa menimbulkan salah persepsi. Sebagai contoh, saya sering sekali menerima keluhan, ‘Mas Teguh, saham A kenapa turun ya? Padahal saya lihat labanya naik.’ Dan saat itulah saya sekali lagi harus menjelaskan bahwa hanya karena sebuah perusahaan mencatatkan laba yang naik, maka itu bukan berarti bisa langsung disimpulkan bahwa kinerjanya bagus, karena masih ada beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan di laporan keuangannya, belum termasuk valuasi sahamnya. Jadi jika seorang investor mengalami kerugian karena hal ini, maka itu bukan berarti karena perusahaan memanipulasi laporan keuangannya, melainkan karena ia kurang teliti saja dalam membaca laporan keuangan tersebut.

Dan satu tips yang mudah-mudahan bisa membantu anda untuk membedakan mana laporan keuangan yang berkualitas (baca: menyajikan data dan angka yang kemungkinan besar adalah benar adanya), dan laporan keuangan yang abal-abal, adalah sebagai berikut: Sebaiknya pilih saham yang menyajikan laporan keuangannya secara ‘bersih’, yakni disajikan secara simpel, rapih, dan tidak ada akun-akun yang aneh-aneh. Contohnya Unilever Indonesia (UNVR) dimana pada laporan laba ruginya hanya ada angka penjualan, yang setelah dikurangi harga pokok penjualan, beban pemasaran, beban umum, penghasilan/biaya keuangan, dan pajak, maka diperolehlah laba bersihnya berapa.

Sementara kalau anda lihat laporan keuangan Benakat Integra (BIPI), di laporan laba ruginya terdapat beberapa akun yang ‘tidak sederhana’, seperti keuntungan/kerugian lain-lain (kalau ditulis ‘lain-lain’, biasanya tidak ada hubungannya dengan operasional perusahaan, atau dengan kata lain itu merupakan keuntungan/kerugian yang tidak seharusnya ada), keuntungan/kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan, dan peningkatan/penurunan nilai wajar dari aset keuangan. Semakin banyak akun-akun yang rumit seperti ini, maka semakin besar kemungkinan bahwa laporan keuangan tersebut telah diutak atik sedemikian rupa sehingga hasilnya menjadi tidak seperti yang sebenarnya.

Kasus paling terkenal terkait hal ini adalah ketika Enron, perusahaan minyak raksasa di Amerika Serikat, ketahuan telah memanipulasi laporan keuangannya dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada tahun 2011. Ketika itu, para analis di Wallstreet pun mengaku bingung ketika mempelajari laporan keuangan Enron, yang dipenuhi oleh akun 'transaksi oleh pihak berelasi', 'tansaksi derivatif', 'kerugian dari penurunan nilai dari aset yang tersedia untuk dijual', dan semacamnya (auditor Enron, Arthur Andersen, pada akhirnya juga ikut bangkrut setelah mereka dengan cerobohnya terus memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian' untuk laporan Enron yang berantakan tersebut).

Selain itu, hati-hati dengan perusahaan yang sering telat dalam merilis laporan keuangannya karena bisa jadi mereka sengaja mengutak atiknya terlebih dahulu, atau perusahaan yang menunjuk auditor yang kurang kredibel untuk mengaudit laporan keuangannya. Beberapa grup usaha yang punya kredibilitas tinggi seperti Grup Astra, mau kinerja mereka bagus atau lagi turun, selama lima tahun terakhir ini selalu merilis laporan keuangannya tepat waktu, dan mereka selalu menggunakan jasa PriceWaterhouseCooper (PWC), salah satu anggota big four auditor kelas dunia, untuk mengaudit laporan keuangan mereka.

Sementara Grup Bakrie, mereka hanya menunjuk auditor yang tidak terlalu terkenal, Mazars, untuk mengaudit laporan keuangan Bumi Resources (BUMI) dkk. Meski memang, untuk laporan keuangan BUMI di tahun penuh 2013, pihak Mazars juga memberikan banyak sekali catatan setelah memberikan opini 'wajar tanpa pengecualian'nya, yakni dengan menyebutkan bahwa angka-angka yang disajikan di laporan keuangan BUMI (yang telah diaudit) belum termasuk memperhitungan penyesuaian/perubahan tertentu yang mungkin terjadi karena kondisi tertentu yang dialami perusahaan/anak usahanya (mungkin disini artinya laporan keuangannya tidak bisa dipastikan kebenarannya bukan?)

Lalu untuk membaca laporan keuangan secara teliti, maka anda tidak boleh membaca laporan keuangan hanya secara sekilas, melainkan hari dari awal (dari bagian aset lancar) hingga akhir (arus kas), termasuk poin-poin penjelasannya (di bagian ‘catatan’), sehingga anda akan memperoleh informasi yang lebih menyeluruh ketimbang sekedar ‘laba perusahaan naik sekian persen’. Jika perusahaan membukukan laba bersih yang tiba-tiba naik signifikan, maka coba cek, dari mana asal peningkatan tersebut, apakah dari penjualan aset atau memang benar dari operasional. Kasus lain yang sering penulis temui belakangan ini adalah ketika nilai ekuitas/aset bersih perusaahan naik signifikan, sehingga valuasinya (dari sisi PBV) menjadi rendah, namun ternyata itu karena tambahan modal disetor, revaluasi aset dll, dan bukan karena peningkatan saldo laba yang riil. Dan seterusnya.

Hufftt, okay, I think that’s enough. Sebenarnya kalau saya ingat-ingat lagi, artikel yang kurang lebih serupa dengan artikel kali ini sudah pernah saya tulis beberapa tahun lalu, juga di website teguhhidayat.com ini (coba cari artikelnya di arsip artikel di sebelah kanan), namun sepertinya banyak teman-teman investor pengunjung website ini yang hanya membaca artikel yang baru-baru saja. Karena itulah, tips terakhir yang bisa saya berikan pada kesempatan kali ini adalah, setelah anda selesai membaca artikel ini maka jangan langsung buru-buru pindah ke website lain, melainkan silahkan baca-baca artikel yang lainnya lagi (dari tahun 2010 sampai sekarang, total ada sekitar 350 artikel). Trust me, it worth your while.

Pengumuman: Penulis menyelenggarakan seminar investasi saham: value investing, di Makassar, Sulawesi Selatan, hari Sabtu tanggal 20 September 2014. Keterangan selengkapnya baca disini.

Komentar

Unknown mengatakan…
Terima kasih ulasannya pak Teguh, begitu krusialnya kita mendalami laporan ini sebagai basis valuasi harga saham... dan betapa canggih pula emiten menyembunyikan cost2 yg merugikan demi mengangkat harga saham... jadi lapkeu inilah yg wajib ditelaah, dikritisi dan dimengerti
TheBites mengatakan…
Terima kasih mas untuk ulasan yang bagus. Mas rentang waktu utk laporan keuangan yg tergolong telat itu di bulan brp aja mas?
Teguh Hidayat mengatakan…
deadline keluarnya laporan keuangan untuk tiap-tiap kuartal adalah:

Kuartal I: akhir April
Kuartal II: akhir Juli
Kuartal III: akhir Oktober
Kuartal IV: akhir Maret

Jika emiten baru merilis laporan keuangannya setelah deadline-nya tersebut, maka itu bisa dikatakan telat. Kalau ASII, laporan keuangan untuk Kuartal I-nya sering sudah terbit pada pertengahan April, meski deadline-nya tanggal 30 April, alias lebih cepat.
Anonim mengatakan…
kalo AISA gimana mas?
LK selalu telat, karena dia bilang management anak perusahaannya belum memadai,..
padahal kinerjanya lumayan bagus (kayaknya)
Anonim mengatakan…
Terima kasih atas ulasannya Mas teguh...ulasan yg sangat Berguna terutama bagi orang awam seperti saya....
andre g mengatakan…
Lagi-lagi tulisan yang bagus.

Perlu juga diingat kasus Enron. Arthur Andersen yang dulu merupakan nama auditor sangat terkenal ikut terseret skandal dan akhirnya gulung tikar.
Anonim mengatakan…
@Anonim.

deadline lapkeu tidak serta merta menjadikan kinerja sebuah emitten bagus/tidak.

BDMN termasuk yg sering muncul dulu LK-nya, tapi kinerjanya ya cuman stabil2 aja
IDX Investor mengatakan…
Pak Teguh. Kapan ke Pekanbaru lagi? Pak Gun gak ada kabar bisa diundang ke Pekanbaru?

Sedikit tambahan dari saya. Berbagai kunci untuk mendeteksi ketidakberesan dalam laporan keuangan dapat disebutkan antara lain:
1. Membandingkan antara penerimaan kas dalam laporan arus kas dengan nilai penjualan. Dalam jangka panjang angka ini mestinya adalah sama.
2. Membandingkan antara kas bersih operasi yang dihasilkan dengan laba bersih perusahaan. Angka ini harusnya lebih tinggi daripada laba bersih karena arus kas operasi tidak mengandung unsur-unsur non-kas seperti penyusutan, amortisasi. Namun ini juga tergantung kepada jenis perusahaan. Misalnya perusahaan investasi yang bisa jadi mencatat laba dari kenaikan nilai investasi namun tidak menerima hasil tersebut berhubung memang tidak dijual.
3. Jika omset naik terus namun laba bersih jalan di tempat karena tingginya beban-beban, maka ini ditengarai ada sesuatu.
4. Omset sangat besar namun laba bersih sangat kecil.
5. Laba bersih monoton dan tidak berkembang dan berada pada level yang rendah selama bertahun-tahun.
6. Seperti tulisan di atas, banyak transaksi afiliasi baik transaksi penjualan maupun transaksi pembelian bahan baku.
7. Seperti tulisan di atas, laporan keuangan yang terlalu rumit memang berpotensi menimbulkan masalah.
8. Banyaknya jumlah piutang maupun hutang afiliasi.
9. Perusahaan yang sering gonta-ganti bidang usaha menimbulkan tanda tanya.
10. Perusahaan yang sering akuisisi dan divestasi juga mengundang tanda tanya apalagi kalau akuisisi aset dari pihak berelasi.
11. Persediaan yang meningkat namun omset tidak meningkat sepadan.
12. Adanya akun-akun aneh yang tidak berubah selama bertahun-tahun. Seperti akun investasi, panjar jangka panjang.
inasnack mengatakan…
Saya pernah membaca artikel di blog ini tentang cara membaca laporan keuangan di sertai dengan contoh-contohnya, namun belum ketemu juga dan ketemunya artikel ini. yang pasti selalu menarik dan menambah ilmu untuk dikaji.

terima kasih Mas.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?