Fakta Dibalik Right Issue BW Plantation
Di artikel minggu lalu tentang kapan kita
sebagai investor harus membeli, menjual, atau meng-hold saham tertentu (atau
istilahnya portfolio rebalancing), penulis mengatakan bahwa anda bisa membeli
saham-saham tertentu jika ada peristiwa
luar biasa yang bisa terjadi setiap saat (jadi nggak perlu nunggu akhir
bulan, apalagi akhir tahun), katakanlah jika ada saham tertentu yang harganya
tiba-tiba saja anjlok. Dan kebetulan, beberapa hari yang lalu memang ‘peristiwa
luar biasa’ tersebut sekali lagi terjadi, dimana saham BW Plantation (BWPT) tiba-tiba saja jeblok dari 1,000-an pada awal
September lalu, hingga sekarang tinggal 460, atau kehilangan lebih dari separuh
nilai pasarnya hanya dalam hitungan minggu. Udah gitu, hari ini sahamnya
di-suspend pula!
Sejak awal, BWPT tidak pernah masuk watchlist
penulis, sehingga saya baru mengamatinya untuk pertama kali pada tanggal 24
September lalu, ketika dia tiba-tiba saja auto reject kiri setelah turun 25%
dalam sehari (seorang teman memberi tahu penulis soal kejatuhan BWPT ini, dan dia
ketika itu masih bingung apa penyebabnya). Setelah saya telepon broker, si
broker segera menjelaskan bahwa BWPT bisa turun begitu karena perusahaan akan
menggelar right issue sebanyak 27.0 milyar lembar saham di harga pelaksanaan Rp390 – 411 per saham (ini juga salah
satu penyebab kenapa saya pake broker saya yang satu ini, karena dia selalu mengetahui
apa yang sedang terjadi di pasar, tidak seperti broker sebelumnya yang ketika
ditelepon, jawabannya malah, ‘Oh, kejadian itu saya juga baru tahu pak!’).
Karena harga right issue-nya jauh dibawah harga
pasar, sementara jumlah saham baru yang diterbitkan juga sangat banyak (jumlah
saham BWPT sebelum right issue hanya 4.5 milyar lembar), maka tidak heran jika saham
BWPT kemudian jatuh hingga ke 400-an, atau di kisaran harga pelaksanaan right
issue-nya. Nah, jadi sekarang pertanyaannya ada dua. Pertama, jika saya sejak
awal sudah memegang BWPT ini di harga atas, apa yang harus saya lakukan? Dan
kedua, jika saya belum memegang BWPT ini, maka apakah di harga sekarang dia
layak beli? Bagaimana prospeknya? Well, sebelum itu mari kita pelajari dulu
BWPT ini dari sisi perusahaannya dan fundamentalnya.
BWPT adalah satu dari sekian banyak perusahaan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jika dibandingkan dengan beberapa raksasa
sawit seperti Sinar Mas Agro (SMAR), Astra Agro (AALI), dan Salim Ivomas (SIMP),
maka BWPT hanyalah perusahaan sawit kelas menengah dengan total luas lahan
tertanam 70 ribu hektar pada akhir Juni 2014, sudah termasuk kebun plasma (SMAR,
atau dalam hal ini induknya yakni Golden Agri Resources yang terdaftar di Singapura,
merupakan perusahaan sawit terbesar di Indonesia dari sisi luas lahan tertanam,
yang mencapai 460 ribu hektar pada akhir tahun 2013).
Seperti mayoritas perusahaan sawit lainnya, BWPT
mengalami masa-masa sulit di tahun 2013 lalu dimana labanya turun, dan sahamnya
pun ketika itu terus turun sampai mentok di 600 pada Agustus 2013. Namun
memasuki tahun 2014 ini BWPT kembali menunjukkan perbaikan kinerja, dimana
hingga Kuartal II 2014 labanya tercatat naik 67.3% alias sangat signifikan,
sementara sahamnya pun sejak akhir tahun 2013 sudah berbalik arah alias naik,
hingga kembali lagi ke rentang 1,300 – 1,400. Jadi BWPT ini sudah naik duluan
sebelum kinerja perusahaan benar-benar kelihatan membaik.
Dan meski kebanyakan saham baru naik setelah kinerjanya
confirm bagus, kenaikan lebih awal seperti yang dialami BWPT ini memang
kadang-kadang terjadi pada saham tertentu. Ketika perusahaan merilis laporan
keuangannya untuk periode Kuartal I 2014 pada awal April 2014, sahamnya sudah
berada di level harga 1,300-an, yang mencerminkan PBV 2.7 kali berdasarkan
posisi ekuitas perusahaan ketika itu. Dari sini anda bisa melihat alasan kenapa
BWPT ini tidak masuk watchlist penulis, karena di BEI masih ada banyak saham sawit
lain yang valuasinya jauh lebih murah.
Anyway, sekarang kan harga BWPT cuma 460,
berarti udah murah dong? Ya belum tentu, karena dengan adanya penambahan saham
baru pasca right issue-nya nanti, maka valuasi BWPT ini harus dihitung dari
awal lagi, karena jumlah saham beredar dan nilai bukunya sudah beda lagi.
Perhatikan: Dengan catatan right issue-nya dilaksanakan pada harga tertinggi,
yakni Rp411 per saham, maka nilai ekuitas BWPT akan memperoleh tambahan modal
senilai Rp11.1 trilyun. Karena posisi ekuitas BWPT saat ini adalah Rp2.3
trilyun, maka setelah right issue, nilai ekuitas tersebut akan menjadi Rp13.4 trilyun. Jumlah saham BWPT
setelah right issue adalah 31.5 milyar lembar, dikali harga sahamnya saat ini
yakni 460, maka market cap-nya adalah Rp14.5
trilyun. Maka PBV-nya = 13.4 / 14.5 = 1.1
kali, atau memang sudah lebih murah dibanding sebelumnya, namun belum
terlalu murah mengingat BWPT tidak memiliki fundamental historis yang terlalu
bagus. Pada masa puncak kejayaan sawit di tahun 2011, BWPT hanya mencatat ROE
22.4% ketika banyak perusahaan sawit lainnya mencatat ROE diatas 30%.
Selain itu, yang perlu diperhatikan disini
adalah bagaimana latar belakang kinerja dari Green Eagle, yakni anak
usaha dari Grup Rajawali milik
pengusaha Peter Sondakh, yang khusus
bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Seperti yang anda ketahui, right
issue BWPT ini sebenarnya bertujuan untuk memasukkan perusahaan-perusahaan
sawit milik Green Eagle Holdings Pte. Ltd. (terdaftar di Singapura) ke bursa
saham Indonesia melalui BWPT, alias backdoor
listing, karena pembeli siaga right issue-nya adalah pihak Grup Rajawali
sendiri, dalam hal ini PT Rajawali Capital (jadi Grup Rajawali keluar duit sekian
trilyun untuk mengakuisisi Green Eagle melalui BWPT. Namun karena Green Eagle sejak
awal merupakan milik mereka sendiri, maka sebenarnya tidak ada uang yang
berpindah tangan).
Melalui Green Eagle, Grup Rajawali memiliki lahan
perkebunan kelapa sawit di tiga belas lokasi yang berbeda di Indonesia,
termasuk di Papua. Seluruh lahan perkebunan ini akan disatukan (menjadi
anak-anak usaha dari satu perusahaan induk) dengan lahan-lahan perkebunan kelapa
sawit milik BWPT, sehingga gabungan antara BWPT dan Geen Eagle akan memiliki lahan
perkebunan kelapa sawit (tertanam) seluas total 147 ribu hektar, termasuk kebun plasma. Dengan demikian, BWPT akan
menjadi salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang cukup besar di BEI,
meski nama ‘BW Plantation’ kemungkinan akan diganti, mungkin menjadi ‘BW Eagle
Plantation’ atau semacamnya. Karena pasca right issue, pemegang saham
pengendali atas BWPT bukan lagi PT BW Investindo, melainkan Grup Rajawali
melalui PT Rajawali Capital.
Nah, ada beberapa hal yang perlu anda perhatikan
terkait right issue BWPT ini.
Pertama, akuisisi yang dilakukan oleh BWPT (atau lebih tepatnya akuisisi yang dilakukan oleh PT Rajawali Capital melalui BWPT) terhadap Green Eagle dilakukan pada harga
yang bisa dikatakan cukup mahal. BWPT mengakuisisi 100% saham Green Eagle
senilai Rp10.5 trilyun. Sementara menurut pihak penilai independen yang
ditunjuk perusahaan, nilai aset bersih Green Eagle secara keseluruhan hanya
Rp8.5 trilyun. Selain itu berdasarkan laporan keuangan terakhirnya per tanggal
30 Juni 2014, nilai ekuitas Green Eagle tercatat hanya Rp2.2 trilyun. Jadi bisa dibilang bahwa BWPT mengakuisisi Green
Eagle pada harga premium (actually,
mau akuisisinya dilakukan di harga yang lebih tinggi lagi dari Rp10.5 trilyun
sekalipun sebenarnya nggak masalah bukan? Karena toh duitnya masuk ke kantong
mereka juga). Meski transaksi
akuisisi tersebut tetap dianggap wajar (oleh penilai independen tadi) karena alasan
tertentu, namun hal ini menunjukkan bahwa valuasi saham BWPT pasca right issue,
yang sudah kita bahas tadi diatas (PBV-nya 1.1 kali pada harga 460), mungkin
tidak serendah kelihatannya.
Yang juga perlu anda perhatikan adalah, Green Eagle belum memiliki track record
kinerja yang bagus. Green Eagle baru didirikan pada bulan Desember 2010 lalu
sebagai kendaraan untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan sawit, dimana Grup
Rajawali melalui Green Eagle kemudian mengakuisisi empat belas perusahaan sawit
yang berbeda. Sebagai perusahaan start-up dengan modal terbatas (namun dengan
ambisi yang tidak terbatas), banyak dari aktivitas akuisisi tersebut dibiayai
oleh utang bank (dan mungkin juga obligasi), sehingga Green Eagle memiliki
banyak sekali utang di neracanya. Alhasil, di tahun-tahun pertamanya,
perusahaan masih mengalami kerugian yang rata-rata cukup besar, termasuk rugi
bersih komprehensif senilai Rp162 milyar di tahun 2013, karena tingginya beban
bunga pinjaman sementara pendapatan belum begitu besar. Barulah pada tahun 2014
ini, Green Eagle tampak mulai menghasilkan, dengan mencatat laba bersih komprehensif
Rp217 milyar pada Semester Pertama 2014. But still, dengan kinerja masa lalu
yang sama sekali tidak meyakinkan, belum termasuk utang yang menggunung (posisi
DER terakhir Green Eagle adalah 2.9 kali), maka tidak ada jaminan bahwa
kedepannya Green Eagle tidak bakal mengalami rugi lagi.
Melihat fakta diatas, maka cukup jelas bahwa saham
BWPT, yang nantinya bukan lagi BW Plantation melainkan BW Eagle Plantation,
belum cukup layak untuk investasi, karena selain harganya agak dimark-up,
barangnya juga nggak atau belum bisa dikatakan bagus (BWPT-nya sih lumayan,
tapi Green Eagle-nya tidak).
Itu yang pertama. Yang kedua, aksi korporasi
Grup Rajawali melalui BWPT ini mengingatkan penulis pada aksi korporasi
sebelumnya yang sangat mirip, yakni ketika Grup Rajawali mengakuisisi PT Eatertainment International (SMMT),
sebuah perusahaan kecil nan sakit-sakitan yang merupakan pemilik franchise Paparons Pizza. Setelah diambil alih oleh
Rajawali, SMMT menjual Paparons Pizza-nya, lalu dijadikan sebagai perusahaan
batubara dengan nama PT Golden Eagle
Energy (kodenya masih sama, SMMT). Melalui SMMT, Grup Rajawali kemudian menerbitkan
820 juta lembar saham baru alias right issue senilai Rp410 milyar (harga saham
right issue-nya Rp500 per saham), dimana dananya digunakan untuk mengakuisisi dan
melakukan penempatan modal di dua perusahaan batubara, yakni PT Naga Mas Makmur
Jaya, dan PT Rajawali Resources. Sekali lagi, karena kedua perusahaan tersebut
sejak awal dimiliki oleh Grup Rajawali sendiri, maka tidak ada uang yang
berpindah tangan.
Karena nilai right issue-nya relatif kecil
(tidak seperti BWPT ini yang besar sekali), dan karena SMMT juga merupakan
saham kecil yang sama sekali tidak likuid, maka backdoor listing Grup Rajawali
melalui SMMT ini tidak begitu diperhatikan pasar. Dari seluruh saham anyar yang
diterbitkan, boleh dibilang semuanya diambil oleh Grup Rajawali sendiri melalui
perusahaan-perusahaan afiliasinya, sehingga kepemilikan publik terhadap SMMT terbilang
sedikit, kalau tidak mau dibilang nol. Namun disinilah menariknya: Pasca right
issue, saham SMMT yang tadinya boleh dibilang mati sama sekali, ternyata terus
bergerak naik dari harga right issue-nya yakni 500, hingga sekarang sudah
menembus 1,800, dan trend-nya terus bergerak naik. Kalau melihat pola
pergerakannya yang tidak wajar (stagnan di rentang 1,600 – 1,700 selama setahun
terakhir, nyaris tanpa fluktuasi sama sekali meski IHSG tentunya selalu naik
dan turun selama periode setahun tersebut), dan fundamentalnya yang boleh
dikatakan nol besar (sampai Kuartal II 2014, SMMT hanya mencatat laba bersih
Rp6 milyar, alias keciiiiil sekali), maka cukup jelas bahwa yang menaikkan SMMT
selama ini adalah pemiliknya sendiri.
Terus apa tujuannya SMMT dinaik-naikkan begitu?
Well, ask them! Tapi dari sini kita bisa lihat bahwa, pada kasus BWPT, kenapa kok
harga right issue-nya ditetapkan di level yang jauh dibawah harga pasar? Dan mungkin jawabannya adalah, bisa jadi agar sahamnya
anjlok dengan sendirinya sehingga pemegang saham publik yang memegang BWPT
ini mau tidak mau harus melepasnya terutama jika mereka belinya pake duit
margin, alias force sell! (BWPT ini masuk kelompok saham yang bisa dibeli pake
margin). Makanya kemarin BWPT ini bisa auto reject kiri selama dua hari
berturut-turut bukan? Karena mau tak mau orang sekuritas harus menjualnya sementara
nggak ada yang pasang bid karena orang-orang sudah keburu tahu duluan soal
right issue ini.
Nah, jika skenario ‘kicking everybody out’ ini
memang benar adanya (meski juga perlu dicatat bahwa ini hanya teori, alias Grup Rajawali belum tentu akan benar-benar melakukan itu), maka nantinya saham BWPT akan nyaris sepenuhnya dipegang
oleh Grup Rajawali, dan setelah itu mereka bisa bebas menaik-naikkannya, tak
peduli pasar mau naik atau turun, tak peduli laporan keuangan BWPT akan
mencatat untung atau rugi, sama seperti yang mereka lakukan terhadap SMMT. Pada
kasus SMMT, right issue-nya tidak perlu dilakukan pada harga yang jauh dibawah
harga pasar, karena sejak awal saham SMMT ini hampir tidak dipegang sama sekali
oleh investor publik.
Kesimpulan
Okay, sekarang kita balik lagi ke dua pertanyaan
diatas: Saya sudah terlanjur megang BWPT ini di harga atas, apa yang harus saya
lakukan? Well, kalau kita memperhatikan bahwa fundamental BWPT setelah nanti
digabung dengan Green Eagle menjadi sedikit ‘tidak tentu’ (BWPT, sekali lagi,
kinerjanya memang lumayan bagus, namun tidak demikian dengan Green Eagle), maka
keputusan untuk tetap meng-hold BWPT merupakan keputusan yang berisiko, apalagi
jika Grup Rajawali benar-benar berupaya untuk menendang semua orang untuk
keluar dari BWPT (sahamnya pasti bakal diturun-turunin). Sebab jika mereka
hendak menaikkan BWPT, maka pertama-tama mereka harus menguasai semua saham
terlebih dahulu.
Tapi kalau gitu artinya cut loss dong? Dan dengan
nilai kerugian yang besar pula! Yah.. apa boleh buat, tapi itu lebih baik
daripada anda kehilangan seluruh dana anda sama sekali bukan? Saat ini mulai
ada upaya-upaya yang dilakukan pihak tertentu untuk melaporkan BWPT ini ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pihak
berwenang lainnya, namun penulis sendiri pesimis bahwa itu akan berhasil,
mengingat program perlindungan investor disini belum sebaik di Amerika sana
atau negara maju lainnya. Terus terang, kalau penulis termasuk pemegang saham
BWPT ini, maka saya juga tidak tahu harus mengadu kemana. Pihak Bursa Efek
Indonesia (BEI) sebagai penyelenggara pasar modal secara rutin menggelar
investor summit setiap tahun untuk menarik minat masyarakat untuk berinvestasi
di pasar modal, namun sepertinya mereka lupa untuk mensosialisasikan nomor telepon pengaduan atau semacamnya (jika
memang ada), sehingga investor bisa mengadu jika mengalami kerugian yang tidak
biasa, seperti kasus BWPT ini. Well, mungkin Pak Ito Warsito bisa meniru Pak Ahok yang dengan sengaja menyebarkan
nomor telepon pribadinya, sehingga warga Jakarta bisa langsung melapor kalau
ada apa-apa.
Tapi yah, sudahlah. Satu-satunya upaya yang bisa
dilakukan kedepannya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kerugian
seperti kasus BWPT ini, adalah dengan melakukan diversifikasi. Seperti yang sudah sering penulis bahas di website
ini, berapapun dana yang anda miliki, namun jangan pernah sekali-kali menempatkan seluruhnya hanya pada satu atau
dua saham, melainkan sebaiknya disebar pada sepuluh hingga maksimal lima
belas saham yang berbeda. Kasus BWPT ini bisa terjadi pada saham apapun yang
anda pegang, tak peduli sebaik apa fundamentalnya, dan itu adalah bagian dari risiko berinvestasi di pasar saham.
Namun jika anda memegang sepuluh saham yang berbeda, maka sangat kecil
kemungkinan bahwa kesepuluh perusahaan tersebut melakukan right issue secara
bersamaan, bukan begitu?
Okay, lalu bagaimana kalau saya belum megang?
Apakah di harga sekarang BWPT layak buy? Nah, kalau melihat kemungkinan bahwa
BWPT ini bisa seperti SMMT, maka dari sisi spekulasi,
BWPT ini mungkin bisa naik lagi dalam jangka panjang. Apalagi perusahaan
memiliki program ESOP (employee stock
option program) dimana karyawan BWPT memiliki opsi untuk membeli saham BWPT di
harga Rp790 per saham, dimana opsi
tersebut akan expired pada Oktober 2015 (setahun lagi). Artinya, jika
perusahaan menginginkan agar karyawan mau mengeksekusi opsi saham tersebut,
maka saham BWPT harus dinaikkan dulu hingga diatas 790, paling lambat pada bulan
Oktober 2015 (setahun dari sekarang). Sebab bagaimana mungkin karyawan mau beli
BWPT di harga 790, jika pada Oktober 2015 tersebut harga BWPT di pasar masih berada
di level 460 seperti sekarang?
Namun seperti yang sudah disebut diatas,
perusahaan kemungkinan tidak akan serta merta menaikkan harga saham BWPT,
melainkan ‘kick everybody out’ dulu, sehingga yang nantinya akan menikmati kenaikan
harga sahamnya adalah mereka sendiri (dan karyawan perusahaan). Jadi penulis
terus terang bingung juga bagaimana strategi masuknya, karena ini bukan soal
fundamental melainkan bandar-bandaran, sementara saya nggak ngerti apa itu
bandarmologi atau semacamnya. Yang saya tahu, kalau anda beli BWPT ini dalam
jumlah besar, katakanlah senilai Rp10 milyar, maka anda akan digencet oleh
bandarnya dimana BWPT akan diturun-turunkan, atau dengan kata lain: Anda akan dipaksa
untuk keluar.
Tapi yang jelas dari sisi fundamental dan value
investing, BWPT ini (setelah nanti digabung dengan Green Eagle) bukanlah
perusahaan yang bagus, dan valuasinya pun di mark-up, sehingga keputusan untuk
membelinya lebih dekat ke spekulasi ketimbang investasi. So, the choice is yours.
NB: Buletin Analisis & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Oktober 2014
sudah terbit tanggal 1 Oktober kemarin. Anda masih bisa memperolehnya disini.
Catatan: Kalau saya menulis artikel seperti ini
maka biasanya akan ada wartawan yang mengutip. Jadi bagi teman-teman wartawan, saya sampaikan bahwa anda boleh mengutipnya dengan menyebut nama Teguh Hidayat, praktisi pasar
modal, sebagai penulisnya.
Komentar
1.Improve balance sheet dan gearing dari BWPT sehingga memberikan ruang utang bagi perusahaan untuk berexpansi.
Debt/Equity (gearing) Ratio BWPT yang tercatat skitar 1.6-1.7X di Full Year 2013. dengan D/E yang hampir 2X , bisa dibilang leverage BWPT cukup tinggi dan akan sulit untuk berekspansi melalui mekanisme hutang (debt). equity issuance / right issue adalah salah satu pilihan yang cukup tepat bagi Group BWPT dalam ber-expansi, dikarenakan jumlah ekuitas yang akan meningkat tajam pasca right issue. sehingga memberikan ruang yang cukup bagi BWPT untuk meleverage balance sheetnya dengan hutang baru. Manajemen berpendapat net gearing BWPT akan turun menjadi skitar 0.6X per Desember 2014.
2. Transaksi ini akan memberikan ruang tumbuh yang cukup buat perusahaan dikarenakan lahan CPO potensial untuk diakusisi dan perusahaan sawit potensial untuk diakusisi pun lumayan sulit ditemukan.
3. Valuasi yang cukup wajar walaupun tidak murah.
Perkebunan green eagle group yang akan diakusisi BWPT mempunyai total lahan 320 ribu hektar , perkebunan ini akan memberikan upside potential untuk pertumbuhan volume dan pendapatan BWPT. tidak seperti kebanyakan perkebunan yang baru2 (biasanya masih loss dan belum menghasilkan), perkebunan green eagle sudah berproduksi dan menghasilkan pendapatan yang positif. metode Price earning sebagaimana yang dipakai oleh para pengamat di media massa / internet yang mengatakan valuasi nya mahal secara P/E, adalah kurang tepat dan tidak cocok untuk memvaluasi kebun green eagle yang masih tahap immature (blom matang).
total right issuenya diperkirakan sekitar Rp 11 trilyun , total biaya akuisisi per hectar dari kebun green eagle adalah sebesar 34 Juta per hektar (34 Million/Ha) -> (11 Trilyun/320 ribu ha).
harga tersebut mirip walaupun emang agak lebih mahal dengan akuisisi Astra agro (AALI) terhadap perkebunan palma plantasindo yand diperkirakan sebesar 31 Juta / Ha .
meskipun akusisi dari green eagle lebih mahal , tp kita melihat secara historical EV/Ha (Enterprise value/Ha) dari BWPT pre akusisi masih lebih murah dari AALI , EV/Ha dari BWPT adalah sebesar 91.2 Juta per hektar , sedangkan AALI skrg skitar 140 Juta per hektar.
4. Group rajawali membeli saham 21% bwpt dari pemilik lama yaitu matacuna dan pegasus skitar di harga 1000an. total jumlah saham yang dimiliki skitar 6.74 milyar lembar. asumsinya mereka eksekusi right issuenya di 400, dengan 1:6 rasionya, harga rata2 mereka akan berada pada level 485 per lembar. sehingga pada suatu saat mereka harus mengerek harga bwpt untuk exit dari investasi mereka.
grup rajawali punya track record yang cukup bagus seperti kita ketahui mereka cukup sukses dalam menjual investasi mereka. contoh seperti saham Bentoel (RMBA) , Semen Gresik , dan IPO Taxi,
jadi sebelum kita menjudge bahwa transaksi ini merugikan investor ritel coba kita lihat dari sisi lainnya dulu
ini hanya pendapat pribadi saya mengenai transaksi right issue BWPT ini mohon maaf apabila ada salah2.
Silahkan cari2 track record kebusukan Peter sondakh/rajawali tdk ketemu.
Track record yang ada tiap dia beli perusahaan bisa hold sampai 10 tahun setelah itu taruh orang dlm manajemen kemudian dijual berkali lipat.
Beberapa orang lama memburu saham2 yg dipegang Rajawali.
So klo anda mau invest pada saham2 yg dimiliki oleh rajawali group jangan berharap bisa cuan dlm waktu singkat.siap2 jadi long investor.
saya setuju dg pak anon diatas bahwa mereka sedang tendang2 investor2 retail/besar lainnya biar dapat harga bawah.
Logikanya buat apa saya beli perusahaan kalau beli dapat harga mahal. sy juga mau dong dapat harga diskon.itu baru namanya akal sehat. pada saatnya baru kita untung bersama.
Saya yg keluar duit banyak kok enak saudara bicara kejam/tdk kejam.
Laba terus menurun sejak 2011 hingga 2016, bahkan rugi di 2015 dan 2016.
Best regards,
Curacura