Outlook Sektor Sawit: Antara Harga CPO dan Biodiesel
Setelah sempat turun sedikit pada bulan Mei – Juni kemarin, sepanjang dua
bulan terakhir IHSG terus naik hingga terakhir ditutup di posisi 5,199. Jika
trend-nya begini terus, maka sepertinya cuma soal waktu saja sebelum IHSG akan kembali mencatat new
high, dimana posisi tertinggi yang pernah diraih IHSG selama ini adalah 5,251, yang dicapai pada Mei 2013 lalu.
Dalam kondisi pasar yang kondusif seperti sekarang, maka hampir semua saham
tampak naik signifikan. Meski
demikian, saham-saham di sektor
perkebunan kelapa sawit justru turun rata-rata 10% dalam dua bulan
terakhir, padahal kinerja mereka pada Kuartal II 2014 terbilang bagus dengan
perolehan laba yang naik signifikan. What’s wrong?
Jika anda yang sudah terbiasa bermain dengan saham-saham komoditas, maka
anda akan dengan mudah mengetahui bahwa penyebab penurunan saham-saham perkebunan
kelapa sawit adalah karena penurunan harga minyak sawit mentah, atau lebih
dikenal dengan CPO (crude palm oil). Berdasarkan data dari Bursa Malaysia,
harga terakhir CPO adalah RM1,987
per ton, dan menariknya, ini adalah
harga terendah sejak tahun 2009. Pada pertengahan Juli kemarin, harga CPO
masih berada di level RM2,400-an
per ton, sebelum kemudian tiba-tiba saja turun terus hingga ke posisinya saat
ini, atau anjlok lebih dari 15% hanya dalam tempo sebulan. Jika ditarik dari
harga tertingginya sepanjang tahun 2014, yakni RM2,910 per ton (yang dicapai
pada Maret lalu), maka harga CPO sudah turun lebih dari 30%, dan kelihatannya
masih akan terus turun.
Lalu apa yang menyebabkan penurunan tersebut?
Beberapa analis dan media menyebut bahwa hal itu disebabkan oleh meningkatnya
volume produksi CPO, yang itu berarti meningkatnya supply, sementara disisi lain volume penjualan CPO, dalam hal ini
volume ekspor CPO dari Indonesia dan Malaysia (sebagai dua produsen CPO utama
dunia) ke seluruh dunia, malah turun, yang mungkin itu karena menurunnya demand. Dan memang kalau kita pakai
data milik PT Astra Agro Lestari (AALI), salah satu perusahaan sawit terbesar
di Indonesia ini memproduksi 973 ribu ton CPO sepanjang Januari – Juli 2014,
atau naik 16.6% dibanding periode yang sama
tahun 2013. Sementara berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total volume ekspor CPO asal Indonesia pada periode Januari – Juni 2014
tercatat 9.8 juta ton, atau turun 7.7% dibanding periode yang sama tahun 2013.
However, kenaikan produksi CPO yang sebenarnya
tidak terlalu menonjol (kurang dari 20%), sementara penurunan volume ekspor yang terjadi juga tidak
signifikan, maka hal ini kurang bisa menjustifikasi penurunan harga CPO yang
mencapai lebih dari 15% hanya dalam sebulan terakhir. Dan ternyata, kalau kita perhatikan pola
pergerakan harga CPO dalam jangka panjang, maka harga CPO ini (dan mungkin juga harga komoditas lainnya) cenderung bergerak
liar tanpa pola yang jelas, dan dengan fluktuasi yang ekstrim. Gambar chart
berikut akan menjelaskan pergerakan harga CPO dalam 10 tahun terakhir (Juli
2004 – Juli 2014), chart diambil dari www.indexmundi.com, klik gambar untuk memperbesar:
Nah, perhatikan bahwa selama periode dua tahun antara Juli 2004 – Juli 2006,
harga CPO cenderung bergerak mendatar di rentang RM1,300 – 1,500 per ton.
Memasuki paruh tahun kedua di 2006, harga CPO mulai bergerak naik.. dan terus
naik hingga mencapai puncaknya di RM3,700 pada Februari 2008, atau melejit
sekitar 150% dalam tempo satu setengah tahun, padahal selama dua tahun
sebelumnya harga CPO sama sekali tidak bergerak kemana-mana. Kemudian, pada
bulan Juni 2008, harga CPO tiba-tiba saja anjlok hingga balik lagi ke RM1,500
per ton pada bulan November, masih di tahun
yang sama!
Jadi jika ada seseorang yang menganalisis pergerakan harga CPO selama empat
setengah tahun antara Juli 2004 hingga awal tahun 2009, maka ia akan menemukan
fakta bahwa harga CPO pada akhirnya sama sekali tidak berubah sepanjang periode
waktu yang cukup lama tersebut, yakni tetap di RM1,500-an per ton, namun harga
CPO ini pernah naik dengan sangat ekstrim hingga RM3,700 per ton, sebelum
kemudian balik lagi ke posisi harga semula. Mirip pergerakan saham gorengan
bukan?
Memasuki tahun 2009, harga CPO sekali lagi terus bergerak naik hingga
mencapai puncaknya yakni RM3,800-an pada awal tahun 2011, dan penulis bisa
melihat sendiri bahwa pada periode dua tahun tersebut (karena pada tahun 2009, saya
sudah masuk pasar), perusahaan-perusahaan sawit di tanah air kembali meraup
keuntungan yang luar biasa. Namun sejak awal tahun 2011, harga CPO kembali
turun hingga mentok di RM2,200-an per ton pada awal 2013, sebelum kemudian
sempat bergerak naik hingga menyentuh RM2,900-an pada Maret 2014, dan turun
kembali hingga saat ini sudah dibawah RM2,000 per ton.
Melihat fakta diatas, sulit untuk mengatakan bahwa harga CPO bisa secara
sederhana dipengaruhi oleh peningkatan volume produksi, atau menurunnya volume
ekspor. Karena tentunya, selama 10 tahun terakhir, volume produksi maupun
ekspor CPO bisa naik dan turun setiap saat, namun seberapa ekstrim sih kenaikan/penurunan
tersebut hingga menyebabkan harga CPO terbang hingga lebih dari 150% dari tahun
2009 hingga 2011? Atau sebaliknya, menyebabkan harga CPO anjlok dari tahun 2011
hingga tinggal hampir separuhnya pada saat ini? Pada akhirnya, ada banyaaaaak
sekali faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan/penurunan harga CPO diluar
sekedar masalah supply and demand, seperti kabar soal El Nino, perkembangan proyek
biodiesel, naik turunnya harga dari komoditas pengganti (minyak kedelai, minyak
jagung, dll), kebijakan bea ekspor impor oleh India dan Tiongkok sebagai tujuan
utama ekspor CPO asal Indonesia, perkembangan pajak di tanah air, dan
seterusnya.
Saking banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut, maka anda pada
akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan harga CPO tidak bisa diprediksi, karena memang pergerakannya
seperti saham gorengan yang tidak ada
polanya, sehingga tidak bisa dianalisis menggunakan analisis teknikal (dengan
melihat chart-nya) apalagi fundamental (faktor supply and demand). Diatas penulis menyebutkan bahwa harga
CPO mungkin masih bisa turun, namun siapa yang tahu bahwa pada akhir tahun 2014
ini, harga CPO mungkin malah bakal balik lagi ke RM3,000 per ton?
Karena itulah, seperti yang sudah anda ketahui, Buffett kurang suka
saham-saham komoditas, karena harganya mudah naik dan turun tergantung dari
harga komoditasnya itu sendiri, sementara harga komoditas tersebut bisa naik
dan turun kapan saja, seringkali dengan fluktuasi yang ekstrim. Tapi
pertanyaannya sekarang, jika saya sudah terlanjur masuk ke saham-saham
perkebunan, maka apa yang harus saya lakukan? Well, dalam hal ini ada beberapa
hal yang mesti anda perhatikan.
Kondisi Industri Sawit di dalam Negeri, pada Saat ini
Pertama, entah bagaimana dengan perusahaan-perusahaan sawit lainnya, namun
tiga perusahaan sawit dengan fundamental terbaik di BEI yakni Astra Agro
Lestari (AALI), PP London Sumatera (LSIP), dan Sampoerna Agro (SGRO), selama
tahun 2014 ini memperoleh seluruh pendapatannya dari pasar dalam negeri, alias tidak melakukan ekspor sama sekali.
Hal inilah yang menyebabkan harga jual CPO dari ketiga perusahaan tersebut
tidak lagi terlalu dipengaruhi oleh harga CPO internasional yang di Malaysia
itu, meski memang pengaruh tersebut tetap ada. Sebagai ilustrasi, harga
rata-rata CPO yang dijual AALI pada Januari – Juni 2014 adalah Rp8,700 per kg,
naik 31.5% dibanding periode yang sama tahun 2013, dan masih lebih tinggi
dibanding harga rata-rata CPO sepanjang tahun 2013, yakni Rp7,322 per kg. Dan terakhir,
berdasarkan data dari Kantor Pemasaran
Bersama PT Perkebunan Nusantara (KPBPTPN), harga CPO untuk lelang tanggal
22 Agustus berada di level Rp7,940 per kg, atau sekali lagi, masih lebih tinggi
dibanding harga rata-rata tahun 2013.
Padahal, seperti yang sudah disebutkan diatas, saat ini harga CPO di Bursa
Malaysia sudah lebih rendah dibanding harga tahun 2009. Pada tahun 2009,
tepatnya di bulan Maret ketika harga CPO di Bursa Malaysia tercatat sekitar RM2,000
per ton, harga CPO yang dijual AALI adalah Rp7,000 per kg (berdasarkan data
lelang saat itu). Namun pada hari ini, ketika harga CPO di Bursa Malaysia
kembali berada di kisaran RM2,000 per ton, harga CPO di Indonesia masih berada
di kisaran Rp8,000 per kg.
Makanya, jika anda perhatikan, pada Semester Pertama 2014 volume penjualan
CPO milik AALI sebenarnya turun 10.3% dibanding periode yang sama tahun 2013 karena
mereka menghapuskan penjualan ekspor, namun pendapatan perusahaan tetap naik
signifikan karena kenaikan harga jual CPO yang mencapai lebih dari 30%, dan
karena adanya pendapatan tambahan dari
penjualan olein. AALI berani
menghentikan ekspor karena mereka sudah mulai bisa mengolah CPO-nya menjadi produk
dengan nilai tambah/produk hilir, dalam hal ini olein. Sementara perusahaan sawit lainnya, LSIP, juga tidak perlu
melakukan ekspor karena bisa menjual CPO ke induknya, Salim Ivomas Pratama
(SIMP), untuk juga diolah menjadi produk hilir, dalam hal ini margarin. Lalu, SGRO, jika perusahaan sawit milik Grup Sampoerna ini pada tahun 2013 lalu harus menjual sebagian CPO-nya ke Cargill di
Singapura (alias ekspor), maka pada tahun ini perusahaan bisa menjual seluruh
CPO-nya ke pelanggan di dalam negeri, yang kemungkinan juga diolah menjadi
produk hilir. Kondisi seperti ini belum terjadi pada 3 – 5 tahun yang lalu,
dimana pada saat itu boleh dibilang seluruh perusahaan sawit di Indonesia langsung
menjual CPO-nya tanpa mengolahnya terlebih dahulu, karena mereka belum memiliki
kemampuan untuk mengolah CPO menjadi olein atau margarin.
Kesimpulannya, penulis termasuk yang optimis bahwa penurunan harga CPO di
Bursa Malaysia tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kinerja keuangan dari
perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan sawit
yang disebut diatas, karena kondisinya saat ini berbeda dengan beberapa tahun
lalu, dimana industri sawit di dalam negeri sudah lebih mandiri.
Harga CPO di Bursa Malaysia bisa Rebound Kapan Saja
Itu yang pertama. Yang kedua, meski harga CPO di Bursa Malaysia (atau di
Rotterdam) mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja perusahaan sawit
di dalam negeri, namun harus diakui bahwa pengaruh tersebut tetap ada, dimana perusahaan
sawit tetap melirik harga di Malaysia dalam menentukan harga jual CPO di pasar
dalam negeri. Buktinya harga CPO di pasar lelang dalam negeri tetap turun
ketika harga CPO di Malaysia turun (meski penurunannya tidak sedrastis yang di
Malaysia). Jadi jika harga CPO di Malaysia kembali melanjutkan penurunannya,
maka pendapatan AALI dkk mau tidak mau akan terkena imbasnya juga. Selain itu
bagi investor asing yang memegang saham-saham perkebunan di BEI, yang mereka
lihat ya cuma harga CPO di Malaysia, karena mereka nggak tahu apa itu KPBPTPN
(dan jangan-jangan anda juga nggak tahu?).
Karena itulah, pelemahan saham-saham CPO yang terjadi sebulan terakhir ini
bisa berlanjut jika harga CPO di Bursa Malaysia kembali turun. Tapi disisi
lain, bagaimana jika nanti harga CPO rebound? Yaaa saham-saham sawit juga akan
naik kembali. Memang, kalau kita perhatikan lagi chart diatas, setiap kali
harga CPO turun, maka penurunannya biasanya nggak tanggung-tanggung, seperti
saat ini sudah turun 30% dibanding posisi puncaknya bulan Maret kemarin. Namun
kapan penurunan tersebut akan berhenti untuk kemudian rebound, itu tidak ada
seorangpun yang tahu.
Dan menariknya, sekali lagi kalau kita perhatikan chart diatas, seperti
halnya penurunannya yang seperti terus menerus tanpa jeda (sebulan terakhir ini
harga CPO terus turun setiap hari, tanpa pernah naik satu hari pun), maka
ketika nanti gilirannya harga CPO ini naik, kenaikannya pun akan secara terus
menerus tanpa jeda! Makanya diatas penulis mengatakan bahwa siapa yang tahu, kalau
pada akhir tahun 2014 ini harga CPO bisa naik lagi ke RM3,000 per ton? CPO biar
bagaimanapun merupakan komoditas yang masih sangat diperlukan oleh seluruh penduduk
dunia, termasuk Indonesia (anda mau goreng ayam pake apa kalau gak ada minyak
goreng, yang dibuat dari CPO ini?). Jadi mau sedalam apapun penurunannya, namun
pada akhirnya nanti dia akan rebound dan naik kembali.
Kesimpulannya, dengan mempertimbangkan bahwa industri sawit di tanah air
sudah tidak lagi terlalu bergantung pada harga CPO di pasar intenasional, dan
bahwa harga CPO (di Bursa Malaysia) bisa kembali naik kapan saja, maka
keputusan untuk menjual saham sawit yang anda pegang mungkin merupakan
keputusan yang keliru (penulis menerima cukup banyak email yang menanyakan soal
ini). Pada akhirnya, di tahun 2014 ini para emiten sawit mencatatkan kinerja
yang cukup baik, dimana kalaupun pada Kuartal III nanti kinerja mereka sedikit
tertekan karena penurunan harga CPO, namun seharusnya perolehan laba AALI dkk
masih akan tampak naik dibanding tahun 2013.
New Project: Biodiesel!
Tapi memang, karena disisi lain kita juga nggak tahu kapan penurunan harga
CPO ini akan berhenti, maka anda mungkin bisa keluar dulu setidaknya sebagian,
tapi jangan lupa untuk terus mencari peluang untuk masuk kembali jika nanti
dikasih harga bawah. Penulis masih menganggap bahwa sektor sawit sangat menarik
karena, diluar fakta bahwa kinerja para emiten sawit mulai membaik pada tahun
2014 ini, terpilihnya Jokowi – Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI
untuk lima tahun kedepan memberikan sentimen positif bahwa proyek konversi CPO menjadi biodiesel untuk pengganti BBM, yang sudah
dicanangkan Pemerintah sejak lama namun realisasinya jalan ditempat (yang
mungkin karena Pak SBY sudah terlalu sibuk mengerjakan banyak proyek lainnya,
sementara Pak Boediono, apalagi para menteri-menteri dibawahnya, dengan segala
hormat, tidak bisa apa-apa), akan bisa kembali dikebut. Sebagaimana yang kita
ketahui bersama, Pak JK punya track record meyakinkan ketika ia dulu bisa dengan
cepat mengeksekusi konversi penggunaan minyak tanah ke gas. Jadi dengan
kembalinya beliau ke kursi Wakil Presiden, maka terhadap harapan yang besar
bahwa proyek biodiesel ini juga bisa dengan cepat dikerjakan (masih ingat
slogan ‘lebih cepat, lebih baik’?), karena disisi lain proyek tersebut juga sudah
sangat urgent agar Pemerintah punya
alternatif ketimbang terus menerus mengimpor BBM, sehingga pada akhirnya bisa
mengurangi beban APBN gara-gara subsidi BBM. Pak Dhe Jokowi sendiri, dalam salah
satu debat capres beberapa waktu lalu, sempat menyatakan bahwa salah satu
fokusnya jika terpilih sebagai Presiden adalah mengembangkan sumber energi terbarukan, dalam hal ini
memerintahkan Pertamina untuk membuka pasar untuk biofuel/biodiesel, dan
memberi insentif kepada perusahaan-perusahaan sawit yang mau mengembangkan
industri biodiesel tersebut. Jika melihat fakta bahwa AALI dkk sudah bisa mengembangkan
olein dan margarin, maka industri sawit di tanah air tinggal memerlukan sedikit
support dari Pemerintah, entah itu dalam bentuk insentif pajak atau semacamnya, untuk
kemudian mulai mengembangkan proyek biodiesel.
Dan jika proyek biodiesel ini bisa terealisasi sepenuhnya (sudah ada beberapa perusahaan produsen biodiesel di Indonesia, namun jumlahnya belum banyak), maka harga BBM
tidak perlu dinaikkan, APBN terselamatkan, sementara para perusahaan sawit di tanah air bisa terus
menggenjot volume produksinya tanpa khawatir bahwa harga CPO di pasar
internastional akan turun karena oversupply, karena seluruh produksi CPO
tersebut akan diserap untuk kebutuhan pembuatan biodiesel di dalam negeri. Dan terakhir: Pertumbuhan ekonomi RI secara keseluruhan bisa dipastikan akan kembali menanjak.
Semua senang, semua menang! Lalu kapan semua ini akan terealisasi? Yah mudah-mudahan, secepatnya.
Pengumuman: Buletin Analisis & Rekomendasi saham bulanan edisi September 2014
akan terbit tanggal 1 September mendatang. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Bagaimana pendapatnya tentang perusahaan Sawit Sumbermas Sarana (SSMS. Pemain baru di sektor ini dan harga sahamnya konsisten naik sejak IPO.
Saat ini Pemerintah baru merealisasikan penggunaan solar dengan kandungan biodiesel sebanyak 10% (sementara 90% selebihnya solar murni), atau dikenal dengan sebutan B10, itupun belum maksimal dimana dari target penyerapan 4.6 juta kiloliter B10, baru terealisasi setengahnya. Karena kandungan biodiesel dalam solar bisa ditingkatkan hingga maksimal 20%, sementara konsumsi solar sendiri mencapai 16 juta kiloliter per tahun, maka jika program konversi biodiesel ini berjalan maksimal, Indonesia akan membutuhkan setidaknya 3.2 juta kiloliter biodiesel.
Berdasarkan data terbaru, harga solar non subsidi adalah Rp12,500 – 13,000 per liter (tergantung fluktuasi harga minyak dunia), sementara harga biodiesel sekitar Rp8,000 – 8,500 per liter (tergantung fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku pembuatannya), atau lebih murah Rp4,000 – 4,500 (harga biodiesel sedikit lebih murah dibanding minyak goreng curah). Jadi jika Pemerintah bisa mengganti 3.2 juta kiloliter solar dengan biodiesel, maka terdapat potensi penghematan sebesar Rp13 – 14 trilyun per tahun.
Angka penghematan ini, sekali lagi, bisa berfluktuasi tergantung perkembangan harga minyak dunia dan harga CPO, dan pada titik tertentu bisa jadi harga biodiesel malah lebih mahal ketimbang harga solar asli. Namun yang mungkin (dan seharusnya) dikejar oleh Pemerintah bukan sekedar soal penghematan, tapi untuk memiliki sumber alternatif untuk memenuhi kebutuhan solar dalam negeri, agar kita tidak terus-menerus ‘didikte’ harga minyak dunia. Kita tahu bahwa kalau harga minyak dunia naik menjadi US$ 110 per barel, misalnya, maka mau tidak mau beban APBN karena subsidi akan sangat membengkak karena kita tidak punya alternatif lain selain harus impor BBM, termasuk solar. Dengan adanya alternatif biodiesel ini, maka nantinya kita tidak perlu lagi kelewat ‘pasrah’ seperti itu, dan saya kira hal inilah yang terpenting.
Dan dengan volume produksi CPO di dalam negeri yang saat ini mencapai 30 juta ton per tahun, maka kita punya suplai bahan baku yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembuatan biodiesel. Namun jika kita bisa mengurangi ekspor CPO karena pasar dalam negeri sudah bisa menyerap CPO tersebut (untuk pembuatan biodiesel), maka dengan sendirinya harga CPO di pasar internasional akan naik, dan dalam hal inilah perusahaan sawit akan diuntungkan.
Tapi kalau gak salah dirut Pertamina udah mau diganti, dan mudah-mudahan dirut yang baru bisa lebih bagus kerjanya.
Alternatif lainnya untuk mengganti BBM adalah listrik. Namun ini sangat sulit untuk direalisasikan, bahkan hampir tidak mungkin, karena itu berarti harus mengganti mesin-mesin mobil secara keseluruhan agar bisa menerima bahan bakar listrik (termasuk mobil anda dirumah juga harus turun mesin secara total dulu, dimana tangki bensinnya diganti dengan colokan listrik). Saya kira Jokowi - JK sekalipun tidak bisa melakukan hal ini.
Tapi untuk program biodiesel, itu lebih mudah direalisasikan, yang seperti kata jokowi, 'Tinggal kitanya mau apa nggak'. Soal bahwa harga biodiesel lebih murah ketimbang minyak goreng, yang itu berarti untungnya lebih kecil bagi perusahaan CPO, itu juga sebenarnya tidak masalah. Kebutuhan minyak goreng di Indonesia hanya 6 - 7 juta ton per tahun, jauh lebih kecil ketimbang volume produksi CPO yang mencapai 30 juta ton, dan itu sebabnya kelebihan produksi itu kemudian diekspor keluar dalam bentuk CPO yang harganya jauh lebih murah ketimbang minyak goreng. Jadi untuk membuat biodiesel ini, perusahaan sawit tidak perlu 'mengorbankan' CPO yang sejak awal dialokasikan untuk membuat minyak goreng, karena mereka bisa mengambil CPO yang tadinya akan diekspor. Malah dengan mengolah CPO (yang tadinya akan dieskpor) ini menjadi biodiesel, maka perusahaan sawit akan memperoleh untung yang lebih ketimbang langsung menjualnya keuar negeri dalam bentuk mentah, karena mereka tidak perlu membayar bea keluar, dan karena harga biodiesel lebih tinggi ketimbang CPO.
Olein ini yg menjadi minyak goreng dan sterein ini yg menjadi margarine, setelah penambahan vitamin dll.
CMIIW. jadi kalo refinary memproduksi Olein sudah hampir dipastikan memproduksi sterein juga.