Jurus Beli Tapi Nyicil: Dollar Cost Averaging!
Kalau anda googling kata ‘Dollar Cost Averaging (DCA)’ di internet, maka
definisinya ada macam-macam. Namun definisi dari DCA menurut penulis adalah, ‘Membeli
saham yang sama secara sedikit demi sedikit dan terus menerus, dengan tujuan
untuk memiliki saham tersebut sebanyak mungkin’. Kalau sudah megang banyak,
selanjutnya apa? Ya hold saja saham tersebut untuk seterusnya. Keuntungan yang
diperoleh bukan lagi berupa kenaikan harga saham, melainkan dividen yang dibagikan oleh perusahaan
setiap tahun. Sebab ketika anda memegang saham tertentu dalam jumlah sedikit,
maka dividen yang diperoleh juga sedikit. Tapi bagaimana jika megangnya banyak?
Konsep DCA ini cocok bagi anda yang memiliki penghasilan sekian setiap
bulannya, yang setelah dikurangi untuk kebutuhan sehari-hari dan lain-lain,
masih ada lebihnya (actually, bahkan kalau anda adalah karyawan fresh graduate
dengan gaji ala kadarnya, maka penulis tetap menyarankan agar anda bisa
menyisihkan sebagian gaji anda untuk ditabung. Gaji pertama saya di tahun 2008
adalah Rp1.6 juta per bulan, dan saya bisa menabung Rp400 ribu diantaranya.
Saya tidak pernah ada pikiran soal duit empat ratus ribu itu nantinya mau dipakai buat beli apa, karena yang
penting adalah saya punya tabungan, itu saja).
Uang lebih ini kemudian bisa disimpan/ditabung dalam bentuk aset produktif, dalam hal ini saham yang mewakili perusahaan yang mampu
mencetak laba bersih secara konsisten dari tahun ke tahun. Jika dalam
sebulan anda bisa menabung Rp1 juta, misalnya, maka pada bulan pertama anda
membeli saham senilai Rp1 juta. Pada bulan berikutnya, anda bisa top up alias beli lagi saham yang sama, tak peduli berapapun harganya ketika itu, senilai
Rp1 juta juga, sehingga totalnya kini anda memegang saham senilai Rp2 juta. Dan
demikian seterusnya, setiap bulan anda membeli saham yang sama, sehingga
setelah satu atau dua tahun, anda memegang saham tersebut dalam jumlah yang
besar.
Dan setelah beberapa tahun, anda mungkin bisa hidup hanya dari dividen yang
dibagikan perusahaan setiap tahunnya. Terus terang, bagi penulis sendiri pun
hal ini masih sebatas cita-cita (nilai dividen yang saya terima dari perusahaan
yang saya pegang sahamnya masih sangat kecil), namun ini adalah cita-cita yang
terdengar menyenangkan bukan?
Meski tidak pernah secara eksplisit menyebutkan tentang strategi DCA, namun
Warren Buffett adalah pelaku DCA ini. Pada salah satu annual letter-nya di
tahun 1960-an, ketika masih menjalankan Buffett Partnership dimana ia mengelola
dana milik teman-temannya, Buffett mengatakan, ‘Saya lebih suka harus membayar
bunga plus bagian keuntungan investasi kepada para partner pemilik dana di Buffett
Partnership, ketimbang meminjam uang ke bank bahkan meski bank membebankan biaya
bunga yang lebih rendah. Hal ini karena saya memperoleh dana (dari para
partner) tidak secara sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. Setiap kali
saya memperoleh partner baru, maka setiap kali itu pula Buffett Partnership
menerima dana baru yang bisa langsung dipakai untuk belanja saham. Alhasil,
saya bisa membeli saham-saham yang sudah diincar sebelumnya secara terus menerus, termasuk bisa average down jika kebetulan harganya
turun. Ceritanya akan berbeda jika saya menerima pinjaman dari bank sebanyak
sekian, kemudian pada waktu-waktu selanjutnya saya tidak memperoleh dana lagi,
sehingga saya hanya bisa membeli saham tertentu sebanyak satu kali saja. Jadi
ketika nanti harga saham tersebut ternyata malah turun, maka saya nggak punya
dana untuk beli lagi di harga bawah.’
Intinya, Buffett mengatakan bahwa ia suka membeli saham secara menyicil. Pembelian saham secara
menyicil ini memungkinkannya untuk membeli lebih banyak ketika harga (dari
saham yang diincar) turun, dan hanya membeli sedikit ketika harga saham
tersebut sedang tinggi. Cara investasi seperti ini secara otomatis mengurangi
risiko kerugian karena fluktuasi atau naik turunnya harga saham, yang bisa
terjadi setiap saat. Dalam pandangan Buffett, terlepas dari harganya yang bisa
naik dan turun setiap saat, namun saham yang mewakili perusahaan yang
berfundamental baik pada akhirnya akan terus naik dalam jangka panjang.
Nah, konsep membeli saham secara menyicil ini juga bisa anda praktekkan
pada kegiatan investasi pribadi anda. Simpel saja, ketika anda untuk pertama
kalinya coba-coba invest di saham, maka anda tidak mungkin langsung pakai dana
besar bukan? Melainkan pakai dana kecil dulu. Ketika nanti anda punya duit
lagi, maka anda bisa setor ke rekening anda di sekuritas untuk beli saham lagi.
Jika anda melihat bahwa harga dari saham yang anda incar sedang tinggi,
misalnya karena IHSG sedang bullish, maka anda bisa tahan dulu posisi cash anda
(sudah disetor ke sekuritas, tapi nggak langsung dipake buat beli saham), atau
tetap beli hanya dengan jumlah yang lebih sedikit dari biasanya. Ketika
kemudian pasar turun, dan saham anda juga turun, maka barulah uang yang sudah
terkumpul sebelumnya bisa dipakai untuk belanja saham secara borongan. Strategi
seperti ini, sekali lagi, memungkinkan anda untuk justru meraih keuntungan
setiap kali harga saham turun, dan bukannya menderita kerugian.
Lalu bagaimana bisa strategi DCA ini menghasilkan keuntungan yang ternyata
cukup besar, minimal mampu mengalahkan kenaikan IHSG/pasar? Well, itu karena
perusahaan-perusahaan yang bagus di Indonesia, kalau anda perhatikan, memiliki rate pertumbuhan riil yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan
rata-rata pasar setiap tahunnya. Yang penulis maksud dengan pertumbuhan
riil disini adalah pertumbuhan aset bersih atau ekuitas plus dividen.
Perusahaan-perusahaan kategori ‘super company’ seperti ASII, BBRI dan
seterusnya, memiliki rate pertumbuhan
diatas 20% per tahun, atau lebih tinggi dibanding IHSG yang hanya berkisar 12%
(dihitung sejak IHSG diluncurkan pada tahun 1982).
Dan meski harga saham dari perusahaan-perusahaan diatas bisa naik dan turun
setiap saat, termasuk bisa anjlok jika IHSG anjlok, namun pada akhirnya harga
saham tersebut akan bergerak mengikuti pertumbuhan riil perusahaan, alias naik.
Jadi jika pertumbuhan riil perusahaan (yang anda beli sahamnya) lebih tinggi
dibanding kenaikan IHSG, maka kinerja investasi anda pada akhirnya akan juga
lebih tinggi dibanding pertumbuhan pasar. Anda tidak perlu khawatir
terjebak membeli saham pada harga yang terlalu tinggi, karena melalui strategi
DCA, anda bisa mengakumulasi saham
tersebut dengan terus membelinya secara sedikit demi sedikit tak peduli
harganya lagi tinggi atau rendah (sehingga rata-rata
harga belinya akan menjadi ditengah-tengah), atau dengan sedikit
modifikasi: Hanya membeli sedikit ketika harganya lagi tinggi, atau tidak sama
sekali, dan membeli lebih banyak ketika harganya lagi dibawah.
Kesulitan utamanya, tentu saja, adalah ketika kita memilih saham mana yang bakal kita ambil. Sebab
dalam berinvestasi dengan gaya DCA, anda harus memiliki niat untuk memegang
saham tertentu (yang sudah anda pilih sebelumnya) untuk seterusnya, jadi bukan untuk nantinya dijual karena harganya sudah
naik banyak, atau karena alasan lainnya. Masalahnya, it’s relatively easy untuk
meng-hold saham tertentu ketika kinerjanya bagus, dan harganya pun naik terus.
Tapi bagaimana kalau dia malah turun, apalagi jika dalam waktu yang sama, IHSG
masih baik-baik saja?
Karena itulah, tugas maha penting yang harus anda kerjakan ketika berniat
mengaplikasikan DCA ini adalah melakukan seleksi
ketat terhadap saham mana yang kira-kira bakal anda ambil. Ada banyak
kriteria saham yang bagus, yang sudah penulis bahas berkali-kali di website ini
(contohnya di artikel tentang
nilai intrinsik, kriteria
saham bagus, dan kualitas
manajemen). Tips yang bisa penulis sampaikan adalah: Jangan kompromi dengan
kualitas fundamental perusahaan, dan hanya pilih saham yang menurut anda yang
terbaik dari yang terbaik, yang anda bersedia untuk ‘terus bersamanya’, baik dalam kondisi susah
(bisnis seret, pasar jatuh), maupun senang (bisnis lancar, harga barang
dagangan naik, harga saham terbang).
Sementara satu tips yang pernah disampaikan oleh seorang teman investor
senior, yang memang sudah menerapkan DCA ini sejak lama, adalah sebagai
berikut: Belilah saham dari perusahaan yang terkenal, yang nama perusahaannya
diketahui oleh banyak orang, entah itu investor saham ataupun orang awam.
However, tidak pernah ada strategi investasi yang sempurna, termasuk DCA
pun memiliki beberapa kelemahan. Salah satunya adalah adalah jika perusahaan
yang anda pilih setelah beberapa waktu ternyata tidak menghasilkan pertumbuhan
riil seperti yang diharapkan, atau bisnisnya malah meredup dan bangkrut, maka
kerugian yang anda derita pun akan sangat besar, karena anda sejak awal telah
menutup opsi untuk menjual saham tersebut. Dan faktanya, hanya karena sebuah perusahaan memiliki catatan kinerja yang cemerlang dan konsiten di masa lalu, maka itu bukan berarti dia dijamin
akan terus bertahan kedepannya. Lehman Brothers, Inc. adalah perusahaan investment banking yang memiliki track
record yang amat cemerlang sejak tahun 1850 (sudah lama sekali), termasuk sanggup
bertahan ketika dihantam great depression
pada tahun 1930-an, tapi toh dia bangkrut juga pada tahun 2008 lalu.
Sementara di Indonesia, ada Berlian
Laju Tanker (BLTA) yang merupakan salah satu saham blue chip terkemuka pada
tahun 1990-an, tapi sekarang bangkrut juga. Jangan salah, penulis juga kenal
dengan beberapa old timer yang masih
nyangkut di BLTA ini sampai sekarang.
Kelemahan lainnya adalah, ketika anda hanya mengincar pertumbuhan yang
konsisten sebesar sekian persen per tahun (yang penting diatas rata-rata
pertumbuhan pasar), maka anda mungkin akan kehilangan momentum untuk membeli saham-saham
yang, pada periode waktu tertentu, menawarkan kenaikan yang lebih tinggi
dibanding sekedar dua atau tiga puluh persen, meski mungkin di periode waktu
yang lain mereka berhenti naik atau malah turun kembali. Contohnya pada tahun
2009 – 2011, sektor batubara dan perkebunan kelapa sawit tengah booming dan ketika
itu hampir semua saham di dua sektor ini mengalami pertumbuhan yang jauh lebih
tinggi dibanding rata-rata kenaikan pasar. Meski setelah tahun 2011 tersebut dua
sektor ini menjadi terpuruk, namun jika ada investor yang cukup jeli dengan
masuk ke kedua sektor ini pada tahun 2009, dan kemudian keluar ketika timing-nya tepat, maka dia akan meraup
keuntungan yang jauh lebih besar dibanding investor lain yang kerjaannya hanya
menyicil saham yang itu-itu saja setiap bulannya.
Jadi dengan demikian, untuk meminimalkan risiko dari strategi DCA ini (jika
seandainya saham yang anda pilih untuk dibeli secara menyicil setiap bulannya ternyata
malah turun atau bahkan bangkrut), sekaligus tetap memaksimalkan keuntungan
(dari saham-saham yang menawarkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding
rata-rata, yang nantinya akan anda jual ketika waktunya tepat), maka anda bisa
mengkombinasikan DCA ini dengan metode investasi lainnya, tentunya yang anda
kuasai.
Intinya sih, kalau anda bisa menemukan satu atau dua saham yang anda cukup yakin bisa memegangnya as long as possible, tak peduli harganya
naik atau turun (sedikit tips, sebaiknya saham tersebut adalah yang masuk kategori
blue chip. Kenapa begitu? Baca
penjelasannya disini), sehingga anda bisa membelinya secara terus menerus
tanpa pernah menjualnya sama sekali, maka jangan gunakan seluruh dana yang
tersedia untuk membeli saham tersebut, melainkan sisakan sebagian untuk
invest menggunakan strategi/metode investasi yang berbeda, seperti (yang biasa penulis
lakukan) membeli saham-saham yang harganya sedang murah, atau saham yang mewakili perusahaan kecil namun menawarkan pertumbuhan untuk menjadi besar suatu hari nanti.
Namun jika berkaca pada pengalaman beberapa investor, termasuk pengalaman
penulis sendiri, maka kita sebagai investor memang sebaiknya memiliki satu atau
beberapa buah saham yang kita berkomitmen
untuk memegangnya selama mungkin, dan bersedia untuk membeli lagi (nambah
barang) setiap kali dikasih harga yang murah. Anda boleh tanya investor kawakan
manapun, biasanya mereka selalu punya setidaknya satu saham andalan yang sudah
mereka pegang selama bertahun-tahun, tidak pernah mereka jual, dan justru selalu mereka beli lagi setiap kali dikasih harga murah, misalnya ketika IHSG
mengalami koreksi. Dan hasilnya? Mereka meraup keuntungan berkali-kali lipat!
(jadi bukan persen lagi). Nah, jadi kenapa kita tidak mencoba strategi yang sama?
Okay, I think that’s enough. Selanjutnya jika anda punya pengalaman terkait
strategi Dollar Cost Averaging ini, maka boleh share pengalaman anda melalui
kolom komentar dibawah ini, siapa tahu bisa menjadi inspirasi bagi kawan-kawan
investor yang lain :)
Komentar
Untuk lebih terdiversifikasi,.
saya aplikasi DCA di Reksadana saham,.. hasilnya cukup lumayan (tergantung MI-nya juga sih),..
Untuk Saham, karena masih nubie, jadi masih 'angin'anginan'.
Saya sdh mulai membeli RD saham sejak tahun 1996, waktu itu belum mengerti tentang metode DCA. Tahunya cuma investasi di RD Saham dalam jangka panjang returnnya akan jauh lebih baik daripada Deposito. Jadi saya "nabung" di RD Saham, belinya kalau IHSG sedang koreksi (Dananya sdh dipisahkan di account tersendiri). Sampai saat ini saya masih terus investasi di RD saham, saat ini pegang +/- 5 RD Saham dan 1 RD Campuran.
Saya mulai beli saham tahun 1993, terbawa ephoria orang2 yang antri beli saham yang sedang IPO.
Jatuh bangun,mengalami masa pahit dan manis, mencoba berbagai macam cara, belajar terus, thanks God, sampai sekarang masih survive, berhasil melewati market crash di tahun 1998 dan 2008.
Saya setuju dengan Pak Teguh, untuk investasi pada saham, sebaiknya kita punya Portofolio Inti dan Portofolio Satelit.
Portofolio Inti berisi saham2 BC yang akan kita pegang jangka panjang dan yang pergerakannya seirama dengan Indeks.
Portofolio Satelit berisi saham2 BC atau Second Liner yang bersifat cyclical, yang akan kita pegang sesuai dengan siklusnya.
Semoga sharing saya bermanfaat. Masukan dan saran dari dari Pak Teguh dan teman2 pembaca blog ini sangat saya hargai.
Rgds,
Fasen
DCA enaknya beli dalam nilai rupiah yg sama atau jumlah lot yg sama???
Trims
sdgkan harga saham bs di beli dalam satuan lot yg tiap bulan ny fluktuatif harga ny.
katakan bulan 1 ,kita sisihkan 500.rb utk membeli saham 1 lot seharga 350rb. trs sisa uang ny ,di kemana kan??
dimana saya pegang INDY sejak tahun 2019 dan saat dihantam pandemi cov pertengahan 2020. saham indy saya minus sekitar 30% / lebih.
ini setara dengan 15% portofolio saya saat itu.
Keinginan untuk melepas (cutloss) sangat besar,
tp dengan pertimbangan tidak mau realisasi kerugian, saya menambah lagi saham indy.
Keputusan saat itu ternyata benar, karena bulan Nov ini saham batubara kembali bangkit.